Jumat, 06 Agustus 2010

Sekularisme Religius sebagai Kritik

Sekularisme sebagai Kritik

Asarpin
Pembaca sastra


Kawan, perdebatan tentang apa yang disebut sekular dan sekularisasi—ada yang menulis sekuler dan sekularisasi—memang belum memperlihatkan tanda-tanda melelahkan. Padahal kurang apa kerasnya polemik yang pernah terjadi antara kelompok Bung Karno-Bung Hatta dengan kelompok Natsir-Hamka--Siradjudin Abbas—A.Hasan tentang soal ini. Kedua polemik ini memiliki pengikut, dengan corak dan gayanya masing-masing.

Bung Karno begitu lantang menyerukan model sekularisasi radikal yang dilakukan Turki, Bung Hatta mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang diusulkan para pemimpin Islam Indonesia, yang membuat sebagian besar aktivis Islam waktu itu marah.

Gagasan Bung Karno tentang pemisahan agama dan negara, sebagaimana yang terjadi di Turki, tampaknya disalah-pahami oleh lawan-lawan debatnya. Bung Karno ingin menegaskan, dan itu kita ketahui kemudian ketika ia berdebat dengan salah satu tokoh HMI, bahwa tidak ada negara Islam. Gagasan ini kelak kita temukan dalam pemikiran Amin Rais, Cak Nur dan Roem.

Perdebatan tentang dua pandangan itu makin hari makin banyak pengikut, dan masing-masing tampak mempertajam, memperkuat basis dukungan dengan sekian banyak ungkapan turunan, hingga lahirlah pemisahan antara sekularisme dan sekulrisasi dari tangan Cak Nur, dan kemudian berlanjut dengan adanya “kompromi” atau “jalan tengah”, yang sekarang kita kenal dengan istilah “sekularisme religius”.

“Sekularisme religius” adalah hasil kompromi politik yang memanas. Kita tak tahu siapa yang pertama kali mencetuskan istilah ini, tapi sebagian besar tulisan kaum intelektual kita mengutip W.E. Shepard tentang Islam dan ideologi di International Journal for Middle Eastern Studies (1987). Yudi Latif pun mengutip pendapat tokoh ini, dan tampaknya intelektual muda jebolan pesantren Gontor ini berusaha mengkampanyekan gagasan sekularisme religious.

Di Lampung, kamu tampaknya berusaha ambil bagian dalam tema yang sensitif ini. Dalam tulisannya yang terakhir, setelah lebih dari setahun berhenti menulis, menunjukkan kalau kamu begitu terpesona oleh gagasan seniormu itu, terutama tentang frase “sekularisme religius” tersebut. Kenapa tidak sekalian menggunakan istilah “sekularisme Islam?”

Tampaknya, baik Yudi maupun kamu tak mau terjebak pada istilah yang justru bakal memperuncing situasi. Walau kalian berdua lebih fokus dengan Islam sebagai sebuah agama mayoritas di sini, namun kalian masih malu-malu kalau harus menyebut “sekularisme Islam”. Dengan “sekularisme religius”, kalian mengandaikan bahwa gagasan itu tak hanya berlaku bagi agama Islam, tapi semua agama. Lagi pula istilah religius di situ tidak dimaksudkan sebagai agama formal.
Kau, Damanhuri, tampak tak yakin kalau orang Amerika Serikat kebanyakan sekular, tapi justru sebaliknya. Dari mana kau peroleh data ini, kawan? Bukankah menurut Norris dan Inglehart dalam bukumu yang pernah aku pinjam, kecenderungan yang terjadi di dunia menunjukkan dua hal: Pertama, masyarakat-masyarakat yang kaya seperti Amerika, menjadi makin sekular, tetapi dunia secara keseluruhan makin religius. Ini akibat pertumbuhan penduduk yang jomplang, di mana yang miskin bertambah banyak dan religius, sementara pertumbuhan penduduk di negara kaya justru stagnan.
Kau juga menyebut sekularisasi sebagai paket dari luar yang didesakkan kaum kolonial. Bukankah Islam itu juga paket dari luar yang didesakkan para pendakwah dan kaum sufi dari Parsi atau pedagang dari Gujarat? Ini sama dengan pendapat salah satu lembaga kursus bahasa Arab yang mengatakan bahwa bahasa Arab itu bukan bahasa asing, karena Indonesia mayoritas Islam. Bahasa Agama Islam adalah bahasa Arab, jadi orang muslim di belahan dunia mana pun memandang bahasa Arab sebagai bahasa ibunya, sekalipun orang muslim tersebut sama sekali tidak mengerti bahasa tersebut.

Harus diakui, produk negosiasi antara aktivis yang mendesakkan Islam dengan aktivis sekular melahirkan produk berupa falsafah, semboyan dan undang-undang yang tidak tegas. Tak heran jika ada anggapan bahwa Indonesia bukan negara sekular, bukan negara agama, bukan sosialisme, bukan pluralisme, bukan ini bukan itu, dan sebagainya. Mesti dimaklumi jika sampai sekarang elite politik kita—walau tidak hanya elite politik saja tapi para penulis—masih terus menerus merapalkan retorika "Indonesia bukan negara sekular dan bukan negara agama", sebab Pancasila dan UUD 1945 hasil kompromi dua golongan yang berbeda, dan hasilnya tak mungkin tegas, bulat dan padu.

Yang perlu diselidiki kini, adalah: kemungkinan adanya kesalahan dalam pemahaman kita tentang sekularisasi. Kita selalu menyamakan sekularisme dengan anti-agama, menolak Tuhan, dan memisahkan agama dari politik. Padahal tidak pernah ada sebuah negara yang betul-betul sekular, yang betul-betul menolak agama dan Tuhan. Nietzsche yang kita anggap sebagai menegasikan Tuhan karena mengatakan “Tuhan telah mati” justru dipahami banyak orang sebagai yang sangat religius.

Dengan demikian, makna sekular sama sekali tidak terkait dengan penolakan agama dan anti-Tuhan. Kalau bukan itu, lalu apa? Saya lebih tertarik meletakkan sekularisasi sebagai sebuah kritik atas dominasi agama. Jika betul dominasi agama di segala bidang ada bahayanya, maka apa yang dilakukan oleh kaum sekular selama ini justru bisa diterima. Harus diakui, hanya kaum sekular yang paling kritis terhadap agama, gejala-gejala keagamaan, ketimbang yang menghujat sekularisme dengan dasar keyakinan agamanya yang paling benar.

Kritik sekular kini terasa relevan, minimal membuat kita kaum beragama tidak mudah merasa paling suci, paling benar dan menganggap yang di luar kita kotor dan profan. Apa yang dikritik Comte, Marx, Weber, Nietzsche, Said, dll., tentang agama, menunjukkan kritik sekular yang tidak lagi membawa-bawa agama ke segala ruang dan waktu, karena agama lebih terkait dengan penghayatan pribadi.

Kalau betul paham sekular akan menggerogoti agama, berarti kita tak percaya bahwa agama itu suci, dilindungi, dan pemberian Tuhan yang tak mungkin akan runtuh oleh setajam apa pun kritik yang dilontarkan oleh umat manusia.

Ungkapan “sekular religius” lebih baik dipahamai sebagai kritik religius. Maksud para pencetusnya adalah bagaimana dua hal yang selama ini terkesan berlawanan, seperti istilah sekularisasi dan islamisasi, ternyata tidak. Keduanya justru paket yang bisa bernegoisiasi, membangun sinergi (ungkapan terakhir banyak digunakan aktivis LSM dan para politikus).

Yang penting dan relevan memang pertanyaan bagaimana proses sekularisasi itu mampu bernegosiasi dengan identitas keagamaan masa kini, dan orang-orang beragama tidak lagi alergi mendengar kata sekularisme. Kalau ini bisa terjadi—dan memang mesti terjadi—sudah saatnya kita meletakkan sekularisme sebagai sebuah kritik diri, bukan sebuah paham atau aliran yang beroposisi dengan Langit Suci.

Sanktuari:

Syarah atas Caping


Asarpin
Peminat sastra



Stephen Hirtenstein, yang sangat mengagumi Ibn Arabi, menyebut pemikiran sebagai "tamu dari langit yang melintasi ladang hati". Dalam hal ini, pemikiran tak cuma mengacu kepada proses otak, atau sesuatu yang dapat kita pikirkan, atau kita renungkan. Pemikiran mengindikasikan sesuatu yang muncul dari keheningan batin, setiap saat dalam diri kita, di dalam kesadaran batin kita.

Ketimbang berharap agar pemikiran bisa mengubah dunia, saya setuju dengan Hasif Amini: lebih baik "menatap dan menampung dunia sebagai kemungkinan-kemungkinan". Dan Leo Tolstoy pernah mengingatkan juga, dan agaknya kita sudah lupa  bahwa "semua orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tak seorang pun yang berpikir untuk mengubah dirinya".

Perubahan datang dari dalam diri sendiri, bukan dari luar. Bukankah Tuhan sendiri "tak menciptakan dunia" melainkan "Tuhan mengucap dunia", kata seorang filsuf yang saya lupa namanya. Maka sudah sewajarnya jika kita bicara tentang bagaimana mengabarkan dunia ketimbang bagaimana menciptakan dan mengubah dunia.

Seorang pemikir tentu berbeda dengan para ideolog atau pengajar agama, dan sudah sewajarnya jika mereka menjelmakan dirinya sebagai "seorang yang hidup di rumah sunyi", kata Goenawan dalam catatan pinggir (Caping) berjudul "Perempuan". Sebab, dengan itu, ia akan menampik setiap kebenaran yang dinyatakan final dan mutlak, ia akan menjadi "gangguan" terhadap kisah-kisah yang lurus ; ia akan merayakan perdebatan, menjunjung ketidakpastian, menyemangati gairah perbedaan dalam perbedaan. Hal-hal semacam ini mungkin tak menyelesaikan perkara di dalam diri dan dunianya seratus persen. Tetapi ia menjadi manusia yang berhak hidup dan menentukan pilihan-pilihan sendiri dengan merdeka.

Pada titik ini saya masih belum merasa cemas dan waswas dengan pemikiran Goenawan selama ini, sebab keterbukaan sudah menjadi wataknya. Di berbagai tempat tak jarang ia mengundang kita untuk berdialog dengan lapang dan tulus, tanpa rasa takut, tanpa cap berdosa.

Entah mengapa yang terakhir itu kini kita rindukan. Fundamentalisme agaknya akan terus membayang-bayangi dan sekaligus mengintai tulisan-tulisan dan tindakan-tindakan kita yang dianggap menyimpang. Dan bersikap terbuka, tulus dan tanpa cap berdosa, bukan cuma berharga, tapi mesti selalu ada.

Saya bahkan mengagumi sikap yang meletakkan kreativitas tak hanya pada guna dan manfaatnya, melainkan sekian banyak elemen yang terpaut satu sama lain. Dengan itu kita punya bekal mengarungi pintu-pintu yang mahaluas agar mampu menangkap kenyataan. Dalam bahasanya Dick Hartoko, sifat macam ini dinamakan "senggang": sikap spiritual untuk bisa mendengarkan, semacam kemampuan jiwa untuk tanggap terhadap kenyataan dunia yang tak melulu dilihat dari guna, faedah dan tujuan.

Dalam bahasanya Ayu Utami dan Sitok Srengenge ketika mengumpulkan sajak-sajak lengkap Goenawan, inilah sebentuk penghargaan pada kesetian untuk menciptakan sanktuari : sebuah wilayah di mana bahasa, ciptaan, karya tak harus berguna, di mana sebuah arti tak sama dengan fungsi. Dalam suatu dunia yang hanya mementingkan kegunaan, kata Dick Hartoko dalam esai Keadaan Senggang sebagai Dasar Kebudayaan, memang tak ada tempat dan waktu untuk ritual dan kebaktian. Padahal religi dan puisi yang sejati justru tidak mementingkan faktor kegunaan, bahkan berani mengorbankan barang-barang berguna itu demi sesuatu yang lebih menggairahkan iman dan pemahaman.

Dasar sebuah penciptaan, adalah semadhi, sunyi, hening, bisu, senggang dan lapang. Itulah corak sebagian besar esai-puisi dalam buku Caping 7 (Tempo Print, 2006). Penulis Caping begitu gigih membela puisi, yang berarti membela tegaknya kebebasan. Di sini ada kesamaan antara Goenawan dan Octavio Paz. Dalam sebuah esai, Paz pernah mengakui kalau ambisinya adalah menjadi seorang penyair, dan tak lain kecuali penyair. Buku-buku prosanya dimaksudkan untuk mengabdi pada puisi. Untuk menilai, menjaga, dan menjelaskan puisi kepada orang lain, juga dirinya sendiri. "Saya segera menemukan bahwa pembelaan terhadap puisi, yang diremehkan orang di zaman kita ini, tak terpisahkan dari pembelaan kebebasan", tulis Paz.

Salah satu soal yang juga paling sering muncul dalam Caping adalah agama. Goenawan begitu gigih membela agama dari tudingan sekularisme. Apa yang dulu dianggap candu dan agak nyinyir di mata sebagian aktivis Marxis, dan harus disingkirkan karena kerapkali melantunkan nyanyian nina bobok, kini justru meluap-luap hingga yang terdengar bukan lagi kesejukan dan kedamaian, tapi agama dalam letupan kemarahan yang mengerikan. Karena itu, apa yang kita harapkan tampil ke publik bukan lagi subjek yang otonom dan universal, iman yang mati, tapi iman yang hidup dan mau berdialog terus-menerus. Dalam konteks ini, Goenawan pernah menyebut : ”iman dalam praksis eksotopi” yang dipinjamnya dari Bakhtin.

Dengan kata lain, iman bukan sebagai sama, tapi iman dalam beda. Hidup dalam keragaman ketimbang hidup dalam persamaan. Dalam sebuah esai pada tahun 1980, From Secularity to World Religions, Berger, yang dikutip Goenawan, menunjukkan dinamika lain di masa kin, yaitu pluralisme. "Kepastian subyektif" dalam beragama tak ditopang lagi oleh satu kesatuan sosial yang padu sebagai penyangga. Dunia kini warna-warni, di mana yang ada bukan sepasukan "jahiliah" yang utuh menghadapi sepasukan "mukminin" yang tunggal. Keretakan, atau beda, di mana-mana sudah tampak.

Kepastian subjek dalam beragama, kata Goenawan dalam esai tentang agama itu, tak ditopang lagi oleh satu kesatuan sosial yang padu sebagai penyangga. Sebab dunia kini bak sebuah bazar; ada berbagai ekspresi iman, aneka agama, dan masing-masing bisa tampak bagaikan ”satu intan dua cahaya”.

Tak heran jika Goenawan cukup terpesona dengan sejumlah penghayatan kaum sufi. Kaum sufi itu paling toleran dalam hidup. Sebagaimana dalam Gatholoco, percakapan tentang pengalaman mistik menemukan problem dalam pem-bahasa-an. Ketika bahasa bergerak lebih ke arah sifatnya yang komunikatif, dan bukan sifatnya yang ekspresif, pengalaman yang paling batin tak akan bisa diartikulasikan.

Yang jadi damba kaum mistik adalah perjalanan yang tak pernah sampai di akhir, bahkan apa yang akhir memang tak pernah ada. Tak ada terminal yang bisa disebut sebagai proses sudah dari sebuah perjalanan yang bisa membuat kita berpuas diri, kecuali mungkin tarian di tepi-tepi yang mengasyikkan. Mirip seperti tafsiran Ibn Arabi tentang perjalanan transformasi persepsi. Apa yang disebut gnosis atau mistik, kata Arabi, adalah sebuah perjalanan tanpa ujung.

Arabi juga mengatakan: kita tak pernah behenti berjalan, dari satu momen penciptaan kita dan penciptaan bagian-bagian fisik kita, dan seterusnya. Tatkala sebuah pemberhentian tampak bagimu, kau berkata, ”inilah! Ini adalah yang terakhir!” Tetapi ada jalan lain yang terbuka bagimu, di mana kau dilengkapi dengan persediaan untuk keberangkatan yang baru. Segera setelah kau melihat tempat pemberhentian, kau mungkin berkata, ”Inilah tujuanku,” akan tetapi tak lama setelah kau sampai, lalu kau bergegas pergi dan mulai lagi.

Perjalanan Goenawan mirip sebuah epektasis dalam tafsiran seorang guru Kristen Cappadician abad keempat, Gregory dari Nyssa: ”perjalanan maju tanpa batas ”dari awal ke awal melalui awal yang tidak pernah berakhir”. Dalam perjalanan macam ini, kata Ibn Arabi yang rajin mengingatkan, kita dituntut untuk selalu melakukan ”pembaruan ciptaan di setiap saat” (tajdid al-khalq fi’l anat).

Dari sana kita bisa melihat lebih dekat bagaimana Goenawan mempersepsi ruang dan waktu dalam proses perjalanan yang tak pernah punya batas itu, karena setiap batas berarti selesai. Ruang dan waktu bagi dia hanyalah efek dari pembaruan yang tak pernah terputus. Gerakan lahir kita di ruang tak lain adalah refleksi dari kreativitas Tuhan yang terus-menerus.

Dengan kata lain, sebuah sikap yang—mengutip kata-kata Goenawan sendiri—“suatu kecenderungan untuk selalu menyangsikan kepercayaan” karena yang namanya ”kepercayaan” selama ini senantiasa dianggap selesai. Menyangsikan, bukan menolak. Karena Goenawan masih mengusulkan bentuk ’kepercayaan di luar segala hal-ikhwal”. Ragu memungkinkan orang untuk mencari. Keyakinan yang hidup bukan sebuah patokan yang telah disiapkan, melainkan sebuah kelana dalam proses.

Dalam setiap pencarian, bisa saja saya mengalami ketidakpastian dan terus menerus dirundung keraguan atau tersesat dan tak bisa kembali. Bahkan mungkin saya mengalami keraguan yang paling murung, atau keraguan yang paling menyengsarakan.

Pandangan Goenawan soal agama senada dengan Ulil Abshar-Abdalla yang mengatakan bahwa Islam lebih tepat disebut sebagai sebuah "proses" yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama" yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina 'indal Lahil Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai, "Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan kepada Yang Tak Tertundukkan."

Goenawan seorang pluralis yang paling tak mau mengambil kesimpulan yang bulat. Ikhtiar dan kerendahhatian serta kewaspadaan dalam menerima aneka warna pelangi dunia, termasuk dengan pelangi bernama ”fundamentalisme”, terasa tak mau kompromi. Ketika merasa ”berbenturan” paham dengan kaum fundamentalis, atau juga revivalis, atau yang skripturalis, terserah, Goenawan kadang masih kurang arif menerima perbedaan pendapat.

Sikap pluralis dan iman dalam proses kadang masih menjebak Goenawan untuk mengambil kesimpulan yang mendesakkan ijtihadnya sendiri kepada kaum yang beda atau berselisih pandangan. Dalam Caping Ahmadinejad, misalnya, Goenawan mengatakan: ”Ada satu ciri kaum fundamentalis, dari agama apa pun: mereka memusuhi hidup. Hidup adalah sejenis hukuman, karena fana dan diubah waktu. Bagi mereka, waktu yang berubah adalah jalan kemerosotan...Setiap kalimat dalam Kitab Suci harus dipatok sebagai sesuatu yang mandek”.

Tapi, benarkah semua kaum fundamentalis memusuhi hidup? Apakah memusuhi hidup adalah satu ciri yang melekat pada fundamentalis dari semua agama? Apakah yang memusuhi hidup identik dengan kaum fundamentalis?

Goenawan sepertinya ingin membenturkan kembali gagasan fundamental dengan gagasan liberal. Seakan-akan pandangan liberal tak bisa retak. Padahal yang liberal tak selalu menjanjikan kesejukan, kedamaian, kasih dan sayang. Liberalisme yang melahirkan pluralisme itu, tak selalu menjanjikan sorga perdamaian dan bebas dari waham. Seperti sering ditegaskan Karen Amstrong—kendati beberapa pandangannya terlampau memuji-ria agama Islam—orang yang berada pada posisi liberal masih sering mengedepankan prasangka, mengdepankan intoleransi, konflik, permusuhan, seperti dalam pandangan sejarah Eropa atau di Barat abad ke-20.

Puisi, Sufi, Revolusi:

Perihal Imam Khomeini

Oleh: Asarpin



Pengantar



Esai Puisi, Sufi, Revolusi: Perihal Imam Khomeini, di bawah ini, sengaja kami hilangkan kutipan pada catatan kakinya. Hal ini tidak lain karena soal teknis. Jika ada yang merasa menemukan pendapatnya, atau pendapat orang lain yang pernah dibacanya, saya tegaskan di sini: karya ini tidak orisinal, dan bisa jadi apa yang anda baca adalah kutipan dari karya anda, atau dari karya yang pernah anda baca.
Demikian, pulang maklum, anggap ini karya bersama. Selamat membaca dan menemu tafsir.

Salam,

asarpin

















BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Kalau orang mendengar kisah tentang seorang sufi yang menjadi motor dalam perubahan sosial, mungkin akan bilang itu hanya dusta belaka. Bukankah yang disebut sufi itu adalah orang yang menjauhkan diri dari dunia dan hidup menyepi, semadhi dengan mengasingkan diri dari orang ramai, melakukan zikir, wirid, dan doa. Bagaimana mungkin orang dengan ciri-ciri semacam itu bisa disebut sebagai motor atau penggerak perubahan sosial.
Salah satu sufi besar yang menulis sajak-sajak mistik, dan tercatat sebagai tokoh revolusi yang ”mengguncang dunia”, adalah Ayatullah Khomeni. Selama ini, Khomeini hanya dikenal sebagai mullah yang menjadi pemimpin Revolusi Islam Iran tahun 1978. Namanya lebih dikenal sebagai sosok fundamentalis yang menyebarkan ketakutan terhadap orang-orang Barat dan orang-orang muslim yang terpengaruh pemikiran Barat.
Citra semacam itu begitu melekat, dan dikenal luas di dunia akibat pemberitaan media saat terjadi Revolusi Islam Iran. Tah hanya itu, Khomeini dicatat sebagai tokoh fundamentalisme Islam sejak ia memberikan fatwa hukuman mati terhadap penulis novel Ayat-ayat Setan, Salman Rushdie.
Banyak orang yang tak bersimpati pada sang imam, tapi tak kurang banyak pula yang kagum pada sepak-terjangnya di lapangan politik dan moral. Mereka yang menjadikannya sebagai tauladan, berangkat dari segudang alasan. Demikian pula mereka yang menaruh rasa benci. Yang kagum biasanya meletakkan jasa Khomeini sebagai ”manusia suci” yang telah berjasa menampilkan Islam ke panggung politik dunia sebagai basis teori perubahan sosial—seperti halnya sumbangan Gustava Gueterez bagi teologi Kristen di Amerika Latin atau Karl Marx bagi kaum buruh.
Fazlur Rahman tampak kurang apresiatif terhadap Khomeini. Menurut Profesor Hamid Algar dalam sebuah wawancara di Gatra (26 Agustus 1995 halaman 98-99), Fazlur Rahman pernah menuding Khomeini sebagai bodoh dan tak mengerti Islam. Tudingan Fazlur tersebut, menurut Algar, untuk mencari simpati Barat.
Hamid Algar sendiri termasuk penulis yang paling gigih membela Khomeini di berbagai pers Barat. Bahkan pembelaan Algar mirip advokat yang membela kliennya atas tuduhan melanggar hukum. Sementara Annemarie Schimmel dan Karen Amstrong, dua penulis perempuan yang sangat apresiatif terhadap Islam, membela pendapat Imam Khomeini yang menghalalkan darah Salman Rusdi.
Khomeini memang dekat dengan kontroversi. Apalagi jika dikaitkan dengan pendapatnya tentang Islam yang seringkali menimbulkan reaksi. Islam dalam pandangan Imam Khomeini adalah agama yang menekankan perubahan yang revolusioner, yang berbeda dengan gagasan kaum revolusioner Marxist yang melihat Islam justru sebagai candu dan menghambat proses terjadinya perubahan sosial. Tesis Imam Khomeini yang paling monumental terletak pada persoalan kesadaran masyarakat Islam yang tidak selalu berangkat dari kesadaran kelas, tetapi juga dari penghayatan tradisi dan nilai Islam yang ”tradisional” yang membebaskan umatnya dari belenggu dan penindasan.
Khomeini berusaha menggabungkan konsep normativitas Islam dengan realitas yang terjadi pada masyarakat Islam dimana sebagian besar waktu itu telah terpengaruh oleh ide pemikiran Barat yang sekuler.
Tatkala Imam Khomeini semakin gigih memperjuangkan nilai-nilai Islam ke pentas politik, para pemikir Barat hampir tidak percaya bila Islam dapat mengambil inisiatif bagi terjadinya revolusi dan perubahan sosial. Dengan kata lain, kebanyakan para pemikir politik di negeri Barat pada waktu itu sama sekali tidak yakin bila Islam dan masyarakat Islam bisa dijadikan sebagai kekuatan untuk melakukan perubahan dan mampu menyatukan solidaritas umat Islam di belahan dunia.
Khomeini adalah sufi yang digerakkan oleh nilai-nilai kesyahidan Imam Ali dan putranya. Jauh di luar perkiraan banyak pengamat jika ternyata ajaran kesufiannya mampu mengembangkan sistem tatanan negara di bawah payung hukum Islam yang pernah gemilang. Khomeini berhasil menjadikan syari’at Islam sebagai landasan bernegara dan berbangsa. Ia unggul dalam penggunaan bahasa agama sebagai simbol perlawanan terhadap kebudayaan Barat yang sekuler. Bahkan ia sangat percaya pada kesadaran agama Islam yang dibentuk oleh proses sosial yang selama ini dikendalikan oleh kekuatan rezim penjajah, dan inilah momentum awal untuk mengembalikan masyarakat Islam dari keterpecahan dan menjadi kekuatan penghubung bagi lahirnya solidaritas sosial.
Dalam beberapa karyanya, hampir berkebalikan dari kesan kebanyakan pengamat Barat, Imam Khomeini ternyata sejak usia muda telah dikenal sebagai pengikut ajaran kaum sufi atau 'ârif (ahli makrifat).1 Barangkali inilah satu faktor yang membuat pandangan Imam Khomeini sering berseberangan dengan kaum modernis atau neo-modernis seperti Rahman dan Syafii Maarif.
Jauh sebelum namanya dikenal sebagai seorang ulama ahli fiqih (Mullah-Fâqih) dan pemimpin besar Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini adalah seorang penulis dan penceramah yang tersohor. Dari tangannya telah lahir buku-buku bertajuk tasawuf yang terhitung cukup serius.
Menurut Hamid Algar, sebelum karir politik Imam Khomeini dikenal luas diberbagai belahan dunia, ia sendiri telah melewati empat dasawarsa penting sebagai seorang pemikir yang terlibat dalam wacana keislaman, yang meliputi dimensi yang luas, yakni hukum Islam, filsafat, dan tasawuf (irfân). Namun dimensi ajaran sufistik Imam Khomeini seringkali dilihat oleh para pengamat Barat secara dikotomis, terpilah-pilah, seperti dikotomi antara syari’at dan tasawuf yang sengaja diciptakan untuk menegasikan citra spiritualitas Islam yang orisinal.2
Berbeda dengan kebanyakan para sufi, Imam Khomeini hampir tidak pernah menganjurkan para sufi untuk menjauhkan diri dan meninggalkan kehidupan dunia seraya menyendiri ke gua-gua. Tokoh ini bukanlah sosok sufi yang mengasingkan diri dari masyarakat ramai, atau menghabiskan waktunya di gua-gua untuk berzikir dan mengejar kesalehan pribadi. Bila memetik kata-kata Muhamamd Iqbal, Imam Khomeini pantas disebut ulama yang “di waktu malam pelupuk matanya berlinang air mata; di medan perang pedangnya bersimbah darah; di Gua Hira bermalam-malam terjaga, supaya tegak hukum, bangsa dan negara”.3
Berbeda dengan kebanyakan para pemikir yang hanya sebatas menulis tentang teori-teori sufisme, atau hanya sekedar mengumpulkan, menyalin, dan mempelajari pendapat kaum sufi, Imam Khomeini justru menulis banyak buku bertema tasawuf sekaligus mempraktekkan hidup sufi dan tidak menunjukkan kepribadian yang mengidealkan masa lalu tanpa sikap kritis.
Dalam buku-bukunya, Imam Khomeini secara spesifik membahas tasawuf, yang dalam literartur Persia lebih dikenal dengan istilah ‘irfân. Kelebihan karya-karyanya dibidang tasawuf terletak pada—mengutip ungkapan Yamani—“buah dari visi yang meyakinkan dan senantiasa lestari dikembangkan pada segenap ucapan dan tindakannya”.4
Aspek sufistik dan tingkat penguasaan Imam Khomeini yang tinggi terhadap khazanah keislaman klasik, juga nampak sejak masa remajanya sebagai anak yang enerjik, berani, cerdas, punya tekad besar, disiplin, berkerja keras, suka merenung, dan senantiasa membela orang-orang yang lemah. Bahkan, sebagaimana diceritakan oleh Sahiba (bibinya), tidak jarang Imam Khomeini kecil pulang dari bermain dengan baju yang kotor dan robek karena permainan fisik dengan sesame temannya, demi membela kebenaran yang diyakininya.5
Munculnya kepribadian sufistik Imam Khomeini tidaklah lahir begitu saja. Salah satu faktor terbentuknya kepribadian yang demikian tentu saja tidak terlepas dari didikan keluarga dan pengaruh ibunya, bibinya, dan garis keturunan kelurganya yang terkenal sebagai pembela kaum tertindas. Kepribadian, kesederhanaan, kecerdasan, serta penguasaan Imam Khomeini tersebut dapat terus dipertahankan pada perjalanan kehidupan selanjutnya.
Imam Khomeini dikenal sebagai sosok sufi penganut ajaran tasawuf yang penuh kesederhanaan, serta senantiasa menyesuaikan diri antara ucapan dan tindakan kesehariannya. Bahkan harta yang dimiliki oleh Imam Khomeini hingga akhir hayatnya, hanyalah sebuah rumah sederhana yang telah diwakafkannya pada Dewan Revolusi, alat masak sekedarnya, tempat duduk belajar sekaligus untuk tidur, serta beberapa alat ibadah dan buku diperpustakaan pribadinya.6
Hal itu tentu saja menyentakkan kesadaran banyak orang yang pernah berkunjung ke rumahnya, baik pasca revolusi ataupun pasca wafatnya. Kebanyakan mereka menyaksikan betapa kehidupan Imam Khomeini yang sebetulnya bisa saja memanfaatkan kebesaran nama dan pengaruhnya untuk kehidupan pribadi sebagaimana dilakukan banyak penguasa, tapi ia tak ingin mencampuradukkan urusan pribadi dan urusan negara.
Ungkapan sufistik terekam dalam sajak-sajaknya, yang sekaligus begitu puitis mengungangkapkan hubungan dirinya sebagai manusia dan kerinduan kalbunya pada pencipta-Nya. Dalam sajak berjudul “Kerumunan Pemabuk”, Khomeini dengan intens bicara tentang cinta, kebajikan, serta keseimbangkan kehidupan dunia dan akhirat. Bahkan tak disangka-sangka, dalam sajaknya muncul ungkapan-ungkapan metaforik dan simbolik seperti anggur, bibir molek, perempuan, jubah dan berhala. Sebuah ungkapan yang hampir tak terbayang lahir dari pena Imam Khomeini yang paling pribadi.



Kerumunan Pemabuk

Di kumpulan sufi tak kutemukan
Kelezatan yang kudamba
Di biara tak terdengar
Musik yang cinta mencinta 

Dalam cinta-buku tak kulihat
Wajah cantik bertutup cadar
Dalam susastra-suci tak kudapat
Jejak-jejak sang nasib 

Di rumah berhala sepanjang usia hamba
Dalam kecongkakan terhabiskan saja
Dalam perkumpulan sesama kulihat
Tak penawar tak juga lara 

“Aku” dan “Kita” dari akal keduanya
Dialah tali untuk memintalnya
Dalam kerumunan para pemabok
Tak ada “Aku” tak pula “Kita.”7



Sajak-sajak Khomeini begitu mistis mengungkapkan kerinduan kepada Kekasih lewat bahasa perlambang yang erotik.8 Apabila ditelusuri lebih jauh lagi, ungkapan yang tidak biasa dalam sajak-sajak Persia, biasanya tak jauh-jauh dari tauladan kaum sufi yang gemar mengungkapkan sesuatu dengan bahasa kiasan dan metafora.
Dalam tradisi sufi klasik dikenal ucapan, “Engkau bersama Allah tanpa perantara (antakuna ma’allâh bila ‘alaiqah). Ada pula yang mengenal Tuhan melalui tingkatan (maqâmat) dan latihan rohani (riyâdhah) yang bersusah-payah bahkan berlarah-larah menuju ke tempat yang paling dirindukan kaum sufi.
Dikalangan penyair sufi, ungkapan-ungkapan yang tidak lazim biasanya sengaja dipakai untuk menunjukkan kedalaman usaha manusia untuk berada sedekat-dekatnya dengan Sang Pencipta. Penggunaan ungkapan yang puitis nampak terasa sangat intim, yang seakan-akan menembus lapisan jiwa yang paling dalam, jiwa yang merasakan puncak kedamaian dan keheningan yang tak terpermanai.
Bahasa sufi memang bahasa hening. Bahasa sunyi dan diam. Sebagian besar sufi yang dikenal juga sebagai “penyair”, mengungkapkan kerinduan kepada Tuhan dengan bahasa sunyi. Si penyair berusaha mendekatkan diri dengan Sang Kekasih dengan jalan diam.
Meskipun sebetulnya antara kesufian dan kepenyairan tidaklah berada pada hubungan yang silogistik, namun bahasa dan pilihan kata yang digunakan para penyair dan kaum sufi dalam menyampaikan keterpesonaan dan ketakjubannya dengan Allah, sama-sama puitis, indah, menggunakan kiasan dan lambing-lambang mistik berupa kata dan bilangan.
Beberapa contoh sufi yang juga dikenal sebagai penyair yang terkemuka, adalah Jalaluddin Rumi, Umar Khayyam, Hafidz, dan Attar. Sementara di Indonesia, ada kecenderungan penyair seperti Hamzah Fansuri, Abdul Hadi WM, Emha Ainun Nadjib, Sutardji, Danarto, begitu dekat dengan ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh kaum sufi.
Menurut Imam Khomeini, ada empat maqâmat yang harus diperhatikan oleh para ahli tasawuf untuk mencapai jenjang lebih takwa. Maqâmat pertama menurutnya, dimulai dengan ilmu pengetahuan dengan sikap merendahkan diri di hadapan Allah. Sebab seorang sufi baginya merasa dirinya hina dan fakir di hadapan Allah, yang merupakan petunjuk jalan menuju Fana’Fillâh. Mereka yang hanya mengandalkan ilmu pengetahuan semata, bagi Imam Khomeini justru akan menimbulkan berbagai hijab besar. Karena itu dibutuhkan usaha untuk naik ke tingkat yang disebut kalbu. Sebab kalbu mampu menjadi penyeimbang bagi maqâmat ilmu pengetahuan.
Maqâmat kedua tercermin dalam penghayatan iman dan dalam tindakan. Maqâmat ketiga, yakni thuma’ninah, yang pada hakikatnya merupakan urutan yang sempurna dari keimanan. Maqâmat keempat adalah musyahadah (penyaksian). Maqâmat ini adalah maqâmat cahaya Ilahi dan tajalli (semacam pengejewantahan) Rahmâni. Seorang sufi yang telah sampai pada tingkatan ini akan merasakan bahwa Allah muncul dalam batinnya berdasarkan Tajalli Asmâ’-asmâ’ dan sifat-sifat-Nya serta akan menyinari seluruh kalbunya dengan cahaya Syuhûdi. Para pesuluk merasa berada di dekat dengan Allah bahkan merasa “menyatu” dengan Allah dan ikut tengelam dalam samudera yang tak terbatas. Di balik itu akan ada lagi samudera yang akan menyingkap rahasia-Nya.9
Meski keempat maqâmat di atas telah dijalankan oleh seorang sufi, namun bagi Imam Khomeini terdapat banyak rintangan (hijâb). Namun seorang sufi yang sudah merasakan dirinya berada sedekat-dekatnya dengan Allah dan ia tidak akan merasa takut dengan hijab-hijab yang muncul, bahkan ia akan terus berjalan
mendaki dari satu maqâmat ke maqâmat lainnya, terkadang melewatinya, melampauinya, atau kalau tidak mampu mempertahankannya, ia akan mengalami semacam degradasi ruhani.
Bila melihat empat maqâmat tasawuf yang dikemukakan Imam Khomeini di atas nampak sejalan dengan maqâmat yang pernah dikemukakan oleh Mulla Shadra. Menurut Mulla Shadra, untuk mencapai puncak penghayatan kepada Allah, maka seorang calon sufi terlebih dahulu harus melewati empat tingkatan. Tingkatan pertama, mengembara dari dirinya sendiri dan dari dunia menuju Allah. Tingkatan kedua, membawanya dari Allah menuju Allah, ketika dia terombang-ambing antara pemikiran tentang sifat-sifat Ilahi dan pemikiran tentang hakikat ilahi itu.
Tingkatan ketiga, manusia kembali dari Allah menuju dunia dan dirinya sendiri. Tingkatan keempat, ia mulai mengembara dari manusia ke manusia, mempersembahkan kepada masyarakat tentang ajaran moral dan spiritual.
Berdasarkan kenyataan di atas, tampaknya tasawuf dalam pandangan Imam Khomeini memiliki dimensi batin yang secara langsung menyentuh persoalan sosial-kemasyarakatan. Tatanan masyarakat membutuhkan nilai-nilai tasawuf, nilai yang berkaitan dengan kearifan pengalaman esoteris yang transendental (Ilâhiah) yang biasanya lewat bimbingan batin.
Pengalaman merasakan nilai-nilai tasawuf yang membebaskan umatnya dari keterbelengguan dan krisis moral itulah merupakan pengalaman Imam Khomeini yang cukup intens sepanjang pengabdian usia hidupnya. Pengembaraan sufistik lebih banyak menonjolkan pengalaman batin, yang sifatnya amat pribadi dan transendental. Bila tasawuf lebih banyak menekankan pengalaman pribadi, maka hal itu sering dikategorikan sebagai tasawuf pribadi. Setiap proses sufistik senantiasa menumbuhkan apa yang disebut tasawuf sosial.
Komunitas sosial yang taat, dalam arti yang mampu memahami makna batinnya secara sungguh-sungguh, jelas memiliki keunggulan secara kualitatif dibanding dengan komunitas sosial yang hampa dari nilai sufistik. Namun belum tentu menjamin tegaknya tatanan akhlak yang praksis, terlebih jika penghayatan batiniah tersebut jauh panggang dari api (tidak membumi).
Imam Khomeini tidak hanya sebatas berhenti pada hidup zuhud, tetapi mentransformasikan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kesufian Imam Khomeini bukanlah sikap yang mengasingkan diri dari kehidupan politik dan masyarakat ramai, atau menghabiskan waktunya di gua-gua hanya untuk mengejar kesalehan pribadi (sâlihun li nafsihi), melainkan ikut berjuang untuk mengubah masyarakat menjadi masyarakat yang saleh secara sosial (sâlihun li khoirihi).
Dalam pandangan Imam Khomeini, inti seseorang bertasawuf adalah tidak meninggalkan jalan syariat. Bahkan seorang sufi semestinya harus memulai suluknya dengan mendalami dan memahami ilmu-ilmu syariat lebih dahulu dan ilmu-ilmu yang diperoleh dari bukti-bukti rasional (filsafat). Ketika Imam Khomeini menyebutkan derajat yang mesti harus dilewati oleh seorang sufi yang sejati, ia menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan martabat pertama bagi seorang sufi. Tetapi, Imam Khomeini juga mengingatkan akan bahaya bagi seorang Muslim jika sudah merasa puas dengan ilmu zhâhir semacam itu. Sebab ilmu zhahir terkadang dapat menyebabkan seorang sufi terhalang oleh hijab yang sangat besar, yang membelenggu dirinya, sehinga tidak dapat melanjutkan pendakian kederajat lebih tinggi untuk berjumpa dengan-Nya.
Bila ditelusuri lebih jauh, corak tasawuf Imam Khomeini adalah tasawuf yang berdimensi pribadi (individu) sekaligus sosial. Dimensi esoteris yang secara kreatif mampu memadukan ajaran yang bersifat sâlihun li nafsihi dengan sâlihun li khoirihi atau antara hidup zuhud dengan aksi sosial akan berhasil mengantarkan perubahan bagi masyarakat Islam.
Corak ajaran tasawuf Imam Khomeini merupakan model tasawuf yang cukup signifikan untuk dikaji dalam konteks keindonesian dan kemodernan saai ini. Sehingga dapat ditemukan relevansi dan benang merahnya untuk bahan kajian bagi tasawuf di Indonesia.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah dikemukan di atas, nampak terlihat signifikansi kesufian dan kepenyairan Ayatullah Khomeini dengan realitas masyarakat Islam, termasuk kaum muslim di Indonesia. Bila melihat gejala yang muncul dalam sepuluh tahun terakhir, kalangan kelas menengah muslim Indonesia di berbagai kota besar, tiba-tiba mendapat gairah dan pesona baru terhadap ajaran tasawuf, sesuatu yang sebelumnya seakan menghilang dan luput dalam pergaulan hidup mereka.
Di Di bidang puisi, era 1970-an hingga 1980-an dikenal sebagai era munculnya sastra sufi, seperti terlihat dalam kecenderungan prosa Danarto, puisi Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi WM.
Di samping itu, di Indonesia tasawuf mendapat cap dan stigma yang negatif di lingkungan Muhammadiyah—organisasi keagamaan terbesar kedua setelah Nahdhatul Ulama (NU). Tapi beberapa sastrawan Muhammadiyah justru berusaha mengenalkan puisi sufi, seperti dalam sajak-sajak Kuntowijoyo.
Munculnya berbagai sanggar pengajian tasawuf di kota-kota besar dan publikasi besar-besaran buku-buku bertema tasawuf cukup menandakan ajaran tasawuf kembali diminati oleh masyarakat Islam. Budhy Munawar Rachman bahkan melihat gejala kebangkitan tasawuf ini dengan nada sinis. Ia menunjukkan bahwa masyarakat kita tengah mengalami “demam tasawuf, semacam antitesis dari kecenderungan umat Islam yang selama ini lebih mengedepankan fiqh oriented .10
Dalam beberapa tahun terakhir, demikian Azyumardi Azra mengatakan, gejala munculnya tasawuf ke panggung kehidupan sosial juga terlihat lebih jelas. Meskipun menurutnya penelitian yang ilmiah belum pernah dilakukan. Media massa sering melaporkan dan menurunkan tulisan, bahwa buku-buku tasawuf termasuk diantara buku-buku terlaris di pasaran menjadi contoh semaraknya tasawuf. Kursus-kursus tasawuf yang diselenggarakan lembaga semacam LSAF dan Paramadina menarik minat yang cukup tinggi.11 Munculnya kecenderungan untuk memberikan porsi yang besar terhadap dimensi tasawuf pada satu sisi cukup membanggakan sebagai sebuah pengakuan terhadap kembalinya nilai spiritualitas Islam, tapi di sisi yang lain cukup mengkhawatirkan karena ajaran-ajaran tasawuf dalam bentuk spiritualitas sering tanpa ditopang oleh agama tertentu (spiritualitas tanpa agama), yang menjauh dari realitas sosial atas ketidakadilan, korupsi dan kekerasan. Mereka asyik mâsyuk dalam dunia meditasi untuk mendapatkan tiket kesalehan privat. Di sini menarik apa yang pernah disinggung Haidar Bagir dalam suatu kesempatan dimana terdapat beberapa alasan mengapa ajaran tasawuf dipromosikan kembali di berbagai belahan dunia:
Pertama, banyak manusia modern mencari pemuasan dahaga spiritual mereka ditengah individualisme dan materialisme era modern.
Kedua, belakangan ini ada upaya-upaya menarik mundur kebudayaan Islam ke arah Islam klenik, perdukunan, meditasi dengan kedok tasawuf atau tarekat. Pertama dapat dijumpai pada masyarakat Muslim perkotaan yang dahaga terhadap dialektikan spiritual tanpa agama dengan kapitalisme-hedonisme. Kedua dapat dijumpai pada Muslim pedesaan yang ritualistik.12
Tasawuf dengan bentuk spiritualisme perkotaan dicitrakan melulu mengurusi persoalan jiwa manusia serta terkesan menjauh dari realitas sosial yang timpang dan tidak adil. Kenyataan ini membuka perdebatan dan penelitian yang cukup luas bagi kalangan pemikir Islam untuk mencari model “tasawuf alternatif” yang melampaui model tasawuf klasik yang mengedepankan zuhud dan kontemplasi.
Kedua model tasawuf itu pada intinya mengajak keseimbangan antara hidup dunia dan akhirat dan tetap melakukan aktifitas sehari-hari, termasuk bagaimana tasawuf dijadikan refleksi sosial atas ketidak-adilan. Namun, tawaran mereka berhenti pada tataran teoritis, elitis dan tidak kontekstual dan membumi pada tataran praksis sosial.
Berbagai aliran tasawuf dalam Islam kian kompleks, dengan berbagai corak yang beragam. Banyak tawaran tasawuf alternatif semacam tasawuf postif yang di Indonesia dikembangkan oleh Haidar Bagir dan rekan-rekannya.
Sebelumnya, dalam berbagai literature tasawuf kita mengenal istilah tasawuf tradisional dan tasawuf modern. Istilah tasawuf modern barangkali tidak bisa dilepaskan dengan kemunculan buku Hamka.13
Melihat konteks tasawuf di Indonesia semacam itu, model puisi sufi Ayatullah Khomeini tampaknya cukup relevan untuk diteliti lebih mendalam. Pandangan Khomeini tentang tasawuf yang tidak menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat cukup kontekstual untuk mayarakat Muslim di Indonesia. Karena itu, mengungkap dimensi puisi sufi Khomeini, bisa menjadi semacam evaluasi kritis seraya melakukan refleksi dan aksi sosial dan upaya pencarian signifikansi dan relevansinya bagi masa depan ajaran sufi di Indonesia.

2. Pembatasan Masalah

Melihat begitu luasanya kajian pemikiran keislaman yang pernah dikemukakan Imam Khomeini sepanjang hidupnya, yang mencakup banyak aspek dan ruang lingkup; mulai dari hukum Islam, hadits, ushul dan fiqh, filsafat, kalam, politik, ilmu pengetahuan, akhlak, kesusastraan (sajak) dan tasawuf, maka kajian ini akan difokuskan hanya pada dimensi tasawufnya. Untuk bidang tasawuf saja, tidak mungkin semua dimensi tasawuf yang pernah dikemukakan dan disampaikan Imam Khomeini pada murid-muridnya dapat dikemukakan dan dibahas lebih memuaskan.
Oleh karena itu, dalam pokok bahasan ini hanya akan difokuskan dengan tasawuf dalam pandangan Imam Khomeini yang akan dilacak melalui biografinya, karya-karyanya dibidang tasawuf, garis besar isi kandungan karyanya, corak atau model tasawufnya, serta kelebihan dan kelemahan model tasawufnya.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan identifikasi masalah serta pembatasan masalah, maka pertanyaan mendasar yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis ini dapat dispesifikkan dan dikemukakan melalui sistematika berikut ini:

1. Bagaimana pandangan Imam Khomeini tentang tasawuf? Apakah corak tasawufnya dapat di masukkan dalam kategori tasawuf akhlaki atau tasawuf falsafi?
2. Apa kelebihan dan kelemahan dari corak tasawuf yang ditawarkan Imam Khomeini bagi dunia Islam?

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Kajian tentang tasawuf dalam pandangan Imam Khomeini bertujuan untuk menggali substansi dan kandungan tasawuf dalam pandangan Imam Khomeini dalam rangka untuk mengetahui lebih jauh corak atau model tasawuf yang ditawarkannya, signifikansi, sumbangan, kelebihan, serta kelemahannya.
Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan secara proporsional dan sistematik mengenai pandangan Imam Khomeini tentang tasawuf serta tercapainya tujuan-tujuan yang telah dikemukakan di atas. Selain itu, diharapkan kajian ini berguna sebagai kontribusi penulis terhadap khazanah kepustakaan yang dapat dimanfaatkan oleh pemerhati di bidang tasawuf lebih lanjut.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), yakni menelaah karya-karya Imam Khomeini yang berhubungan dengan substansi masalah yang akan dibahas dan dilakukan pemaparan kandungan karya-karyanya, serta penganalisaan masalah yang diarahkan kepada upaya untuk memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang dikaji. Dalam hal penerapan penelitian, metode penelitian yang digunakan meliputi teknis pengumpulan data, sumber data, dan teknis analisis data. Pada tahap pengumpulan data, data diambil dari buku karya primer Imam Khomeini. Misalnya, buku Syarh Du’a Al-Sahar, sebuah pembahasan mistikal dan spiritual dalam bahasa Arab terhadap salah satu dari doa-doa Islam yang paling membangkitkan inspirasi. Buku kedua yakni Mishbâh Al-Hidâyah fi Al-Khilâfah wa Al-Wilâyah. Buku ini membahas beberapa dimensi tasawuf yang cukup mendalam, misalnya tentang khilafah dan wilayah, beberapa segi tasawuf sejak zaman Nabi Muhammad dan Ali bin Abi Thalib, ungkapan-ungkapan wahdat al-wujûd yang biasa dipakai dalam tradisi tasawuf yang dibangun oleh Ibn ‘Arabi. Dalam buku ini, Imam Khomeini juga mengacu pada ajaran seorang sufi, Qadhi Said Qummi. Buku ketiga, Adab al-Shalât, sebuah buku yang menguraikan tingkatan-tingkatan (stasions) atau mâqâmat dalam tasawuf beserta dimensi ruhani perjalanan shalat dari wudhu hingga salam. Buku ini pembahasannya dibagi pada tiga bagian. Bagian pertama membahas adab-adab ibadah secara umum; bagian kedua mengungkap persiapan-persiapan shalat; dan bagian terakhir menguraikan makna hakekat ibadah shalat dari perspektif kaum sufi.
Karya Al Arbaûna Hadîtsan, merupakan karya Imam Khomeini yang aslinya berbahasa Persia dengan judul Chilil Hadits, juga banyak membahas uraian-uraian hadits dalam pendekatan sufistik. Secara umum, buku ini membahas empat puluh hadits yang berkenaan dengan masalah-masalah akhlak dan mistik, seperti tentang Jihad al-nafs, cinta dunia, hawa nafsu dan harapan, fitrah, tafakur, rasa takut, tobat, sabar, zikir kepada Allah, syukur dan pertemuan dengan Allah.
Untuk menganalisis data dan pembahasan lebih jauh, maka kajian ini akan menggunakan pendekatan sejarah (history approach) dan pendekatan kritis-filosofis. Pendekatan kesejarahan diperlukan untuk melihat lebih mendalam sejarah kehidupan seorang tokoh, sifat-sifatnya, watak, pengaruh pemikiran dan idenya, serta lingkungan yang telah membentuk cara pandangnya di kemudian hari. Sementara analisis kritis-filosofis berupa analisis terhadap suatu istilah dan pendapat dengan cara bertanya, membaca dan menyimpulkan.14
Dengan kata lain, analisis kritis-filosofis berupa analisis yang berusaha memberi makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia dalam situasinya yang khusus.15
Metode ini digunakan agar pembahasan ini tidak terjebak pada metode historis-empiris belaka, sehinggga memperoleh gambaran yang lebih utuh dan lebih bersifat fundamental. Dalam penelitian ini juga diharapkan pemaknaan semua konsep pemikiran Imam Khomeini tidak terjebak pada “produk jadi” yang telah ada, melainkan mencakup peristiwa-peristiwa (hal-hal lain) seperti kondisi sosio-kultural dan makna etisnya.
Dengan cara ini akan terpenuhi prinsip koherensi internal yang menghimpun unsur-unsur struktural secara konsisten, sehingga benar-benar merupakan internal structurs atau internal relations yang menjamin pemaknaan atau pemahaman yang benar.16
Berdasarkan hal di atas, maka analisis data dari penelitian ini juga akan membahasan data-data ontologis dan epistemologis serta pemikiran logis yang menjadi tangga penyangga bangunan pemikiran dan ajaran Imam Khomeini.
Analisis filosofis-etis menjadi fokus dari penulisan ini yang berarti penekanan pada makna (meaning), bentuk dan pola dasar dimensi universalitas dari pengalaman sufistiknya.
Di sini pendekatan filsafat akan digunakan untuk melihat lebih dalam model tasawuf Imam Khomeini. Sebab hanya dengan menggunakan metode historis seringkali kurang apresiatif terhadap kandungan normativitas yang selama ini dianggap kontroversial. Menurut Amin Abdullah, pendekatan filsafat relevan untuk kajian pemikiran tokoh dalam mengungkapkan sumbangan yang telah diberikan tokoh tersebut dalam rangka menjaga keutuhan pemikiran yang telah dilahirkannya.17

E. Tinjauan Pustaka

Berawal dari adanya keinginan untuk mengkaji ajaran tasawuf seorang tokoh terkemuka dengan orsinilitas yang tinggi dibidang keilmuan dalam Islam, yakni Imam Khomeini. Kajian tentang Khomeini sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti lain baik berupa buku, tesis, desertasi maupun artikel-artikel pendek. Namun yang paling jarang ditonjolkan secara ilmiah-akademis dari pemikiran Imam Khomeini adalah di bidang tasawuf. Kalau pun ada penelitian dibidang ini, itu pun bukan secara khusus meneliti ajaran tasawufnya, melainkan mencakup spektrum politik-keagamaan secara luas.
Sejauh pembacaan penulis, ada banyak kajian dan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis lain yang berkaitan dengan pemikiran Imam Khomeini, baik penelitian langsung yang berupa karya yang sudah dibukukan maupun dalam
bentuk tesis dengan lingkup nasional maupun internasional. Karena itu, berikut ini akan diuraikan karya-karya penulis lain yang berkenaan dengan pemikiran Imam Khomeini.
1. Abrahamian, Ervand, Khomeinism : Essays on the Islamic Republic, London, 1993. Buku ini mengulas tentang pemerintahan Islam menurut Khomeini dan kriteria yang harus mendominasi pemerintahan tersebut dengan dua kategori. Pertama, pemerintahan didasari oleh pemilihan umum. Kedua, orang-orang yang dipilih harus berdasarkan ajaran Islam.
2. Algar, Hamid, Islam and Revolution : Writing and Declaration of Imam Khomeini, Berkeley, 1981. Buku ini merupakan cuplikan dari buku karya Imam Khomeini, Kasyf al-Asrâr, yang menyingkap rahasia tentang pengecaman terhadap politik Syah, tentang pemerintahan Islam yang dipegang oleh para Mullah.
3. Mozafari Mehdi, Authority in Islam : From Muhammad to Khomeini, London, 1987. Buku ini membahas tentang wewenang untuk memilih seorang pemimpin suatu negara atau kepemimpinan agama dan politik dalam islam, baik dari ajaran nabi Muhammad sampai pada pemikiran Khomeini serta tentang doktirn teologi dan politik Syi’ah.
4. Zubaidi Mastal, Imam Khomeini, Ide dan Pemikirannya : Studi Mengenai Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, IAIN, Tesis, Jakarta, 1988. Tesis ini memuat ide dan pemikiran Khomeini yang mencakup pembahasan masalah hukum Islam (Vilayat al-Faqîh) sebagai model bagi tatanan kenegaraan pasca Revolusi Islam Iran.
5. Tasliah, Wilayat al-Faqîh Dalam Pemikiran Imam Khomeini dan Kemungkinan Penerapannya Di Indonesia Pada Era Reformasi, IAIN, Tesis, Jakarta, 2000. Tesis ini mengangkat pemikiran politik Imam Khomeini yang bertalian erat dengan konsep politik Wilayat al-Faqîh, serta membandingkan posisi ulama dalam konsep Wilayat al-Faqîh Imam Khomeini dengan kondisi objektif yang terjadi di Indonesia terutama pada era Reformasi.
6. Fitri Yanti, Imam Khomeini : Studi Tentang Pemikiran Politik dan Aktivitas Dakwah, UIN, Tesis, Jakarta, 2002. Tesis ini mempelajari pemikiran politik Imam Khomeini sekaligus untuk mengetahui secara kritis aktivitas dan metode dakwah Imam Khomeini, sehingga misi dan tujuan dakwahnya berhasil. Tesis ini juga menganalisis kontribusi politik dan dakwah Imam Khomeini sehingga hubungan antara keduanya berhasil menerapkan prinsip-prinsip tersebut.
7. Jalaluddin Rakhmat, “Tasawuf dalam Pandangan Imam Khomeini”, dalam Sukardi (ed), Kuliah-Kuliah Tasawuf, Bandung, Pustaka Hidayah, 2000. Jalaluddin Rakhmat hanya mengulas ajaran tasawuf Imam Khomeini sepintas lalu dan lebih banyak memfokuskan pada pembahasan surat-surat Imam Khomeini yang pernah dikirimnya kepada mantan Presiden Uni Soviet, Michail Gorbachev. Di samping itu, Jalaluddin Rakhmat menyorot ungkapan-ungkapan kekagumannya pada Imam Khomeini sebagai seorang sufi. Ia juga mengakui sendiri bahwa artikelnya hanya sekadar pemantik awal atau pengantar bagi mereka yang ingin mengkaji lebih jauh tentang ajaran tasawuf Imam Khomeini.

Berdasarkan kajian pustaka di atas, penulis melihat belum terdapat karya yang secara spesifik mengulas tasawuf dalam pandangan Imam Khomeini secara lebih komprehensif. Dalam usaha mengkaji pandangan Imam Khomeini tentang tasawuf dalam tesis ini, maka penulis akan merujuk karya-karya Imam Khomeini sendiri dalam bahasa Arab, seperti Syarh Du’a A-Sahar (1980), Adab al-Shalât (1991), Mishbâh Al-Hidâyah fi Al-Khilâfah wa Al-Wilâyah (1981), Al Arbaûna Hadîtsan (1986). Mengingat sudah banyak karya-karya Imam Khomeini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka penulis juga akan banyak merujuk pada karya terjemahan berikut Ini :
1. Mata Air Sumber Kecemerlangan, terjemahan Zainal Abidin, (Bandung: Mizan, 1991)
2. Jihad Akbar, terjemahan Ibrahim Mahmudi (Bandung : Yayasan AS-Sajjad, 1991)
3. Pesan Sang Imam, diterjemahkan dan disusun oleh Sandy Alison (Bandung : Al-Jawad, 2000)
4. Mi’raj Ruhani Tuntutan ‘Amali Shalât ‘Arifîn, terj. Hasan Rakhmat dan Husin Shahab (Bandung, Mizan, 1993)
5. Rahasia Basmalah dan Hamdalah, terjemahan Zulfahmi Andri (Bandung, Mizan, 1994)
6. Wasit Sufi Ayatullah Khomeini Yang Tidak Banyak Diketahui, disusun dan diterjemahan oleh Yamani (Bandung, Mizan, 2001).
7. Cahaya Sufi: Jawaban Imam Khomeini terhadap 40 Soal Akhlak dan Irfan. Diterjemahkan oleh Faruq Khirid (Jakarta: Misbah, 2003).
8. Insan Ilâhiah : Menjadi Manusia Sempurna dengan Sifat-sifat Ketuhanan: Puncak Penyingkapan Hijab-hijab Duniawi, terjemahan M. Ilyas (Jakarta : Pustaka Zahra, 2004).

F. Sistematika Pembahasan 

Pembahasan disusun dalam lima bab; dua bab masing-masing berisikan pendahuluan dan penutup, dan tiga bab lainnya tentang pembahasan berupa pokok masalah mengenai tasawuf menurut Imam Khomeini. Secara sistematika, akan diklasifikasikan sebagai berikut : 
Bab pertama adalah pendahuluan, pada bab ini penulis kemukakan lima hal yang meliputi (a) Latar Belakang Masalah, (b) Permasalahan yang terdiri dari : 1. Identifikasi Masalah, 2. Pembatasan Masalah, 3. Perumusan Masalah, (c) Tujuan dan Kegunaan Penelitian, (d) Metode Penelitian, (e) Studi Pustaka. Dalam bab ini, penulis berusaha memfokuskan dan mengarahkan pembahasan pada ide tasawuf menurut Imam Khomaini serta menggambarkan peran tasawuf pada awalnya, kemudian sejarah perkembangannya, ide atau gagasannya, sehingga diharapkan bab I ini dapat menjadi sketsa awal dari pembahasan tesis.
Bab kedua, membahas tentang Tasawuf Dalam Perspektif Syi’ah, meliputi : (a) Tasawuf Dalam Lintasan Sejarah yang terdiri dari : 1. Pengertian Tasawuf, 2. Akar Tasawuf di Dunia Islam, 3. Perkembangan Tasawuf Dalam Islam. (b) Tasawuf Dalam Perspektif Syi’ah yang terdiri dari : 1. Akar Tasawuf dalam Syi’ah, 2. Pembagian tasawuf dalam Syi’ah, 3. Imamah dan Tasawuf dalam Syi’ah, 4. Tasawuf dan Filsafat
Bab ketiga, memuat Substansi Tasawuf Imam Khomeini, berisi: (a) Substansi Tasawuf Imam Khomeini dalam Beberapa Karyanya, (b) Imajinasi Sastra Sufistik.
Bab keempat, Dari Tasawuf Falsafi Menuju Tasawuf Sosial, terdiri dari : (a) Tasawuf Falsafi: Antara Penyokong dan Penentang yang meliputi : 1. Tuhan Sebagai Manifestasi, 2. Tajalli dan Konsep Realitas Absolut, 3. Konsekuensi dari Konsep Tajalli, 4. Wahdat al-Wujud. (b) Tasawuf Sosial : Sebuah Model Tasawuf Kontemporer, (c) Kelemahan Tasawuf Imam Khomeini.
Bab kelima, merupakan refleksi dari berbagai usaha penelitian dan penulisan yang penulis lakukan. Bab ini terdiri dari dua bagian, yaitu (a) Kesimpulan dan (b) Saran-saran.






BAB II
TASAWUF dalam Perspektif Sunni dan SYI’AH


A. Tasawuf Dalam Lintasan Sejarah
1. Pengertian Tasawuf

Dalam mazhab Syi’ah, hampir tak pernah dikenal istilah tasawuf atau sufi, melainkan irfan dan kaum arif. Oleh karena itu, membicarakan tasawuf dalam satu mazhab seakan memasuki rimba-raya yang luas, apalagi jika ditinjau dari dua mazhab.
Dari segi istilah, kata ”tasawuf” tidak begitu asing dalam Islam. Namun, beberapa sarjana berbeda pendapat ketika mengungkap darimana asal kata ”tasawuf” tersebut. Harun Nasution mengatakan: kata tasawuf ( التصوف ) berasal dari kata sufi ( صوفى ).1
Menurut sejarah, orang pertama yang memakai kata sufi adalah seorang zahid atau ascetic Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w. 150 H). Untuk mendifinisikan tasawuf,2 dapat dilihat dari dua pendekatan; pendekatan secara etimologi (bahasa) dan terminologi (istilah). Adapun secara etimologi, ada beberapa istilah :
1. Ahl al-Suffah ( أهل الصفة ) orang-orang yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah ke Madinah, dan karena kehilangan harta, berada dalam keadaan miskin dan tidak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal di masjid nabi dan tidur di atas bangku- bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana disebut suffah. Inggrisnya sadle-cushion dan kata sofa dalam bahasa Eropa berasal dari kata suffah ( صفة ). Sungguhpun ahl-suffah miskin, mereka berhati baik dan mulia. Sifat tidak mementingkan keduniaan, miskin tetapi berhati baik dan mulia itulah sifat-sifat kaum sufi.
2. Shaf ( صف) pertama. Sebagaimana halnya dengan orang yang sembayang di shaf pertama mendapat kemulian dan pahal, demikian pula kaum sufi dimuliakan Allah dan diberi pahala.
3. Sûfi ( صوفى ) dari kata( صافى ) dan ( صفى ) yaitu suci. Seorang sufi adalah orang-orang yang telah menyucikan dirinya melalui latihan berat dan lama
4. Sophos, kata Yunani yang berarti hikmat. Orang sufi betul ada hubungannya dengan hikmat, hanya kaum sufi pula yang mengetahui. Pendapat ini banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk ke dalam kata فلسفة dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan س dan bukan ص seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5. Sûf (صو ف ), atau kain yang dibuat dari bulu wol. Hanya kain wol yang dipakai kaum sufi adalah wol kasar dan bukan wol halus seperti sekarang. Memakai wol kasar di waktu itu adalah simbol kesederhanaan. Lawannya ialah kain sutera, yang banyak dipakai oleh orang-orang kaya. Kaum sufi hidup sederhana dan dalam keadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pemakaian sutera dan sebagai penggantinya wol kasar.3
Dari beberapa istilah di atas, menurut Harun Nasution, dan juga Mir Valiuddin, kata sûf (kain wol) merupakan istilah yang paling banyak diterima dan mendekati ketepatan. Kain wol yang dipakai para sufi merupakan simbol kesederhanaan dan ciri seorang sufi adalah hidup sederhana.4
Beberapa tokoh juga mencoba mendifinisikan tasawuf dari segi terminologinya. Annemarie Schimmel mendifinisikan tasawuf sebagai kesadaran terhadap Kenyataan Tunggal, yang mungkin disebut kearifan, Cahaya, Cinta atau Nihil. Definisi semacam ini hanya sekedar petunjuk saja, sebab pada kenyataan yang menjadi tujuan tasawuf jauh lebih penting dan tak terdefinisikan. Hanya kearifan gnosis yang bisa mendalami beberapa di antara segi-seginya.5
Sementara Hamka mendefinisikan tasawuf dengan memulai kalimat Ash-Shûfi man shafâ qalbuhu lilâhi (seorang sufi ialah yang telah bersih hatinya, semata-mata buat Allah). Hamka merujuk beberapa definisi tasawuf dari berbagai tokoh. Bardar bin Al-Husain mengatakan :

“Sufi ialah orang yang telah memilih Al-Haq (Allah) semata-mata untuk dirinya, dan tidak mendorongnya bekerja memaksa-maksa dan membuat dengan hanya semata-mata da’wa”. Sementara Abu ‘Ali Al-Ruzbari, berkata: “seorang shufi ialah yang memakai kain shuf untuk membersihkan jiwa, memberi makan hawannya dengan kepahitan, meletakkan dunia di bawah tempat duduknya, dan berjalan (sulûk) menurut contoh Rasul Mustafa”. Sedangkan Shal bin ‘Abdullah al-Turturi, berkata: “orang sufi ialah yang bersih daripada kekeruhan, penuh dengan fikiran, putus dengan manusia karena menuju Allah, dan sama baginya harga emas dengan harga pasir”. Ma’arûf Al-Karakhi: “ tasawuf ialah mengambil hakikat, dan putus dari apa yang ada dalam tangan sesama makhluk”. Abu Muhammad Al-Jurairai, berkata: “ tasawuf ialah masuk ke dalam budi menurut contoh yang ditinggalkan nabi, dan keluar daripada budi yang rendah”. Ruaim berkata: “ tasawuf ditegakkan atas tiga perangai. Berpegang teguh dengan kefakiran, membuktikan kesungguhan berkurban dan meniadakan diri, meninggalkan banyak kepentingan dan banyak pilihan”. Junaid berkata: “ tasawuf ialah ingat kepada Allah walau dalam beramai-ramai, rindu kepada Tuhan dan sudi mendengarkan dan beramai-ramai dalam lingkungan mengikuti contoh yang ditinggalkan Rasul”.6

Dari apa yang dikemukakan di atas, inti tasawuf adalah beribadah langsung kepada Allah sedekat-dekatnya dan kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dan mengosongkan diri serta berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihâd bersatu dengan Tuhan.7
Dari pendapat di atas, nampaknya terdapat benang merah yang menghubungkan istilah tasawuf dalam Islam merupakan ajaran yang berdimensi kerohanian yang memiliki pijakan sejarah yang orisinal. Namun mendefiniskan kata tasawuf dalam arti yang dapat diterima oleh semua pihak adalah sesuatu yang hampir mustahil, sebab sebagaimana terlihat dari beragam pendapat di atas, umumnya tasawuf yang dianut oleh para sufi adalah hasil pengalaman batin dalam melakukan hubungan dengan Tuhan. Jelas di sini apabila berbicara mengenai tasawuf, maka faktor rasa lebih menonjol daripada nalar atau rasio, bahkan kadang-kadang rasio kurang dapat menangkap kedalaman rasa dan penghayatan. Namun bukan berarti faktor rasa dan rasio saling bertentangan dan terjadi dikotomi, justru para sufi belakangan seperti Imam Khomeini mampu memadukan dan mempertemukan rasa dan rasio atau ajaran tasawuf dengan ajaran filsafat. Kedua dimensi ajaran Islam ini mendapat porsi yang sama besar dengan ajaran figh dan syari’at.


2. Tasawuf dalam Islam

Dari semula, di dunia Islam telah ada kecenderungan-kecenderungan yang dikenal dengan sebutan tasawuf, dan dari abad IV/X sampai VII/XIV bahkan pernah menjadi ajaran yang dominan di negara Iran dan Turki. Saat ini dibelahan dunia Islam terdapat berbagai sekte sufi yang menunjukkan kecenderungan serupa pada masa awal kelahirannya. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek sejarah, wajar jika timbul pertanyaan apakah tasawuf memang terdapat dalam ajaran Islam ataukah diambil dari ajaran agama lain, sehingga apa yang disebut tasawuf di kalangan umat Islam bukanlah tasawuf Islam sejati?8
Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan di atas, sebagian kalangan menyangkal mutlak keberadaan tasawuf dalam ajaran Islam dan menganggapnya sebagai penyimpangan yang harus ditolak. Kalangan lain berpendapat bahwa tasawuf berasal dari luar konteks Islam. Sejalan dengan pendapat ini, ada yang berpendapat bahwa tasawuf adalah bid’ah yang bisa diterima dalam Islam, sebagaimana kerahiban (kehidupan pastoral) dalam ajaran Kristiani.9
Harun Nasution mempunyai penjelasan yang lebih cenderung mengelaborasi sumber tasawuf bukan berasal dari tradisi Islam. Ada beberapa argumen Harun Nasution terhadap pendapatnya mengenai asal-usul tasawuf :
a. Pengaruh Kristen dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang Pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang di malam hari menjadi petunjuk bagi jalan kafilah yang lalu, kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi musafir yang kelaparan…dikatakan bahwa zahid dan sufi Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri, adalah atas pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen ini.
b. Filsafat mistik Pythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah di alam samawi. Untuk memperoleh senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh, meninggalkan hidup materi, yaitu zuhd, untuk selanjutnya berkontemplasi. Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi, inilah menurut pendapat sebagian orang, yang mempengaruhi timbulnya zuhd dan sufisme dalam Islam.
c. Filsafat emanasi plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor, dan untuk kembali ketempat asalnya roh harus terlebih dulu dibersihkan. Pencucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat-dekatnya, kalau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatkan pula bahwa filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.
d. Ajaran Budha dengan paham nirwananya. Untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana’ yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham nirwana.
e. Ajaran-ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.10

Pandangan yang dikutip di atas tentu tidak sepenuhnya dapat diterima. Meski ada aspek-aspek yang sama, apakah karena ada kesamaan, lantas tasawuf dalam Islam bisa disimpulkan berasal dari ajaran agama lain? Dengan pertanyaan lain, apakah karena ada kemiripan, atau pengaruh dari eskatisme Kristen lalu dengan begitu dapat diambil kesimpulan bahwa tasawuf bersumber dari ajaran agama Kristen? Dengan begitu, maka kesimpulan akhirnya adalah apa yang disebut tasawuf bukanlah ajaran Islam yang sejati, melainkan rembesan atau hasil pengaruh agama lain disebabkan oleh yang satu mempengaruhi yang lain dan menuduh yang kena pengaruh tidak orisinal.11
Dalam menanggapi beberapa pertanyaan di atas, sebagian kalangan memang ada yang mendukung bahwa ajaran tasawuf dalam Islam bersumber dari luar. Namun, para sarjana modern telah banyak meneliti dan mengkaji tentang asal-usul sufisme dan menemukan bahwa tasawuf merupakan ajaran Islam yang lahir dari al-Qur’an dan sunnah.
Kesamaan seperti itu bisa juga ditemukan dalam hukum-hukum syari’at dalam Islam dan dalam agama-agama Samawi lainnya. Ini juga bukan berarti bahwa hukum agama yang belakangan muncul diambil dari hukum agama yang sebelumnya.12
Murtahada Muthahhari dan Fazlur Rahman menyangkal pendapat yang menyatakan bahwa tasawuf bukan berasal dari tradisi Islam, melainkan adopsi dan adaptasi dari ajaran teologi Kristen dan filsafat Barat. Tasawuf justru adalah “jantung” Islam itu sendiri.13
Begitu juga menurut Hamka, secara khusus permulaan timbulnya kerohanian sebagai asal-usul tasawuf dalam Islam dimulai dengan perikehidupan Nabi Muhammad sendiri. Mengenai hal itu lebih lanjut Hamka menjelaskan sebagai berikut :

Jika kita perhatikan, tatkala Muhammad menyisihkan dirinya di gua Hira, menilik keindahan ciptaan, lalu kita perbandingkan dengan kehidupan orang-orang zahid dan ‘Abid, yaitu ahli tasawuf yang datang kemudian, dapatlah dengan mudah kita melihat persamaan mereka dengan kehidupan nabi. Dan dapatlah kita menyesuaikan jalan yang kita tempuh dengan latihan dan perjuangannya dan perasaan yang memenuhi jiwanya kepada
hidup kerohanian yang suci, terlepas dari segala pengaruh yang telah dimulai nabi Muhammad. Kemana jua pun mereka menoleh, tersimbah dihadapan mereka tirai kebenaran. Mereka mendapatkan kekayaan yang tidak dapat dinilai dengan apa pun, yaitu kekayaan ma’rifat, kekayaan kenal akan Tuhan.

Mereka pernah membaca dan merasa, apa yang pernah dibaca dan dirasa Nabi yaitu nama Tuhan Yang Maha Mulia, yang mengajari dengan qalam, mengajari manusia apa yang mereka tidak tahu.14

Dengan melacak beberapa argumen dan pendapat beberapa sarjana di atas, dapat dipahami bahwa tasawuf memiliki akar yang dalam Islam sejak abad pertama Hijriyah. Mengakui adanya sumber Islam dalam tasawuf tidak berarti lantas mengingkari pengaruh sumber-sumber asing. Akan tetapi, yang dimaksudkan adalah meletakkan pengaruh tersebut pada proporsi yang sebenarnya dan tidak dibesar-besarkan. Adalah tidak layak apabila meletakkan sumber-sumber asing saja padahal terdapat fenomena yang justru lebih dekat kepada semangat Islam terutama dari perspektif Al-Qur’an dan Sunnah. Demikian pula, merupakan sikap keilmuan yang lebih fair apabila dalam menentukan pengaruh sumber-sumber asing tidak hanya mengandalkan pengamatan terhadap adanya “kemiripan”. Tasawuf pada dasarnya adalah “rasa” dan pengalaman, sedangkan jiwa adalah universal. Oleh karena itu, bisa saja suatu pengalaman ditemukan sama meski tidak ada kontak satu sama lain.15
Jalaluddin Rakhmat bahkan menegaskan bahwa tasawuf yang bermakna maha luas itu dipersatukan oleh otoritas wahyu Al-Qur’an dan teladan rasulullah Saw.16 Pandangan yang cukup moderat mungkin bisa diwakili oleh apa yang dikatakan oleh Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, meski ada dasar yang kuat tentang ajaran tasawuf dalam Islam, namun yang bisa dianggap sebagai ajaran atau keyakinan Islam yang sejati bukanlah sekedar apa yang bisa kita temukan pada aliran tertentu atau sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam. Karena, jika demikian maka Islam pastinya akan menjadi suatu keyakinan yang penuh dengan kontradiksi dengan tatanan nilai yang saling bertentangan. Pada saat yang sama, kita mengakui kesejatian tasawuf Islam, yang derajat tertingginya diraih oleh nabi Muhammad, namun sulit menyangkal adanya beberapa elemen asing yang diadopsi oleh para sufi dan cukup banyak pandangan dan tingkah laku para sufi yang memang diragukan kebenarannya.17
Untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, seorang sufi dituntut untuk mengamalkan ajaran-ajaran yang dapat mengantarkan pada tingkat memperoleh hubungan langsung dengan-Nya. Dalam usaha menyingkap tabir atau hijab yang membatasi diri dengan Tuhan, kaum sufi telah membentuk trilogi sitem; Takhalli, Tahalli, Tajalli, tiga jalan yang digunakan untuk mensucikan diri dari segala sifat-sifat tercela.
Takhallii adalah upaya untuk membersihkan diri dari sifat-sifat tercela seperti; hasad, haqd, su’udzan dan semacamnya. Sedangkan Tahalli adalah mengisi diri dengan sifat-siat terpuji. Sementara Tajalli adalah terungkapnya nur ghaib untuk hati atau hilangnya hijab dan sifat-sifat tercela.18

3. Perkembangan Tasawuf Dalam Islam

Secara historis, tasawuf telah mengalami perkembangan melalui beberapa tahap sejak kemunculannya hingga sekarang. Ada pendapat menyatakan bahwa kemunculan tasawuf merupakan dorongan yang kuat dari dua arah; pertama, lingkungan yang mewah dan kenikmatan duniawi yang pada umumnya merata dikalangan masyarakat Islam dengan kemantapan dan konsolidasi kerajaan baru Daulat Umaiyah yang luas. Selain itu, munculnya tasawuf sebagai reaksi dari sikap hidup yang sekular. Kemunculannya pada abad pertama sampai abad kedua Hijriah bercorak murni etis, dengan pendalaman batin dengan zuhud. Kedua, kemunculannya sebagai reaksi atas paham Khawarij dan pertentangan politik yang ditimbulkannya. Corak kedua ini bersifat isolasionisme tidak hanya masalah politik tetapi juga masalah masyarakat pada umumnya dan menyepi ke dalam gua dan meninggalkan masyarakat luas.19
Tahap pertama, sebagaimana dikemukakan di atas, merupakan tahap dimana kelahiran tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriah dapat dikategorikan tasawuf dalam bentuk zuhud, dengan pengertiannya yang sederhana, yakni menjauhkan diri dari kehidupan dunia. Kehidupan model zuhud dan ibadah praktis semacam ini kemudian berkembang pada abad ke-3 H dan ke-4 H ketika kaum sufi mulai memperhatikan aspek-aspek teoritis psikologis dalam rangka pembentukan prilaku.
Lalu kemudian tasawuf berkembang menjadi sebuah ilmu akhlak keagamaan. Dari sini lalu lahir kitab-kitab tasawuf, dan muncul pula konsep tasawuf bercorak fanâ’, hulûl, yang kemudian hari dijuluki sebagai tasawuf falsafi. Pada abad ke-5, dengan kemunculan seorang sufi seperti Al-Ghazali, maka tasawuf bercorak falsafi yang dianggap telah menyimpang dan keluar dari ajaran Islam mulai dibersihkan. Kritik-kritik tajam terhadap berbagai pemikiran filsafat dan pemikiran Mu’tazilah, serta berbagai aliran kebatinan telah mengukuhkan bagi dasar-dasar tasawuf yang lebih “moderat”, yakni tasawuf Sunni.
Sejak penampilan Al-Ghazali, pengaruh Sunni mulai menyebar di setiap penjuru dunia Islam, bahkan muncul tokoh-tokoh sufi terkemuka yang membentuk tarekat untuk mendidik para murîd, seperti Syaikh Ahmad Al-Reifa’i (w. 570 H) dan Syaikh ‘Abdul Al-Qadir Al-Jailani (w. 651 H), yang sering dijuluki sebagai yang pertama kali mendapatkan laqâb sufi.20 Sementara itu, pada abad ke-6 dan ke-7 H, tasawuf falsafi kembali mengalami kebangkitan dengan lebih berorientasi filsafat-gnostik, yang memperkenalkan pemikiran-pemikiran, antara lain; Al-Suhrawardi Al-Maqtul, tokoh ilmu huduri (w. 587 H), Al-Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi (w. 638 H), Sultan para perindu dan penyair Mesir, Umar ibn Al-Faridh (w. 632 H), dan ‘Abd Al-Haqq ibn Sabiin (w. 669 H).
Pada abad ke-8 H muncul tasawuf dalam bentuk ungkapan-ungkapan yang menggunakan sajak (ghazal) seperti Khawajah Hafizh Asy-Syirazi yang menjadi penyair pavorit masyarakat Iran modern. Sayyid Haydar al-Amuli yang juga telah mengilhami Imam Khomeini di bidang tasawuf.21
Perkembangan selanjutnya, tasawuf terbagi menjadi dua aliran besar. Pertama, tasawuf Sunni atau tasawuf akhlâkî yang dipelopori oleh para sufi pada abad ke-3 H dan abad ke-4 H yang disusul kemudian oleh kemunculan Al-Ghazali dan para pengikutnya (syaikh-syaikh tarekat), yaitu tasawuf yang berwawasan moral praktis dan bersandarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, tasawuf falsafî yang menggabungkan tasawuf dengan berbagai aliran filsafat dan mistik.22
Dalam lintasan sejarah, penganut tasawuf sunni dan tasawuf falsafi seringkali terjadi konflik atau perbedaan pendapat. Pada akhir abad ke-6 H bermunculan tarekat-tarekat yang sebagian besar mulai mengorientasikan pandangannya pada fiqh dan syari'at. Di Indonesia, mirip seperti pertentangan antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Di Indonesia pertentangan antara Nurdin Ar-Raniri dan Hamzah Fansuri.
Dengan fatwa yang menyeramkan, Nurdin Ar-Raniri menjatuhkan veto kafir atas ajaran Fansuri. Menurut Ar-Raniri, tasawuf falsafi tak lebih sebagai ajaran kebatinan dan kejawen, bahkan ajaran Nasrani yang berbaju Islam.
Dalam babakan sejarah peradaban Islam awal, tasawuf falsafi tidak ubahnya anak haram; selalu dikejar-kejar dan disingkirkan seperti anjing kurap penyebar virus berbahaya bagi akidah. Puncak dari perseteruan itu terjadi tatkala Syekh Siti Jenar dieksekusi mati oleh dewan wali (Wali Songo) karena dianggap telah keluar dari rel ajaran Islam murni. Ini mirip dengan kasus yang menimpa Al-Hallaj.
Benarkah tasawuf falsafi telah menyimpang dalam esensi ajaran Islam? Tampaknya tidak mudah menyimpulkan secara simplistis. Namun dari pra-anggapan semacam ini, Alwi Shihab dengan jenial dan piawai melakukan rangkaian pembelaan dan anotasi kesalahan persepsi Nurdin Ar-Raniri atas ajaran tasawuf Hamzah Fansuri secara khusus dan tasawuf falsafi pada umumnya. Menurut Alwi, Ar-Raniri menyerang Fansuri dengan tidak mengikuti pendekatan "ilmiah obyektif" melainkan cara-cara propaganda apologetik. Ia menghujat penganut tasawuf falsafi sebagai murtad yang kemudian dihalalkan darahnya dan menyebabkan jatuhnya ribuan korban yang tak berdosa. Adalah benar, kata Alwi, Nurdin Ar-Raniri cukup berjasa dalam menancapkan akar tasawuf sunni, tetapi jasa baik itu tak lantas membuat kita menutup mata dari kesewenang-wenangan fatwanya yang menyeramkan.23
Kesalahan fatal penganut tasawuf sunni adalah kesimpulan mereka bahwa ajaran Ronggowarsito merupakan diaspora dari tasawuf falsafi. Padahal dalam karya-karya sosok yang disebut-sebut Bapak Kebatinan Indonesia ini, seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati, yang sering diaku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah, menyimpan beberapa kesalahan tafsir dan transformasi pemikiran yang sangat mencolok.
Bahkan, Alwi Shihab menemukan bahwa Ronggowarsito hanya mengandalkan terjemahan buku-buku tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan perbandingan dengan naskah asli bahasa Arab. Lagi pula Ronggowarsito sendiri belum pernah bersentuhan langsung dengan karya-karya Al-Hallaj maupun Ibn 'Arabi yang merupakan maestro tasawuf falsafi. Boleh dibilang Ronggowarsito memang tak berhasil memahami ajaran "murni" tasawuf.24
Maka bagi Alwi Shibab, sungguh aneh bila tasawuf falsafi dipahami sebagai aliran kebatinan dalam ajaran Hindu dan Buddha, seperti dituduhkan kalangan tasawuf sunni. Reaksi atas perkembangan tasawuf falsafi yang rasional inilah orang mengembangkan doktrin-doktrin filosofis, yang justru bisa diatasi ketika ajaran "panteisme" al-Husayn bin Manshur al-Hallaj berkta: Ana al-Haqq atau Abu Yazid al-Bisthami berkata: Subhani. Subhani.25
Belum lagi doktrin-doktrin wahdat al wujûd Ibn 'Arabi dan ilmu hudhuri (iluminasi) Suhrawardi, yang juga menjadi rujukan utama tasawuf falsafi, mampu menampung kebutuhan sementara kaum kebatinan atau kaum sinkretik Hindu dan Buddha.
Oleh karena itu, sangat tidak bijak rasanya bila kemudian kita mengatakan bahwa perkembangan tasawuf sunni merupakan satu-satunya variabel yang menyemarakkan aktivitas keagamaan di Nusantara. Kita juga harus menerima bahwa orang-orang berpaham kebatinan yang merupakan tetesan penerus tasawuf falsafi yang dibawa Ibn 'Arabi dan Al-Hallaj dan diperkenalkan Fansuri dan Sitti Jenar sebagai bagian dari penyebaran Islam.
Dikotomi antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi sebenarnya terjadi karena salah kaprah. Dikatakan salah kaprah karena pembagian ini sesungguhnya menyimpan asumsi bahwa di samping ada tasawuf sunni yang asli islami, ada pula tasawuf filosofis yang “anti syari’at”. Dikotomi antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi dalam prakteknya ternyata lebih banyak merugikan dan menyudutkan tasawuf falsafi. Sayangnya, akibat pembagian dikotomis semacam itu, alih-alih mempertegas substansi tasawuf itu sendiri, malah lebih banyak mendistorsi jantung Islam sendiri ketimbang menjelaskannya. 26
Untuk sekedar persoalan varian dan tipe-tipe tasawuf, barangkali tidak ada salahnya jika beberapa varian tasawuf tersebut tetap dipertahankan, namun secara substansi ia tidak memperjelas makna sebenarnya. Karena itu, dalam tulisan ini, meski banyak kritikan, tetap akan dikemukakan sekilas tentang karakteristik dari masing-masing varian tersebut.
Jika merujuk pada Asmaran, ia memetakan sejarah perkembangan tasawuf dalam tiga periode, yang setiap periode mempunyai karakteristiknya masing-masing. Periode-periode yang dimaksud adalah periode abad pertama dan kedua Hijriah, periode abad ketiga dan keempat Hijriah, periode abad kelima Hijriah dan periode abad keenam dan seterusnya.27
Setiap periode memiliki tipe dan modelnya sendiri-sendiri. Pada suatu periode akan berbeda dengan periode lainnya. Pada periode abad pertama dan kedua Hijriah misalnya, tasawuf lebih bercorak akhlaqi; yakni pendidikan moral dan mental dalam rangka pembersihan jiwa dan raga dari pengaruh-pengaruh duniawi. Periode abad ketiga dan keempat bercorak psiko-moral; dan perhatian mereka pada dasarnya diarahkan pada moral dan tingkah laku.
Pada periode abad ketiga dan keempat ini muncul gerakan tasawuf falsafi, dan benih perbedaan antara aliran tasawuf sunni dan tasawuf falsafi mulai terlihat.
Pada periode abad ke lima merupakan puncak tasawuf sunni dengan munculnya Al-Ghazali, maka tasawuf falsafi tenggelam. Sedangkan pada periode abad ke enam dan seterusnya, tasawuf falsafi yang sempat terbenam akibat serangan-serangan Al-Ghazali mengalami kebangkitan kembali yang puncaknya terlihat pada tasawuf Ibn ‘Arabi.28
Sudah berlangsung dari tahun ke tahun, tasawuf mengalami pasang surut. Ada saat-saat tertentu dimana tasawuf dapat diterima penuh oleh masyarakat Muslim, pada saat yang sama ia juga ditolak karena banyak praktek-praktek tasawuf dianggap “menyimpang” dari tradisi Islam. Kenyataan ini akan terus berlangsung dan berkembang seiring dengan proses perkembangan Islam itu sendiri.


B. Tasawuf Dalam Syi’ah

1. Akar Tasawuf dalam Syi’ah

Diskusi perihal tasawuf di dunia Islam selalu menarik perhatian. Tasawuf, sebagai jantung Islam ternyata paling banyak mengandung kontrosversi dan penuh dengan perdebatan, tak terkecuali dalam dunia tasawuf sunni dan syi’i. Dalam menelusuri akar tasawuf dalam dunia Syi’ah, ada beberapa argumen yang dapat dikemukakan.
Thabathabai’i mendefinsikan Syi’ah sebagai “orang yang memandang pengganti Nabi s.a.w. sebagai hak khusus keluarga Nabi, dan adalah orang yang, dalam bidang ilmu-ilmu dan budaya Islam mengikuti ahl-bait Nabi”.29
Selanjutnya, Thabathaba’i menyatakan bahwa tasawuf pada mulanya tumbuh dalam tradisi Islam Sunni, baru kemudian diikuti oleh mazhab Islam Syi’ah.30Meski demikian, ajaran tasawuf kemudian dapat dilacak dan ditelusuri dalam mata rantai pemimpin spiritual Islam, yakni ‘Ali bin Abi Thalib. Mata rantai silsilah spiritual ini mirip silsilah keturunan.
Uraian berbagai visi dan intuisi dari kaum sufi kurun awal yang juga sampai kepada kita sebagian besar mengandung unsur-unsur kehidupan spiritual yang ditemukan dalam ucapan ‘Ali dan Imam lainnya dikalangan ahl bait. Di antara sahabat-sahabat nabi, Ali31 dikenal sebagai sufi pertama setelah nabi Muhammad.
Ali dikenal karena ungkapan-ungkapannya mengenai tasawuf yang terbukti juga karena kezuhudannya. Dikalangan Syi’ah, Ali merupakan pribadi yang patut dicontoh, dan terkadang dianggap sebagai pribadi yang sepantasnya dijadikan teladan satu-satunya setelah Nabi Muhammad. Namun, dalam hal tasawuf, baik dikalangan Sunni maupun Syi’i, keduanya sepakat meletakkan Ali sebagai sufi pertama dalam silsilah para sufi Islam.
Victor Danner bahkan menyatakan bahwa belum ada karya-karya yang ditulis para sahabat nabi mengenai kehidupan spiritual selain harus menunggu masa kekhalifahan imam Ali bin Abi Thalib. Jika kita telaah berbagai silsilah para sufi yang merujuk pada masa nabi Muhammad melalui salah seorang sahabatnya, maka nama imam Ali jelas lebih sering muncul daripada sahabat lain yang manapun.32
Dalam sebuah buku berjudul Hilyah al-Awliya, diceritakan tentag sejarah para sufi dari seluruh zaman, dan Ali menempati urutan pertama. Kenyataan ini mungkin penuh kontroversi sebab sebelum Ali, ada khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman, tetapi tidak dijuluki sebagai sufi pertama. Dalam tarekat Qodariyah dan Naqsabandiyah, secara mudah akan ditemukan silsilah guru para sufi. Setelah Ali, silsilah kesufian senantiasa dinisbahkan kepada sahabat-sahabat Ali sendiri, seperti Salman Al-Farisiy, Uways Al-Qaraniy, Kumayl Ibn Ziyad, Rasyid Al-Huzariy, Mitsam Tammar, Rabi’ ibn Khaytsam, dan Hasan A-Bashri, Rabi’ah Al-Adawiyyah (wafat 185 h/801 M),33 dan Imam keempat syi’ah, ‘Ali Zain Al-Abidin (w. 95 H/714 M) yang juga dikalangan syi’ah dijuluki sebagai Al-Sajjad (ahli sujud).34
Namun secara garis besar, setelah ‘Ali, tradisi tasawuf dinisbahkan pada dua di antara tokoh yang paling menonol: yaitu tokoh Sunni, Hasan Al-Bashri (w. 110 H/728 M), dan tokoh Syi’i Imam Ja’far Al-Shadiq (w. 148 H/765 M).
Hasan al-Basri dan Uways Al-Qarany adalah murid-murid Ali; Ibrahim Adham, Bishri al-Hafi dan Bayazid al-Bastami dihubungkan dengan lingkaran Imam Ja’far al-Sadiq; dan Ma’ruf Al-Karkhi adalah sahabat dekat Imam Rida. Di Kufa, tokoh-tokoh seperti Kumayl, Maytham al-Tammar, Rashid al-Hajari, semuanya adalah sufi-sufi yang awal dan bersifat asketik, yang hidup dilingkungan Imam-imam Syi’ah.35
Sesudah para tokoh tersebut, maka muncul tokoh-tokoh sufi berikutnya, seperti Thawus Al-Yamani, Syayban Al-Ra’i, Malik ibn Dinar, Ibrahim ibn Adham (w. kira-kira 165 H/782 M), dan Syaqiq Al-Balkhi (w. 194 H/810 M), yang oleh para sufi berikutnya dianggap sebagai para wali.
Pada abad ke-2 H/8 M, hubungan antara syari’at dan tasawuf mulai terlihat harmonis, meski masih terdapat tanda-tanda keretakan di beberapa tempat dan dunia Islam.
Sesudah para sufi di atas, diakhir abad ke-2 H/8 M dan awal abad ke-3 H/9 M. kemudian muncul tokoh-tokoh sufi seperti Bayazid Al-Basthami (w. 261 H/874 M), Ma’ruf al-Karkhi (w. kira-kira 199 H/815 M), Junayd Al-Baghdadi yang puncaknya pada Al-Hallaj. Mereka mengeluarkan ucapan-ucapan yang mengandung makna tersirat yang didasarkan atas pandangan kerohanian, yang karena bentuk perbuatan lahir mereka bersifat menentang telah menyebabkan mereka menerima kecaman dari para ahli ilmu fikih dan ahli ilmu kalam. Beberapa di antara mereka di penjara, didera, dan bahkan hidup mereka harus berakhir di tiang gantungan.36
Menjelang abad ke-4 H/11 M. lalu muncul tokoh-tokoh sufi yang menyebarkan rekonsiliasi antara syari’at dan Tasawuf, misalnya Abu Thalib Al-Makki (w. 380 H/990 M) yang mengarang buku Qut Al-Qulûb. Al-Makki mencoba menuliskan kembali jalan ciri khas hukum dan jalan spiritual. Bahkan usaha Al-Makki untuk mendamaikan37 keduanya diikuti oleh Muhammad Al-kalabadzi (w. 385 H/995 M) yang mengarang kitab Al-Ta’âruf li Madzhab Ahl Al-Tashawwuf, lalu diikuti sufi Al-Qusyairi (w. 465 H/1072 M) dengan karya Risalah, ‘Abd Al-Rahman Al-Sulami (w. 412 H/1021 M) dengan mengarang buku Thabaqât Al-Shûfiyyah.
Puncaknya di abad ke-5 H muncul Al-Ghazali yang dianggap berhasil menyatukan berbagai aliran sufi dalam sebuh kesatuan yang definitif. Sejak abad ini, tasawuf telah menjadi bagian institusional Islam dan mempunyai struktur sosial dan hierarkinya sendiri.38
Meski tasawuf mengalami pasang surut, adakalanya diterima, adakalnya ditolak, namun demikian, para sufi tetap gigih bertahan pada kegiatan mereka tanpa menghiraukan lawan-lawan mereka hingga tasawuf tetap tumbuh dengan gemilang sampai abad ke-7 H/13 M dan abad ke-8 H/14 M bahkan hingga sekarang.
Kebanyakan tokoh-tokoh sufi yang disebutkan di atas memiliki para pengikut hingga akhir zaman dan mereka mampu mewariskan ucapan maupun kiasan singkat dan sugesti yang dapat ditemukan dalam karya-karya sufi periode berikutnya. Sebagian dari mereka juga berperan ikut menyusun karya-karya tasawuf, namun kebanyakan karya itu kini telah hilang.
Dalam literatur Syi’ah, pengamatan dan pernyataan Imam keenam, Ja’far Al-Shadiq cukup banyak dan mencakup aspek ‘irfân atau tasawuf. Bahkan Imam Ja’far Al-Shadiq-lah merupakan salah satu dari sekian banyak nama besar dalam tradisi tasawuf generasi awal. Sebagai guru dibidang tasawuf, Imam Ja’far telah mengajar Jabir ibn Hayyan seorang ahli kimia yang kelak sebagai tokoh pertama yang disebut sufi.39
Hanya sesudah Imam kedelapan, Ali al-Ridha, Imam-imam Syi’i tak lagi mengkaitkan diri secara terbuka dengan para sufi. Ini bukan karena mereka menentang tasawuf, melainkan karena ada kejadian khusus yang terjadi pada waktu itu. Imam Rida dengan demikian muncul sebagai penghubung terakhir dengan jelas
dan terbuka antara tasawuf dan imam-imam Syi’i. Dalam sejarah syi’ah, imam Rida merupakan “imam pentahbis” dan memiliki peranan yang sangat besar dalam menghidupkan kembali tasawuf Syi’i.
Dalam Syi’ah Istna Asya’ariyah (Syi’ah dua belas imam), tasawuf mengalami perkembangan dilingkungan resmi Syi’ah terutama pada abad ke-13. Sejak abad ini pula, beberapa ulama Syi’ah pertama kali diberi gelar sebagai sufi, ‘ârif atau muta’allih, dan dibeberapa di antara mereka mempersembahkan halaman-halaman tulisan mereka untuk ajaran-ajaran sufi. Kamaluddin Maytham al-Bahrani pada abad ke-13 menulis sebuah komentar atas karya imam ‘Ali, Nahj al-balâghah, dengan menyingkap makna kema’rifatan dan mistisnya. Radiuddin Ali ibn al-Taus, seorang cendikiawan Syi’i yang terkemuka, menulis doa-doa yang kemudian diberi konotasi mistis. ‘Alamah al-Hilli, murid Nasiruddin al-Tusi juga telah berjasa menyebarkan aliran Syi’ah dengan menerbitkan karya-karya yang bermuatan tasawuf. Sayyid Haidar Amuli, juga seorang sufi pengikut mazhab Ibn ‘Arabi menyebarkan paham sufi dengan menulis karya-karya tasawuf tingkat tinggi dilingkungan mazhab Syi’ah, dan salah seorang guru Imam Khomeini.
Dari Abad ke-13 sampai abad ke-16 muncul sekte-sekte sufi dalam bentuk tarekat ekstrim yang berhubungan langsung dengan latar belakang Syi’i dan sufi. Tasawuf Syi’ah di Persia mengalami renaisans pada masa dinasti Safawi dan memainkan peranan sedemikian penting dalam bidang keagamaan dan politik. Namun pada masa perkembangan dinasti Safawi, muncul fitnah terhadap ajaran para sufi dan muncul golongan yang secara terbuka menentang ajaran tasawuf. Pada periode ini pula kaum hukama dari mazhab Mulla Shadra menghadapi sejumlah perlawanan dari beberapa ulama. Sebagai akibat dari situasi ini, maka dilingkungan keagamaan Syi’ah berubahlah nama tasawuf menjadi ‘irfân dan sampai hari ini dilingkungan resmi keagamaan dan madrasah Syi’i, seseorang secara terang-terangan dapat belajar, mengajar dan membicarakan tentang ‘irfân namun tak pernah tentang tasawuf, yang juga sering dihubungkan dengan ketidak disiplinan dan kelalaian para darwish yang lupa menjalankan syariat agama yang lazim disebut qalan dar ma’ab dalam bahasa Persia.40
Namun sejak abad ke-18, terutama pada saat penyerbuan yang dilakukan oleh orang Afgan terhadap dinasti Safawi, tasawuf dilingkungan syi’ah Persia mengalami kemunduran, dan hampir tak banyak orang membicarakan tasawuf di kalangan Syi’i sejak itu di lingkungan Persia. Akan tetapi, tasawuf juga mengalami perkembangan terutama dilingkungan Syi’i India. Para sufi India melakukan hijrah ke Iran untuk menghidupkan kembali tasawuf dilingkungan Syi’i Persia. Tasawuf mulai tumbuh kembali terutama pada saat pemerintahan raja Fath ‘Ali Shah dari dinasti Qajar abad ke-19. Sejak masa dinasti Qajar, ajaran-ajaran tasawuf Ibn ‘Arabi yang banyak diserap Imam Khomeini mulai diperkenalkan kembali sampai sekarang. Karena itu, membicarakan aliran Islam Syi’ah dan tasawuf nampaknya memiliki asal-usul yang berdekatan karena keduanya berkaitan dengan dimensi esoterik kewahyuan Islam dan bertemu dalam kemiripan sejarahnya. Lebih lagi ketika konsepsi tasawuf dikaitkan dengan teori imamah dalam mazhab Syi’ah, maka sepintas keduanya memiliki akar yang sama. Imamah dalam Syi’ah dan tasawuf pada dasarnya berkaitan dengan tokoh-tokoh dan guru spiritual yang telah lama berkembang dalam sejarah Islam.

2. Pembagian Tasawuf dalam Syi’ah

Dalam kaitan dengan pembahasan mazhab dalam tasawuf, sebetulnya ada perbedaan penting menurut Syi’ah dan Sunni. Bahkan istilah yang digunakan juga berbeda menurut perspketif masing-masing mazhab. Kalangan Sunni lebih akrab dengan istilah tasawuf, yakni usaha untuk mensucikan diri atau upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang yang menjalankan tasawuf disebut dengan mutasawwifin. Akan tetapi, dalam perspektif Syi’ah, tasawuf dikenal dengan istilah ‘irfân, yang artinya pengenalan. Berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, yakni mengetahui atau mengenal. Pengertian ini didasarkan pada hadis nabi “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”, (siapa mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya). Dalam hadits ini yang digunakan adalah kata ‘arafa.41
Istilah ‘irfân dalam Syi’ah dapatlah disebut sebagai istilah yang sama dengan istilah tasawuf dalam Sunni. Dalam Syi’ah, ‘irfân terbagi menjadi dua bagian; irfan ilmi dan irfân amali. Irfân ilmi lebih bersifat teoritis, sementara irfân amali lebih bersifat praktis. Sementara istilah tasawuf dalam mazhab Sunni, tidak ada pembagian seperti itu. Tasawuf lebih bersifat amali atau praktis. Dalam ‘irfân yang praktis adalah lebih mirip ajaran akhlak dalam tasawuf. Murthada Muthahhari mengatakan, irfân amali melukiskan dan menjelaskan segenap pertanggungjawaban manusia berkenan dengan dirinya, dunia, dan Tuhan. Dengan demikian, ‘irfân amali lebih merupakan hubungan pertikal antara manusia dengan Tuhan. Sementara dalam ‘irfân, untuk mencapai ‘irfân amali, diperlukan riyâdhah (pelatihan diri) dengan disiplin yang mengikat serta sistem dan tatanan yang kontinyu.42
Karena memperoleh penyaksian dan penyingkapan yang tergantung pada latihan khusus dan perilaku spiritual tertentu, maka bisa juga disebut ‘irfân. Selanjutnya, penyaksian dan penyingkapan tersebut dikenal dengan istilah ‘irfân amali (praktik) artinya ‘irfân dalam arti praktis, atau dianggap sebagai sifat dari suatu perjalanan spiritual (sayr wa sulûk). Kemudian, proposisi yang menjelaskan berbagai penyaksian itu disebut ‘irfân teoritis. Seperti halnya filsafat iluminasi dari Suhrawardi al-Maqtul, dalam taraf tertentu ‘irfân teoritis ini sering dicampuradukkan dengan argumentasi rasional.43
‘Irfân amali saja tidak cukup. Karena itu diperlukan ‘irfân ilmi, dalam arti teoritis. Oleh Murthada Muthahari digambarkan ‘irfân yang berhubungan dengan ontologi, yakni tentang Tuhan, dunia dan manusia. Aspek ini mirip dengan filsafat teologi, yakni falsafah ilâhiah. Dalam irfan ilmi yang bersifat ilmiah dan teoritis, maka bahasanya lebih pada bidang-bidang falsafah ilahiah. Irfan ilmi adalah gabungan antara filsafat dengan israqiyah atau dalam perspektif Mulla Shadra, disebut Hikmah al-Muta’aliyah.44
Dalam Syi’ah, meski antara tasawuf dan syariat tidak bisa dipisahkan, namun mazhab ini ternyata lebih banyak mengembangkan tasawuf yang bertema filsafat bila dibandingkan dengan tasawuf dalam mazhab Sunni. Ini setidaknya terlihat dari banyak tokoh-tokoh tasawuf belakangan seperti Mulla Shadra, Thabathabai, Imam Khomeini dan Murthada Muthahhari yang juga sufi sekaligus filosof. Selain itu, mereka yang juga dikenal sebagai ahli syari’at, faqih, ternyata banyak mengembangkan suatu pertanggungjawaban filosofis baik bagi wacana syari’at sendiri maupun pengalaman-pengalaman sufistik. Sebagai contoh, Imam Khomeini misalnya ketika menulis buku-buku tentang syari’at atau fiqh, banyak menggunakan pendekatan mistis dan filsafat, bahkan kadang-kadang merujuk pernyataan-pernyataan filsafat Ibn Sina, Ibn ‘Arabi dan Mulla Shadra.45

3. Imamah dan Tasawuf dalam Syi’ah

Dalam kajian para orientalis, sering kali muncul keraguan tentang sifat keislaman dan keal-qur’an aliran Syi’ah. Meski demikian, kenyataannya bahwa aliran Syi’ah dan tasawuf sebagai suatu aspek yang terpadu dari wahyu Islam.46
Syiah menempatkan persoalan imamah sangat mendasar. Berbeda dengan Sunni, Syi’ah memandang imamah sebagai bagian dari dasar agama Islam. Imam atau imamah berasal dari bahasa Arab; “amma”, yang berarti “pergi, menuju, atau pergi untuk melihat (to go to see). Imamah mengandung arti “penunjuk jalan” atau “memberikan suatu contoh”.
Dalam hal ini imam bisa berarti orang yang mempelopori, bertindak sebagai pemimpin, atau yang memiliki keunggulan dibanding lainnya. Oleh sebab itu, pemimpin dalam suatu ibadah keagamaan juga disebut sebagai imam. Dalam konteks umum, imamah didefinisikan sebagai “kepemimpinan masyarakat”. Ini merupakan definisi umum yang diterima baik oleh Sunni maupun Syi’ah. Bedanya, dikalangan umum Syi’ah, imamah mempunyai makna yang lebih dari sekedar definisi umum itu. Bagi kaum Syi’ah imamah merupakan keyakinan yang paling penting, setelah keyakinan akan wahyu kenabian dan kebangkitan di hari akhirat. Imamah bukan hanya sekedar kepemimpinan politik dalam Syi’ah, meski konsepsi imamah mendapat tekanan penting bagi sistem pemerintahan Islam Iran, namun imamah juga kepemimpinan religius.
Dengan kata lain, imamah merupakan kepemimpinan politiko-religius. Kepemimpinan dibidang politik sekaligus agama.47 Dalam Syi’ah imamah, pemerintahan adalah milik imam saja, sebab imam berhak atas kepemimpinan politik dan otoritas keagamaan. Menurut keyakinan Syi’ah, kualitas kesempurnaan manusia terletak pada imam ‘Ali bin Abi Thalib dan imam kesebelas berikutnya, karena itu, kualitas imam dalam Syi’ah adalah ma’sum. Imam Khomeini pun dikalangan Syi’ah sering dianggap sebagai al-Imam al-Ma’shûm. Kalangan ahli tasawuf juga memandang seorang sufi adalah guru spiritual yang patut diteladani karena mereka telah mendekatkan diri dengan Tuhan sedekat-dekatnya hingga mendekati manusia sempurna (al Insân al-Kâmîl). Imam dan sufi adalah sama-sama memiliki tugas dan tanggungjawab spiritual keislaman.
Teori imamah dalam Syi’ah lebih tegas lagi ketika model kekuasaan vilâyat al-fâqîh kemudian dijadikan model pengambilan keputusan dalam kekuasaan masyarakat Islam Iran pasca Revolusi. Sebagaimana dipahami bersama, konsep vilayat al-fâqîh ide dasarnya bersal dari Imam Khomeini yang dirumuskan oleh para mullah setelah revolusi Islam Iran mengalami kemenangan.
Teori imamah, atau ketundukan terhadap imam yang dianggap menjadi pembantu yang legitim setelah nabi Muhammad meninggal menjadi bagian penting dalam konsepsi politik-keagamaan dikalangan Syi’ah.
Beberapa contoh mengenai hubungan yang luas dan rumit antara aliran Syi’ah dan tasawuf dapat dengan mudah ditemukan dalam konsep imam. Dalam Islam umumnya, dan tasawuf khususnya, seorang suci disebut wali (singkatan dari waliyullâh atau sahabat Tuhan) dan kesucian disebut wilâyah. Di dalam aliran Syi’ah, fungsi keseluruhan imam dikaitkan dengan kekuasaan. Namun ada perbedaan antara aliran Syi’ah dan tasawuf tentang bagaimana dan melalui siapa kekuatan dan fungsi itu bekerja sebagaimana tentang siapa yang dipandang sebagai “cermin”.48
Di antara praktek-praktek sufi ada satu hal yang erat hubungannya dalam pengertian simboliknya dengan wilâyat kalangan Syi’ah, yakni praktek memakai jubah dan memberi makan dari seorang guru kepada murid sebagai lambang perpindahan ajaran kerohanian. Setiap tingkatan hidup menyerupai jubah dan tirai yang menutup tingkatan di atasnya, karena secara simbolik yang “di atas” bertalian dengan batin. Jubah sufi melambangkan perpindahan kekuatan rohani yang memungkinkan murid menguasai tingkatan kesadarannya. Praktek memakai dan memindahkan jubah berhubungan erat dengan dengan aliran Syi’ah. Seperti yang diperkuat Ibn Khaldun bahwa “sufi dengan begitu penuh dengan teori-teori Syi’ah. Teori-teori Syi’ah sedemikian dalam mempengaruhi cita-cita keagamaan di mana mereka mendasarkan prakteknya dengan penggunaan khirgah (jubah) karena dalam sejarahnya, ‘Ali pernah memakai kain jubah serupa kepada Hasan al-Basri dan membuatnya dengan khidmat bersepakat bahwa ia akan menempuh jalan mistik. (Tradisinya dengan demikian diresmikan oleh ‘Ali) yang berlanjut menurut para sufi, melalui al-Junayd, salah seorang shakh sufi”.49
Sementara dalam doktrin sufisme, ditemukan konsep perjalanan seorang sufi menggapai manusia sempurna (al-Insân al-Kâmîl), ini juga disebut dalam konsep imamah Syi’ah. Imam kedua belas dalam terminologi kaum sufi Syi’ah merupakan manusia sempurna yang merupakan manifestasi dari nama Allah dan bertanggung jawab mengawasi dan membimbing semua aktivitas manusia. Karena ini adalah konsepsi dari wilâyat dalam mazhab Syi’ah, maka para sufi besar bisa dipandang sebagai penyokong doktrin Syi’ah, meski tampaknya mereka menganut mazhab Sunni.
Kedekatan hubungan antara wilâyat adalah konsep imam di dalam Syi’ah, karena imam adalah seorang yang memiliki kekuatan dan fungsi wilâyat. Peran imam adalah sentral bagi aliran Syi’ah, yakni sebagai petunjuk ke jalan rohani, suatu fungsi yang hampir mendekati dengan fungsi guru sufi.
Dengan kata lain, seperti yang dinyatakan Seyyed Hosein Nasr, peran dan fungsi imam dalam teori imamah Syi’ah sama dengan peran dan fungsi guru (mursyid) sufi dalam tasawuf.50 Disinilah letak persamaan antara imamah dalam Syi’ah dan kepemimpinan dalam tasawuf.
Di dalam tasawuf, setiap guru mempunyai hubungan dengan kurun zamanya. Di dalam aliran Syi’ah semua fungsi rohani dalam setiap periode secara batin bertalian dengan imam. Gagasan-gagasan tentang imam sebagai al-Quthb51 alam semesta dan konsep Quthb di dalam tasawuf adalah hampir sama. Gagasan maqâmât-maqâmât atau stasions dalam tasawuf dengan tingkatan para imam, dari imam pertama sampai imam kedua belas.
Secara kebetulan, pertalian antara imam dengan tasawuf dalam Syi’ah sulit dibedakan. Kata imam yang dapat diartikan sebagai “orang yang berada di muka”, pemimpin dalam shalat jama’ah, atau dapat juga berarti pemimpin komunitas hampir sama dengan pengertian salah satu etimologi tasawuf, yakni Saf (baris) pertama, sebagaimana halnya dengan orang yang sholat di saf pertama mendapat kemulian dan pahala, demikian pula kaum sufi dimuliakan Allah dan diberi pahala.
Dengan melihat konsep sufi, imam, wilâyat, maqâmât-maqâmât dalam tasawuf dan Syi’ah, nampaknya tasawuf memiliki akar yang dalam bagi mazhab Syi’ah. Bahkan Sayyid Sharif Murtada menyebutkan, sufi-sufi adalah Syi’i-syi’i sejati. Sementara Sayyid Haidar Amuli—ulama Syi’ah terkemuka—percaya bahwa setiap orang Syi’i yang sejati adalah seorang sufi dan setiap sufi sejati adalah seorang Syi’i.52



4. Tasawuf dan Filsafat

Tasawuf dan filsafat seringkali dipahami secara dikotomis, baik secara epistemologi maupun sisiohistoris. Secara epistemologis, ilmu tasawuf dianggap sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengabaikan peran akal atau intelektual, dan hanya menitikberatkan pada intuisi, ilham dan bisikan hati, meski kadang-kadang ia bertentangan dengan prinsip-prinsip rasionalitas. Sementara itu, disiplin filsafat dianggap sebuah disiplin yang sangat patuh pada prinsip-prinsip rasionalitas. Hanya saja, hubungan tasawuf dan filsafat sempat retak ketika Al-Ghazali melakukan serangan yang sangat telak terhadap para filosof.52
Upaya untuk mengharmoniskan kembali hubungan tasawuf dengan filsafat telah dilakukan oleh banyak kalangan. Contoh yang paling konkrit adalah Suhrawardi al-Maqtul (1154-1191 M) terutama dalam karyanya Hikmah al-Isyarqi (filsafat pencerahan). Meski karya ini dinyatakan sebagai karya filsafat iluminasionis yang menggugat dominasi aliran filsafat peripatetik, namun seperti yang dikatakan sendiri oleh penulisnya, karya ini terdiri dari dua unsur penting: pertama, unsur intuisi atau lebih populer dengan mystical insight; kedua, unsur demonstrasi ilmiah atau prinsip-prinsip logis. Filsafat yang kemudian berkembang menjadi sinergi antara intuisi dan rasio, antara hati dan akal, antara dzawq dan nalar terus berproses lewat filosof iluminasionis berikutnya seperti Mulla Shadra.53
Ungkapan tasawuf dan filsafat dalam konteks peradaban Islam mungkin seringkali dipertanyakan oleh para sarjana, terutama berkaitan dengan pertanyaan apa hubungan Syi’ah secara umum, filsafat secara khusus dengan tasawuf, padahal Abu Bakar Aceh menyebut Syi’ah sebagai rasionalisme dalam Islam.55
Hubungan filsafat dengan tasawuf menurut William C. Chittick memiliki hubungan erat dan serasi, terutama sejak filosof peripatetik,56 seperti Ibn Sina yang menerima kebenaran dari kalangan filosof dan sufi sekaligus.57
Pada saat yang sama, banyak para sufi yang akrab dengan filsafat dan banyak juga filosof yang sekaligus sufi, terutama pada periode-periode terakhir sejarah Islam. Ibn Sina misalnya, selain tokoh besar filsafat peripatetik, ia juga menulis “kisah khayalan” dan bercerita tentang bentuk khusus pengetahuan yang terbuka bagi para sufi setelah latihan spiritual yang lama, yang menandakan bahwa ia selain filosof juga seorang sufi yang menganut doktrin tentang Wujud.58







BAB III
dimensi Kesufian ayatullah KHOMEINI


A. Sufi dalam Karya-karya Khomeini

1. Shalat Sebagai Mi’raj Ruhani

Karya Syarh Du’a Al-Sahar atau Mukhtar fi Syarh Al-Dua Al-Muta’alliq bi Al-Sahar, merupakan karya pertama Imam Khomeini tentang ajaran mistikal dan spiritual. Buku ini merupakan komentar atas do’a-do’a sebelum fajar . Komentar yang ditulisnya pada tahun 1347 H/ 1928 M, saat usianya baru 27 tahun. Buku ini juga banyak mengulas do’a-do’a Syi’ah yang popular yang di sampaikan setiap bulan Ramadhan dari karya Imam Ja’far al- Shadiq, Imam kelima dalam Syi’ah Imamah.
Dalam karya Khomeini ini, dimensi simbolis dan makna batin seluruh bagian shalat, dari wudhu sampai salam, diungkapkan dalam bahasa yang kaya, kompleks dan lancar, yang banyak dipinjam dari konsep-konsep dan terminologi Ibn ‘Arabi. Sebagaimana yang dicatat oleh Sayyid Fihri, penerjemah dan penyunting Sirr Al-Shalâh ke Bahasa Arab : buku ini ditujukan untuk kalangan terkemuka dari elit spiritual (akhash-i khawash). Imam Khomeini kemudian menerbitkan sebuah karya yang dapat dijangkau oleh para pembaca umum, yakni adâb Al-Shalâh. Karya ini banyak mengungkap dimensi esoterisme Islam dalam konteks shalat yang bermuatan sufistik.1
Karya Adâb al-Shalât semula diterbitkan dalam bahasa Persia, ditulis saat umur Imam Khomeini menginjak 40 tahun. Buku ini menggambarkan renungan Imam Khomeini sekaligus tuntutan sistematis jalan mendekati Tuhan sedekat-dekatnya. Ia berbicara tentang ‘irfân, istilah lain dari tasawuf dengan tingkatan-tingkatannya (mâqâmât atau stasions) bagi para pesulûk yang ingin mendekati Tuhan dengan jalan riyâdhah. Buku ini pembahasannya dibagi pada tiga bagian. Bagian pertama membahas adab-adab ibadah secara umum; bagian kedua mengungkap persiapan-persiapan shalat; dan bagian terakhir menguraikan makna hakekat ibadah shalat dari perspektif kaum sufi.
Khomeini, dalam buku Adâb al Shalât, melakukan semacam refleksi perjalanan seorang sufi:

Sungguh, tangan-tangan kami tak akan mampu menggapai uluran tali Uns-Mu. Sungguh hijab-hijab syahwat dan ghaflah telah menutupi pandangan kami dari melihat keindahan-Mu yang Mahaindah. Sungguh, tabir-tabir tebal yang muncul akibat cinta pada dunia dan perilaku-perilaku syaithani kami telah menjadikan kalbu-kalbu ini lalu dari ber-tawajjuh pada keagunganMu. Sungguh, jalan akherat itu sangat halus dan jalan kemanusiaan sangat tajam, sementara kami yang gelisah dalam pikiran dan renungan bagaikan laba-laba yang tak berdaya, kami yang bingung ini bagaikan ulat sutera yang memintal rantai-rantai syahwat dalam dirinya. Inilah kami yang terikat dalam dunia syahwat, sangat jauh dari alam gaib dan kebahagian uns denganMu.2  

Shalat kata Imam Khomeini, selain mempunyai makna luar (zahir), juga mengandung makna batin. Sebagaimana zahir shalat memiliki adab-adabnya, yang apabila tidak dijaga, maka dapat dikatakan shalatnya kurang sempurna. Dengan menjaga adâb shalat, karena itu akan memiliki jiwa malakûti (ruhani). Ketika adâb batin shalat dijalankan dengan sungguh-sungguh, kemungkinan akan mendapatkan bagian rahasia Ilahi, yakni ma’rifat, suatu rahasia yang merupakan cahaya mata para ahli sulûk.3
Selanjutnya, di antara kerugian dan kemalangan seseorang yang paling besar adalah merasa cukup puas hanya dengan shalat dalam bentuk luarnya. Jika seorang yang mampu melakukan shalat tepat waktu dan dengan menjalankan adâb-adab shalat, maka ia akan di bawa pada puncak tangga sebagai puncak mi’raj menuju maqam yang mengantarkannya dekat kepada sang kekasih Yang Mahamutlak, puncak dambaan para auliya dan cita-cita akhir para ahli ma’rifat.4
Kaum sufi misalnya memilki adâb atau aturan tingkah laku dan sikap sebagai pra kondisi bagi transformasi spiritual seorang sufi. Arti penting adâb bagi sufisme terlihat jelas dalam definisi terpendek sufism; seluruh tasawuf adalah adâb (al-tashawwuf kulluhu adâb). adâb mengatur banyak hal seperti adâb beribadah, sopan santun seorang murid terhadap mursyid, adâb berzikir dan sebagainya. Selain itu, suatu bagian adâb seringkali bersifat inklusif dan mencerminkan difusi sufisme.

2. Hubungan Filsafat dan Tasawuf

Buku Karya Khomeini berjudul Mishbâh Al-Hidâyah fi Al-Khilaf wa Al-Wilâyat merupakan karya puncak Imam Khomeiini dibidang ‘irfân atau tasawuf, dimensi gnostik dalam Islam. Karya Mishbâh al-Hidâyah merupakan bukti perhatian Imam Khomeini yang cukup besar kepada doktrin metafisis dan kosmologis yang berakar dari Ibn ‘Arabi.
Karya lain berupa Hidâyah ila Al-Khilâfah wa Al-Wilâyat (Pelita yang menunjukkan Jalan yang Benar menuju Kekhalifahan dan Kewalian). Karya ini, yang ditulis setahun kemudian setelah Syarh Du’a Al-Sahar. Bisa dikatakan bahwa buku Mishbâh Al-Hidâyah merupakan magnum opus Imam Khomeini yang mengulas tarik ulur antara filsafat dan tasawuf. Karya ini merupakan pemaparan pandangan-pandangan Imam Khomeini yang relatif padu tentang tasawuf filsafat serta biografi para filosof dan sufi; Nabi Muhammad saw, ‘Ali bin Abi Thalib, hingga sufi akbar seperti Ibn ‘Arabi.5
Pemahaman Imam Khomeini atas filsafat Islam tak diragukan lagi. Harun Nasution, dalam salah satu tulisannya, mengakui penguasaan Imam Khomeini atas tradisi filsafat dan ilmu agama. Bahkan ia tak segan-segan menyatakan bahwa terdapat perpaduan antara agama dan filsafat dalam pemikiran Imam Khomeini.6
Seperti halnya Murthada Muthahhari, Imam Khomeini juga berpendapat bahwa antara tasawuf dan filsafat di samping memiliki persamaan, juga mempunyai perbedaan. Persamaan antara keduanya terletak pada tujuannya, yaitu ma’rifatullâh (pengetahuan tentang Allah). Adapun segi perbedaannya adalah; pertama, filsafat tujuannya tidak hanya terbatas pada ma’rifatullâh, tetapi juga mencakup pengetahuan mengenai asal usul dan struktur alam semesta yang sebenarnya, dimana ma’rifatullâh merupakan pilar utama dari struktur tersebut. Akan tetapi menurut sufi, tujuan tasawuf hanya terbatas pada ma’rifatullâh. Menurut tasawuf, ma’rifatullâh adalah pengetahuan mengenai segala sesuatu. Semuanya berada di bawah naungan ma’rifatullâh. Adapun pengetahuan lain yang disodorkan oleh para filosof, hanyalah merupakan cabang dari ma’rifatullâh.
Perbedaan kedua, pengetahuan yang dicari oleh seorang filosof bercorak rasional, seperti pengetahuan yang dihasilkan oleh seorang ahli matematika dalam menguraikan masalah-masalah matematis. Namun, pengetahuan yang dicari seorang sufi ialah pengetahuan dalam bentuk kesadaran dan kesaksian batin, seperti pengetahuan yang dihasilkan oleh seorang peneliti di laboratorium. Seorang filosof mencari ‘ilm al-yaqîn (pengetahuan berdasarkan pemikiran), sedangkan seorang sufi mencari ‘ayn al-yaqîn (pengetahuan berdasarkan kesaksian dan kesadaran batin atau pengetahuan nyata). Ketiga, untuk memperoleh pengetahuan, seorang filosof menggunakan rasio, pemikiran, dan nalar, sedangkan seorang sufi menggunakan qalb, tashfiyah, tahdzîb, dan takmîl al-nafs (hati penyucian, dan penyempurnaan diri). Seorang filosof berusaha menggerakkan teleskop akal dan nalarnya untuk dapat mempelajari asal usul dan struktur keberadaan ini, sedangkan seorang sufi berusaha menggerakkan seluruh wujudnya untuk sampai pada substansi, esensi, dan hakikat keberadaan; ia hendak menyatukan dirinya dengan hakikat keberadaan seperti menyatunya setetes air dalam lautan.
Menurut seorang filosof, kesempurnaan instingtif yang menjadi dambaan manusia, terletak pada pemahaman dan pengetahuan, sedangkan menurut seorang sufi, terletak pada wushûl (sampai pada tujuan). Menurut seorang filosof, manusia nâqish (manusia yang kurang atau tidak sempurna) adalah manusia yang jahil, sedangkan menurut seorang sufi ia adalah manusia yang jauh terpisah dari esensi dan substansinya.

3. Maqâmât dan Ahwâl

Para sufi yang memandang bahwa kesempurnaan manusia terletak pada wushûl bukan pemahaman, meyakini keharusan menjalani serangkaian manâzil, marâhil, ahwâl dan maqâmât untuk bisa sampai pada tujuan inti dari tasawuf hakiki. Perjalanan inilah yang dinamakan dengan sayr-sulûk.
Ala kulli hal, secara umum ada dua istilah yang beredar dalam karya-karya Imam Khomeini, yaitu maqâmât dan ahwâl. Maqâmât (bentuk jamak dari maqâm) adalah jenjang-jenjang atau tahapan-tahapan spritual. Ahwâl atau hâl-hâl adalah keadaan spritual yang dialami pesulûk . Dua istilah ini cukup populer di kalangan mereka. Dalam hampir semua kitab ‘irfân atau tasawuf, mereka menjelaskan tentang maqâm-maqâm dan ahwâl.
Meskipun dalam penjelasannya berbeda-beda, tetapi intinya sama. Boleh jadi perbedaan itu karena, mungkin, pengalaman-pengalaman mereka yang tidak sama atau perbedaan itu muncul karena perbedaan dalam mengungkapkan pengalaman spiritual mereka ketika berjumpa (liqâ') dengan Allah Ta’ala. Mereka benar semuanya selagi tidak keluar dari koridor syariat. Apa itu maqâmât dan apa itu ahwâl? Disebutkan dalam kitab Manâzil al Sâirîn, seperti dikutip Imam Khomeini, bahwa maqâmât adalah tahapan-tahapan, atau disebut juga manâzil, yakni jenjang-jenjang spiritual yang dilalui seorang pesulûk menuju Allah.7
Seorang pesulûk ketika sampai ke satu jenjang, dia berhenti sejenak atau beberapa waktu sambil ber-mujâhadah dalam jenjang tersebut, sampai sekiranya Allah SWT mempersiapkan untuknya jalan untuk mencapai jenjang yang kedua dan jenjang berikutnya. Itulah definisi maqâm, yaitu jenjang atau tahapan yang dilalui oleh seorang pesulûk.
Ber-mujâhadah pada setiap jenjang spiritual artinya dia bersungguh-sungguh membersihkan hati, mengontrol jiwa, agar tidak terjerumus dalam kehancuran, dan agar tidak turun kembali dari jenjang yang sudah dilalui. Kemudian setelah dia istiqomah dalam ber-mujâhadah, Allah mempersiapkan baginya untuk mencapai maqam berikutnya atau jenjang berikutnya. Dia terus ber-mi'râj dan menaik dari satu maqam yang mulia ke maqam yang lebih mulia.
Sebagai contoh, ada yang dinamakan maqam taubat. Taubat merupakan sebuah tahapan. Untuk sampai pada maqam ini tidak sekedar mengucapkan astaghfirullâh saja, tetapi seorang pesulûk harus meninggalkan segala bentuk dosa dan kemaksiatan. Juga berada pada maqam ini perlu beberapa waktu dalam keadaan tidak berbuat dosa dan kemaksiatan. Bertaubat sejenak atau beberapa saat saja, misalnya menyesali dosa dan kemaksiatan dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi pada malam al qadar, lalu hari esoknya itu kembali berbuat dosa, hal demikian tidak menjadikan dia masuk ke maqam taubat. Maqam taubat di sini adalah menjaga diri dari berbuat dosa setelah menyesali dan meninggalkannya untuk sekian waktu.
Kemudian setelah dia istiqomah dalam taubat, Allah swt. mempersipkan baginya untuk naik ke maqam berikutnya, maqam wara’ misalnya. Pada maqam ini juga ia harus istiqomah dengan wara' untuk waktu tertentu. Tidak sehari atau dua hari tentunya. Setelah itu, Allah mempersiapkan ke maqam berikutnya, maqam az-Zuhûd, misalnya dan seterusnya.
Dalam perpindahan dari satu maqam atau tahapan ke tahapan yang lain itu perlu waktu, tidak sebentar, karena yang penting yang penting dalam bersulûk adalah istiqamah. Di sini saya tertarik dengan ungkapan dalam buku ini ( Manâzil al Sâirîn) “Sehingga Allah mempersiapkan”. Bukan si pesulûk atau siapapun, tetapi Allah yang mempersiapkan. Allah yang mengangkat dia ke maqâm berikutnya. Allah yang memberi satu maqam kepadanya bukan dia yang mencari maqâm. Jadi, perpindahan dari satu maqâm ke maqâm yang lain, secara otomatis atau, sifatnya alami. Oleh karena itu, tidak mungkin seseorang langsung ke maqam wara’ sebelum melewati maqam taubat. Tadi saya katakan, "Allah yang mempersiapkan bukan siapa pun selainnya". Jadi yang menentukan dia pindah ke maqâm wara’, siapa yang menentukan ? Allah swt. Bukan si pesulûk tapi Allah Ta’ala yang menentukan. Itulah artinya maqâm - maqâm atau jenjang-jenjang spiritual.8
Kaum sufi berkeyakinan bahwa untuk sampai pada maqâm-maqâm (stasions) tasawuf hakiki, secara praktis seseorang terlebih dahulu harus melewati tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan tertentu, yang tanpa itu, dia tidak akan berhasil mencapai puncak tasawuf hakiki. Menurut Ibn Sina, seperti disarikan oleh Murthada Muthahhari, yang juga dikutip oleh Imam Khomeini,9 ada dua tahapan untuk mencapai tasawuf yang hakiki ; tahapan yang pertama adalah dengan jalan iradat, yakni adanya semacam kehendak pada diri manusia yang disebabkan oleh keyakinan burhani (alasan logis), atau ketenangan jiwa dalam bentuk ikatan iman yang kukuh untuk dapat memegang erat al-urwah al-wutsqâ (tali Allah yang teguh). Pada saat itulah hatinya akan tergerakkan menuju Allah hingga mencapai tingkatan ruh al-ittishâl (ruh manusia yang sampai kepada Allah).
Tahapan yang kedua, tahap latihan dan persiapan, yang oleh Ibn Sina, dan kaum sufi, dinamakan riyâdhah. Dalam bahasa Arab, riyâdhah berarti “melatih dan mengajar cara berlari dengan baik pada kuda muda yang baru ditunggangi”.10
Adapun ahwâl atau hal-hal adalah hembusan-hembusan spiritual yang dihirup oleh seorang pesulûk, sehingga jiwa si pesulûk mendapatkan kesegaran ketika menghirup hembusan-hembusan spritual Ilahi (nasamât rûhiyyah) tersebut. Hembusan ini tidak lama. Ia akan berlalu dan pergi hilang. Jiwa pesulûk terus mendambakan kembalinya hembusan Ilahi. Ahwâl sifatnya sementara dan sejenak. Salah satu bentuk ahwâl ialah, apa yang mereka sebut, Al-‘Unus billâh. ‘Unus itu artinya perasaan asyîk, artinya asyîk-ma'syuk dengan Allah swt. Misalnya, ketika dia shalat, dia merasakan kenikmatan shalat. Dalam berdoa merasa kenikmatan. Mungkin kita pun pernah mengalami hal demikian, tentu dengan kadar yang berbeda, meskipun kita belum bersulûk. Allah kadang-kadang memberi kepada kita hembusan-Nya sehingga kita menikmati ibadah dengan khusyu, senang, namun hilang lagi. Untuk mencoba seperti itu lagi tidak bisa. Imam Ali as. pernah mengatakan, “Ketahuilah bahwa Allah mempunyai hembusan di hari-harimu.” Artinya di hari-hari kita ini, Allah memberikan hembusan kepada kita.
Contoh lain dari ahwâl adalah mukâsyafah atau kasyaf. Sewaktu-waktu Allah bukakan kepada seorang pesulûk tabir sehingga dia mengetahui haqîqat segala sesuatu. Penglihatannya menembus dimensi-dimensi materi. Mukâsyafah juga sifatnya insidental, sejenak dan temporer. Ahwâl tidak dicari tapi Allah yang memberinya kepada seorang pesulûk dan tidak datang sekehendak pesulûk.
Abu Nashr Al-Thusi menjelaskan bahwa maqâmât rûhiyyah, seperti, wara’, zuhud, faqr, sabar, ridha, tawakal dan yang lainnya adalah jenjang-jenjang pesulûk. Kemudian dia meneruskan, "Adapun ahwâl adalah sesuatu yang datang ke dalam hati karena kesucian zikir dan tidak lama, sebentar saja. Hâl diperoleh bukan melalui mujâhadah atau ibadah. Tidak seperti maqâm yang diperoleh dengan mujâhadah. Hal datang secara tiba-tiba. Tiba-tiba seorang pesulûk merindukan Allah, menangis, khusyu, musyâhadah.
Selain itu, kaum urafa mengatakan masih ada maqam lain, seperti maqam yaqazhah, kesadaran, bangun atau keterjagaan. Jadi maqam pertama adalah yaqazhah, sadar atau dia jaga, tidak lengah. Yaqazhah lawan dari ghaflah (kelengahan) Yaqazhah sadar atau terjaga dari kelengahan spiritual. Dia sadar bahwa dia itu diciptakan oleh Allah Ta’ala, bahwa dia di sini untuk menyembah Allah. Ghaflah di sini artinya ghaflah dari Allah karena hanya memikirkan dunia saja, memikirkan materi sehingga lengah dan lupa kepada Allah SWT. Ghaflah adalah penyakit ruhani yang besar. Allah berfirman : “Mereka melupakan Allah (mereka ghaflah kepada Allah), maka Allah lupakan mereka”.11
Seorang ketika lupa kepada Allah, dia berada pada titik bahaya. Sebagai akibatnya, dia akan melupakan dirinya sendiri dan melupakan segalanya sehingga jauh dari kebenaran. Itulah ghaflah sebagai lawan dari yaqazhah.
Jadi tahap pertama, yaqazhah artinya bangkit dari tidur, dari kelengahan. Para ‘urafa mengawali kitab-kitabnya dengan menyebutkan masalah yaqazhah, masalah kesadaran. Kesadaran atau keterjagaan modal pertama, karena tanpa ini orang tidak mungkin melanjutkan perjalanan spiritualnya kepada Allah SWT.
Perjalanan menuju Allah swt harus dimulai dengan sadar.. Sekarang bagaimana agar kita ini yaqazhah? Ada tiga cara agar kita masuk ke maqam pertama, yaqazhah:
Pertama, memperhatikan atau menyadari nikmat atau kenikmatan-kenikmatan Allah SWT. Memperhatikan atau menyadari karunia-karunia Allah SWT. yang begitu besar dan banyak sehingga timbul kesadaran bahwa dia tidak mampu mensyukuri karunia-karunia Allah SWT. Dia sadar bahwa begitu banyak karunia Tuhan dan dia pun sadar bahwa dia tidak mampu mensyukuri semua kenikmatan dari Allah SWT. Sadar akan ketidak berdayaan mensyukuri nikmat Allah adalah modal perjalanan menuju Allah Swt.
Kesadaran bahwa dia tidak berdaya dalam mensyukuri nikmat Tuhan itulah cara yang pertama untuk yaqazhah. Sebaliknya orang yang merasa mampu dan berdaya adalah awal petaka seorang manusia. Jadi, agar sampai ke maqam yaqazhah seorang pesulûk harus belajar menyadari dan belajar mengetahui betapa banyaknya karunia Allah SWT. Betapa banyaknya kebaikan Allah Ta’ala yang diberikan kepada kita. Karunia Allah bermacam-macam, tidak hanya berbentuk materi. Namun kebanyakan manusia itu mengukur nikmat dengan materi. Dia bersyukur ketika mendapatkan dapat rezeki, ketika tidak mendapatkan rezeki, tidak bersyukur. Padahal siapa tahu ketika dia tidak mendapat rezeki, dia malah lebih khusyu ibadahnya. Kenikmatan Allah sering dianggap hanya berbentuk materi. Kenikmatan yang berbentuk spiritual tidak dianggap kenikmatan. Kenikmatan dari Allah bisa berbentuk materi dan non-materi.
Ketika orang ingin sampai ke maqam yaqazhah, harus menyadari bahwa begitu banyak karunia Allah Ta’ala yang luas. Tidak hanya berbentuk materi tapi juga non materi. Coba kita bayangkan masalah syukur. Tatkala seseorang bersyukur kepada Allah Ta’ala, menyadari begitu banyaknya karunia Allah Ta’ala dan dia sadar bahwa dia tidak mampu menghitungnya, akhirnya bersyukur alhamdulillâh. Syukur ini bisa kita ungkapkan lewat ucapan, dan itu yang minimal, dan bisa juga dengan tindakan.
Kedua, untuk sampai ke maqam yaqazhah adalah mempelajari dosa-dosa, mempelajari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, dan menyadari tentang bahaya dari dosa. Artinya mengetahui perbuatan-perbuatan yang tidak baik, apa saja hal-hal yang bisa memperkeruh hati, apa akibat dari perbuatan. Setiap yang kita lakukan itu ada akibatnya, apapun juga, kebaikan atau kejahatan. Jadi dosa yang kita kerjakan itu bisa melahirkan satu akibat.Kita mesti mempelajari dosa-dosa dan apa akibat yang akan muncul dari dosa tersebut. Dalam doa Kumail ada kalimat : “Ya Allah ampunilah dosa-dosa yang merobek-robek keterjagaan. "Ampunilah dosa-dosa yang menyebabkan turunnya bala", "Ampunilah dosa-dosa yang menghalangi doa".12
Kita tidak khusyu dalam ibadah, bisa jadi akibat dosa. Orang yang makan khumus dan orang yang tidak mengeluarkan khumus tidak akan khusyu ibadahnya. Allah akan menarik kekhusyuan dari orang yang makan khumus atau tidak mengeluarkan khumus.
Orang yang tidak shalat apa akibatnya? Orang yang tidak zakat apa akibatnya? Orang yang berbuat kemaksiatan apa akibatnya? Semua itu mesti dipelajari sehingga timbul yaqadzah. Kemudian setelah mengetahui dosa-dosa, kita mengencangkan langkah kita untuk meninggalkan dosa. Melepaskan dari ikatan-ikatan dosa dan minta kepada Allah agar diselamatkan dari dosa. Ini adalah cara kedua untuk yaqazhah.
Kemudian cara yang ketiga adalah memperhatikan ibadah-ibadah yang sudah kita lakukan dan ibadah-ibadah yang kita tinggalkan di hari-hari yang lalu. Mengadakan evaluasi tentang amal ibadah kita. Evaluasi ini dilakukan setiap hari bukan setahun sekali.
Dalam ‘irfân atau tasawuf; istilah-istilah yang digunakan untuk menjelaskan latihan-latihan (riyâdhah) dan pengalaman-pengalaman spritual sudah menjadi baku. Seseorang bisa saja menguasai istilah-istilah ‘irfân tetapi belum tentu dia mengalami dan menjalankan riyâdhah. Atau dengan kata lain, ada orang yang ahli tentang ‘irfân dan ada pula orang ‘arif atau shufi. Perbedaan ini muncul, diantaranya, karena istilah merupakan bagian dari ilmu hushuli sedangkan pengalaman-pengalaman spiritual adalah ilmu hudhuri. Syeikh Taqi Misbah Yazdi dalam menjelaskan kedua macam ilmu ini mengatakan, bahwa ilmu hushûli adalah ilmu yang diperoleh oleh seseorang melalui media atau perantara. Sedangkan ilmu hudhûri adalah ilmu yang diperoleh tanpa melalui media dan perantara. Meskipun demikian, bukan berarti istilah tidak diperlukan. Istilah perlu diketahui guna mempermudah penyampaian tentang sebuah ilmu pengetahuan, khususnya masalah tasawuf. Al-Qusyairi, seorang sufi terkemuka, dalam bukunya Risalah Al-Qusyairiyyah—sebuah buku yang menjadi referensi atau rujukan para sufi baik Sunnah atau Syi’ah— mencantumkan istilah-istilah yang tidak bisa dipahami kecuali oleh orang yang belajar secara khusus tentang tasawuf. Ketika ditanya, mengapa demikian? Dia menjawab, “Saya sengaja sebutkan istilah-istilah ini supaya tasawuf itu tidak menjadi buku kacangan atau buku bacaan pengantar tidur”. Oleh karenanya beliau sengaja menaruh istilah-istilah yang sulit supaya tidak semua orang membacanya dengan sendiri. Mesti ada seseorang yang menjadi pembimbing dalam memahami istilah-istilah tersebut, atau, paling tidak, seorang yang hendak membaca irfan, hendaknya memiliki dasar-dasar irfan dan filsafat yang cukup.
Dalam buku Adâb Al-Shalât, Imam Khomeini secara lebih lengkap menguraikan urutan maqam-maqam para sufi. Maqâmât pertama menurutnya dimulai dari ilmu pengetahuan dengan dalil filosofis, rasa rendah diri, merasa dirinya hina dan fakir merupakan jalan menuju Fana’ Fillah. Baginya, dengan ilmu semata, maka bisa menjadi hijab besar jika seorang sulûk tak mampu menembusnya. Maqâmât kedua menurut Imam Khomeini terletak pada kalbu sebagai penyeimbang maqâmât ilmu pengetahuan. Hasil dari maqâmât kedua ini akan tercermin dalam iman dan seluruh hakikat. Maqâmât ketiga adalah ketentraman dan thuma’ninah, yang pada hakikatnya merupakan urutan yang sempurna dari keimanan. Maqâmât keempat adalah maqâmât musyahadah (penyaksian). Maqâmât ini adalah maqâmât cahaya Ilahi dan tajalli (semacam pengejewantahan) Rahmani. Dia akan muncul dalam batin sang pesulûk berdasarkan Tajalli Asmâ’-asmâ’ dan sifat-sifat-Nya serta akan menyinari seluruh kalbunya dengan cahaya Syuhûdi. Di sini yang sufi akan melihat dirinya tengelam dalam samudera yang tak terbatas; di baliknya ada lagi samudera yang sangat dalam yang akan menyingkap sepercik rahasia-rahasia kekuasaan-Nya. Akan tetapi setiap maqâmât menyimpan istidraj13-Nya sendiri dan mungkin saja pesulûk akan menghadapi malapetaka yang sangat besar.14
Dalam menempuh setiap maqâmât-maqâmât di atas, ada banyak rintangan (hijab). Seorang sufi yang agung tidak takut dengan hijab-hijab dalam setiap maqâmât, ia akan terus berjalan mendaki dari satu maqâmât ke maqâmât lainnya, terkadang melewatinya, atau kalau tidak mampu mempertahankannya, ia akan mengalami semacam degradasi ruhani.
Empat maqâmât tasawuf menurut Imam Khomeini sejalan dengan pembagian maqâmât yang dikemukakan Mulla Shadra, yakni empat tingkatan. Tingkatan pertama, manusia mengembara dari dirinya sendiri dan dari dunia menuju Tuhan. Perjalanan kedua, membawanya dari Tuhan menuju Tuhan, ketika dia terombang-ambing antara pemikiran tentang sifat-sifat Ilahi dan pemikiran tentang hakikat Ilahi. Pada tahap ketiga, manusia kembali dari Tuhan menuju dunia dan dirinya sendiri, terakhir dia mulai mengembara dari manusia ke manusia, mempersembahkan kepada masyarakat tatanan moral dan spiritual baru.15

4. Hijab Para Sufi

Buku Menuju Mata Air Sumber Kecemerlangan. Buku ini merupakan kumpulan artikel bersama dengan Hamid Algar. Karya ini merupakan terjemahan dari karya Imam Khomeini yang disunting oleh Hamid Algar, Islam and Revolution: Writing, Speech, and lecture of Ayatullah Ruhullah Musawi Khomeini (Mizan Press, Berkeley, 1981). Pada bagian pertama buku ini membuat tulisan Wooddswoorth Calsen, seorang orientalis yang begitu kagum pada Imam Khomeini, dan Hamid Algar, seorang islamis yang banyak memperkenalkan buah pikiran Imam Khomeini di Barat berkat terjemahannya atas buku Imam Khomeini. Dalam tulisan Imam Khomeini, ia banyak membahas tentang perjalanan seorang salik beserta rintangan dan hijab–hijab kegelapan bagi perjalanan seorang salik. Hijab menjadi penghalang untuk melihat kebenaran Tuhan, karena manusia terlalu diselimuti oleh hijab kegelapan yang bersumber dari kenikmatan duniawi. Jika seorang salik tidak dibekali dengan kemampuan ilmu ‘irfan, maka perjalan sang salik akan terganggu. Namun, jika seorang salik mampu melepaskan diri dari hijab-hijab, maka jiwanya bagaikan Sumber Mata Air Kecemerlangan.

5. Tafsir Hadis-hadis Sufistik

Karya Al Arbaûna Hadîtsan merupakan karya Imam Khomeini yang aslinya berbahasa Persia dengan judul Chilil Hadits, ini diselesaikan pada tahun 1939, saat penulisnya berusia 37 tahun. Isinya membahas empat puluh hadis yang berkenaan dengan masalah-masalah akhlak dan mistik, seperti tentang Jihâd al-nafs, cinta dunia, hawa nafsu dan harapan, fitrah, tafakur, rasa takut, tobat, sabar, zikir kepada Allah, syukur dan pertemuan dengan Allah.
Hadits dalam perspektif syi’ah merupakan media pengulas dan penjelas dari hadis-hadis nabi yang bertujuan menyingkap ajaran-ajaran batiniah karena Imam kedua belas dalam syi’ah dipandang oleh kaum sufi sebagai kutub-kutub rohaniah, mereka maujud dalam silsilah rohaniah berbagai tarekat kesufian.15
Tafsir hadits sufistik memang cukup dominant dalam buku Al Arbaûna Hadîtsan. Tafsir sufi atau tafsir isyari (tafsir simbolis) merupakan tafsir yang mengandalkan kekuatan mata batin. Para sufi lebih dekat dengan pemahaman para penyair yang menekankan metafora dan kekuatan intuisi batin dalam memahami ayat-ayat Allah. Sebagian ulama menganggap tafsir sufi bukan merupakan tafsir melainkan ta’wil.
Namun menurut Jalaluddin Rakhmat, berhenti sebatas pada tafsir dalam memahami ayat-ayat Allah justru akan berisko keragu-raguan. Karena itu dibutuhkan ta’wil, karena ta’wil akan menyingkap makna batiniah yang tidak sama sekali mengabaikan makna lahiriah (syariat). Namun membatasi Al-Qur’an hanya sebatas makna lahiriah saja, akan mendangkalkan samudera ilahiah yang dalamnya dan luasnya tidak terhingga.16

6. Pandangan Terhadap Agama Lain

Karya Cahaya Sufi ; Jawaban Imam Khomeini terhadap 40 Soal Akhlak dan ‘Irfân. Buku ini merupakan terjemahan yang diterbitkan oleh penerbit Indonesia, Namun sayangnya penerbit tidak mencantumkan sumber aslinya. Buku ini mencakup empat puluh pertanyaan seputar tema-tema kerohanian. Penyusunnya membuat empat puluh pertanyaan irfan dan menarik jawaban pertanyaan tersebut dari berbagai tulisan dan ucapan Imam Khomeini. Inti buku ini adalah membicarakan tingkatan tertinggi irfan yang merujuk ke Imam ‘Ali.
Dalam buku ini Khomeini dengan tegas menunjukkan sikapnya terhadap agama-agama lain di luar agama Islam. Pada prinsipnya, Imam Khomeini siap menerima teori non Islam asalkan teori tersebut dibenarkan oleh tradisi yang menjadi kerangka kerja pemikirannya. Pada saat yang sama dia tetap waspada terhadap keterbatasan dari apa yang dianggap sebagai pandangan “pagan” (penyembahan berhala) sehingga tidak memadai yang tidak diwarnai oleh wahyu monoteistis. Karena itu, Imam Khomeini selalu berusaha menopang bangunan teori neo-platonis dengan kerangka tradisi Islam yang menciptakan suatu sintesis emanasi filsafat dan wahyu agama. Dimensi agama ini setidaknya dalam Mishbâh al-Hidâyah ditunjukkan oleh tiga cabang utama pengetahuan Islam: Kebijaksanaan tradisional, Al-Qur’an dan Hadits Syi’ah” doktrin imamah syi’ah dan warisan esoteris Islam kaum sufi Iran awal. Seperti Anshari dan Rumi secara samar muncul dilatar belakangi tetapi mereka tampaknya hanya mendapatkan peran sekunder dalam keseluruhan bangunan pemikiran Imam Khomeini. Di bidang sajak dan kesusatraan sufi, Imam Khomeini banyak membaca karya-karya Jalaluddin Rumi dan Hafîdz.
Berdasar pada bukti historis, kontak antara Islam dan agama-agama lain menunjukkan bahwa kelompok Islam yang paling toleran, paling simpatik, paling terbuka, dan paling ramah terhadap agama-agama lain adalah para sufi. Karena itu, dalam pembicaraan tentang perjumpaan Islam dan agama-agama lain, sufisme adalah wakil Islam yang paling berhak dan paling pantas untuk diungkapkan. Tulisan ini diharapkan dapat mengungkapkan pandangan para sufi tentang perbedaan keagamaan dan sikap mereka terhadap agama-agama lain.21
Pengetahuan trdisional Muslim dan juga spekulasi metafisis dan teosofis para teoritis ‘irfân yang selalu menuliskan argumen mereka dalam bahasa wahyu Islam memungkinkan Imam Khomeini mengurangi inpersonalitas gagasan neo-platonis tentang teori keesaan Tuhan (penyebab pertama) dan menggantinya dengan Tuhan monoteisme Islam.
Meski tidak terlalu banyak karyanya mengulas keberadaan agama-agama lain, namun sikap Imam Khomeini sangat jelas, asalkan penganut agama tersebut tidak terang-terangan menyembah berhala dan masih berpegang teguh pada wahyu Tuhan, maka setiap agama memiliki kebenarannya masing-masing dengan jalan yang berbeda.

7. Allah Sebagai Jamal dan Jalal

Pada setiap manusia terdapat sifat-sifat dan keadaan-keadaan yang begitu turun dari alam-alam nonmaterial yang gaib, begitu ia mencapai alam jasadi yang merupakan alam diferensiasi, atau bahkan alam diferensiasi di dalam diferensiasi menemukan suatu bentuk yang berbeda dengan bentuk rupa-rupa imaterial yang gaib dalam efek-efek dan sifat-sifatnya. Kaum Platonis menganggap bahwa wujud material sebagai manifestasi dari ruh-ruh gaib, dan sebagai refleksi dari realitas-realitas samawi dan analogi-analogi gagasan-gagasan Platonis. Kalangan Platonis berpendapat bahwa pola-pola dasar esensial berada dengan sendirinya sebagai substansi yang mandiri. Pola dasar dari sifat dan keadaan semacam itu memiliki bentuk ideal yang bebas dari segala kekurangan di alam-alam imaterial yang gaib. Jika dirujuk ke alam imaterial atau bidang Ilahiah, maka berbeda dengan istilah-istilah yang ada di dunia ini. Misalnya, kalau tajalliyat Kemurahan hati (rahmâniyyat) dan Rahmat (rahîmiyyat), yang juga disebut tajaliyyat Keindahan (Jamal), kelembutan (luthf), Cinta (hubb) dan Keakraban (uns), termanifestasi di dunia ini, maka semuanya ini akan berbentuk cinta, rahmat dan kelembuatan yang disertai kasih sayang (infi’al), dan ini disebabkan oleh sifat sangat sempit dunia ini. Begitu pula tajalliyat Pemaksaan Allah (qahriyyah) dan Penguasa (malikiyyah), yang merupakan bagian dari tajaliyyat Kebesaran (jalal), terjewantah di dunia ini dalam bentuk kebencian (bughdah) dan kemarahan (ghadhab).
Dengan demikian, segi batiniah cinta, kebencian dan kemarahan merupakan Rasa Kasihan dan Mahakuasa-Nya, dan tajalliyat keindahan dan Kebesaran, yang ada dengan sendirinya, dan yang di dalamnya tidak terjadi perubahan, kasih-sayang dan multiplistis. Dengan demikian cinta dan antipati yang ada di dunia ini merupakan perwujudan Rasa Kasihan dan Kemahakuasaan Allah, dan karena suatu perwujudan (mazhhar) bergantung pada apa yang diwujudkan (zahîr), dan karena zahir terlihat dalam mazhhar, maka tidaklah tepat untuk menerapkan istilah-istilah yang sama pada keduanya.
Kebencian Allah terhadap suatu makhluk merupakan manifestasi Kemahakuasaannya dan Maha Membalas, sedangkan cinta-Nya merupakan manifestasi Rasa Kasihan dan Murah Hati.22 Kemudian dia dengan jelas melihat wujudnya sendiri, dan juga wujud segala yang ada, sebagai bayang-bayang Wujud Ilahiah.
Karena menurut dalil metafisika, tidak ada tabir antara Allah dan Makhluk Pertama, yang merupakan nonmateri dan bebas dari segala bentuk materi dan kelengkapan. Bahkan menurut dalil-dalil metafisika, tidak ada tabir bagi wujud-wujud nonmaterial pada umumnya maka hati yang dalam sifatnya yang ekspansif dan meliputi diangkat ke alam wujud nonmaterial. Bahkan, ia berjalan di atas kepala-kepala wujud-wujud itu, dan tidak ada tabir bagi dirinya. 23
Dalam buku Rahasia Basmalah dan Hamdalah, Imam Khomeini banyak membicarakan tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan semua makhluk, tentang wujud Allah dan hubungan-Nya dengan non-wujud. Bagi Imam Khomeini, Tuhan dapat dilihat dari dua segi: dari segi zat-Nya dan dari segi hubungannya dengan makhluk-Nya. Tuhan dalam pertama, tidak dapat kita pahami. Tuhan berada “jauh” dari kita. Tuhan bersifat transenden. Kepada Tuhan yang ini, kita harus melakukan tanzih (membersihkan Tuhan dari segala kesamaan dengan makhluk). Dia berbeda dari apa pun selain Dia. Di adalah Theos Agnostos (Tuhan yang tidak diketahui). Dalam hubungannya dengan makhluk, Tuhan dapat kita pahami. Dia mempunyai sifat-sifat yang ‘sama” dengan makhluk-Nya. Kepada Tuhan yang ini kita dapat melakukan tasybih (menyamakan). Tuhan inilah yang menampakkan dirinya dalam Adam dan seluruh penciptaan. Inilah Theos Revelatus. Dan inilah Tuhan dalam pandangan para sufi.24
Seluruh dramaturgi Ilahi, semua kosmogoni abadi, lahir dari kerinduan Allah untuk ber-tajalli, bermanifestasi. Allah memanifestasikan diri-Nya dalam asma (nama-nama)-Nya. Alam semesta adalah asma Tuhan. Kita tidak mempunyai wujud. Kita hanyalah “percikan cahaya” dari Cahaya Murni. Kita tidak memiliki “ada” yang independen. Keberadaan kita seluruhnya bergantung kepada “adanya” Dia. Karena kerinduan-Nya kepada tajalli, Tuhan “menurunkan” dirinya pada dataran Asma (divine Names).
Karena kecintaannya, seorang hamba “menaikkan” dirinya dengan menyerap nama-namanya (asma).25 Asma atau nama kata Imam Khomeini adalah, sinonim dengan tanda (ayat). Nama diberikan kepada orang dan benda untuk memberikan tanda pada mereka sehingga dengan tanda tersebut mereka dapat dikenal dan dibedakan satu dengan yang lainnya.
Nama-nama Allah juga merupakan tanda-tanda dari Hakikat Suci-Nya; dan hanya nama-Nya yang dapat dikenal oleh manusia. Hakikat Tuhan itu sendiri tidak diketahui oleh siapa pun. Bahkan penghulu para nabi (khatam al-anbiy), manusia yang paling berpengetahuan dan mulia, tidak dapat mencapai pengetahuan tentang-Nya.
Manusia hanya dapat mengetahui nama-nama Allah. Untuk mengetahui nama-nama Allah, terdapat tiga tingkatan; kita dapat mengerti sebagiannya, sebagian lain hanya dapat dimengerti Rasulullah, para awliya, dan orang-orang yang mendapat petunjuk-Nya.26
Pengalaman mistis tertinggi menghasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam perbendaharaan kaum sufi, ekstase sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran. Kebenaran (al-haqq) digambarkan sebagai minuman keras atau khamar. Ungkapan mabuk dalam perbendaharan kaum sufi adalah mabuk ketika mencicipi seteguk minuman khamar. Mabuk bagi kaum sufi merupakan puncak “kesatuan makhluk dengan Tuhan” tanpa hijab dan pembatas.
Bahkan untuk sebagian kaum sufi, minuman yang memabukkan itu tak lain ialah apa yang mereka namakan “dhamir al-sya’n”, yaitu kata-kata ‘an” yang berarti bahwa dalam kalimat syahadat pertama, Asyhâdu an la ilâha illa Allâh. Pelukisan ini menunjukkan betapa intens para sufi menghayati tauhid, sehingga mereka tidak menyadari apa pun yang lain selain Dia yang Mahaada.27

8. Allah Sebagai Kemulian Rubûbiyyah dan Kehinaan ‘Ubudiyyah

Menurut Ayatullah Khomeini, para nabi dan kekasih Allah telah menetapkan bahwa jalan menuju kepada kesempurnaan adalah bersikap ‘ubûdiyyah kepada Allah. Ja’far al-Shadiq dalam kitabnya Mishbâh al-Syari’ah, seperti yang dikutip Imam Khomeini, mengatakan bahwa ‘Ubûdiyyah (menjadi hamba sejati) adalah esensi ibadah, sementara intinya terletak pada Rubûbiyyah (menyatakan dan mengimani Allah dalam segala hal).
Apa yang yang hilang pada ‘ubudiyyah akan didapatkannya pada Rubûbiyyah, dan apa yang tersembunyi dari Rubûbiyyah akan ditemukannya pada ‘Ubûdiyyah”.28
Imam Khomeini menafsirkan pernyataan Ja’far al-Shadiq yakni jalan menuju hakikat Rubûbiyyah adalah pengembaraan dalam tingkatan-tingkatan ‘Ubûdiyyah.
Apabila sikap keduniawian dan sikap egoistis dalam ‘ubûdiyyah akan ditemukan dirinya dalam naungan Rubûbiyyah , dengan demikian ia telah sampai pada maqam dimana Allah akan menjadi pendengarannya, pandangannya, tangannya dan kakinya. Selanjutnya, semua perilakunya sebagai perilaku ilahi, pandangannya menjadi pandangan ilahi, sehingga ia akan memandang dengan pandangan yang benar (haq). Karena itu, bagi para pesulûk agar sampai kepada yang Ilahi, ia harus berupaya keras menyematkan sifat kehinaan diri sehingga sifat kehinaan ‘Ubûdiyyah dan kemulian Rubûbiyyah menjadi cahaya matanya.29
Dengan kata lain, seorang sufi harus mampu menerobos hijab untuk mencapai kemulian, maka dengan demikian ia akan sampai pada maqâm memperoleh iman kepada hakikat, mencapai hakikat Dzâlil al-Ubûdiyah (kehinaan penghambaan) dan Izz Rubûbiyah (kemuliah Rububiyah). Di antara adâb-adab kalbu di dalam ibadah dan kewajiban-kewajiban batiniah (esoteris) seorang pesulûk penempuh jalan akhirat adalah ber-tawajjuh (mengembara) menuju kemulian Rubûbiyyah dan kehinaan ‘Ubudiyah. Tawajjuh seperti ini termasuk di antara tingkatan penting dalam perjalanan syr wa sulûk seseorang, sehingga kadar sulûk setiap orang akan terlihat berdasarkan kekuatan dan kadar tawajjuh-nya. Bahkan kesempurnaan dan kekurangan sifat kemanusian seseorang bergantung pada perkara ini. Setiapkali seseorang memandang lebih kepada ego, keakuan dan keagungan dirinya, maka sebatas itu pula dia akan jauh dari kesempurnaan kemanusiaan dan tertinggal dari maqâm yang dekat dengan Tuhannya.30
Dua maqam antara kemulian Rubûbiyyah dan kehinaan ‘Ubûdiyyah yang merupakan tawanannya, tersimbol dalam keseluruhan ibadah shalat. Shalat karenanya merupakan mi’raj ruhani. Bagi para sufi, maqâm kehinaan ‘Ubudiyyah dan kemulian Rubûbiyyah dan maqâm-maqâm lainnya terdapat urutan dari tingkatan yang tidak terhingga.

B. Puisi, Sufi, dan Imajinasi

Menurut pengakuan putra Imam Khomeini, yakni Ahmad Khomeini, ajaran ‘irfan Imam Khomeini diilhami oleh Al-Qur’an dan ajaran-ajaran Rasulullah yang mencakup segala dimensi filsafat yang bukan hanya wahdat al wujûd, namun juga ‘penyatuan’ hakiki di antara hal-hal yang ada (al-maujud) Dalam puisi ‘irfan-nya, Imam Khomeini selalu mengulang-ulang seruan atas penyatuan dalam tatanan wujud, sehingga beliau mengucapkan kalimat ana al-haqq (saya kebenaran itu), seperti yang dikatakan Husain al-Mansyur al-Hallaj ketika berada di tiang gantungan.31
Kalau dilihat dari bentuknya, puisi sufistik memang merupakan bentuk yang lebih polos ketimbang prosa karena puisi sufistik lebih bersahaja dan apa adanya dalam mengungkapkan ilham, melalui kalimat lebih pendek-pendek yang efisien, dan lebih tak merasa perlu untuk melakukan penjelasan logis sebagaimana prosa.
Meskipun demikian, ada juga prosa yang relatif lebih liar. Karya-karya Salman Rushdie adalah contoh yang baik mengenai prosa yang mengandalkan imajinasi yang liar.
Memang, bagi yang tidak percaya pada karya imajinatif yang terus terang dan apa adanya, atau yang percaya bahwa imajinasi cenderung menghasilkan penyelewengan pemikiran, bisa juga daya khayal disalurkan kepada karya-karya seni yang "waras", tidak "mabuk". Dalam arti, sejalan dengan pakem-pakem rasional, mungkin juga filosofis dan religius, sebagaimana diajarkan oleh tradisi agama (kitab suci, sabda nabi, dan orang suci, dan sebagainya).
Meski mungkin dipercayai bahwa nilai seninya bisa berkurang—bahkan juga boleh jadi kandungan keotentikannya tereduksi—hasilnya bisa lebih terkendali, lebih terpahamkan oleh orang banyak, dan kemungkinan penyelewengannya lebih kecil. Inilah sikap yang diambil oleh umumnya para seniman klasik, atau seniman religius, atau bahkan seniman modern tertentu yang memuji kewarasan.
Kisah-hidup para penyair sufi bisa menjadi ilustrasi yang menarik. Pernah ada masa ketika seorang penyair dikiaskan sebagai "penyair bir." Inilah barangkali fase dalam hidup penyair tersebut ketika dia mengandalkan pada daya khayal yang ekstase (mabuk). Dan anggur—termasuk juga bir—dipercayai bisa membantu orang untuk "naik" ke alam imajinal dan puncak pengembaran spiritual.
Sebagian sufi masa lampau konon juga mengandalkan sebatas-terkendali penggunaan mood inducing substance ini, seperti Ibn Sina. Ibn Sina memang juga dikenal dengan karya-karya puitik serta prosa liris yang, oleh Henry Corbin disebut sebagai resital-resital visioner. Mungkin juga penyair-penyair tertentu, seperti Omar Khayam yang didakwa bukan hanya sekadar menggunakan ungkapan-ungkapan "anggur" sebagai simbolisme atau bahasa perlambang, melainkan benar-benar minum anggur.
Hal ini barangkali juga terkait erat dengan pandangan sebagian sufi tersebut di atas yang mengaitkan pelepasan daya khayal dari berbagai pembatasan-pembatasan yang mengikatnya dalam keadaan rileks (flow state), seperti dalam tidur atau dalam keadaan-keadaan ekstrem tertentu seperti disebut sebelumnya.
Keadaan "naik" (yang tak mesti sampai ke tingkat benar-benar mabuk) barangkali juga dipercayai sebagai termasuk salah satu di antaranya. Ada pendapat yang menyatakan bahwa sesungguhnya, para pemikir dan penyair yang memang menggunakan sejenis mood inducing substances, memang berpendapat bahwa sejenis minuman tertentu seperti ini memang diperbolehkan oleh agama. Dalam tradisi awal Islam, diriwayatkan bahwa sebagian kaum Muslim biasa meminum setakar nabidz-
kurma fermentasi, dicampur air meski dalam jumlah banyak minuman ini bisa memabukkan. Mazhab Hanafi, yang banyak dianut antara lain di Turki, kabarnya termasuk yang menoleransinya.
Dalam ajaran tasawuf, puisi lebih sering lahir dari kecintaan (’isyq) yang meluap-luap kepada Sang Khaliq, semacam cinta platonik dalam filsafat. Di Turki, puisi-puisi seperti ini disebut kesusastraan ’asyiq (pencinta). Dalam kesusastraan sufi-Arab, cinta platonik seperti ini disebut sebagai cinta ’Udzri. Ia merujuk kepada sebuah suku Arab bernama Banu ’Udzrah di Wadi al-Qura, Hijaz Utara. 32
Dikisahkan bahwa pada di suatu masa, di tempat itu ada 30 anak muda yang berada di tepi kematian akibat cinta platonik yang tak terpuaskan. Melakukan perzinaan yang dikutuk tak terpikirkan oleh mereka karena dipercayai Islam telah memurnikan jiwa-jiwa mereka. Jadilah ia perlambang ketulusan cinta kepada Sang Ma’syuq (Pencinta) atau Tuhan. Puisi-puisi yang bermuatan cinta ’udzri ini sangat menonjol pada Rabi’ah al-’Adawiyah dan ’Aisyah, putra Imam Ja’far al-Shadiq.
Yang terakhir ini barangkali ada hubungannya dengan kenyataan bahwa ungkapan-ungkapan cinta seperti ini banyak datang dari kakeknya, ’Ali bin Abi Thalib, sahabat Nabi Muhammad SAW yang dipercayai sebagai guru banyak sufi awal. Pada penyair sufi laki-laki hal ini termanifestasikan dalam puisi-puisi Ibn ’Arabi, Rumi, Hafiz, Sa’di, Shabistari, Sana’i, Jami’, dan banyak lagi. Yang berikut ini adalah salah satu contoh puisi Faridduddin al-’Ath-thar:


Termangsa cahaya kehadiran Simurgh
Ku sadar jadinya
Tak lagi tahu apakah aku
Kau atau Kau aku       
Ku t’lah sirna ke dalam-Mu        
Maka pupus jugalah kebergandaan.33


Selanjutnya kemungkinan kita akan terkejut ketika mendapati bahwa di antara puisi religius yang lebih "liar" justru keluar dari seseorang yang dianggap seprofan Imam Khomeini. Inilah sekadar cuplikan ungkapan-ungkapan puitik dari sang pemimpin besar Revolusi Islam Iran:



Wahai kudamba hari itu
Saat piala (anggur) pengocok jiwa    
Kuterima dari tangan-lembutnya
Dan, dalam lupa dua dunia
Terantai di helai-helai rambutnya      
Wahai kudamba hari itu                
Saat kepalaku di tapak-kakinya     
Ciuminya hingga hidup usai saja
Dan jadilah aku hingga kiamat tiba
Mabuk dari gelasnya.34





Imam Khomeini, betapa pun enigmatic-nya pribadi ini, bagi banyak orang sesungguhnya hanyalah berada dalam garis tradisi para sufi-penyair Persia pendahulunya. Bahkan, meski juga "murid" dari Mulla Shadra, sang filosof hikmah yang tak kurang rasionalnya, ia adalah pengikut mazhab Akbarian (julukan bagi pengikut Ibn ’Arabi) yang cukup setia.
Steven Katz, dengan tulisannya yang berjudul Language, Epistemology, and Mysticism (dalam buku yang disuntingnya sendiri, Mysticism and Philosophical Analysis, New York 1978) boleh saja menyatakan, "adanya koneksi kausal yang amat jelas antara yang bersifat keagamaan dan pengalaman atas struktur sosial dan sifat pengalaman-aktualnya", yang berarti bahwa ungkapan pengalaman keagamaan banyak dibentuk oleh bahasa (yang telah diterima sebagai suatu kesepakatan sosial).
Akan tetapi, hal ini dipersoalkan oleh Carl W. Ernst, seorang peneliti sufisme, yang antara lain menulis tentang ujaran-ujaran ekskatik dalam aliran ini. Tanpa membantah kemungkinan adanya pengaruh bahasa seperti ini, ia menyepakati pendapat para sufi sendiri yang menyatakan bahwa sumber-utama bahasa mereka justru bersumber dari pengalaman religius, dan bukan sebaliknya.
Qusyairi, salah seorang penulis buku standar tentang tasawuf, dalam salah satu perbincangannya tentang terminologi sufi menunjukkan bahwa keadaan-keadaan mistikal bukanlah merupakan hasil dari upaya, melainkan barakah (grace) dari Tuhan. "Kata-kata (yang dipakai oleh para sufi) itu," kata Ruzbihan Baqli, seorang sufi penyusun kamus terminologi sufisme, "mengikat rumus dari khazanah-khazanah kesubtilan-kesubtilan amar Ilahi." Di tempat lain Ruzbihan mendefinisikan rumus ini sebagai makna yang tersembunyi di bawah kalam-lahiriah: "(Kata-kata itu bersumber dari) tempat pemberhentian rahasia-rahasia keadaan-keadaan mistikal (ahwâl), permakluman amar-amar itu, kerinduan-kerinduan ma’rifat, dan pancaran cahaya penyibakan (kasyf), yang diungkap dari penyibakan manifestasi kekekalan, kalam yang abadi, tindakan-tindakan unik (ketuhanan), dan realitas-realitas manifestasi sifat-sifat-Nya.
Orang-orang yang telah mereguk "minuman-minuman rohani" dalam kesubtilan yang unik dan memesonakan dari dunia yang tersembunyi, pun menjadi master-master atas keadaan sesaat (waqt) mereka, dan mereka pun mengungkapkan isyarat-isyarat kemanisan melalui kata-kata. Dalam pernyataan Ibn ’Arabi, kata (harf) adalah "ungkapan yang dengannya Tuhan berkomunikasi denganmu."
Dengan kata lain, bukan hanya para sufi seperti menyangkal bahwa ilham datang dari alam imajinal-jika ia dipercayai sebagai berada di bawah tingkat alam rasional, seperti yang dipahami para filosof-mereka boleh jadi tak percaya pada keperluan untuk membatasinya dengan daya rasional.
Satu-satunya pembatasan bagi para sufi muncul oleh keperluan mempertimbangkan konteks pengajaran ilham-ilham itu kepada para murid sufisme yang belum mencapai suatu tingkat yang memampukan mereka untuk mencerap ilham-ilham itu dalam segenap ke-"penuh"-annya. Itu sebabnya para sufi terkadang terpaksa menyederhanakan, di waktu lain menyembunyikan ilham-ilham yang mereka peroleh dari pengalaman-mistikal mereka lewat bahasa-bahasa yang sesuai.
Meskipun demikian, tasawuf bukannya tidak mengenal latihan-latihan dalam hal perolehan ilham-ilham mistikalnya. Selain untuk memastikan bahwa ilham-ilham itu otentik, sekaligus meningkatkan daya spiritual, boleh jadi juga latihan-latihan ini diperlukan untuk mempersiapkan wadah yang cukup bagi terpaan ilham yang datang agar tidak meluap-luap ke sana kemari dan melahirkan ungkapan-ungkapan ekskatik yang kontroversial.
Dengan cara inilah para sufi menjalankan fungsinya sebagai guru bagi para murid-baru tasawuf, yang harus merancang bahan-bahan yang sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Latihan ini mengambil bentuk ketaatan kepada aturan perjalanan spiritual (sulûk), termasuk pembagiannya ke dalam stasiun-stasiun (maqâmât) dan keadaan-keadaan (ahwâl).
Kita tahu, imajinasi adalah hal terpenting dalam berbagai kerja kreatif seni. Imajinasi sebagai sebuah daya cipta mampu mendorong seorang penyair membentuk gambaran (imaji) atau konsep-konsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari sensasi (pengindraan).
Imajinasi senantiasa bekerja secara mental dan tak terindrai. Imajinasilah yang kemudian membuat puisi atau karya seni lainnya lebih kaya dan berbeda dari segala yang ada dalam hidup kita. Ia bisa mengafirmasi, tetapi tidak jarang bersifat subversif atau, bahkan, menjungkirbalikkan kesepakatan dan kewarasan umum. Imajinasi adalah sebuah dunia, tempat para penyair dan sufi menemukan kenikmatan “bercakap-cakap” dengan Kekasihnya.
Namun, kerja ini mendapatkan, setidaknya, dua tantangan: internal dan eksternal. Pertama, bahasa pada dirinya sendiri adalah medium yang memiliki keterbatasan untuk mengungkapkan pencitraan secara verbal. Ia tidak mungkin mampu menggambarkan secara paripurna realitas imajiner yang berlangsung dalam kerja mental sang pengarang. Sama halnya dengan keterbatasan cat, warna, dalam mewujudkan pencitraan seorang pelukis secara visual. Puisi dan lukisan bukanlah wujud dari imajinasi itu sendiri, ia merupakan 'turunan', proses konstruksi, dari aktivitas mental yang imajinatif dengan kata dan warna sebagai alat utamanya.
Kedua, dari luar kerja ini mendapatkan tantangan dari kekuasaan lembaga-lembaga di luar sastra dan ini yang sering kali mengantarkan sastrawan pada ancaman kematian. Apa yang terjadi terhadap Al-Hallaj, Sekh Siti Jenar atau Hamzah Fansuri adalah terguncang dan terancamnya bangunan imajiner sastra oleh kekuasaan jurisdiksi yang mengatasnamakan syari’at.
Kasus-kasus serupa ini terjadi di berbagai negeri, berbagai agama, di mana sastra senantiasa dicurigai memunyai kekuatan subversif yang akan mengancam dan melukai iman masyarakat awam. Di negeri-negeri semacam ini muncul apa yang disebut Nadine Gordimer, pemenang Nobel Sastra 1991, sebagai 'penganiayaan religius', yakni penolakan hak-hak rakyat untuk beriman dengan bebas. Agama memasung kebebasan dan memiliki daya teror yang melintasi seluruh batas negara.
Seperti yang pernah dikemukakan, bahwa setiap disiplin ilmu, apa pun namanya, itu mempunyai istilah-istilah tersendiri yang mereka gunakan untuk mempermudah orang-orang yang akan atau sedang mendalami ilmu tersebut.
Dalam kajian tentang ‘irfân atau tasawuf juga ada beberapa istilah tasawuf yang mesti diketahui oleh orang yang ingin mempelajari tasawuf. Meskipun mengetahui istilah tidak berarti telah menguasai atau mengalami irfân.
Suatu ketika menantu Imam Khomeini bernama Sayyidah Fatimah Thabathaba’i, dia seorang doktor dan dosen di sebuah Universitas Teheran meminta kepada Imam Khomeini sebagai mertuanya, untuk mengajarkan filsafat. Imam Khomeini menjawab dengan sebuah syair berbahasa Persia yang intinya, bahwa yang sekarang kamu ketahui ini, wahai Fatimah, adalah : fa, lam, sin, fa, ta saja (maksudnya falsafat). Jadi Anda hanya baru mengetahui kulit atau istilah-istilah filsafat saja. Anda belum memahami inti dari filsafat.
Dalam ‘irfân atau tasawuf; ada istilah-istilah yang digunakan untuk menjelaskan latihan-latihan (riyâdhah) dan pengalaman-pengalaman spritual. Seseorang bisa saja menguasai istilah-istilah ‘irfân dan tasawuf tetapi belum tentu dia mengalami dan menjalankan riyâdhah. Atau dengan kata lain, ada orang yang ahli tentang ‘irfân dan ada pula orang ‘ârif atau shûfi. Perbedaan ini muncul, diantaranya, karena istilah merupakan bagian dari ilmu hushûli sedangkan pengalaman-pengalaman spiritual adalah ilmu hudhuri. Syeikh Taqi Misbah Yazdi dalam menjelaskan kedua macam ilmu ini mengatakan, bahwa ilmu hushuli adalah ilmu yang diperoleh oleh seseorang melalui media atau perantara. Sedangkan ilmu hudhûri adalah ilmu yang diperoleh tanpa melalui media dan perantara. Meskipun demikian, bukan berarti istilah tidak diperlukan. Istilah perlu diketahui guna mempermudah penyampaian tentang sebuah ilmu pengetahuan, khususnya masalah Tasawuf. Al-Qusyairi, seorang tokoh sufi, dalam bukunya Risâlah Al-Qusyairiyyah sebuah buku yang menjadi referensi atau rujukan para sufi, baik Sunnah atau Syi’ah mencantumkan istilah-istilah yang tidak bisa dipahami kecuali oleh orang yang belajar secara khusus tentang tasawuf. Ketika ditanya, Mengapa demikian? Dia menjawab, “Saya sengaja sebutkan istilah-istilah ini supaya tasawuf itu tidak menjadi buku kacangan atau buku bacaan pengantar tidur.” Oleh karenanya beliau sengaja menaruh istilah-istilah yang sulit supaya tidak semua orang membacanya dengan sendiri. Mesti ada seseorang yang menjadi pembimbing dalam memahami istilah-istilah tersebut, atau, paling tidak, seorang yang hendak membaca irfan, hendaknya memiliki dasar-dasar tasawuf dan filsafat yang cukup.
Barangkali dapat dikatakan bahwa dalam semua disiplin ilmu juga seperti itu. Dalam ilmu kedokteran misalnya, ada istilah-istilah yang mereka gunakan yang tidak dipahami oleh kalangan luar mereka. Saya sebagai orang awam tentang kedokteran, tidak mengerti istilah-istilah kedokteran itu. Mereka, para dokter saja yang memahami istilah-istilah itu. Atau Anda yang berkecimpung di dunia tekhnik misalnya, juga memahami istilah-istilah tekhnik. Sangatlah wajar kalau saya tidak memahami istilah-istilah tersebut. Demikian pula halnya dengan tasawuf. Tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu mempunyai terminologi atau istilah yang khusus diketahui oleh orang-orang yang belajar tentang itu saja. 
Ungkapan dengan istilah-istilah yang tidak umum memang dengan mudah kita dapatkan dalam berbagai literatur tasawuf. Puisi-puisi yang bermuatan cinta juga begitu banyak. Di antara yang menonjol misalnya terungkap dari sufi sekaligus penyair perempuan, yakni Râbi’ah al-Adawiyah. Ungkapan Râbi’ah al-Adawiyah yang terkenal itu mirip dengan ungkapan Ali bin Abi Thalib. Kata Râbi’ah :

“aku beribadat kepada-Nya bukan karena takut neraka atau mengharapkan surga….” Sementara ungkapan Ali bin Abi Thalib sangat mirip; “ada golongan yang beribadat kepada Allah karena mengharpkan sesuatu itulah ibadatnya pedagang. Ada yang beribadat kepada Allah karena takut itulah ibadatnya budak belian. Ada yang beribadat kepada Allah karena rasa syukur itulah ibadat orang meredeka”.35

Sebenarnya, tidak sedikitit kaum sufi yang mengungkapkan rasa cinta dan kerinduan-Nya kepada Tuhan lewat syair atau puisi relijius, bahkan ada yang melalui tarian, seperti Jalaluddin Rumi. Semua itu tiada lain, agar lebih merasaka kehadiran Tuhan, merasakan berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan serta upaya pensucian jiwa.
Puisi Imam Khomeini banyak menggunakan metafora atau simbol-simbol, yang sepintas tak masuk akal dan sulit dipercaya keluar dari pena Imam Khomeini. Kenyatan ini dapat dikatakan bahwa Imam Khomeini tak bisa dilepaskan dengan tradisi penyair-penyair Parsi, seperti Rumi, Hafiz, Sa’di dan Khayyam. Umar Khayyam misalnya, selain sebagai ahli matematika dan astronomi, juga sebagai penulis karya sastra kemanusian yang popular, Ruba’iyyat (syair-syair empat bait). Salah satu puisinya yang berjudul “Putri Anggur”, Khayyam mengemukakan :



PUTRI ANGGUR 

Kau tahu, sahabatku,
betapa cerah rumahku,
Untuk perkawinan baru,
aku berpesta-pora;

Menceraikan nalar tua bangka,
Dan mengambil Putri Anggur sebagai teman setia. 36



Oleh karena itu, mungkin kita tidak perlu kaget jika menemukan ungkapan-ungkapan yang berupa pujian terhadap minuman anggur dan perempuan yang mempesona dan bibir molek serta rumah berhala dalam puisi-puisi Imam Khomeini di bawah ini: 



AKHIR YANG MANIS 

Dengan anggur O, kekasihku
Penuhi pialaku ini
Biarkan jangan kehormatanku melambung
Biarkan jangan namaku berkilau
Tuangan penuh-kasih dalam piala itu
Yang membanjiriku
Yang membasuh jiwa
Dari tipu daya yang angkara
Anggur istimewa penuh suka-cita
Merdekakan jiwa
Usirkan kegemilangan
Halaukan kebesaran
Anggur kenistaan
Yang orang hina meregukny
Yang kepasrahan terbenam di dalamnya
Yang kehinaan tenggelam di dasarnya
Dalam naungan-suci cawan-anggur
Di kedai datang dan lihatlah
Kumenyelip dari setiap celah
Menyambuti daku para peri
Kalau kini kuharus pergi
ke kumpulan pemabuk sejawat
Dengan basuhan anggur, siapa peduli
Pikirkan dunia ini
Wahai Andika hawa yang lembut
Selamati aku dan sambutlah
Saat seb’rangi sungai di sana
Ke kebun apel lembab itu
Dalam cawan kulewati
Belokan jalan-kehidupan ini
Kabari kepala biara itu
betapa manis akhir ini.





Keindahan—apakah itu tubuh perempuan, bibir yang molek atau bukan— memang sering dipakai sebagai simbolisme keindahan (jamaliyyah) Sang Khaliq. Sementara itu, anggur dan kemabukan mencitrakan ke-fana-an atau kehilangan kesadaran tentang diri sendiri demi baqa’ (tetap tinggal) bersama Allah. Sajak berjudul “Keterjagaan” dari Imam Khomeini di bawah ini juga penuh dengan pujian terhadap perempuan.  Keraguan akan kekurangan manusia “kadang lebih baik daripada kepercayaan atau keyakinan yang buta, dan yang hanya baik bagi golongan yang kehilangan akalnya.
Meski merasa “mabuk” oleh seteguk “anggur” dan godaan perempuan molek, Imam Khomeini tetap merasa terjaga akan kebesaran Ilahi, sebagaimana terlihat dalam puisi berikut ini:




KETERJAGAAN 

Bibir molek merah delimamu, titik hitam bundar di dahimu
Menjerat hatiku, kekasihku, dan bagai merpati aku terkurung
Pandang pilumu, menusukku hingga aku pun sakit dan merana

Namun fana dalam Kau membuat diriku yang tersiksa jadi bebas 
Kupukul kendang “Ana al-Haqq,” seperti Mansur aku tahu
Apa tanggungannya, biar kurelakan nyawaku melayang
Sebab itulah jiwaku sembuh, terpana sembilan waktu
Dan pintu kedai anggurmu terbuka siang malam 
Pada madrasah dan masjid aku sudah bosan

Jubah Fuqaha ini pun tak sanggup memberiku hiburan
Maka kukenakan baju fakir bertambal sulam
Yang membuatku sefar di tengah nyala api dan asap 

Khutbah ulama menyebabkan mataku tertidur lelap
Nafas sempoyongan berbusa anggur menyampaikan kata emasnya
Tahu kau apa yang menyentak hingga terjaga?
Tangan molek pelayan kedai anggur membangunkan aku 


Bahasa puisi Imam Khomeini sepintas terlihat tidak lazim. Akan tetapi bila ditelusuri ke belakang, ungkapan-ungkapan semacam anggur, minuman keras, pemabuk, kedai, dan sejenisnya, banyak digunakan oleh para sufi pendahulunya. Dalam puisi berjudul Majelis Pemabuk terlihat ungkapan-ungkapan yang memang tidak lazim digunakan oleh kebanyakan ulama Islam :



MAJLIS PEMABUK 

Wahai, (kudamba) hari itu
Saat kujadi duli di jalannya
Saat kutetap hidup deminya
Saat jadi pencinta-sejatinya kuhanya
Wahai, (kudamba) hari itu
Saat piala (anggur) pengocok jiwa
Kuterima dari tangan-lembutnya
Dan, dalam lupa dua dunia
Terantai di helai-helai rambutnya
Wahai, (kudamba) hari itu
Saat kepalaku di tapak-kakinya
Ciuminya hingga hidup usai saja
Dan jadilah aku, hingga kiamat tiba
Mabuk dari gelasnya



MATA PEMBUAT SAKIT 

Mempesona nian tahi-lalat di bibirmu
Lihatlah! Aku terperangkap
Berdo’a, biar yang disakitkan matamu
Adalah hatiku
Kucampakkan sudah cinta diriku
Kebenaran kini hanyalah aku
Kan kulihat jua tetiang-gantungan
Bagai Mansur37 dulu lihatnya 
O kasih, nyala pikiranmu
Bakar hatiku
Kalau kini buah-bibir kujadi
Namaku kau jua ilhami
Biar bagiku terus terbuka
Pintu kedai siang dan malam
Selamat tinggal madrasah, selamat tinggal mushalla
Biar kuambil jalan sendiri
Lama sudah kautahu
T’lah kukoyak jubah kesalehan
Pakaian-bertambal penjaga kedai
Demi temukan jalan kupakai 
Lihatlah! Disiksa aku pendeta-kota
Dengan khutbah busuk dan sia-sia
Dimana engkau! Selamatkan daku
Dengarkan, wahai ruh pemabuk
O, luar-biasa rumah berhala itu
Kenangan indah hidup-hidupkan
Sentuhan ajaib penjaga kedai
Rusakkan sudah tidur-lelapku.
 


Di sini, pandangan sastra sufistk Imam Khomeini sungguh di luar dugaan, dimana kebanyakan para ulama memandang sufi al-Hallaj telah menyimpang dari kebenaran Islam. Sementara Imam Khomeini melalui sajaknya justru memuji al-Hallaj. Selain itu, Imam Khomeini banyak mengelaborasi tentang keindahan.
Kalimat puisi-puisi Imam Khomeini di atas menegaskan bahwa puisi yang kini dikenal dengan puisi sufi pernah menjadi perhatian serius di kalangan mistikus Islam. Puisi dalam bentuk kalimat pendek-pendek juga bisa ditemukan dalam kisah-kisah yang dicetuskan oleh para sahabat nabi dan pengikutnya. Dalam parabel kitab suci terdapat banyak muatan puisi bernafas keislaman. Kisah Nabi Adam dan Hawa, Musa, Isa, Yusuf, Sulaiman, Daud, dan cerita kaum Ad dan Thamud, cerita Ashabul Kahfi (penghuni gua), Ashabul Fil (pasukan gajah), Isra’-Mi’raj, dan yang lainnya, adalah kisah-kisah tentang puisi religius.
Puisi-pusi Imam Khomeni terkesan “mencela” sufi, “mencela” masjid dan mushola, “mencela” kesalehan dan jubah keulamaan dan “mencampakkan” sajadah.
Dalam sajak “Mengoyak Jubah”, Imam Khomeini mengkritik dengan tajam terhadap hal-hal lahiriah seperti pakaian jubah dan sajdah: jubah yang menipu dan munafik, sajadah yang penuh palsu. Sementara ia nampak “memuji” kemabukan, anggur, kedai dan perempuan berbibibir molek. Karena ungkapan-ungkapan semacam itu maka para sufi seringkali dituduh sesat dan kafir oleh para ulama yang berlainan paham.38



MENGOYAK JUBAH 

Betapa kurindu ‘tuk meneguk
Segelas anggur dari tangan kekasihku
Wahai, dengan siapa berbagi rah’sia
Ke mana kubawa keluh-kesah ini 
Kupasrahkan hidup dalam asa
‘Tuk saksikan wajah sang sobat
Aku bak kupu-kupu kitari lampu
Aku bak biji terbakar di perapian 
Jubah ini tipu dan munafik melulu
Sajadah ini pun penuh palsu
Bisakah mengoyaknya aku
Persis di depan gerbang kedai itu 
Jika sobat dari gelasnya kekasih
Seteguk kecil mau mengasih
Jiwa ini dalam-jubah-hidupku
Sebagai imbalan senang kuberi 
Aku renta meski bisa juga belia
Anugerahiku pandang-manismu
Biar bisa dari rumah kecil ini
Alam semesta aku menjadi.39



Kesulitan memahami literatur tasawuf semacam itu, seperti juga puisi-puisi Imam Khomeini, ialah bahwa pengungkapan ajaran dan pengalaman mereka seringkali menggunakan kata kiasan (matsal) dan perlambang (ramz) dan simbol. Karena itu, ungkapan-ungkapan yang mereka lahirkan harus dipahami dalam kerangka interpretasi metaforis atau tafsir batini (ta’wil). Dan ta’wil memang yang menjadi metode pokok mereka dalam memahami teks-teks suci, baik Kitab Suci maupun Hadits Nabi.40
Puisi di atas tidak diragukan lagi mengungkap sisi kesufian Imam Khomeini yang gemilang dan sejajar dengan puisi-puisi sastra sufistik semisal Jalaluddin Rumi. Keakraban Imam Khomeini pada pilihan kata anggur memang tak asing bagi kaum Sufi. Anggur menjadi metafor ke-fana-an serta kehilangan kesadaran akibat mabuk dengan Kekasihnya. Para Sufi juga kerap menggunakan pencitraan yang kontroversial seperti anggur yang bertalian dengan kemabukan, untuk menunjukkan bahwa jalan keruhanian yang mereka tempuh bukanlah jalan biasa, bukan jalan formal.
Seraya merujuk pada Jalaluddin Rumi, Imam Khomeini menguraikan kesalahpemahaman dan kesalah bacaan yang disebabkan ungkapan yang menggunakan kata perlambang. Sebuah artikel yang ditulis Imam Khomeini berjudul “Melampaui Tirai Bahasa” mengungkapkan uraian filosofis yang dan logika bahasa yang disebabkan oleh kegagalan untuk saling memahami “bahasa” masing-masing, karena masing-masing kalangan memiliki cara yang berbeda dalam mengungkapkan sesuatu.
Imam Khomeini menceritakan tentang tiga orang, satu dari Persia, satu dari Turki, dan satu lagi dari Arab yang sedang merencanakan apa yang akan mereka beli untuk makan siang. Si Persia berkata, “Kita makan angur saja”. Kata Si Arab, “Jangan, lebih baik makan anab”. Dan orang Turki pun menukas, “Bagi saya, lebih baik uzum”. Padahal ketiga kata itu sama-sama berarti “anggur”, namun karena mereka tidak memahami bahasa masing-masing, mereka terus bersitegang. Akhirnya masing-masing mereka mendapat apa yang mereka inginkan dan ternyata mereka menginginkan hal yang sama.41
Bahasa yang berbeda kata Imam Khomeini, menyatakan hal yang sama dalam cara yang berbeda. Filosof, misalnya, mempunyai bahasa mereka sendiri, demikian juga dengan Fuqahâ (para faqih), sufi, dan bahkan penyair. Untuk melihat bahasa mana yang lebih dekat dengan bahasa Al-Qur’an, maka perlu diuji lebih jauh. Apakah hal-hal yang mereka ungkapkan sama, yaitu sebagai manusia berakal mereka meyakini bahwa Allah itu ada dan bahwa Ia adalah sumber segala eksistensi. Sebab tidak ada orang yang berakal akan percaya bahwa manusia yang mengenakan jaket dan celana panjang, atau mengenakan jubah dan surban, adalah Tuhan; manusia seperti itu adalah ciptaan (makhluk) bukan lagi Sang Pencipta. Tapi, tatkala menafsirkan hubungan pertemuan antara Allah dan ciptaan-Nya, dan memilih istilah untuk mengungkapkannya, perbedaan pendapat mulai muncul.42
Ilustrasi Imam Khomeini perihal “kesalahpahaman” yang diakibatkan oleh perbedaan bahasa menarik untuk ditelaah lebih jauh, namun bukan maksud untuk karya ini.
Matafor anggur yang merujuk pada kemabukan digunakan untuk menunjukkan persatuan mistis yang timbul dari suatu ekstase. Ekstase sebagai metode sufi untuk mencapai pengetahuan ma’rifat atau memperoleh butir-butir hikmah untuk membuka tabir kegelapan dengan cahaya intuisi dan pengalaman batin baik dengan zikir maupun wirid. Ekstase mistis sebagai jalan untuk memurnikan kalbu dan mentransendensikan diri pada dasarnya dipakai untuk membebaskan diri dari kesadaran lahiriyah.
Dalam pengungkapan nama-nama Ilahi, Imam Khomeini menampilkan diri sebagi pendukung kuat imajinasi tasawuf dan penglihatan langsung akan realitas-realitas yang hanya dinikmati oleh sekelompok kecil orang terpilih. Imanijinasi tasawuf dan dengan penglihatan langsung semacam itu merupakan alat kognitif yang melampaui seluruh ilmu rasional yang hanya mampu memberikan gambaran mendekati dan tidak pasti tentang realitas. Mereka yang tanpa bukti mengingkari wawasan dan kesadaran intuitif para wali dan ahli tasawuf belum pernah merasakan “manisnya secawan angggur bagi seorang yang dahaga di tengah padang pasir yang luas”.



KERUMUNAN PEMABUK 

Di kumpulan sufi tak kutemukan
Kelezatan yang kudamba
Di biara tak terdengarMusik yang cinta mencipta
Di madrasah tak bisa kubaca
Buku apa saja dari si sobat
Di menara susah sungguh ditemukan
Suara darinya untuk disimak
Dalam cinta-buku tak kulihat
Wajah cantik bertutup cadar
Dalam susastra-suci tak kudapat
Jejak-jejak sang nasib
Di rumah berhala sepanjang usia hamba
Dalam kecongkakan terhabiskan saja
Dalam perkumpulan sesama kulihat
Tak penawar tak juga lara
Lingkar pencinta kujelang musti
Pelipur lara mungkin di sana
Dari kebun mawar sang kekasih
Sepoi angin atau sebentuk jejak
“Aku” dan “Kita” dari akal keduanya
Dialah tali untuk memintalnya
Dalam kerumunan para pemabuk
Tak ada “ aku”  tak pula “kita”.



Pengalaman “bersatu” dengan Tuhan menyimpulkan karakteristik dirinya yang tidak hanya sebagai seorang pemikir tasawuf yang fasih, melainkan telah sampai pada tingkatan seorang sufi yang mampu membumikan ajaran tasawufnya meski ungkapan-ungkpan kesufiannya terkenal paling simbolik dan abstrak. Kesufian Imam Khomeini sangat tampak dalam ungkapan-ungkapan dan tindakannya dalam kehidupan sehari-hari meskipun realitas politik sekitar lingkungannya selalu menggoda.43
Puisi-puisi di atas menunjukkan rasa cinta Imam Khomeini pada Allah lewat bahasa yang begitu syahdu dan nampak terlihat suara kerinduan seorang pencari telaga pencerahan. Seorang yang tanpa keteguhan dan pondasi cinta yang kuat dan didorong semangat keislaman yang tertanam sejak kecil, maka sulit baginya untuk menciptakan tatanan masyarakat propetik berlandaskan semangat keislaman.
Satu puisi lagi yang ditulis Imam Khomeini ketika negeri Iran tengah dilandas krisis keruhanian yang lantaran pengaruh sekulerisasi Barat berbunyi : ‘Kan kau lihat aku menari di depan kedai minuman keras/Kan kau lihat aku menari seperti Darwis/Kan kau lihat aku kehilangan kesadaran.../Kan kulepas kain kemiskinan sekaligus/Dan kau kan lihat aku menjadi hamba merdeka Tuhan semesta alam’.44

Terlepas dari gaya bahasanya yang kadang kontroversial, satu hal yang sejauh ini jarang ditonjolkan oleh para pengkaji pemikiran Imam Khomeini adalah bahwa ia telah menghasilkan sebuah kumpulan sajak sufistik yang cukup berharga bagi mereka yang ingin mengkaji pandangan sastra sufi Imam Khomeini.
Mungkin saja masih banyak puisi-puisi yang pernah ditulis Imam Khomeini selain yang sudah dikutip di atas. Namun dari beberapa puisinya itu tampak Imam Khomeini mengagumi cara pengungkapan kesufiannya melalui bahasa puisi.

















BAB IV
DARI TASAWUF FALSAFI MENUJU TASAWUF SOSIAL

A. Tasawuf Falsafi: Antara Penyokong dan Penentang

Terlepas bahwa kebanyakan ulama Syi’ah berpikir rasional, seperti yang dikatakan Madjid Fakhri, bahwa filsafat pasca Ibn Rusyd justru muncul di dunia Syi’ah dalam bentuknya yang lebih mistis,1 namun tidak semua ulama Syi’ah memiliki kecenderungan ke arah filsafat. Sebagai contoh, dimasa hidup Ayatullah Khomeini, ketika ia mengajarkan teks-teks filsafat, hal itu harus diselenggarakan secara semi rahasia. Pada awal karirnya sebagai guru di bidang filsafat, ketika ia mengajarkan filsafat Mulla Shadra dan Ibn Arabi, Khomeini menjadi sasaran ejekan dan penghinaan.
Ketika salah seorang guru filsafatnya meninggal dunia, para ulama meminta ketegasan kepadanya, terutama tentang keterikatannya kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Perlakuan ini menurut mereka semata-mata karena kecenderungan seseorang kepada filsafat pada waktu itu bisa dianggap sebagai tanda-tanda bid’ah.
Meski dalam tradisi Syi’ah tasawuf dan filsafat memiliki akar yang dalam, namun ilmu-ilmu ini hanya dipelajari sesekali saja dalam lembaga keagamaan dan seringkali justru menjadi sasaran kecaman keras oleh para ulama yang tidak menyetujuinya.
Kenyataan ini juga disadari oleh Imam Khomeini saat pertama kali ia mempelajari dimensi tasawuf selama tinggal di Qum. Bagi Imam Khomeini, tradisi pengajaran dan pelajaran tasawuf di Iran penuh dengan kecurigaan dan fitnah. Tradisi semacam itu menurutnya sangat disayangkan, dimana justru akan menjauhkan umat Islam dari dimensi ruhani, yang pada gilirannya akan terjebak pada ibadah yang kering dalam bentuk ibadah lahir semata.
Harus diakui bahwa dalam sejarah kemunculan tasawuf, tidak terlepas dengan adanya sufi-sufi yang menyimpang dari hakikat tasawuf yang sebenarnya. Namun bukan berarti semua ajaran tasawuf harus disingkirkan. Untuk mengklarifikasi tuduhan negatif terhadap seluk-beluk ajaran tasawuf dan tuduhan-tuduhan miring terhadapnya, Imam Khomeini mengungkapkan kekecewaannya itu dalam kuliah-kuliah terakhirnya berupa pidato, yang kemudian dikenal dengan lima kuliah Surat Al-Fâtihah, disampaikan pada tahun 1980; Secara lengkap ungkapannya berbunyi :

Ketika saya pergi ke Qum pertama kali…almarhum Mirza Ali Akbar Hakim(Yazdi) masih hidup. Seorang yang saleh berkata, “lihatlah sudah sejauh mana Islam merosot; pintu Mirza Ali Akbar terbuka untuk menerima murid”, karena beberapa ulama, di antaranya almurhum Khawansari dan ‘Isyraqi, mau pergi ke rumah Mirza Ali Akbar untuk belajar ‘irfan. Kini Mirza Ali Akbar adalah manusia yang sangat mulia, tapi dulu ketika dia meninggal, ada banyak kecurigaan, bahkan seorang khatib menyampaikan kecurigaan itu lewat khutbah. Perlu disesalkan bahwa beberapa ulama mempercayai kecurigaan itu, dan kehilangan manfaat untuk dapat diperoleh dari belajar ‘irfan.2

Sebagai wujud kecintaan sekaligus ingin mengembangkan nilai-nilai sufistik Islam, maka Imam Khomeini mencoba menyampaikan kesalahpahaman tersebut pada tataran yang sebenarnya, terutama kepada masyarakat Islam
Sejak mulai mengenal tasawuf dimana saat itu usianya baru dua puluh tujuh tahun, pertama kali ia memberikan pelajaran-pelajaran dalam al-Hikmah atau filsafat. Tak lama setelah mengajar filsafat, Imam Khomeini membuka kelas-kelas privat tentang tasawuf yang hanya terbuka untuk sedikit orang yang terpilih, terutama siswa di Qum. Ketika mengulas sebuah doa yang dikenal dengan Du’a al-Sahar (doa fajar), Imam Khomeini menunjukkan keselarasan antara syariat di satu sisi dengan logika mistisisme. Dia mengatakan bahwa tidak ada kontradiksi intrinsik antara filsafat dan tasawuf di satu pihak, dan berpegang teguh pada syari’at di pihak lain.3
Ketika mengulas tentang doa fajar ini, Imam Khomeini banyak mengutip pendapat sufi besar Islam seperti Ibn ‘Arabi dan Mulla Shadra, Hafidz dan Rumi untuk mendukung pandangannya bahwa al-insan al-kamil adalah pemegang rantai eksistensi yang melengkapi siklusnya. Dia adalah tanda agung Allah, yang diciptakan dalam imaji Allah.4
Tapi, meski mendapat perlakuan yang demikian, ditangan Imam Khomeini terdapat pengakuan dan penghargaan kembali bagi kaum Muslim (Syi’ah) terhadap ajaran filsafat.5 Dalam dunia Syi’ah, ajaran filsafat Islam tidak bertentangan dengan ajaran syari’at, bahkan berlandaskan syari’at. Meski buku pertama yang ditulis Imam Khomeini merupakan buku yang banyak menguraikan dimensi filsafat mistiknya Ibn Arabi, namun Imam Khomeini tetap menganggap ajaran Ibn ‘Arabi tidak menyimpang dari ajaran syari’at. Sebuah pembelaan yang jarang dilakukan oleh para ulama sebelumnya.
Tahap perjalanan dan perkembangan spiritual Imam Khomeini terdiri dari; kezuhudan dan penyucian diri dalam rangka membawa sang pencari kepada “telaga pencerahan” Ilahi dan melihat langsung realitas kosmis melalui penghayatan batin. Suatu evolusi batin dan intelektual Imam Khomeini mirip dengan Muhammad Al-Ghazali (wafat 505 H/1111 M) terutama dalam karyanya Miskat al-Anwar dan dari dua biografi utama esoterisme Syi’ah terkemuka, Haydar Amuli dan Mulla Shadra.
Tahun demi tahun, perhatian pada tasawuf dan filsafat semakin matang ketika Imam Khomeini berada di Qum dan mengajar tasawuf kepada muridnya dan pemimpin Islam, Murthada Muthahhari dan Hussein Ali Muntazeri, yang kelak memainkan peranan penting dalam Revolusi Islam Iran.
Meski tampaknya Imam Khomeini telah banyak membicarakan sisi batin manusia dalam beberapa karyanya, satu hal yang nampak diulang-ulangnya adalah soal kecenderungannya terhadap beberapa uraian tasawuf falsafi. Imam Khomeini muda merupakan seorang yang konsen pada ajaran-ajaran tasawuf dengan tingkat pemahaman filsafat yang begitu cemerlang. Penggalian awal dunia tasawuf Imam Khomeini tidaklah dapat dianggap sebuah periode yang sudah lewat, karena periode pra revolusi telah memberikan sumbangan besar bagi pembentukan pribadinya sebagai pemimpin politik dan agama Islam di kemudian hari. Luasnya wawasan dan pengembaraannya terhadap dunia sufi tak diragukan lagi. Beberapa buku telah diterbitkan sebelum meletusnya Revolusi Islam Iran. Sangat sedikit ulama dalam perjalanan hidupnya mampu menggabungkan antara hubungan syari’at dengan tasawuf dan filsafat sekaligus. Karena itu, ada semacam pujian yang ditujukan kepada Imam Khomeini, di satu sisi ia menjelma sebagai seorang faqih, tetapi pada saat yang sama ia juga sebagai seorang filosof dan sufi.6
Kalau kemampuannya menguasai ilmu-ilmu esoterik dan eksoterik ditambah wawasan imamah dan konsep politik yang kuat, kebanyakan masyarakat Islam melihat kepribadian yang unik dalam diri Imam Khomeini. Saat mengajar fiqh di pesantren Qum misalnya, ia telah banyak menarik perhatian murid-muridnya, kemampuan Imam Khomeini memadukan ilmu figh dengan rincian teknis-teknis hukum dengan wawasan mistik.
Sebagaimana dikatakan Hamid Algar, “untuk menunjukkan keselarasan antara syari’at dengan logika ‘irfan, sebagaimana keselarasan ‘irfan dengan logika syari’at, Imam Khomeini telah membawa suatu “revolusi dalam fiqh. Hukum menurut Imam Khomeini “hanyalah jalan atau sarana dalam pandangan para nabi, tujuan puncaknya adalah suatu dunia yang terletak di balik yang sekarang”.7
Selama tahun-tahun pertamanya di Qum, Imam Khomeini telah memulai studi mendalam dan penggalian aktif pada bidang hikmah (filsafat) dan ‘Irfan (tasawuf), yaitu studi-studi yang berhubungan dengan pencerapan kebenaran tertinggi secara rasional dan gnostik (ma’rifat) yang telah lama berkembang di kalangan syi’i Islam. Maka tak heran jika kemudian karya-karya Imam Khomeini, baik berupa buku maupun kumpulan pidato, penuh dengan uraian-uraian tasawuf falsafi, seperti soal wujud, manifestasi Tuhan dan “pertemuan” dengan Allah (Liqâ Allah). Setelah memahami pandangan tentang al-Insan al-Kamil dari Ibn ‘Arabi, Imam Khomeini kemudian menggali Hikmah al-Muta’aliyyah atau teosofi transendentalnya Mulla Shadra. Bagaimana tidak rumit, satu segi dari salah satu ajaran tokoh tersebut membutuhkan kepekaan dan kecerdasan ekstra untuk bisa menyelami seluruh dimensi tasawufnya, apalagi dua model tasawuf yang cukup pelik berusaha untuk digabungkan.
Dengan memadukan konsep wahdat al-wujûd dari Ibn ‘Arabi dan Hikmah al-Muta’aliyah Mulla Shadra, maka tasawuf Imam Khomeini sebenarnya cukup unik, dan karenanya ia pantas dijuluki sebagai seorang yang telah mampu memadukan pemikiran filsafat dan tasawuf dalam waktu yang sama dengan kecemerlangan yang luar biasa atas pemahaman syari’at.8
Dari pengembaraanya terhadap teks-teks wahdat al-wujûd-nya Ibn ‘Arabi dan teosofi-nya Mulla Shadra, Imam Khomeini mampu menyanggah tuduhan-tuduhan yang dianggap menyimpang dari garis tradisi Islam, sekaligus sebagai pembela yang paling gigih atas tasawuf falsafi pada masanya.
Karya Mulla Shadra yang pertama kali dipelajari Imam Khomeini di bawah bimbingan gurunya, Syahabadi, adalah Kitab Al-Asfar (Kitab Perjalanan). Mulla Shadra membahas perkembangan spiritual yang dialami oleh pengembara mistis serta menekankan kewajiban seorang mistik kepada masyarakat mukmin, suatu kewajiban yang muncul dari pencariannya, suatu pencarian untuk mencapai al-Insan al-Kamil, sebuah konsep yang didapat oleh Imam Khomeini dari Ibn ‘Arabi lalu ditemukannya juga pada Mulla Shadra.
Perkenalan Imam Khomeini kepada Ibn ‘Arabi secara tidak langsung melalui perantara Shadr Al-Din Al-Qunawi (wafat 673 H/1273 –74 M)—seorang murid Ibn ‘Arabi—dalam karyanya Miftâh Al-Ghayb (Kunci ke Alam Gaib), yang disusun oleh ulama Usmaniyah kenamaan, Muhammad bin Hamzah Fanari (wafat 834 H/1431 M). Buku ini merupakan sebuah karya metafisika yang paling maju yang kemudian juga diajarkan Imam Khomeini di Qum. Teks yang diajarkan adalah satu pasal tentang nafs (jiwa) dalam karya Mulla Shadra (wafat 1050 H/1640 M) misalnya, Asfar Al-Arba’ah dan Syarh-i Manzuma. Imam Khomeini juga banyak mendapat inspirasi tasawuf dari dari tokoh pendahulu semisal Haydar Amuli (wafat kurang lebih 787 H/1385 M), Ibn ‘Arabi, dan Yahya Al-Suhrawardi, yang juga dikenal sebagai Suhrawardi Al-Maqtul (dihukum mati 587 H/1191 M) .9
Penguasaan Imam Khomeini terhadap ajaran-ajaran filsafat dan tasawuf para pendahulunya, juga dipengaruhi oleh sufi Khawaja ‘Abdul Ansari, Jalaluddin Rumi, Shard Al-Din Qunawi, Abdul Razzaq Kasyani (meninggal 1310 H), dan Da’ud Qaysari, seorang ahli teosofi Syi’i, Qazi Sa’it Qummi (meninggal 1691 H) dan para pakar (master) tasawuf kontemporer seperti Muhammad Riza Qumsya’i (meninggal 1918 M) dan gurunya sendiri Muhammad Ali Syahabadi. Namun demikian, karya Mishbâh Al-Hidâyah jauh lebih penting dpandang dari segi penguasaan bahasa yang lengkap dengan seni tasawuf.
Buku ini bukanlah berisi ringkasan-ringkasan pendapat dan rumusan yang diterima dari orang lain, tapi merupakan perwujudan dari suatu visi yang kuat tentang tarik ulur filsafat dan tasawuf. Untuk mengutip Sayyid Ahmad Fihri lagi, sudah kelihatan bahwa untuk semua yang ditulis Imam Khomeini memiliki pengetahuan yang berasal dari pengalamannya sendiri.10
Imam Khomeini tak mampu menutup keterpesonaannya pada penafsiran rasional dan mistis atas ajaran-ajaran wahdat al-wujûd-nya Ibn ‘Arabi. Terlepas dari guru-guru Imam Khomeini yang lain yang banyak mengajarkan teori-teori wujudi, secara ontologis Imam Khomeini banyak mengambil pelajaran dari Ibn ‘Arabi, guru besar tasawuf falsafi dari kalangan Ahlus Sunnah. Bahkan menurut Alexander Knysh, tanpa kutipan-kutipan yang kita temukan di buku itu, tetap dapat disimpulkan bahwa Imam Khomeini bergantung dan berhutang budi pada Ibn ‘Arabi, karena naskah Mishbâh Al-Hidâyah mengandung ciri stilistik (gaya bahasa) dan terminologi tulisan-tulisan Ibn ‘Arabi.11 Pada usia kurang dari dua puluh tujuh tahun, Imam Khomeini belajar Syarh Fushûsh Al-Hikâm dari ulama besar Syahabadi.
Sebagai bukti “pengaruh” Ibn ‘Arabi terhadap Imam Khomeini adalah bahwa salah satu karya Imam Khomeini, yakni Hasyiyah, sebuah Syarh Fushûsh Al-Hikâm.
Buku ini merupakan catatan kaki atau syarah karya besar Muhyidin Ibn ‘Arabi, yakni Fushûsh Al-Hikâm. Buku ini juga ditulis dalam bahasa Arab dan selesai dalam rentang waktu 1928-1935 ketika Imam sedang mempelajari karya-karya mistikal di bawah bimbingan Ali Syahabadi.
Jika disimak dengan teliti, karya Mishbâh Al-Hidâyah juga mengandung rujukan kepada ucapan-ucapan para Imam Syi’ah, terutama ‘Ali dan putranya, Husain,12 dan juga riwayat-riwayat para perawi andal, seperti Kulayni (wafat 329 H/940-41 M) dan Ibn Babawayh Al-Shaduq (wafat 381 H/991-992 M). Kadang-kadang Imam Khomeini juga merujuk kepada filosof besar Islam seperti Ibn Sina dan karyanya, Kitab Al-Syifâ’ (Kitab Penyembuh).13 Pengaruh Ibn Sina dalam pemikiran filosofis dan mistisisme Islam, dapat dilacak dalam karya-karyanya yang juga mengutip tulisan-tulisan Qunawi.
Selain tokoh-tokoh dari dunia Islam, mungkin yang perlu dicatat ialah keyakinan kuat Imam Khomeini pada Aristoteles. Imam Khomeini bukan pemikir Muslim pertama yang berada di bawah pengaruh filosof tersebut. Apa yang disebut dengan Theologia Aristoteles (Teologi Aristoteles), yang dipakai oleh Imam Khomeini sebagai argumentasi ketika memaparkan teori kosmologisnya, sebenarnya merupakan cerminan dari karya para pemikir Plotinus, yakni Enneades, yang ditulis oleh seorang pengarang Yunani, yang kemungkinan adalah Diodocus Proclus (wafat 485 M).14
Meski telah disibukkan dengan persoalan revolusi, Imam Khomeini tidak memberhentikan kuliahnya meski ajaran-ajaran esoterisnya ditentang oleh banyak ulama Syi’ah, seperti Ayatullah Husein Burruzerdi. Segera setelah wafatnya Burruzerdi, Imam Khomeini dengan alasan-alasan tidak diketahui menghentikan kuliah tasawufnya. Sejak awal 1960-an tampaknya Imam Khomeini mencoba menerjemahkan nilai-nilai sufistik dalam realitas sosial keseharian.
Ada beberapa dimensi ajaran tasawuf Imam Khomeini yang dapat digolongkan sebagai tasawuf falsafi, di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Tuhan Sebagai Manifestasi 

Kesulitan memahami literatur tasawuf semacam itu, seperti juga karya-karya tasawuf Ibn ‘Arabi, ialah bahwa pengungkapan ajaran dan pengalaman mereka seringkali menggunakan kata kiasan (matsal) dan perlambang (ramz) atau simbol. Karena itu, ungkapan-ungkapan yang mereka lahirkan harus dipahami dalam kerangka interpretasi metaforis atau tafsir batini (ta’wil). Dan ta’wil memang yang menjadi metode pokok mereka dalam memahami teks-teks suci, baik al-Qur’an maupun Hadits Nabi.15 Dalam mengulas hadits tentang pertemuan dengan Allah (liqâ’Allâh), Imam Khomeini menyatakan bahwa sebagian ulama dan mufasir telah menutup jalan liqâ’ Allah dan menolak kemungkinan mengalami langsung penyingkapan-penyingkapan (tajalliyat) Zat Allah.
Betul bahwa bagi mereka yang senantiasa membuka jalan liqâ’ Allah dan musyahadah (penglihatan yang diberkati) akan kesucian dan keindahan Allah, akan tetapi bukan berarti mereka di izinkan untuk mengukur misteri Zat Ilahi. Kemustahilan mengukur misteri Ilahi melalui pengetahuan universal (‘ilm kulli) dan melalui pemikiran rasional serta kemustahilan meliput-Nya dalam pengalaman mistis (‘irfân syuhûdi). Imam Khomeini melukiskan “pertemuan” para sufi dengan Allah melalui syair: “Jika bukan karena tarikan dari arah Yang Dirindukan/niscaya penempuh yang malang dan penuh rindu/tidak akan memperoleh keberuntungan”.16
Namun pertemuan dengan Allah bisa saja tercapai, yakni dengan keadaan takwa yang sempurna, setelah hati benar-benar berpaling dari segala dunia dan menolak kenikmatan duniawi maupun kenikmatan akhirati, mampu melawan egoisme dan egosentrisme, dan setelah benar-benar memperhatikan dan terserap dalam Allah dan nama-nama seperti Sifat-sifat Zat Suci, terbenam dalam kecintaan pada Zat Suci. Dengan menguasai itu semua, maka mereka menerima penyingkapan-penyingkapan (tajalliyat). Tirai-tirai tebal yang menabiri mereka menjadi sirna. Dalam keadaan puncak seperti itu tak ada lagi tirai yang membatasi jiwa mereka, sehingga mereka sampai pada tajalliyat dan melihat diri mereka dekat dengan Zat Suci dan sampai pada kesirnaan hakiki mereka sendiri (fana’ dzati).17
Karena itu, jalan menuju pencarian Allah adalah bahwa orang dari mulai pertama harus mencurahkan waktunya untuk mengingat Allah dan mendapatkan pengetahuan tentang Allah. Kemudian, dengan kecermatan dan latihan teoritis dan praktis, dia harus membuka hatinya bagi ajaran-ajaran ma’rifat untuk sampai pada kehadiran Allah.
Imam Khomeini kerapkali mengutip Munajat Sya’baniyah sebagai manifestasi kecintaan antara hamba dengan Tuhannya : “Tuhan, karuniai daku keterserapan sempurna dalam Dikau, dan terangi penglihatan hati kami dengan cahaya penglihatnnya akan Dikau, sampai penglihatan hati menembus tirai-tirai cahaya dan mencapai Keagungan dan ruh-ruh kami terikat dengan Kemulian Kesucian-Mu. Tuhanku, jadikan daku salah seorang dari orang-orang yang Dikau seru dan yang menjawab Dikau, yang Dikau pandang dan yang pingsan karena terpesona di hadapan Kebesaran Dikau, dan yang Dikau bisiki diam-diam dan yang berbuat demi Dikau secara terbuka.18
Pengalaman kesirnaan (fana’) langsung semacam itu tidak bertentangan dengan kemustahilan mengukur dan meliput Zat Allah, juga tidak akan berlawanan dengan ayat-ayat dan hadis-hadis yang menegaskan transendensi Allah. Bahkan ia mendukung dan sesuai dengan itu semua.
Imam Khomeini nampaknya membela seorang sufi yang sedang ekstase ingin bertemu dengan Allah. Ia mengutip sebuah syair sufi yang terkenal; “kami tidak menyembah Allah karena takut neraka, atau karena menginginkan surga, namun kami
beribadah kepada Allah sebagai orang-orang yang merdeka, semata-mata karena Allah patut disembah”.21 Bagi Imam Khomeini, ungkapan semacam tidak menyimpang dari Islam dan masih dalam tingkat kewajaran. Untuk menegaskan pendapatnya, Imam Khomeini menulis syair berikut :

Mabukku terhadapMu tak tersembunyi
dan api rinduku kepadaMu tak pernah padam
Engkaulah pendengaran dan penglihatan,
Anggota tubuh dan kalbu.19

Dalam buku yang lain, Imam Khomeini melukiskan penghayannya terdap kebesaran Ilahi dengan kalimat-kalimat yang puitis, seperti terlihat dalam kutipan berikut :

"Dan kalau kita menjumpai orang yang memiliki penglihatan dan orang yang memiliki hati yang berupaya mengangkat tirai-tirai dan tabir-tabir ini, kita memandang itu sebagai suatu kesalahan dan penghinaan. Selama kita masih terpenjara dalam lubang gelap dunia mulk, kita tidak akan memahami ajaran-ajaran ‘irfan dan pengalaman-pengalaman ahli ‘irfan. Maka, saudaraku, jangan samakan para wali dengan dirimu sendiri, dan jangan bayngkan hati para nabi dan ahli ‘irfan itu seperti hati kita yang suram dan malang ini. Hati kita tertutup debu-debu kecintaan pada dunia dan nafsu-nafsu duniawinya. Kekotoran yang diakibatkan terbenam dalam hawa nafsu tidak tidak memungkinkan hati menjadi cermin penyingkapan-penyingkapan Ilahiah di mana keindahan Yang Tercinta tercerminkan.Tentu saja, dengan adanya egoisme ini, cinta diri kita ini, kita tidak akan dapat memahami tajalliyat Allah Ta’ala dan keindahan serta Kesucian-Nya. kalau keadaan kita seperti ini, maka kita akan menolak kata-kata para wali dan ahli ‘irfan, dan sekalipun kita tidk sampai secara lahilriah mengatakan bahwa mereka itu sesat, namun hati kita tetap menganggap mereka sesat.Dan kalau tidak ada jalan untuk menyangkal kebenaran mereka karena itu mempercayai kebenaran pernyataan rasul dan para Imam yang maksum a.s. kita akan membuka pintu ta’wil dan interpretasi, dan singkat kata menutup pintu pengetahuan (ma’rifah) tentang Allah”.20 

Selanjutnya, Imam Khomeini mengatakan: 

“Kita tidak memahami apa-apa kecuali kenikmatan-kenikmatan hewani dan jasadi, dan kejahilan kita mendorong kita menolak semua ajaran ‘irfan (ma’rifat). Penolakan ini merupakan bencana terburuk yang menghalangi kita dari memahami ajaran-ajaran yang tinggi itu, yang menghalangi kita dari menuntut ajaran-ajaran tinggi itu, dan membuat kita tetap puas berada pada tingkat eksistensi hewani, yang membuat kita tidak dapat memasuki alam-alam gaib dan merintangi dari cahaya-cahaya Ilahi. Hal itu membuat kita, orang-orang yang celaka ini, tidak dapat mengalami tajalliyat, bahkan tidak dapat emmpercayai realitas keadan-keadaan spiritual ini, suatu keyakinan yang merupakan satu derajat kebajikan jiwa dan yang bisa membawa kita ke suatu tempat.

Kita bahkan menghindari pengetahuan (teoritis) yang berfungsi sebagai benih pengalaman (‘irfan), dan benar-benar menutup kedua mata kita dan kedua telinga kita, menutup kedua telinga kita dengan kapa pengabaian supaya telinga kita tidak mendengar satu kata kebenaran, Jika kita mendengar kbenaran itu dari mulut seorang arif penuh gairah atau seorang hamba yang bersedih hati, atau seorang ahli teosofi (hakim muta’allih), segera saja kita menjadikannya sasran segala kutukan dan cacian, dan menyebutnya murtad dan jangak, dan memfitnahnya, sebab telinga kita tidak tahan mendengar kata-katanya, dan cinta diri mencegah kita dari menyadari kekurangan-kekurangan kita sendiri. Kita mewakafkan sebuah buku, sehingga mengikat pembaca buku itu dengan kondisi yang mengharuskannya mengutuk, seratus kali sehari, almarhum Mulla Muhsin Fayd (Kasyani!) Kita menyebut Shadr Al-Muta’allihin (Mulla Shadra), pengikut tauhid terkemuka, zindiq dan terus menerus mencacinya. Pada semua karyanya sama sekali tidak ada jejak kecenderungan kepada tasawuf. Bahkan dia menulis sebuah karya yang berjudul Kasr Ashnam Al-Jahiliyyah Ar-Radd ‘ala Ash-Shufiyyah (Penghancuran Berhala-berhala Jahiliyah, mengenai Penolakan terhadap Kaum Sufi); namun kita menyebutnya “sufi sejati”. Syaikh kami, seorang ‘arif sempurna (yaitu Syahabadi) berkata...jangan sekali-kali mengutuk siapa pun, sekalipun dia itu orang kafir, yang mengenai dirinya kamu tidak tahu bagaimana dia beralih dari dunia ini ke akhirat, dan kecuali seorang wali maksum memberitahumu mengenai keadaannya setelah mati. Dan karena mungkin saja dia telah beriman sebelum saat kematiannya. Karena hendaknya kutukanmu itu bersifat umum”.21

Barangkali kebanyakan mereka yang mengerjakan ibadah karena kepentingan kesalehan pribadi. Paling tidak, kebanyakan orang yang beribadah karena semata-mata mengharapkan kenikmatan surga dan takut pada ancaman neraka. Imam Khomeini mengatakan, “abaikan surga dan lihat siapa yang beribadah”! Kita harus menginginkan keadaan yang diraih ‘Ali misalnya, “keranjingan beribadah dan tenggelam di dalamnya”. Tidak ada masalah surga bagi dia; dia tidak mempedulikannya, karena di sudah sirna (fana’) dalam Allah. Surga dan neraka tidak ada bedanya dalam pandangannya. Ibadahnya ditujukan semata-mata kepada Allah, karena memang Allah yang berhak disembah.
Pernyataan yang tegas semacam itu bukan tanpa alasan. Imam Khomeini, seperti kebanyakan kalangan Islam, baik sunni maupun syi’ah tak meragukan lagi ungkapan-ungkapan kefasihan bahasa dan ketegasan nada dari Ali bin Abi Thalib. Dan Imam Khomeini diberbagai kesempatan selalu memuji ungkapan-ungkapan Ali.


2. Tajalli dan Konsep Realitas Absolut

Al-Qur’an barangkali menegaskan bahwa segala sesuatu adalah “tanda-tanda” (ayat) Allah, dalam artian bahwa segala sesuatu mengabarkan hakikat dan Realitas Mutlak (Absolut Reality). Imam Khomeni bahkan melihat segala sesuatu di alam semesta, ini tak lain sebagai refleksi nama-nama dan sifat-sifat Allah. Terlebih kemudian ia menyandarkan pada sebuah Hadits Qudsi : “Aku adalah khasanah yang tersembunyi dan aku ingin dikenali. Karena itu aku menciptakan makhluk agar Aku bisa dikenali”.
Dunia lewat Hadits Qudsi ini adalah lokus dimana Khazanah Tersembunyi diketahui oleh makhluk, melalui alam semesta. Dan karena di alam semesta ini yang ada hanyalah ciptaan, maka ciptaan-ciptaan itu sendiri yang memberitahu ihwal adanya Khazanah Tersembunyi. Istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan hubungan dunia dan Allah dalam bahasa sufi adalah tajalli, pengungkapan diri, yaitu dengan cara memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam.22
Tanpa adanya alam ini, nama-nama dan sifat-sifat-Nya akan kehilangan makna dan akan senantiasa berubah dalam bentuk potensialitasnya pada zat Tuhan. Demikian pula zat, Yang Mutlak itu sendiri akan tetap di dalam kesendiriannya-Nya, tanpa dapat dikenali oleh siapa pun.
Dalam pandangan Ibn ‘Arabi, Allah sebagai esensi (tanpa sifat dan nama) tidak mungkin dikenali, bahkan ia tak dapat dikatakan. Tuhan hanya bisa dikenal melalui tajalli-Nya pada alam empiris yang serba ganda dan terbatas ini, tetapi wujud-Nya yang hakiki tetaplah transenden.23
Akan tetapi, alam empiris yang jamak dan terbatas berada dalam partikularitas yang terpecah-pecah. Alam tidak bisa mewadahi seluruh nama dan sifat Allah. Manusia memiliki kemungkinan untuk dapat mewadahi nama dan sifat Allah. Kemungkinan menjadi wadah tajalli ini menjadi kepastian pada Insan kamil, yang disebut Ibn ‘Arabi sebagai al-‘alam al shaghîr (mikrokosmos). Jadi manusia adalah miniaturnya alam raya, karena dalam diri manusia sempurna terdapat nama-nama dan sifat-sifat Allah. yang tersebar pada bagian-bagian alam raya. Insan Kamil ini
digambarkan Ibn ‘Arabi sebagai perwujudan dari atau diaktualkan oleh Hakikah Muhammadiyah mengidentifikasikan dirinya secara sempurna adalah jasad Adam, sebagai manusia pertama yang diciptakan Allah.24
Tajalli menurut Ibn ‘Arabi mengambil dua bentuk; dzati dan syuhudi. Tajalli dzati adalah proses penciptaan potensi, dan tajalli syuhudi adalah proses pengambilan bentuk diri dalam cara tertentu. Ibn ‘Arabi mengemukakan bahwa tjalli dzati terdiri dari esensi Allah sendiri. Tajalli ini terbagi dalam dua tahap; ahadiyah dan wahidiyah. Esensi Allah pada tahap ahadiyat adalah nafs al-Rahman. Pada martabat wahidiyat Allah memanifestasikan dirinya di luar batas ruang dan waktu dalam dalam citra sifat-sifat-Nya.
Sifat-sifat tersebut terjelma dalam asma (nama-nama) Allah. Tajalli syuhudi memunculkan al-jism al-kulli (jasad universal), yaitu aktualitas dari potensi nama al-Zhahir; dari potensi nama al-Hakim muncul di al-syakl al-kulli (bentuk universal), dan seterusnya sampai potensi nama al-Rafi’ al-Darajat mengaktualkan Insan Kamil.25
Dalam ajaran tasawuf, realitas itu hanyalah manifestasi (tajalli) atau bayang-bayang dari Realitas Mutlak (Allah). Realitas tak lain adalah ilusi yang menjebak manusia, namun, karena ilusi juga dianggap sebagai manifestasi Allah, ia memberi jalan bagi penyingkapan Kebenaran Utama.
Dari lubuk uraian semacam itulah Imam Khomeini menegaskan kemestian seseorang untuk mengikuti jejak pencapaian spiritualitas Muhammad sebagai Nabi lewat kalimat syahadatain. Kalimat ini adalah ucapan inisiasi seorang manusia untuk mengalirkan energi tauhid ke dalam kepribadiannya, sebagai pembebas dari ilusi. Kalimat syahadatain adalah suatu proposisi yang bisa mengantarkan kita “pada pertemuan antara Allah sebagaimana adanya dengan manusia sebagaimana adanya”.26
Dalam syahadat terdapat dua unsur penting; pertama forma La…Illa…, kedua forma haykal-madkhal-haykal. Keduanya adalah sumber petualangan untuk memecahkan ilusi yang mengitari kebenaran. Imam Khomeini mejadikan forma ini sebagai cara untuk merasakan kehadiran Allah secara individual.
Lewat forma La…Illa…ia membongkar ilusi. Ada ungkapan, “Kubungkam lidah bicara dengan gunting la”. Santri diharapkan memotong segalanya dengan gunting la, kecuali Allah, yakni dengan kata pertama dalam kalimat syahadat, “Tiada Ilah melainkan Allah”. Apapun yang diciptakan harus dipotong dengan pedang perkasa la, “tidak”. Namun, hal itu baru merupakan langkah pertama dalam jalan yang ditempuh mistik Muslim—ia harus menuju ke atas untuk bisa meraih illa, “memainkan Allah”, yang dalam bahasa Arab bisa dicapai dengan membubuhkan alif sebelum la”.27
Forma La…Illa…banyak digunakan oleh ajaran tasawuf sebagai cara untuk merasakan tajalli (manifestasi) nama-nama Allah dalam dirinya. Tajalli jenis ini lebih bersifat individual, membangkitkan kesadaran ketuhanan yang penuh. 

3. Wahdat al Wujûd

Ajaran sufi falsafi Imam Khomeini yang paling puncak dapat dilacak dalam karyanya Misbâh Al-Hidâyah fi Al-Khilâf wa Al-Wilâyah. Karya ini merupakan pemaparan pandangan-pandangan Imam Khomeini yang relatif padu tentang tasawuf dan tokoh-tokoh sufi yang layak ditelaah secara lebih dekat, seperti Nabi Muhammad saw, ‘Ali bin Abi Thalib, hingga sufi akbar seperti Ibn ‘Arabi.27
Namun, buku ini cukup pelik dan banyak terminologi-terminologi yang dipakai membutuhkan pemahaman yang ekstra karena mengandung banyak makna simbolik. Meski demikian, penguasaan Imam Khomeini terhadap ajaran-ajaran tasawuf pendahulunya, seperti sufi Khawaja ‘Abdul Ansari, Jalaluddin Rumi, Shard Al-Din Qunawi, Abdul Razzaq Kasyani (meninggal 1310 H), dan Da’ud Qaysari, seorang ahli teosofi Syi’i, Qazi Sa’it Qummi (meninggal 1691 H) dan para pakar (master) ‘Irfan kontemporer seperti Muhammad Riza Qumsya’i (meninggal 1918 M) dan gurunya sendiri Muhammad Ali Syahabadi. Namun demikian, karya Mishbah Al-Hidayah jauh lebih penting dpandang dari segi penguasaan bahasa yang lengkap dengan seni ‘irfan. Buku ini bukanlah berisi ringkasan-ringkasan pendapat dan rumusan yang diterima dari orang lain, tapi merupakan perwujudan dari suatu visi yang kuat dan orisinal dari seorang tokoh yang memiliki pondasi. Untuk mengutip Sayyid Ahmad Fihri lagi, sudah kelihatan bahwa untuk semua yang ditulis Imam Khomeini memiliki pengetahuan yang berasal dari pengalamannya sendiri.28
Karya Imam Khomeini ini menunjukkan ciri yang biasa terdapat pada karya-karya awal para pemikir Islam di Qum. Imam Khomeini juga terpesona pada penafsiran rasional dan mistis atas ajaran-ajaran wahdat al-wujûd-nya Ibn ‘Arabi. Terlepas dari guru-guru Imam Khomeini yang lain yang banyak mengajarkan teori-teori wujudi, secara ontologis Imam Khomeini banyak mengambil pelajaran dari Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi, guru besar ilmu tasawuf dari kalangan Ahlus Sunnah. Bahkan menurut Alexander Knysh, tanpa kutipan-kutipan yang kita temukan di buku itu, tetap dapat disimpulkan bahwa Imam Khomeini bergantung dan berhutang budi pada Ibn ‘Arabi, karena naskah Mishbâh Al-Hidâyah mengandung ciri stilistik dan terminologi tulisan-tulisan Ibn ‘Arabi.29 Pada usia kurang dari dua puluh tujuh tahun, Imam Khomeini belajar Syarh Fushûsh Al-Hikâm dari ulama besar Syahabadi.
Salah satau ungkapan Imam Khomeini yang sulit dicerna adalah ketika ia menguraikan tentang persoalan wujud dalam berbagai variannya. Semua wujud di tampak di alam semesta adalah nama dan tanda Allah. Bahkan wujud alam semesta adalah wujud Tuhan. Namun penamaan wujud bagi kaum sufi bukan hanya sekedar masalah penamaan, seperti halnya penamaan makhluk atau benda. Masalah penamaan Allah adalah bahwa Dia merupakan Wujud Nirbatas, bersifat mutlak. Sementara segala yang terbatas adalah hal yang kontingen (mungkin). Wujud Nirbatas tidak bersifat mungkin, karena sesuatu yang kontingen memiliki sifat terbatas. Jika dalam eksistensi sesuatu tidak terdapat keterbatasan, maka ia tidak lain adalah Wujud Mutlak, yang bebas dari sifat mungkin. Perbedaan antara wujud mungkin (mumkin al-wujûd) dan wujud pasti dalah wujud pasti tidak terbatas dalam segala hal dan merupakan Wujud Mutlak (Wajib Al-wujûd), sedangkan wujud mungkin dalam sifatnya adalah terbatas. Jika Wujud Mutlak tidak memiliki semua sifat-sifat kesempurnaan dalam tingkatan yang tidak terbatas, maka ia tidak bisa lagi disebut Mutlak, tetapi hanya sesuatu yang mungkin.30
Selanjutnya, jika kita menganggap Wujud Mutlak sebagai asal dan sumber semua wujud lain, maka segala wujud yang bereksistensi karena Dia tersebut secara bawaan (inheren) memiliki sifat-sisat-Nya, tetapi dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda dan lebih kecil. Yang memiliki sifat-sifat ini sampai tingkatnya yang tertinggi disebut Nama Agung atau al-ism al-a’zhm.31
Jika Wujud yang mewujudkan segalanya dengan kehendak-Nya dan refleksi cahaya kemulian-Nya, memandangkan cahaya-Nya sejenak, segala wujud segera kehilangan eksistensi dan kembali ke keadaan mereka semula berupa noneksistensi, karena eksistensi mereka sepenuhnya tergantung pada cahaya kemulian-Nya. Segala sesuatu di dunia mencapai eksistensi melalui manifestasi Allah, yang merupakan watak sejati eksistensi dan nama Allah.
Teori wujud Imam Khomeini erat kaitannya dengan paham wahdat al-wujûd-nya Ibn ‘Arabi tentang tajalli (dalam literatur tasawuf di Indonesia, kata ini sering diterjemahkan dengan manifestasi atau penampakan) Tuhan. Bagi Ibn ‘Arabi, pengertian tajalli tidak terbatas hanya pada penampakan Tuhan bagi orang-orang yang mengalami kasyf (keterbukaan tabir dari mata batin mereka), tapi lebih dari itu, menurutnya, pengetahuan kasyf memberi informasi bahwa alam adalah tajalli Tuhan dalam bentuk-bentuk yang beraneka ragam, sesuai dengan ide-ide tetap (tentang alam) dari ilmu Tuhan. Bentuk tajalli dengan tajallli yang lain tidak pernah persis sama, bentuk suatu tajalli tak pernah berulang, dan tajalli itu akan berlangsung terus tanpa henti.32
Lebih lanjut, untuk sampai pada Wujud Mutlak, sang sufi bagi Imam Khomeini harus menempuh taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dengan mengerjakan nafilah, yang akan menghasilkan ke-fana’-an (peleburan) total dan penyatuan yang sempurna dengan Zat Yang Maha Mutlak, dan hasilnya adalah: “Aku menjadi telinganya yang dengan itu dia mendengar” dan seterusnya. Sesudah derajat ke-fana’-an dan peleburan total, penyatuan dan siraman cahaya sempurna, lalu kesadaran kemanusiannya akan pulih kembali, dan dia kembali ke dunianya dengan kehilangan cahayanya, seraya merasakan ketentraman dan kedamaian, dan berhasil menyibak keindahan dan keagungan yang tercermin dalam zatnya dan menghasilkan penampakan yang tetap dan terus melekat.33

B. Tasawuf Sosial, Tasawuf Politik

Tasawuf masa depan bukanlah tasawuf modern. Apalagi modern dalam pandangan Hamka. Tasawuf masa depan yang relevan adalah tasawuf berdimensi sosial, atau tasawuf yang membawa spirit protes.
Imam Khomeini tidak dapat lagi memberikan perhatian khusus pada dunia tasawuf dalam pengajian rutin seperti sebelumnya, karena tuntutan kondisi sosial-politik mengharuskan ia terjun untuk membebaskan masyarakat Iran dari kedzhaliman, penindasan dan penjajahan.
Meskipun demikian, Imam Khomeini kelihatannya tidak pernah meninggalkan tugas-tugas spiritualnya. Karena itu, dalam kuliah-kuliah umumnya yang disampaikan pada akhir tahun 1972 kepada kelompok siswa agama, dia menegaskan bahwa aktivitas politik harus selalu di padu dengan penyucian moral dan pengembangan spiritual, untuk membuat aktivitas tersebut secara islami absah dan efektif. Untuk tujuan ini, para siswa harus menguasai karya-karya yang ditulis oleh para pemikir dan filosof dan sufi muslim masa lalu.
Dalam pandangannya, warisan berharga dari khasanah Islam klasik berupa karya-karya itu akan memberikan wawasan lebih mendalam mengenai keadaan nyata alam semesta serta menanamkan nilai-nilai sejati yang harus dipegang erat oleh siswa bila ingin mencapai keselarasan sosial dan spiritual.34 Bukankah mahakarya masa lalu merupakan samudera luas yang kaya, yang dengan warisan khasanah agung semacam itu akan menjadi momen bagi mereka yang kemudian ingin mencari, menafsir bahkan membongkar teks-teks klasik dengan persepketif kontemporer.
Dalam kuliahnya mengenai nama-nama Ilahi, yang tampaknya merupakan persi sederhana dan spekulasi-spekulasi yang lebih rumit yang terdapat dalam risalah-risalah mistis dan komentar-komentar dia menunjukkan bahwa dirinya pendukung kuat masalah tasawuf berdimensi sosial-politik, tanpa meninggalkan ajaran tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi dan dengan penglihatan langsung akan realitas-realitas sekelompok kecil orang terpilih merupakan alat kognitif yang melampaui seluruh ilmu rasional yang hanya mampu memberikan gambaran mendekati dan tak pasti tentang realitas. Mereka yang tanpa bukti mengingkari wawasan dan kesadaran intuitif para wali dan ahli tasawuf “ kehilangan sifat kemanusian”. Pada saat yang sama, latihan rasional dan logika perlu, karena latihan itu membantu menghindari ilusi yang ditimbulkan oleh kerancuan mistis yang tidak tercerahkan.35
Izin yang diberikan oleh Imam Khomeini untuk menerbitkan karya-karyanya tentang ‘irfân, ketika sudah berada pada puncak karir politiknya, juga menjadi saksi bahwa dia tidak mengingkari kecenderungannya pada tasawuf. Surat terbukanya kepada presiden Uni Soviet, Michaeil Gorbachev juga merupakan contoh mencolok lainnya bagaimana dia mempergunakan logika-logika filosofis dan mistis yang bersumber dari ajaran Islam.36
Menurut Imam Khomeini, tasawuf yang benar tidak boleh meninggalkan syari’at. Seorang sufi mesti memulai suluknya dengan mendalami dan memahami ilmu-ilmu syari’at dan ilmu-ilmu yang diperoleh dari bukti rasional.
Para penulis biografi Imam Khomeini menunjukkan bahwa kehidupan Imam Khomeini penuh dengan kesederhanaan dan kezuhudan. Meski Imam Khomeini telah meninggal dunia,37 spirit ajaran dan pesan-pesannya tetap menjadi panutan umat Islam Iran.38 Kezuhudan dan ketawakalan Imam Khomeini secara mudah dapat ditemukan dalam karya-karyanya. Orang banyak tidak menyangka bahwa Imam Khomeini telah sampai pada tataran dunia kesufian dan pada saat yang sama ia menjelma sebagai seorang revolusioner yang mampu membuat perubahan.
Tugas keulamaan tidak terlepas dari pundak Imam Khomeini, hingga terjadilah suatu peristiwa yang membalikkan gelombang dan arah masa depan Iran. Ia merambah jalan spiritual, membuka mata hatinya secara perlahan, untuk menerima pancaran karunia Tuhan. Di kemudian hari, nama Imam Khomeini melekat pada setiap pencinta kebenaran, di Barat maupun di Timur, sebagai seorang sufi yang sastrawan, budayawan, politikus dan filosof.
Imam Khomeini adalah seorang filosof sufi Muslim. Esensi pemikirannya mengajak kepada al-tasâmuh al-mutlaq (toleransi penuh), hujjah (argumentasi atau alasan-alasan positif), kebaikan, cinta kasih, dan ajaran kebajikan yang berlandasalkan akhlak dan moral.
Sulit dipungkiri bahwa dulu tasawuf sering dituduh mengabaikan kehidupan duniawi. Hidup miskin, tidak mempunyai apa-apa, dan sederhana, acuh terhadap kondisi sosial-politik yang berkembang, asketis, kontemplasi dan seterusnya. Para sufi memiliki hati yang baik dan mulia, adalah sifat-sifat ideal yang terpuji yang sering disebut dalam kitab-kitab tasawuf. Hidup zuhud, dalam maknanya yang lampau, adalah sebuah tanda bahwa seorang dapat disebut sufi.
Tentu saja para pembela tasawuf kemudian menampik tuduhan bahwa tasawuf menolak atau mengabaikan kehidupan duniawi, meski dalam perjalanan sejarahnya banyak contoh-contoh sufi yang menghindar dari dunia. Para pembela tasawuf mengatakan bahwa tasawuf yang alternatif adalah tasawuf yang mementingkan keseimbangan antara aspek-aspek jasmani dan rohani atau lahiriah dan batiniah.
Bukti-bukti historis ditampilkan untuk menguatkan argumen ini, bahwa pada umumnya dalam sejarah perpustakaan sufi, kebanyakan tidak menjauhi kehidupan duniawi. Mereka memberikan sumbangan yang sangat besar dalam pengembangan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam bidang pendidikan, misalnya, para sufi, termasuk Imam Khomeini ada di dalamnya, berpartisipasi langsung membangun universitas atau madrasah. Pusat-pusat sufi (zawiyah) dalam bahasa Arab, atau Khaniqah dalam bahasa (Persia) memainkan peranan penting dalam mengembangkan sistem pendidikan. Terlepas seperti apa model pendidikan yang mereka terapkan, namun satu hal yang sulit disanggah bahwa mereka berperan besar dalam menyemarakkan kajian-kajian keislaman.
Dalam bidang politik dan sosial, peranan para sufi tidak kalah dengan peranan para pemimpin lain yang bukan sufi. Tarekat-tarekat sufi berperan sebagai kekuatan politik dibanyak negeri Islam. Tarekat Safawi, misalnya, berubah dari gerakan spiritual semata menjadi gerakan politik dan militer, yang pada akhirnya berhasil mendirikan Kerajaan Safawi di Persia. Begitu juga tarekat Ni’matullah.39Perjuangan tarekat-tarekat melawan penjajah Barat di negeri-negeri Islam, seperti di Afrika -Utara, Anak Benua India, dan Nusantara, tidak dapat diabaikan. Imam Khomeini, pemimpin Revolusi Islam Iran, adalah seorang sufi yang telah berhasil meruntuhkan kekuasaan Syah Iran dengan landasan nilai-nilai tasawuf yang kuat. Dalam kecamuk perang Bosnia-Herzegovina awal 1990-an, para pemimpin dan anggota tarekat sufi di negeri ini aktif berjuang melawan musuh-musuh mereka dan menyalurkan bantuan-bantuan kemanusian kepada orang-orang yang membutuhkannya.40
Sufisme dalam bentuk gagasan kepemimpinan seringkali menjadi faktor dalam berbagai konflik dan protes. Imam Khomeini misalnya, ketika pamor Syah mulai menurun, banyak para ahli sufisme menggabungkan diri dengan kelompok oposisi bersama-sama dengan Imam Khomeini dalam menumbangkan rezim Syah yang dikenal anti agama. Imam Khomeini, dalam ceramah-ceramahnya seringkali melakukan “pembunuhan” karakter Syah sebagai pemimpin yang korup dan anti agama Islam.
Akar protes kalangan sufi di Iran muncul dari perasaan yang semakin meluas di masyarakat karena diperlakukan sebuah rezim yang sudah melewati puncak kesabaran sebagian besar rakyat Iran. Pada masa pemerintahan syah, nilai-nilai dan warisan kebudayaan sufisme lebih sering muncul sebagai sarana protes terhadap banyak langkah yang diambil pemerintah. Dalam formasi politik yang ada pada masa revolusi, nampak warisan nilai-nilai dan literatur sufisme memang lebih tepat menjadi sarana protes daripada asketisme, menjauhkan diri dari kehidupan ramai. Bagaimana tasawuf telah menyumbang bagi teori revolusi, nampaknya masih perlu dikaji dan diteliti secara serius. Namun demikian, mengkaitkan sufisme dengan revolusi nampaknya tak bisa dipisahkan dengan Imam Khomeini. Sebab, tokoh ini sangat terkenal sebagai sosok pemimpin yang memberikan spirit perjuangan bagi rakyat dan para ulama-ulama Iran. Imam Khomeini juga sosok tokoh yang tak dapat dipisahkan dengan sejarah lahirnya revolusi Islam Iran sampai pembentukan negara teokrasi.
Dengan demikian, dalam pandangan Imam Khomeini, amat dibutuhkan syi’ah “baru” yang tidak dalam pengertian lama secara tradisional, namun syi’isme harus dijadikan simbol revolusi yang mengeksperesikan bangsa Iran yang merdeka, sekaligus yang mempunyai komitmen yang kuat dalam memperjuangkan keadilan sosial. Bangsa Iran, dalam sejarahnya yang lama, memang secara kultural dan sosilogis telah terbelah, antar negara di satu pihak, dengan ulama yang amat terorganisasi secara hirarkis bersama pengikut-pengikutnya, dipihak lain.
Maka tak berlebihan jika ada yang memuji perjuangan Imam Khomeini sebagai seorang agamawan yang terlibat, dan berhasil membumikan gagasan Islam di negerinya. Bagi mereka, Imam Khomeini membawa moralitas berdimensi sosial yang paling mendasar, moralitas yang berwatak politis, seperti marxisme juga merupakan moralitas yang berpolitik. Tepatlah jika Michel Foucault menamai perkembang- perkembangan protes keagamaan yang berwajah politik itu dengan sebutan spiritualite politique”, kerohanian berdimensi politik.41 
Kerohanian yang berdimensi politik, sebuah julukan yang cukup tepat mengingat jauh sebelum Imam Khomeini terjun dalam politik praktis, ia dikenal sebagai rohaniawan (untuk meminjam istilah agama Kristen Katolik). Kerohanian berdimensi politik semacam itulah memungkinkan memotret gagasan-gagasan dan karya-karya Imam Khomeini yang tidak hanya melulu mengedepankan politik praktisnya.
Dalam kesempatan yang lain, Abdurrahman Wahid kembali mengungkapkan sisi pemikiran Imam Khomeini yang pertama dalam sejarah pemerintahan Islam, yakni konsep vilâyaî al-faqih. Konsep ini menurut Abdurrahman Wahid telah mengantarkan Imam Khomeini kepada sosok teladan, tokoh yang mampu memberikan sumbangsih atas negaranya dalam menggapai perubahan sosial dengan landasan agama yang kuat, yang dalam sejarahnya ternyata mampu mengguncang dunia.42
Maka sangat aneh jika para ilmuwan Barat menuduh Imam Khomeini sebagai sosok fundamentalisme Islam (sebuah istilah kabur dan mengarah pada sikap negatif dan sintimen aliran) hanya karena ia memusuhi Amerika Serikat secara keras.43 Apakah setiap orang atau kelompok dapat dikatakan fundamentaslis hanya karena mereka memperjuangkan rakyatnya dalam cengkraman imprealisme Amerika Serikat? Jika demikian halnya, maka hampir setiap orang yang mengkritik keras Amerika, apa pun agamanya, ia dapat dikategorikan fundamentalis. Inilah kerancuan istilah yang hingga saat ini tetap menjadi mainstream intelektual. Karena itu, xtempel fundamentalis atas diri Imam Khomeini adalah sesuatu yang tidak beralasan dan membingungkan.
Mesti gejolak revolusi tahun 1970-an itu merupakan koalisi secara luas, yakni melibatkan kekuatan ulama, intelektual-akademik, mahasiswa dan sebagainya, namun revolusi di Iran sering disebut perjuangan yang dipimpin kaum Mullah dan merupakan artikulasi keresahan orang-orang miskin, kelas menengah yang secara politik ditindas. Maka tak heran jika media massa Amerika waktu itu selalu memberitakan revolusi Iran sebagai suatu benturan antara kekuatan modernisme Amerika Serikat dengan kalangan tradisionalisme mullah. Sebuah gambaran seakan-akan revolusi yang terjadi di Iran hanyalah konflik antara modernisasai Syah dan kekolotan para mullah. Pers Amerika kala itu memang tidak tahu perubahan yang sedang terjadi dalam ajaran sosial kaum Syi’ah yang lebih progresif, mampu melakukan “perubahan sosial secara radikal” dengan keyakinan perlunya dimensi moral dalam masyarakat.44 Lewat sejarahnya yang panjang, sufisme telah mengakumulasi tradisi serta berbagai cara menciptakan hubungan praktek keagamaan dengan kondisi sosial politik yang sedang berkembang.
Dalam rentang sejarah panjang sufisme di Persia, maka tak heran jika selalu bergumul dengan kondisi sosial-politik sekitarnya. Maka, dengan melihat Imam Khomeini dari konteks sufisme secara sosial-politik semacam itu, maka bagaimana sebuah keyakinan sufistiknya yang dikenal sebagai ibadah yang melulu “ritualistik” ternyata mampu di diproduksi secara sosial-poltik yang membebaskan. Asumsi dasar sufisme politik ini tak lain sebagaimana juga Islam--eksis dalam konteks historis, politis, ekonomis. Sufisme politik merupakan kenyataan yang bersumber dari cara pandang sufisme itu sendiri, yakni ajaran tidak memisahkan praktek dan keyakinan keagamaan dari praktek social, dan tidak hanya berhenti pada tataran wacana. Sufisme dengan demikian tidak hanya sekedar menawarkan seperangkat keyakinan dan praktek keagamaan, atau sistem makna yang bermanfaat sebagai kerangka rujukan dalam menafsirkan situasi dan peristiwa duniawi, tetapi juga menawarkan legitimasi dan hubungan-hubungan dengan kekuasaan maupun ekonomi.
Kemunculan sufisme sebagai sarana protes di Iran, dengan Imam Khomeini sebagai lokomotif di dalamnya, sesungguhnya berkaitan erat dengan ideologi yang diproduksi sebuah negara dan penguasa di Iran saat itu. Sebagaimana sejarah panjang keagamaan di sana, senantiasa bersentuhan dengan ide-ide politik dan revolusi. Dengan demikian, dimensi sufisme Imam Khomeini secara tidak langsung berkaitan dengan gagasan-gagasan politik yang diproduksi negara dalam rangka membebaskan rakyatnya dari penindasan rezim kolonialis.
Dilihat dari satu sudut pandang, Imam Khomeini berhasil mendobrak “kebekuan” Syi’ah di Iran dengan keberhasilan bukan saja memberi tafsir baru pada mazhab Syi’ah, tetapi semakin meyakinkan bahwa Syi’ah sama sekali tidak memisahkan antara kehidupan sufistik dengan kehidupan politik. Syi’ah boleh dikatakan lahir dari kenyataan politik sekaligus berusaha menjawab tantangan krisis keruhanian umat Islam dengan jalan tasawuf.
Mengkaitkan antara sufistik dengan politik dalam Syi’ah terkesan kontradiksi (contradiksi the terminous). Sebab, sepintas ajaran tasawuf lebih menitikberatkan pada persoalan ruhani dan ibadah semata-mata kepada Allah. Sementara politik, dari namanya sepintas lebih berorientasi kepada persoalan keduniaan, seperti persoalan kepemimpinan, kenegaraan dan masyarakat. Namun, kenyataan sejarah telah menunjukkan bahwa terjadinya revolusi Islam Iran (1978-1979) tidak bisa dilepaskan dari peran ulama, secara khusus para ulama yang menganut ajaran tasawuf.
Revolusi Islam Iran merupakan suatu akumulasi ketidakpuasan rakyat Iran terhadap rejim pahlevi yang otoriter. Ketidakpuasan rakyat Iran, baik dibidang politik, ekonomi dan agama yang semakin lama telah menyimpang dari semangat keislaman. Keberhasilan revolusi tidak bisa dilepaskan dari dua faktor yang saling berkait satu sama lain. Di satu pihak, terciptanya persatuan para ulama yang menentang rezim Syah, baik yang berpaham nasionalisme maupun islamisme. Dipihak lain, muncul salah satu tokoh sebagai lambang pemersatu dari berbagai paham, yakni Imam Khomeini.45 Selain sebagai orator politik, beliau merupakan tipe seorang sufi yang mampu mengimplimentasikan nilai-nilai sufistik pada tataran yang paling konkrit, yakni memimpin sebuah revolusi yang cukup spektakuler.
Tiga periode utama dalam kehidupan Imam Khomeini puluhan tahun pembentukan spiritual dan politik, kampanye panjang menentang rezim Pahlavi, serta tahun-tahun revolusi dan lahirnya Republik Islam telah membentuk kesinambungan tanpa adanya keterputusan atau perubahan arah yang berarti. Sejak tahun 1963, Imam Khomeini telah menanamkan sikap “perlawanan" terhadap rezim pahlevi yang sejak masa kepemimpinanya selalu bermusuhan dengan para ulama. Bahkan jauh sebelum tahun itu, yakni tahun 1941, di saat usia Imam Khomeini berusia 39 tahun, ia telah menerbitkan sebuah karya berjudul Kasyf Al-Asrar, yang oleh sebagian pengamat
dinyatakan sebagai karya Imam Khomeini dibidang politik.46
Imam Khomeini yang pada waktu itu baru bergelar Hujjatul Islam, secara terbuka menuding Reza Syah sebagai budak Inggris, tiran, koruptor dan penguasa anti Islam. Meski pun demikian, karir politik Imam Khomeini bermula pada tahun 1963, setelah tergulingnya rezim nasional Mushaddiq pada masa itu. Syah Iran yang didudukkan kembali ke tampuk kekuasaan Iran oleh CIA, terbukti juga tidak kalah diktatornya dibandingkan ayahnya. Berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan hanya membuktikan dirinya sebagai penguasa yang korupp dan anti Islam. Sejak bulan maret 1963, Imam Khomeini menyampaikan pidato-pidato yang bernuansa sufistik dengan pernyataan-pernyataan yang mengecam syah secara terbuka tanpa kehilangan daya estetisnya. Pada tahun itu juga, Imam Khomeini ditangkap oleh polisi dan tentara rahasia Syah setelah selesaimenyampaikan salah satu pidatonya di madrasah yang dipimpinnya di kota Qum. Dalam tahanan penjara ia senantia melafalkan asama-asma Allah. Sejumlah korban berjatuhan dalam peristiwa ini. Imam Khomeini dibawa ke Teheran dan ditahan dipenjara Qasr di kota itu. Keesokan harinya para pendukungnya turun ke jalan-jalan menuntut pembebasan pemimpin mereka.47
Dibeberapa kota juga dilakukan pemogokan, pasukan keamanan berupaya meredakan kerusuhan tersebut dengan kekerasan. Dilaporkan korban yang tewas lima belas ribuan orang di Teheran dan sekitar empat ratusan orang di Qum. Sejak saat itu, karir politik Imam Khomeini menyebar ke setiap penjuru kota Iran. Sebagai seorang Muslim yang taat, Imam Khomeini merasa terpanggil untuk berjuang membebaskan rakyat Iran dari rezim otoriterianisme. Nilai-nilai spiritual Imam Khomeini serta pidato-pidato politiknya ternyata mampu membangkitkan rakyat Iran untuk menurunkan Syah.
Sejak tekanan rakyat mulai mendesak, tidak sampai dalam waktu setahun setelah Imam Khomeini dipenjara, ia dibebaskan dari tahanan. Namun, sejak itu Imam Khomeini dan didukung oleh para ulama dan rakyat Iran justru semakin intensif melakukan serangan untuk menurunkan rezim yang sedang berkuasa. Imam Khomeini kembali dimasukkan ke penjara, lalu diasingkan ke kota Bursa, Turki. Bermula pada November 1964, hampir setahun berada dinegeri itu, lalu Imam Khomeini dipindahkan ke negeri Najaf Irak. Di Najaf, Imam Khomeini melakukan tafakur, mengingat-ingat tragedi karbala serta bergerilya dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di negerinya. Kampanye menggalang dukungan di Najaf cukup epektif dan mampu membentuk opini dan respon perlawanan oleh pengikutnya di Iran. Pengaruh Imam Khomeini mulai nampak dan menggelishahkan keluarga Syah, dan Syah meminta kepada penguasa di Irak agar mengusir Imam Khomeini. Pada tanggal 4 Oktober 1978, Imam Khomeini terpaksa keluar dari Irak. Padamulanya Imam Khomeini berkeinginan untuk tinggal di Kuwait, namun pemerintah Kuwait dan beberapa pemerintah negara Muslim lainnya menolak kehadirannya.48
Sejak pengusiran Imam Khomeini dari Irak, di negeri Iran terjadi pergolakan politik menentang Syah Iran. Penguasa Syah mulai merasakan pengaruh karismatik Imam Khomeini, rezim Syah melakukan tekanan ke para penguasa negeri-negeri muslim lainnya untuk tidak mengizinkan Imam Khomeini tinggal di wilayah kekuasaannya. Lalu Imam Khomeini hijrah ke Paris, dimana pemerintahnya menerima kehadiran beliau. Keberadaanya di Paris itu memberikan peran besar dan memberikan akses bagi kampanye penggalangan dukungan.
Sampai saat ini, belum terlalu banyak diketahui bahwa kepemimpinan Imam Khomeini atas revolusi Islam jauh dari suatu gejala tiba-tiba atau kebetulan. Imam Khomeini telah melewatkan waktu lima belas tahun di dunia politik dan ideologi, dan kerja organisasi yang tekun. Banyak juga belum diketahui ketika memulai karir politik secara terbuka pada tahun 1962, sebelumnya Imam Khomeini telah melewatkan empat dasawarsa keterlibatan dengan persoalan dunia tasawuf. Imam Khomeini telah melewati masa belajar, menulis, perenungan dan pengamatan keadaan masyarakat Iran. Tiga periode pertama dalam kehidupan Imam Khomeini telah membentuk suatu kesinambungan yang tidak terputus pada persoalan agama dan politik. Meski demikian, revolusi itu tidak akan terjadi tanpa
adanya pimpinan, strategi maupun kewenangan moral dari Imam Khomeini.
Selain itu, bentuk pemerintahan hasil revolusi Republik Islam sebagian besar ditetapkan lewat teori-teori dan bimbingannya. Gelar bagi Imam Khomeini yang kini telah lazim diberbagai media massa, baik di Iran maupun di dunia Barat, bukan sekedar sebuah penghargaan belaka. Siapa pun menyadari bahwa Imam Khomeini diberi gelar Imam tidak lain karena ia menjadi sumber petunjuk yang menyeluruh dan dapat dipercaya mengemban amanah menegakkan nilai-nilai Islam. 49
Imam Khomeini berjasa merubah sistem politik dan membentuk negara Iran dari dari monarki absolut menjadi Republik Islam, merubah sebuah negara sekuler menjadi negara teo-demokratis yang didominasi kaum mullah yang mewujudkan peradaban masyarakat tauhid dan menegakkan misi risalah Islam dengan semangat amr ma’ruf nahyi munkar.
Keyakinan yang mendalam tentang keterkaitan erat antara agama dan politik, menjadi salah satu landasan utama bagi keteguhan Imam Khomeini dalam mengembangkan konsep “Pemerintahan Islam yang dipimpin para ulama”. Menurut Imam Khomeini, negara Islam akan menjamin keadilan sosial, demokrasi yang sebenarnya, dan kemerdekaan yang murni dari imperialisme. Islam dan pemerintahan Islam adalah fenomena Ilahi, yang penggunaannya menjamin kebahagian manusia dan keturunannya di dunia ini dan di akhirat.50
Sikap politik Imam Khomeini dan landasan konsep revolusioner tentang negara Islam diekpresikan dalam rangkain kuliahnya di Nazaf yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Hokumat-I Islami: Vîlayat-I al-Fagih. Dalam menggali lebih jauh ajaran tasawuf Imam Khomeini, maka memungkinkan untuk melihat kontribusi dan karir politiknya sejak revolusi Islam Iran meletus. Dengan kata lain, apakah perhatian Imam Khomeini pada ajaran tasawuf mempengaruhi sikap politisnya sebagai pemimpin Revolusi Iran? Sebuah pertanyaan penting diajukan di sini. Dengan pondasi ajaran sufistik yang kokoh, berbagai tantangan dan hambatan dalam perjuangan politik akan sangat berpengaruh bagi kepribadian Imam Khomeini. Pengajaran-pengajaran yang diterimanya dan perhatiannya sebagai pemimpin ulama membuatnya mampu mengatasi pandangan sempit tentang makna keislaman.
Betapa pun suatu pandangan atau teori sepintas tampak jauh dari realitas-realitas duniawi, namun ternyata memiliki hubungan dengan situasi historis dan tuntutan-tuntutan zamannya. Para sufi tetap menolak untuk menerima hadiah-hadiah dari para penguasa dan berpihak kepada massa dalam perjuangannya untuk memperoleh hak-hak yang diberikan Islam kepada mereka. Tasawuf, yang sepintas tampak bukan suatu gerakan politis, dalam kenyataannya adalah suatu ungkapan ketidak-setujuan dari kaum Muslim yang saleh terhadap pemerintahan tirani Bani Umayyah. Gagasan-gagasan metafisis atau kecenderungan-kecenderungan spiritual tidak muncul dalam ruang vakum dan ruang hampa sejarah. Setiap gagasan hampir tak ada yang lahir dengan netral dan tanpa ruang lingkup yang mengitari. Sejarah adalah manifestasi masa lalu, masa kini dan yang akan datang. Gerakan Abbasiyyah untuk menggulingkan Bani Umayyah juga memiliki karakter mistis. Pada da’i Ismailiyah juga bekerja di tengah-tengah masyatakat, mengorganisasikan masyarakat berdasarkan gagasan-gagasan esoteris. Aspek dan kandungan sosial-politis tasawuf sulit dipungkiri.
Gerakan-gerakan sufi yang muncul sebagai hasil percampuran antara gagasan-gagasan sufi dan Syi’ah tentang keadilan sosial yang berpuncak pada pergolakan-pergoalakan revolusioner di dunia Muslim dapat ditelusuri dari gerakan-gerakan politik kaum sufi sebelum Imam Khomeini.
Yang paling sukses dari gerakan-gerakan politis sufi adalah yang muncul dalam pemberontakan Sarbadari di Khurasan dan segera menyebar ke daerah-daerah lainnya yang berdekatan. Gerakan ini dimulai oleh Syaikh Khalifah, seorang Syaikh sufi dari silsilah spiritual yang tidak dikenal. Ia mengorganisasikan para pengikutnya untuk memberontak melawan Togha Khan dan Miran Syah, Khalifah Timur, yang menghancurkan desa-desa dan memaksa para petani membayar pajak yang mahal pada masa kekuasaannya.
Pemberontakan itu dimulai segera setelah penyaliban Syaikh Khalifah di tangan pasukan rahasia para penguasa pada tahun 736 H/1335 M. Para pengikutnya yang marah memberontak pertama kali di Khurasan sejak tahun 738 H/ 1337 M-783 H-1381 M di bawah pimpinan Syaikh Hasan Juri, pengganti Syaikh Khalifah, yang mengklaim mempunyai kaitan dengan sebuah orde tasawuf yang menghubungkan dirinya dengan Al-Imam Ja’far Al-Shadiq.
Melalui Yazid al Bistami, pemberontakan ini kemudian menyebar ke Samargand, Kirman dan Mazandaran antara tahun 738 H/1337 M dan 825 H/122 M. Ini merupakan gerakan sufi syi’i yang berhasil mengukuhkan kekuasaanya atas dasar citra Islam tentang keadilan dan kesamaan.
Gerakan lain yang serupa muncul dan gagal dengan berlalunya waktu karena kelemahan-kelemahan organisasional. Di antara gerakan-gerakan itu adalah gerakan sufi Hurufiyah dan Nuqthawiyyah, yang para pemimpinnya dihukum mati oleh raja. Orde Syafwid yang didirikan oleh seorang sufi sunni, Syaikh Shafi Al-Din Al-Ardabili, memeluk keyakinan syi’ah setelah beberapa generasi.
Setelah merebut kekuasaan untuk memantapkan kerajaanya, mereka berusaha menekan gerakan-gerakan dan orde-orde sufi lainnya dengan kejam. Kebijaksanaan Shafawid ini menimbulkan oposisi yang keras terhadap tasawuf di Iran dan India.51
Apa yang dikatakan Kautsar Azhari Noer, Imam Khomeini adalah seorang sufi yang berhasil meruntuhkan kekuasan syah Iran. Dalam bidang politik peranan para sufi tak bisa diabaikan, dan tidak kalah dengan peran para pemimpin lain yang bukan sufi. Tarekat-tarekat sufi tampil sebagai kekuatan politik di banyak negeri Islam. Tarekat Sapawi, berubah dari gerakan spiritual semata menjadi gerakan politik dan militer yang pada akhirnya berhasil mendirikan kerajaan Sapawi di Persia.52
Imam Khomeini mengatakan bahwa banyak orang mengira bahwa para sufi harus meninggalkan segala-galanya seraya duduk dan berzikir dan bernyanyi serta membuka kedai dan sebagainya.
Meskipun merupakan manusia yang paling arif setelah Rasulullah di antara umat ini dan hamba yang paling mengenal Allah, Imam ‘Ali tidak pernah menyingkir dari kehidupan apalagi tidak memperdulikan hal-hal yang terjadi di masyarakat. Bahkan tidak pernah didengar bahwa Imam Ali memiliki halaqah zikir, sebaliknya beliau selalu sibuk dengan berbagai pekerjaannya sambil terus berzikir mengingat Allah.
Sufi bukanlah orang yang acuh terhadap urusan masyarakat di sekililingnya dan sibuk duduk dimasjid sambil berwirid dan menyangka bahwa ia sedang menjalankan suluk yang sejati. Para nabi dan para waliyullah juga bersuluk akan tetapi mereka sangat peduli dengan apa yang terjadi di masyarakat dan tidak hanya duduk di rumah mengerjakan zikir dan wirid dan mengatakan bahwa mereka adalah ahli suluk.

C. Kelebihan dan Kelemahan Tasawuf Imam Khomeini

1. Kelebihan

Bagaimana pun kontroversinya puisi dan pemikiran Imam Khomeini, ia adalah sosok sufi kontemporer yang berhasil menjadikan ajaran kerohanian Islam sebagai spirit perubahan, tanpa meninggalkan ritual dasar Islam. Banyak orang mengira para sufi harus meninggalkan segala-galanya seraya duduk dan berzikir serta membuka kedai dan sebagainya. Tapi Imam Khomeini mencontohkan kepribadian Imam ‘Ali, bahwa beliau tidak pernah menyingkir dari kehidupan dunia, apalagi tidak memperdulikan hal-hal yang terjadi di masyarakat.
Bahkan tidak pernah didengar bahwa Imam Ali memiliki halaqah zikir atau manasik haji seperti sekarang ini, sebaliknya beliau selalu sibuk dengan berbagai pekerjaannya sambil terus berzikir mengingat Allah. Kaum sufi bukanlah orang yang cuek terhadap urusan masyarakat di sekelilingnya dan sibuk duduk di masjid sambil berwirid dan menyangka bahwa ia sedang menjalankan suluk yang sejati.
Tidak! Para nabi dan para wali Allah juga bersuluk akan tetapi mereka sangat peduli dengan apa yang terjadi di masyarakat dan tidak hanya duduk di rumah mengerjakan zikir dan wirid dan mengatakan bahwa mereka adalah ahli suluk. Tasawuf, atau menjadi sufi seperti yang dikehendaki Imam Khomeini tak lain adalah sebuah ajaran tasawuf yang memiliki komitmen sosial membebaskan, serta mampu membumikan ajaran-ajarannya.
Meski ajaran tasawuf Imam Khomeini dekat dengan ajaran tasawuf falsafi yang oleh banyak kalangan sering dianggap kontroversi dan elitis, namun karena kemampuannya mentranspormasikan ke tingkat lebih praksis, maka kesan semacam itu tidak selamanya berlaku. Imam Khomeini adalah sosok sufi yang tidak menjadikan ajaran tasawuf hanya sekedar sebagai selingkungan kata-kata, tapi praktik dan perbuatan menjadi landasan utama dalam amalan tasawuf. Berbeda misalnya dengan para pemikir yang hanya memusatkan pada kajian-kajian tasawuf namun tak pernah mengamalkan ajarannya, Imam Khomeini sejak muda sudah terlibat dengan praktik pengamalan ajaran tasawuf.
Ajaran tasawuf dalam pandangan Imam Khomeini bukanlah sekedar ajaran ritual yang terpisah dengan kehidupan sosial masyarakat. Transformasi ruhani—dalam istilahnya Imam Khomeini adalah mi’raj ruhani—ajaran tasawufnya mampu melahirkan etika tasawuf sebagai spirit protes terhadap ketidakadilan dan penjajahan. Kemampuannya memadukan antara teori dan praktik dan pertautan etika falsafi dan etika sufistik adalah satu kelebihan yang jarang ditemukan dalam sejarah kehidupan kaum sufi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

2. Kelemahan

Sebagaimana sudah menjadi sunnatullah, tabiat manusia memang bersifat nisbi dan relatif. Karena itu kelemahan juga senantiasa mengiringi setiap sifat dan pendapat manusia. Demikian pula Imam Khomeini, khususnya ajaran tasawufnya mengandung kelemahan dan kekurangan yang barangkali ia sendiri tak menyadari. Kelemahan itu dapat dikategorikan ke dalam uraikan berikut:
Pertama, kelemahan tasawuf Imam Khomeini adalah bahwa ia sendiri tidak pernah merumuskan ajaran tasawufnya secara sistematis dan koheren. Metode tasawuf yang menjadi landasan ber-Islam Imam Khomeini tampak tidak memenuhi syarat-syarat karya akademis yang logis, koheren dan sistematis.
Kedua, ajaran tasawuf Imam Khomeini kebanyakan merupakan komentator dari ajaran tasawuf sebelumnya, seperti Ibn ‘Arabi dan Mulla Shadra. Hampir tak ada pemikirannya yang utuh, yang bebas dari “perangkap” para gurunya. Bahkan di beberapa bab yang dikemukakan sebelumnya, tampak sekali bahwa ajaran tasawuf Imam Khomeini merupakan carbon-copy dari ajaran tasawuf pada umumnya di mazhab Syi’ah, yakni tasawuf falsafi. Uraian-uraian tasawufnya lebih menyerupai nasihat-nasihat, ajaran akhlak dan mengandung pesan moral yang kuat.
Ketiga, Imam Khomeini hampir tidak pernah menggariskan secara tegas ajaran tasawufnya dan teori revolusi Islam ketika mentransformasi nilai-nilai tasawuf falsafi ke ajaran tasawuf yang berdimensi perubahan sosial. Imam Khomeini tidak juga menulis secara khusus uraian-uraian tasawufnya, mulai dari definisi yang tegas, melainkan muncul di beberapa karyanya yang semula disampaikan dalam ceramah-ceramah keagamaan. Ini barangkali memang bukan tugas Imam Khomeini, tetapi ia telah menunjukkan kiprahnya sebagai ulama sufi.











BAB V
KESIMPULAN DAN PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian bab-bab terdahulu dapat disimpulkan bahwa corak tasawuf Imam Khomeini adalah tasawuf falsafi. Ini terlihat jelas lewat idiom-idiom yang digunakan Imam Khomeini yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, yang sama dengan idiom-idiom yang digunakan para filosof. Imam Khomeini bahkan berkali-kali mengungangkapkan istilah-istilah pelik semisal wahdat al-wujud (kesatuan wujud), tajalli, fana’, Cahaya Murni, dan liqa Allah. Ia bahkanbegitu mengagumi ajaran wujudi Ibn ‘Arabi dan sufistik-transendental Mulla Shadra.
Imam Khomeini dapatlah disebut sebagai sufi yang menganut ajaran tasawuf falsafi pasca Mulla Shadra. Akan tetapi, tasawuf dalam pandangan Imam Khomeini tidak berhenti pada argumentasi filosofis atau selingkungan kata-kata, melainkan mampu ditransformasikan ke dalam praktek kehidupan sosial. Maka ditangannya lahirlah tasawuf falsafi yang berdimensi perubahan sosial.
Kelebihan ajaran tasawuf Imam Khomeini terletak pada kemampuannya mentransformasikan ajaran tasawuf falsafi yang dikenal paling kontroversial ke dalam dimensi sosial politik. Ia bukan pemikir yang sebatas mengetahui dan memahami teori-teori tasawuf dan tak pernah membumikan ajaran tasawuf sebagai kepribadian hidup. Ia justru menjadikan hakikat ajaran tasawuf falsafi sebagai laku moral dan akhlak yang harus dijunjung kapan dan dimana pun ia berada.
Bagi Imam Khomeini, bertasawuf tidaklah harus meninggalkan syari’at. Seorang sufi mesti memulai suluknya dengan mendalami dan memahami ilmu-ilmu syari’at dan ilmu-ilmu yang diperoleh dari hakikat, kemudian ditransformasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Proses penemuan nilai-nilai hakiki dari ajaran tasawuf seperti ini menghasilkan sebuah proses penghayatan mistis yang sangat intens.
Warisan tasawuf Imam Khomeini memberikan kontribusi bagi wacana akhlak berdimensi sosial, yakni moralitas yang berwatak politis. Imam Khomeini merupakan tokoh kunci yang tak dapat dipisahkan dengan sejarah lahirnya Revolusi Islam Iran sampai pembentukan negara teokrasi yang hingga kini masih dikagumi oleh sebagian besar masyarakat Iran.
Kelemahan tasawuf Imam Khomeini ada pada sifat nisbi manusia itu sendiri. Tak ada manausia yang sempurna dan yang bisa bebeas dari segala kelemahan, demikian pula tasawuf dalam pandangan Imam Khomeini. Tasawufnya tidak terformulasi dengan baik dan sistematis dalam bentuk karya-karya yang ditulis secara langsung. Pandangan sufistiknya masih belum memiliki epistemologi yang betul-betul terperinci. Ini mungkin kasus lumrah ketika banyak pemikir menulis dan menuangkan pemikirannya secara setengah-setengah dan berserakan dalam serpihan-serpihan ceramahnya.
Imam Khomeini memang tidak pernah menghadirkan konsepsi pemikirannya dalam sebuah korpus yang utuh dan original. Padahal suatu paham keyakinan keagamaan dan politik yang dianut, selaiknya berdiri di atas epistemologi yang dapat dipertanggungjawabkan sampai ke dasar yang sedalam-dalamnya dan tahan untuk diuji sampai batas-batas yang terjauh.
Imam Khomeini memang mengingatkan untuk terus membuka dialog bagi sebuah paham dan keyakinan agama dan politik, tapi bagaimana ia menjamin agar di tingkatan praksis, ajarannya juga tidak memberengus sistem pengetahuan lain dengan semena-mena, terutama sistem pengetahuan yang dikategorikan sebagai pengetahuan keagamaan di luar agama Islam.
Secara substansial tidak ada yang baru dari ajaran tasawuf Imam Khomeini, hampir semua dimensi sufistiknya pernah menjadi ajaran dominan dikalangan sufi sebelumnya (seperti Ibn ‘Arabi dan Mulla Shadra). Yang baru dari Imam Khomeini mungkin pada ajaran etika tasawufnya yang melahirkan spirit protes yang sudah teruji dalam sejarah praksis Revolusi Islam Iran. Meski begitu, masih terdapat kesangsian apakah etika tasawuf dan spirit protes itu yang merupakan spirit lahirnya Revolusi Islam Iran. Ide-ide tasawufnya masih memerlukan perluasan dan kritik yang terus-menerus. Hamparan gagasan dan dimensi keruhanian yang menjadi landasan keislamannya belumlah tuntas. Masih terlampau jauh dari kata utuh dan tuntas, mungkin persis seperti hidup Imam Khomeini yang terlalu cepat pergi meninggalkan dunia.

B. Penutup

Dalam penelitian ini hanya dibahas dua topik persoalan atau permasalahan yang menyangkut corak tasawuf Imam Khomeini serta relevansi pemikirannya bagi perkembangan tasawuf Islam, kelebihan dan kelemahan model tasawuf yang ditawarkannya bagi dunia Islam. Persoalan-persoalan ini kiranya sudah dibahas secara memadai dalam penelitian ini, setidaknya menurut kesimpulan penulis.
Tapi di sela-sela penulisan dan tema-tema bahasan yang telah disebutkan di atas, ada beberapa tema-tema bahasan yang tidak tersaji dan tidak dibahas secara mendalam, karena untuk membahasnya secara tuntas dibutuhkan ruang dan tempat secara khusus, diantaranya yang paling layak untuk diteliti adalah etika tasawuf dan spirit protes dalam persepketif sosiologis.
Selama ini yang berkembang di masyarakat tipologi pemikiran Imam Khomeini tentang tasawuf secara berbeda. Tentu pendapat-pendapat ini masing-masing didasarkan atas argumentasi yang berdasarkan hasil telaahnya. Tapi telaah dan kajian itu belum dilakukan secara khusus, serius dan mendalam, juga belum memadai. Untuk tahap awal mungkin memadai tapi belum dapat merepresentasikan kajian ilmiah yang lebih serius dan substantif.
Sampai di sini, kajian tentang tasawuf dalam pandangan Imam Khomeini mudah-mudahan bisa memperkaya literatur di bidang kajian tasawuf di Indonesia. Meski Imam Khomeini menulis dan membicarakan persoalan tasawuf dalam konteks keislaman di Iran, tapi pandangannya cukup relevan untuk konteks Indonesia masa kini.
Ajaran tasawuf Imam Khomeini masih perlu ditindak lanjuti lebih mendalam untuk melihat kaitan antara etika tasawuf dan spirit protes sebagaimana sudah disinggung pada pembahasan lalu.









DAFTAR BUKY YANG DIBACA



A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed), Syi’ah dan Politik di Indonesia, Sebuah Penelitian, Bandung: Mizan, 2000

Abdurrahman Wahid, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1987,Melawan dengan Lelucon, Pusat Data dan Analisis TEMPO, Jakarta: 2000

Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman Ke Zaman, terj. Ahmad Rofi Usmani, Bandung: Pustaka, 1997

Ahmad Najib Burhani (ed), Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif, Jakarta: IIMaN bekerjasama dengan jurnal Al-Hikmah, 2002

, Sufisme Kota, Jakarta: Serambi, 2001

Alamah M.H. Thabathaba’i, Islam Syi’ah Asal usul dan Perekembangannya, terj. Djohan Effendi, Jakarta: Grafiti Press, 1989

Ali Rahnema (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1995

Ali Syariati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad, Bandung: Mizan, 1992

Alwi Shihab, Islam Sufisitik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesi, Bandung: Mizan, 2001

Annemarie Schiemmel, Dimensi-dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Joko Damono dkk., Bandung: Mizan, 1986

Anton Bakker, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990

Asmaran A.s., Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994

Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999

Budhy Munawar Rachman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1994

Edy A. Effendi (ed), Islam dan Dialog Budaya, Jakarta: Puspa Swara, 1994

Fazlur Rahman, Islam , terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 2000

Fritjhouf Schuon, Understanding Islam, Bandung: Pustaka, 1994

Hamid Algar dan Robin W. Carles (Ed), Khomeini, Mata Air Kecemerlangan, terj. Zainal Abidin, Bandung: Mizan, 1991

Hamid Algar, Imam Khomeini, Seorang Sufi, terj. Zainal Abidin, Bandung: Mizan, 1992

, Islam and Revolution, London: Berkeley, 1986

, Religion and the State in Iran, 1785-1906, London: Berkeley, 1990

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973

, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 2, Jakarta: UI Press, 1986

, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta : lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989

Ibn Khaldun, Muqaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000

Imam Khomeini, Adab al-Shalah, Muasasah: Tandzim wana syara tsurats al-Imam al-Khumaini as Syuunul Dauliyah, Teheran, cet. ke-2, 1419 H/1999 M

, Mi’raj Ruhani Tuntutan ‘Amali Shalat ‘Arifin, terj. Hasan Rakhmat dan Husin Shahab, Bandung: Yayasan Al Jawad, 1996

, 40 Hadis Mistik Imam Khomeini, Buku ke-1-3, Bandung: Mizan, 1994

, Mishbah Al-Hidayah ila Al-Khilafah wa Al-Wilayah: Ta’lif Ayat Allah Al-Muassasah Al-Wafa’, Teheran, 1403 H/1983 M

Imam Khomeini, Al Arbauna Haditsan, Muasasah: Tandzim wana syara tsurats al-Imam al-Khumaini as Syuunul Dauliyah, Teheran, cet. Ke-2, 1419 H/1999 M

, Rahasia Basmalah dan Hamdalah, terj. Zulfahmi Andri, Bandung: Mizan, 1994

, Wanita Dalam Pandangan Imam Khomeini, Bandung: Yayasan Al-Jawad, 2004

, Mata Air Sumber Kecemerlangan, terj. Zainal Abidin, Bandung: Mizan, 1991

, Pesan Sang Imam, terj. Sandy Alison, Bandung: Al-Jawad, 2000

, Jihad Akbar, terj. Ibrahim Mahmudi, Bandung : Yayasan AS-Sajjad, 1991

, Wasit Sufi Ayatullah Khomeini Yang Tidak Banyak Diketahui, terj. Yamani, Bandung : Mizan, 2001

, Cahaya Sufi: Jawaban Imam Khomeini terhadap 40 Soal Akhlak dan Irfan, terj. Faruq Khirid, Jakarta: Misbah, 2003

, Insan Ilahiah : Menjadi Manusia Sempurna dengan Sifat-sifat Ketuhanan: Puncak Penyingkapan Hijab-hijab Duniawi, terj.M. Ilyas, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004

, Hakikat dan Rahasi Shalat: Mikraj Rohani: Tuntutan Shalat Ahli Makrifat, terj. Hasan Rakhmat, Husin Shahab, Husein Alkaff, Bandung: Misbah, 2004


Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah: Mukadimah, Bandung: Rosda Karya, 1999

Jurnal Al- Huda,Vol. 1 No. 3, 2001

Jurnal Al-Hikmah, No. 13, April-Juni, Bandung: 1994

Jurnal Pemikiran Kebudayaan, Jakarta: Insight, 2001

Jurnal taswirul Afkar, edisi No. 13 tahun 2002

Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 5, Vol. IV Th. 1993

, Nomor 4, Vol. VI. TH. 1995

, Vol. II. TH. 1991

Kalim Siddiqui, et.al., Gerbang Kebangkitan: Revolusi Islam dan Khomeini dalam Perbincangan, Yogyakarta: Salahuddin Press, 1984


Kautsar Azhari Noer, Sufisme dan Dialog Agama-agama, Makalah, Badan Litbang PGI dan Yayasan Bina Darma, Kamis, 21 September 1995, di Salatiga, Jawa Tengah

, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, Jakarta: Serambi, 2003

Kumpulan tulisan majalah Prisma 1975-1984, Agama dan Tantangan Zaman, Jakarta: LP3ES, 1985

M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2001

Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj. Zainul Am, Bandung: Mizan, 2001

Mir Valiuddin, The Qur’anic Sufism, Delhi: Matilal Banarsidass, 1981

M.M. Syarif (Ed), Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, Cet. Ke-IV, 1992


Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, ’Irfan dan Hikmah, Bandung: Jurnal Al-Hikmah, No.9, 1998

Mulla Shadra, Kearifan Puncak, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000

Murthada Muthahhari dan S.M.H. Thabathaba’i, Menapak Jalan Spiritual, terj. M.S. Nasrullah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995

Murthada Muthahhari dan S.M.H. Thabathaba’i, Light Within Me, Islamic Seminary Publications, Karachi, Pakisatan, 1991

, Mengenal Tasawuf: Pengantar Menuju Dunia ‘Irfan, terj. Mukhsin Ali, Jakarta: Pustaka Zahra, 2002

Mustafa Zuhri, Kunci Memahami Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1995

Nasir Tamara, Revolusi Iran, Jakarta: Sinar Harapan, 1980

Ramli Bihar Anwar, Bertasawuf Tanpa Tarekat, Aura Tasawuf Positif, Jakarta: IIMaN bekerjasama dengan Hikmah, 2002

Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996

, Dinamika Revolusi Islam Iran, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989

R.K. Ramazai (Ed), Iran’s Revolution, Indian: University Press, 1990

Sachiko Murata, The Tao of Islam, Bandung: Mizan, 1997


Seyyed Hosein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul hadi WM., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991

, (ed), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 2002

Siddiqui, et.al., Gerbang Kebangkitan: Revolusi Islam dan Khomeini dalam Perbincangan, Yogyakarta: Salahuddin Press, 1984

Sukardi (Ed), Kuliah-kuliahTasawuf, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000

Tim Kedutaan Besar Republik Islam Iran (RII), Sekilas Tentang Imam Khomeini, Kedutaan Besar Republik islam Iran, tt.

,Wasiat Imam Khomeini, Jakarta: Kedutaan Besar Republik Islam Iran, 1989

Umar Yunus, Sastra Melayu Modern: Fakta dan Interpretasi, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran, 1984

Yamani (Peny), Wasiat Sufi Ayatullah Imam Khomeini Yang Tidak Banyak Diketahui, Bandung: Mizan, 2001

, Filsafat Politik Islam: Antara Al-Farabi dan Khomeini, Bandung: Mizan, 2002
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi Oleh al-Jilli, Jakarta: Paramadina, 1997