Rabu, 15 April 2009

Aku Bermain Aktor

Asarpin
pembaca sastra


Sebelum bukunya terbit, namanya sudah melegenda.Orang mengenalnya sebagai dramaturg besar setelah kepergian dramawan Utuy Tatang Sontani. Bahkan tokoh kita ini seorang pelopor drama kontemporer di tanah airnya, baik ihwal mengenai konsepsi penulisan naskah maupun pementasan. Baginya, seorang belum pantas menerima gelar dramawan hebat bila tak punya konsepsi di bidangnya. Konsepsi-lah yang membedakan seorang dramawan besar dan drawaman ecek-ecek, sebagaimana kredo puisi adalah yang menjadikan puisi dan Sutradji dianggap lebih kuat dan lebih siap dari puisi dan Chairil Anwar.

Pengalamannya di bidang seni teater selama dua dekade, kemudian telah dibukukan dengan judul Aku Bermain Drama (1976). Buku ini adalah himpunan esai yang nyaris tak dibaca lagi kini. Bahkan tidak oleh para aktor, sutradara, bahkan para calon pemain tak pernah tahu ada buku itu. Memang, buku esai yang hanya 95 halaman itu jauh di bawah kualitas literer dari karya dramawan Rusia, yang buku-bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa kita. Tapi yang unik pada dramawan yang satu ini adalah caranya mengolah konflik antara pemain dan sutradara lalu memberikan arah yang tak memaksa. Apa dan bagaimana konsepsinya tentang teater? Bagaimana ia mengolah konflik antara pemain dan sutradara?

Renggani memulai ceritanya dari pertemuan dengan aktor tenama itu di sebuah acara latihan. Waktu itu ia sendirian di salah satu pojok ruangan. Waktu itu Is berlatih dengan gayanya sendiri, tanpa arahan seorang pun. Tak ada naskah teater. Ketika ada yang bertanya, Is hanya menjawab: ”Pemain teater tidak terikat pada naskah. Sebuah pertunjukan bukanlah karya bersama. Gaya pertunjukan hanya ada satu, tak boleh lebih”.

Kata-katanya menyimpan keangkuhan. Tapi di kota ini memang cuma dia yang memiliki bakat sebagai pemain seni pertunjukan. Lain tidak. Sekali pun ada Wis, sarjana seni pentas yang konon dianggap sebagai penerusnya kelak, kehebatannya belum sebanding dengan Wis. Is adalah pemain di Komunitas Teater 1:0 yang paling tidak mau berurusan dengan sutradara. Baginya, sutradara hanya membuat kreaativitasnya di atas panggung menjadi monoton, tidak leluasa, bebas dan jernih. Ia tak mau ambil pusing tentang berbagai macam gaya penyutradaraan, sebagaimana Wis—temannya.

Sutradara Komunitas Teater 1:0 tak cocok dengan Is. Pernah suatu hari, Wawan mengusir Is karena menganggap sutradara tak berguna. Penolakan Is terhadap sutradara tentu punya dasar. Suatu kali ia pernah menonton teater Gogol, Inspektur Jendral, rusak akibat terlalu mengikuti pakem Meyerhold. Oman—pemain teater terbaik di Pasundan—menjadi norak dan hiper yang dibuat-buat karena terlalu mendengarkan arahan sutradara Suman. Hendri gagal menerima hadiah pemain terbaik lantaran pentas terakhirnya hanya mengindahkan apa yang dianjurkan Wendi.

Bagi Is, sehebat apa pun sang sutradara, sekali pun garam telah berubah laut di perutnya, tetap saja punya teknik yang membuat pemain tidak merdeka. Di dalam teknik penyutradaraan, selalu ditekankan pengaturan dan penempatan pemain, sampai bagaimana mengatur gerak-tubuh pemain, watak pemain. Pokoknya, sutradara berkuasa penuh terhadap pemain. Termasuk berkuasa untuk menjadikan pemain menjadi alienasi. ”Aku kan anak alam”, katanya suatu kali. ”Pemain alam mengetahui teknik bermain tanpa ada yang mengajarnya”.

Gejala anti-sutradara macam Is, bukan hal baru yang menancap di kota ini. Sejak munculnya isu Teater Sutradara beberapa dekade lalu, banyak pemain bersikap seperti Is. Sikap semacam itu sah-sah saja, mengingat pemain juga punya otoritas, memiliki otonomi penuh sebagaimana juga sutradara. Kalau pun sampai sekarang masih sering terdengar seorang pemain menolak sutradara, walau konon katanya ini abad ke-21, mungkin bisa dibaca sebagai gejala yang sehat dalam dunia teater.

Is ingin menjadi sutradara bagi dirinya sendiri. Ia ingin memimpin gaya dan caranya sendiri. Is tak ingin didikte, apalagi diarahkan setiap kali latihan oleh sang sutradara. Sutradara mati, katanya sambil menirukan ucapan seorang kritikus sastra. ”Aku ingin seperti John Gielgud, Laurance Oliver, dan ingin jadi pemain sendiri, memainkan monolog seperti Iswadi dan Ari, Fang dan Mei hingga Ruth Draper. Apakah sikap Is memang konsisten untuk tidak didikte orang lain, mungkin patut dipertanyakan. Sebab, Is menolak A untuk mengapresiasi B. Di jagad teater, sikap Is ini sudah cukup untuk mengatakan ada gejala anakronis di tubuh teater hari ini.

Is telah bermain drama sebanyak 49 kali, dan hampir separuh naskahnya ia tulis sendiri. Is benar-benar ingin membebaskan teater masa kini dari penjajahan sutradara. Is bermain mirip pantomim, membeaskan teater dari penguasaan pengarang naskah. Is menamakan teaternya teater tulen. Tapi teman-temannya menyebutnya teater asli. ”Teater asli adalah teater yang pemainnya sendiri; sendiri dalam arti menciptakan adegan gerak sendiri dari naskah yang dihasilkan sendiri. Berteater bagiku adalah memebaskan diri dari penguasaan pengarang naskah dan sutradara”.

Aku sebenarnya ingin bertanya pada Is. Untuk melengkapi berita besok. Dan kebetulan, Is rupanya baru saja selesai latihan bermain. Senja itu aku mengajaknya bercakap-cakap perihal Teater Sutradara, Teater Aktor, Teater Global, bahkan tentang Teater Selebor, sambil minum teh hangat. Salah satu yang menjadi perhatian orang ramai terhadap Is adalah sikap soliternya sebagai pemain teater.

”Tahu dari mana aku di sini?” tanya Is.
”Dari seorang kawan yang kebetulan banyak tahu tentang kamu”.
”Terima kasih. Aku tak perlu tahu kan nama temanmu itu?”
”Oh, apa salahnya.”
”Tak usah”.
Rupanya benar kata orang, Is seorang aktor jumawa. Ia tampak sedang memainkan kedua telapak tangannya, seperti sedang mengusap keringat.

Sayup-sayup lagu Dilema meluncur ke relung telinga. Menggoda. Kami saling bertatap. Dan pada detik itu aku teringat, aku takut rindu bila tak lagi bertemu, haruskah kuterima cinta buah dilema? Buah delima telah merekah sendiri karena masak dan merah api warna luka yang ia buat di badannya sendiri untuk menyenangkan hatiku.

”Aku ingin buah delima itu”.
”Apa?”

”Oh, tidak”. Maksudku. Maksudku, tolong jangkaukan tanganmu dan petiklah buah Delima di atas itu”.
Gawat, aku rupanya melamun. Untung saja Is tidak curiga. Buru-buru aku memperbaiki cara duduk, tak lagi bermuka-muka. Is metik dua buah. Lalu kami makan sama-sama. Ketika punya telah habis, aku mulai bertanya padanya. ”Is, apa memang ada, di abad dua puluh satu ini, teater yang baik tanpa sutradara?”

“Sejak abad lalu sudah sering orang bertanya begitu”.
”Maksudnya?”
”Ya”, sambil berdiri, ”tentu ada. Tapi apa hubungannya dengan abad 21? Kemajuan? Perkembangan?”

”Bukan. Aku hanya ingin memastikan keyakinanku yang meragukan apakah kamu memang konsistens menolak sutradara, menolak naskah, membebaskan teater dari keduanya”.

”Hei, dengar Nona”, katanya dengan lembut. Abad lalu Rendra pernah meledek kami dengan kata-kata begini: ’Mana ada, di abad dua puluh ini, teater profesional yang tanpa sutradara? Dan biar dalam pengertian seni sandiwara macam apapun juga, di abad dua puluh ini, mutu permainan kelompok tidak bisa diremehkan lagi. Oleh karena itu, pemain selalu membutuhkan pimpinan sutradara’.

”Aku mau mengatakan seperti itu. Jika Rendra masih meragukan konsistensi pemain tanpa pimpinan sutradara di abad dua puluh, apalagi di abad dua satu ini, Is”.

”Teater tak punya urusan dengan abad!”

”Maksudnya?”

”Teater kontekstual tidak terikat waktu. Kapan pun ia akan kontekstual. Tidak kontekstual lagi kalau bumi sudah kiamat”.

”Aku mau pergi”, timpal Is. Baca saja buku Aku Bermain Drama, kau akan tahu semuanya. Aku tahu, suatu hari kamu akan membela pendirianku”. Ia benar-benar berlalu. Sikap badan dan geraknya begitu yakin. Tampaknya aku seperti sedang berhadapan dengan seorang aktor terbaik di atas panggung. Hidupnya tak cuma banyak warna, tapi juga irama. Detak jantungnya saat meninggalkan percakapan masih terasa. Tapi ia harus meletakkan irama permainannya di dalam hubungannya dengan percakapan.

Tubuhnya semakin lama semakin sirna ditelan bayang-bayang yang separuh kelam. Pelangi hampir dibalut awan seluruhnya. Sementara pikiran masih terserap oleh sikap aktor yang angkuh itu. Akhirnya kuputuskan berjalan pulang , dengan pikiran yang cemas memkirkan apakah suatu hari nanti Is akan tetap eksis sebagai pemain dari ribuan pemain teater, jika tetap bertahan pada pendiriannya. Mungkin tidak. Mungkin juga Is benar.

Minggu, 12 April 2009

Omong Kosong Intelektual

Asarpin
Aktivis dan pembaca sastra


Bangsa Yunani berjasa mengenalkan bahasa angka pada manusia. Setelah kejayaan Babilonia, matematika muncul di Yunani dengan gemilang hingga lahir paham manusia berakal-budi. Tapi bangsa Babilonia yang mula-mula mengenalkan tahap-tahap penting yang berlaku dalam matematika dan astronomi. Kemudian orang Yunani mempromosikan cara-cara berpikir dan mengamati secara ilmiah dan progresif. Pada abad ke-3 S.M, bangsa Yunani bahkan telah tampil dalam penemuan bahasa angka yang kelak dianggap sebagai cikal-bakal lahirnya konsepsi modern tentang ”sains girang”—sains yang mencapai kemajuan puncak di abad ke-20.
Filsafat Yunani memiliki konsepsi mendasar tentang hukum alam serta mengembangkan kebiasaan untuk mengungkapkan hukum-hukum tersebut dengan istilah-istilah matematis. Desain matematis tidak digagas guna mempermudah proses industri, atau bersifat utilitarian murni, tanpa memperhitungkan kegunaan secara praktis, sebagaimana kelak kita temukan pada zaman modern. Hal ini karena bangsa Yunani sendiri, kata Bertrand Russell dalam esainya yang jernih berjudul Kerangka Buat Omong Kosong Intelektual, sistem per-angka-an orang Yunai buruk sekali, sehingga metode perkalian jadi sangat sulit dan penghitungan yang rumit hanya bisa dilakukan oleh orang yag sangat pandai, seperti Aristoteles.
Archimedes hanya mengisyaratkan penggunaan modern dari matematika dengan menciptakan perkakas-perkakas perang untuk membela Syracuse dari sangan bangsa Romawi. Namun seorang serdadu Romawi telah berhasil membunuhnya, dan matematika kembali beristirahat dalam menara gadingnya. Dalam kurun ini, seperti kata Bertrand Russel dalam salah satu esai di buku Pergolakan Pemikiran—terjemahan Mochtar Pabotinggi—bangsa Yunani mencapai tingkat rasionalisme pencerahan yang tak akan bisa dilampaui oleh zaman kita dan mereka berhasil mencapai perkembangan paling mencengangkan mengenai teori alam semesta. Namun bangsa Yunani masih tak menemukan mesin hitung yang memandu manusia untuk berhitung perkalian atau penjumlahan dengan lebih mudah.
Kemajuan pemahaman tentang bumi secara lebih mengejutkan memang terjadi di abad ke-17 dengan tampilnya Galileo, Descartes, Newton dan Leibniz, namun kemajuan yang dibawakan bangsa Yunani awal tidak kalah canggih dan mengejutkan. Sejak Descartes, hukum alam dapat dipatahkan hanya dengan mendasarkan diri pada matematika dan logika. Descartes mungkin pernah membaca karya-karya para pemikir Eleatik yang menggariskan cita-cita logika, sehingga begitu terpesona dan percaya dengan segala yang logis-rasionalis.
Ada perbedaan mendasar antara matematika Babilonia dengan matematika modern. Pada masa Babilonia, matematika dan astronomi tak sepenuhnya meinggalkan mistik, sementara matematika modern justru mengenyahkan takhayul dan mistik. Namun konsep matematika dan astronomi akhirnya bergeser ke arah yang serba rasional, dan nyaris tak tegoyahkan bahkan oleh bersatunya semua agama di dunia. Bangsa Yunani yang menaruh minat pada penjumlahan angka-angka, tapi masih berbaur dengan takhayul. Pada zaman kepercayaan yang dipuja kalangan neo-skolastis, takhayul tumbuh subur di gereja dan pemikiran biarawan.
Johannes Kepler (1571-1630)—ilmuwan perintis sejati dari astronomi ilmiah—adalah yang terhitung paling awal dalam mengubah matematika ke arah yang kian tak tergoyahkan dengan hitungan-hitungan angka yang logis. Kepler bertarung untuk mengusir mistik dalam astrologi Babilonia dan Yunani, dan akhirnya berhasil: Astronomi kemudian mendepak astrologi. Matematika menjadi ilmu hitung yang bermetamorfosa menjadi ilmu pasti yang dijaga puluhan ilmuwan. Angka dan bilangan kembali jadi ratu di segala lapangan. Apa saja harus diukur dengan angka. Apa saja mesti ada bilangan.
Sementara astronomi dikejar orang dengan bersemangat pada abad ke-16 dan ke-17 karena manfaatnya di bidang pelayaran, seperti kata Russell dalam artikel Gagasan-Gagasan yang Menyelamatkan Manusia. Selama berabad-abad filsafat matematis yang statik menjadi terdepan. Sementara konsep matematika dan astronomi Babilonia dianggap ketinggalan zaman karena tidak masuk akal. Bahkan Bertrand Russell—filsuf Inggris yang terkemuka abad ke-20 yang mengajarkan prinsip kehendak untuk meragukan dengan gaya berpikir eksotik-matematik yang statik itu—menganggap matematika dan astronomi Babilonia masih amat kaku, statik, tidak progresif, dan masih mengandung takhayul. Bukankah hakikat matematika itu sendiri statik, karena matematika bukanlah eksperimentalisme yang dinamis-progresif?
Apa boleh buat, Russell terlanjur menganggap matematika dan astronomi modern lebih progesif dan lebih ilmiah ketimbang empat ratus tahun sebelum datangnya abad ke-20. Russell pun menegaskan: Mulai dari abad ke-17 hingga sekarang sudah menjadi semakin nyata bahwa jika kita ingin memahami hukum-hukum alam, kita mesti melepaskan diri dari segala macam bias etis maupun estetis. Kita harus berhenti beranggapan bahwa hal-hal mulia punya sebab-sebab mulia, bahwa hal-hal yang cerdas punya sebab-sebab yang cerdas, dan bahwa ketertiban tidak mungkin ada tanpa polisi alam raya.
Pada persimpangan abad ke-16 dan ke-17, kata Donald B. Calne (Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia, 2004) dan Nirwan Ahmad Arsuka (Dialog Dua Anak Haram, 2004), para pemikir tumbuh dan terdidik dalam cabang filsafat Aristoteles, yang dengan tegas membagi ranah langit dan bumi, ranah surgawi dan duniawi, perfeksi dan korupsi, Kenaikan dan Kejatuhan. Mayoritas pemikir belum menemukan alasan untuk mengkritik dasar filsafat Aristoteles.
Kopernikus, yang mencetuskan teori yang menggemparkan gereja Katolik dan Protestan, menghebohkan gereja pada tahun 1543. Giordano Bruno yang mengikuti Kopernikus dibakar sampai mati tahun 1600, dan Galileo Galilei dipaksa hadir di hadapan Inkuisisi pertama kali pada 1616. Lalu gilsafat matematis modern mulai banyak menuai kritik dari kalangan matematikawan sendiri. Kurt Godel banyak menggugurkan sejumlah teori bidang ini, seperti kata Nirwan Ahmad Arsuka dalam Ontologi Baru, Algoritme dan Api (2002).
Kurt Godel adalah anak ajaib dari Wina untuk logika. Dan dialah yang pernah ditolak sebagai guru besar matematika, dan pernah bergabung dengan Einstein dan von Neumann di School of Mathematics di institut Princeton AS sekitar tahun 1933. Dialah jenius di belakang meja yang tersohor dan lekat dengan paranoia dan terornya yang menghebohkan di Institute for Advanced Study. Tapi Kurt Godel bukan satu-satunya. Bisa jadi kritiknya pada aritemetika telah dilancarkan para teolog Kristen dan Yahudi sendiri yang mula-mula menyadari ketebatasan desain matematis saat berhadapan dengan kenyataan.
Seraya merujuk Wolfram dan terpukau olehnya, Arsuka yakin bahwa bukan matematika—termasuk aljabar dan kalkulus—sebagai satu-satunya sarana ampuh dan meyakinkan untuk memahami kenyataan, apalagi kenyataan yang kompleks, melainkan cellular automata. Sebuah otomata seluler ialah sebuah perintah program komputer yang terdiri dari satu baris situs, di mana tiap situs membawa sebuah nilai 0 dan 1. Karena itu, konfiguasi sebuah sistem kompleks—kata Nirwan yang terkesima gagasan ”baru” Wolfram—sesungguhnya merupakan sekuensi dari nilai nol atau satu. Alam semesta-lah komputer itu, kata Wolfram (2002).
Mungkin betul bahwa bukan Wolfram yang pertamakali mengenalkan gagasan gila itu, seperti kata Mahdi Murthada Armahedi Mahzar (2002), melainkan telah lama dikumandangkan Edward Fredklin yang merekonsruksi teori fisika fundamental sebagai fenomena komputasi digital. Yang terakhir ini tidak lain adalah peristiwa komunikasi antarsel-sel otomata yang diprogram alam satu Maha Komputer yan disebut sebagai Yang-Lain. Gagasan mekanika digital Fredklin hanyalah kulminasi dari proses reduksi sibernetik total. Penggagas sibernetika abad ke-20 adalah Norbert Wiener—seorang Yahudi kelahiran Amerika.
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, sebagian ilmuwan memang mulai beralih dari memproduksi mesin energi menjadi mesin informasi, dari matematika ke algoritme. Komputer telah dipraktekkan para agen-agen CIA untuk memproduksi jaringan informasi raksasa dalam rangka memonitor dunia. Maka sekarang kita sering mengenal parodi yang menggelitik: barangsiapa menguasai informasi maka ia menguasai dunia. Jika Uni Soviet yang menguasai informasi, maka bukan Amerika yang jadi negeri Super Power seperti sekarang ini. Namun karena sebagian besar ilmuwan sendiri—termasuk Bertrand Russell—mencoba merasionalisasi bahwa masa depan dunia lebih terjamin jika Amerika yang menang perang lawan Rusia, karena alasan demokrasi liberal AS lebih menjanjikan. Terlepas hal itu mengandung konsekuensi kemudian, dari Russell pula kita memperoleh hikmah tentang sejarah sains: Sejarah sains ternyata mirip sejarah arsitektur yang dekat dengan penguasa (arsitek = penguasa). Dan sains modern tak lain adalah anak kandung militer AS.
Maka Russell pun ambil bagian dengan menekankan filsafat sebagai kebijaksanaan. Dalam esainya bertajuk Filsafat Untuk Kaum Awam, ia menyingung kegamangan sejumlah ilmuwan dengan mengambil contoh penemuan bom atom. Setelah para saintis berhasil membuat bom atom, mereka dilanda kecemasan dan tak tahu mesti berbuat apa. Manusia, karena itu tak cuma butuh dan cukup dengan keahlian, tapi ada sesuatu yang dirindukan, yaitu ”kebijaksanaan”. Filsafat, kata Russell, berarti ”cinta pada kebijaksanaan”. Dan filsafat dalam pengertian inilah yang harus diusahakan oleh umat manusia jika kekuatan baru yang ditemukan oleh para ahli teknik, dan diteruskan untuk digunakan oleh orang-orang biasa, tak dikehendaki menjatuhkan manusia ke dalam bencana yang mengerikan.
Namun tak seorang pun menyangka jika Russell pun mencetuskan sebuah aforisme pendek yang mematahkan anggapan tentang kebaikan sejati ditunjukkan oleh ketidak-acuhan pada soal-soal duniawi. Bahkan Russel pun menolak anggapan tentang penderitaan fisik sesungguhnya tidaklah buruk betul karena bisa jadi sarana melarikan diri dari ketakutan yang akut. Anggapan ini bisa jadi suatu cara mulia untuk menjauhkan ketakutan, dan jika benar-benar dianut, kata Russell, itu akan mengakibatkan orang acuh tak acuh bukan hanya terhadap penderitaannya sendiri tapi juga terhadap penderitaan orang-orang lain. Atas dasar inilah maka orang pengecut lebih cenderung melakukan kekejaman dibanding dengan orang berani.
Sampai pada detik terakhir hidupnya, Russell seperti telah menemukan ”hikmah kebijasanaan”. Namun Russell sendiri—lewat warisan karyanya yang bertebaran di rak perpustakaan—tampak masih menjelmakan sosok dwikembar-paradoksial dari seorang rasionalis sekaligus skeptis, yang menggelorakan perang tapi sekaligus pengecut dan cinta-damai, seorang filsuf yang memberi suatu alasan pada filsafat untuk mempertahankan agama dan bukan menyingkirkan, tapi juga sebagai matematikawan yang percaya bahwa sesuatu dapat diketahui dalam matematika murni tapi ”tentang dasar-dasar matematika saya tak mendapat suatu kesimpulan pun” dan ”walau saya cenderung pada empirisme, saya tidak dapat mempercayai bahwa 2 x 2 = 4 diperoleh dari generalisasi yang negatif murni ini”.
Terhadap angka 0 dan 1, Russell agaknya masih condong pada bilangan satu yang logis-rasionalis, dan kurang menaruh pada bilangan nol yang enigmatis dan mistis. Karena semua angka adalah sama, tak ada yang istimewa. Angka nol syarat mistik itu hanya khayalan para mistikus dan takhayul yang nikmat walau sesat. Tapi bilangan nol yang irasional itu adalah sebuah arreton, kata Ernst Cassirer dalam An Essay on Man. Atau hal yang lebih dekat kepada sesuatu yang tak untuk dipikirkan, dan tidak pula untuk dibicarakan panjang-lebar. Karena nol adalah bilangan fu kata Ayu, dan satu itu menipu kata Goenawan, sementara nol menuntut diisi dengan interpretasi yang tak selesai.
Mungkin saja ada yang beranggapan bahwa Tuhan sebagai nol, bukan sebagai satu (jika anggapan Goenawan itu bisa dipercaya). Karena satu itu adalah bilangan pasti dan logis, nol membuka kemungkinan, kepelbagaian, perbedaan, dan di atas semuanya; nol bersifat tak terhingga. Jika kau mau mencari Tuhan, kata Nietzsche dalam Senjakala Berhala, maka jangan cari nol (nullen), Jika kau mau mencari nol maka ”carilah bukan siapa-siapa”. Kosongkan anggapan pencarian tentang Tuhan, termasuk dari anggapan bahwa Tuhan itu Mahaesa, karena itu hanya ilusi saja.

Kado Puisi dari Jimmy

Asarpin
Esais, tinggal di Lampung


Apa yang sederhana memang langka. Apa yang sederhana menggoda mata. Karena langka dan menggoda, maka orang senantiasa mengharapkan ia ada. Demikian pula pada puisi Indonesia mutakhir. Mencari yang sederhana ibarat mencari tokek di kota metropolitan. Sekali pun ada sebagian sajak yang setia menampilkan hal-hal yang sederhana, namun karena ditulis oleh pengalaman penyair yang sempit dan dangkal, maka tidak ada sumur kata-kata. Kalau pun ada, betapa dangkal dan kering sumur itu.

Saya kira ucapan Boris Pasternak—dalam Dr. Zhivago—masih relevan di turunkan di sini: ”Hal-hal yang menakjubkan”, kata Pasternak, ”tidak lain adalah hal-hal sederhana, tapi disentuh oleh tangan jenius”. Sekalipun yang sederhana itu berada dalam pesona, tapi karena yang menyentuhnya adalah tangan yang tidak kreatif, maka ia tidak mempesona.

Kesederhanaan tidak berurusan dengan tema besar dan kecil. Kesederhanaan pada mulanya adalah bahasa ekonomi, bahasa sosiologi, kemudian diambil-alih oleh bahasa agama dan kini dipakai dalam bahasa (kritik) sastra. Apakah substansial membicarakan puisi dari sisi kesederhanaan ungkapan? Tentu saja. Siapa bilang tidak.

Sesuatu yang sederhana umumnya muncul dari hal-hal yang remeh-temeh. Karena itu, para aktivis dan pejuang kemerdekaan dulu berlomba-lomba menggunakan penggada besar, sementara para penyair lirik justru menulis oleh embun dan sayap kupu-kupu. Puisi yang menggunakan ungkapan sederhana sebagaian besar puisi hemat kata, puisi pendek. Di sana kesederhanaan terolah dengan apik dan terjaga. Lain halnya dengan puisi panjang yang bagaikan novel, tak jarang kata-kata yang muncul bukan suasana tapi kata-kata yang keberatan ide.

Godaan terbesar seorang penyair adalah menampilkan kata-kata yang membahana. Diam dianggap bukan sebagai maqam yang bisa mengantarkan sang penyair meraih otentisitas. Sunyi dianggap sudah lama berkarat besi sehingga puisi-puisinya terdengar bergemerincing bagaikan lonceng azura. Tak ada ketakziman, apalagi kediam-dirian dan keheningan. Yang ada cuma teriakan massal, mirip sajak demonstrasi saat reformasi.

Maka ketika saya menemukan kata-kata yang sederhana dalam puisi-puisi Jimmy, tiba-tiba saya teringat pada tudingan Nirwan Dewanto terhadap kecenderungan puisi penyair Lampung—termasuk Jimmy—yang menampilkan kata-kata ajaib. ”Kesedrhanaan tak lagi menarik bagi para penyair terkini, tak terkecuali penyair Lampung”. Nirwan betul. Tapi tidak semua sajak Jimmy ajaib, karena kata dan bahasa yang digunakan sudah mengalami penulisan-ulang. Malah terdapat cukup banyak ungkapan yang sederhana sebagaimana yang dimau Nirwan. Provokasi Nirwan ternyata cukup kena dan berhasil.

Kado pertama Jimmy yang terangkum dalam Puan Kecubung (KataKita, 2009) tak menampilkan kata-kata membahana, tapi mirip prosa yang diam. ”Pada sebuah pokok jambu saya pernah melihatmu berbincang dengan sekelompok semut sedang memintal sarang. Waktu itu, matahari masih susup oleh kabut dan satu dua daun uzur jatuh tersungkur karena lamur”. Atau kalimat yang mengejar metafora dengan bunyi yang terjaga di ujung baris: ”Bayangkan, bulan memar karena sepi melebar dan rama-rama acap liar lantaran banyak ada terkena sampar”.

Sederhana atau ajaibkah kalimat itu? Kita bisa berdebat panjang soal sederhana dan tidak sederhana dalam sajak dari berbagai sisi. Tapi bukan itu yang terpenting dalam sebuah sajak, sekalipun akan tetap menarik dipersoalkan. Jimmy bicara pada kita tidak dengan kata-kata massal, tapi individual. Bukan dengan kata-kata bunyi tapi sunyi. Sebab, seperti ditulis dalam sajak Bukit Fatima I, ”sunyi sudah lama jadi nyanyi”. Tanpa sunyi tak ada puisi. Kita berasal dari sunyi, kata Paz, dan kepada sunyi kita kembali.

Cukup banyak sajak Jimmy yang terasa pasif, lembut dan sederhana. Tapi tak jarang pula sajak yang menuntut kita merenungkan siratan makna dari takdir yang tersembunyi di balik hutan rimbun imaji. Kadang-kala muncul metafora absurd, seperti misalnya ”menyuapi sepotong bulan”.

Jimmy adalah penyair yang gemar pada labirin sekaligus pada yang feminin. Karena Jimmy mencoba menyuarakan dunia puan, sementara ia sendiri sang tuan, maka ada baiknya kita mendengarkan pengakuan Jimmy ini: ”Puan, aku tumbuh di tengah retakan/berulang kali kehilangan akar/sebatang kara antara ladang cinta/dan belantara kata-kata”.

Fragmen sajak Tamsil Damar Batu itu cenderung menghadirkan komunikasi searah, bicara dengan diri sendiri, sebuah monolog batin yang hening namun masih terasa nenes. Dari sekian model dan bentuk sajak yang dihadirkan, entah mengapa saya justru menyukai sajak Jimmy yang bercerita dengan berusaha memasuki sajak dramatik.

Syahdan, pada suatu hari Hamlet menemui Ophelia, dan berkata: ”Ophelia, suatu saat kau merupa sarang laba-laba, memintal benang-benang kabut, lalu mengharamkan tubuhku larut, dalam perangkap tangan-tanganmu yang lembut”. Ophelia menjawab: ”Kekasihku Hamlet, seharusnya kau tidak lupa mematikan lampu saat hendak tidur, agar birahiku tak terlihat, yang membenamkanmu ke dalam jerat”.

Apa cuma Ophelia yang punya birahi? Apa dalam kalimat-kalimat itu terjadi dialog atau monolog? Tak mudah menjawabnya. Aktor dan produser ternama Rusia, Stanislavski, sempat juga kewalahan menjelaskan secarik kalimat yang menyerupai puisi dalam naskah Shakespere saat bicara tentang sifat soliloqui di atas panggung. Kalimat ”dipegangnya pergelangan tanganku dengan erat/Lalu undur sejauh jarak lengannya/Dan dengan tangan yang lain di keningnya....”, bagi Stanislavski menghadirkan pertanyaan: ”apa dalam kalimat-kalimat itu dapat kalian rasakan hubungan tanpa kata-kata antara Hamlet dan Ophelia? Apakah dalam keadaan seperti itu pernah kalian alami sesuatu yang mengalir dari diri kalian, suatu arus yang datang dari mata, dari ujung jari atau yang keluar melewati pori-pori?”

Dalam sajak-sajak Jimmy ada gerak lakon yang berbaur dengan gerak lirik. Sajak Jimmy berjudul Rencana Seorang Aktor tentu bisa ditafsirkan memiliki hubungan dengan buku Persiapan Seorang Aktor, tapi bisa juga tidak. Hamlet dan Ophelia dalam sajak Jimmy memiliki persenyawaan dengan Hamlet dan Ophelia dalam drama, bisa juga tidak.

Sebagian sajak Jimmy tampaknya menyerupai susunan naskah drama dengan dialog-dialog yang berpsang-pasangan (seperti tampak dalam sajak Venus, Tentang Lajang, Lelaki dan Ikan (A), Lelaki dan Ikan (), Rumah Juru Timbang 2, Rumah Juru Timbang 3, Tonil Kadi & Kala). Jimmy memang pernah mengatakan: jika terdapat bentuk pengucapan drama dalam sajaknya, hal itu wajar saja mengingat ia sendiri seorang yang terlibat dalam dunia teater, dan jadi orang dalam pada Komunitas Berkat Yakin (salah satu komunitas teater yang ada di Lampung).

Pengalaman Jimmy bergelut di jagad teater tidak sia-sia. Malah ikut memperkaya pengucapan sajak-sajaknya. Misalnya, bagaimana Jimmy menempatkan sajak dramatik dengan memilih pengucapan prosa lirik. Di sana ada kisah tentang seorang aktor sedang berjalan pelan mengitari panggung pertunjukan outdoor, menuju ufuk lembut. Di sana tampak sekali matahari seperti dalam Orang Asing Albert Camus; yang memberat pada kedua mata tokohnya, seolah ingin melata, ”dari satu ufuk ke ufuk lain tubuhku” (sajak Saat Sakit). Tapi matahari tak akan pernah lagi menitipkan cahaya sekali pun renyai yang setiap senja menghampiri kita (Rencana Seorang Aktor).

Begitulah yang dibayangkan ufuk dari pagi kemarin yang berpijar kembali di siang hari. Makin lama kata-kata yang digunakan Jimmy tampak berakbut dan bersayap kupu-kupu, yang hanya bisa betah di cuaca. Kalimat-kalimatnya yang lembayung, yang tangkas bermain dalam dua aras tematis; gelap dan gumun, cerita dan drama, dialog dan monolog, mirip seperti kisah tentang jukung tanpa arah tujuan karena telah kehilangan ufuk; terombang-ambing di laut lepas tanpa tahu kapan akan menepi.

Pertemuan ufuk yang gelap dan gumun melahirkan pengucapan prosa dan pantun, dengan nada dasar yang kadang mendendangkan keparauan, juga kerisauan, juga ketidakpastian. Ada nada jazz, juga sonata yang berdebar serta gemetar yang hanya sebentar, lalu berseling kelakar, beragam perbalahan yang disertai debam lengang, seperti menyembul dari pengalaman luka yang belum sampai histeria. Kata-katanya seperti memiliki ekor yang bisa dipegang, bersosok dan berbentuk—bagaikan sebuah adegan-gerak. Tak urung, Jimmy mengingatkan saya pada satu kalimat Nietzsche: ”Penyair lirik adalah yang paling lama membaur dengan musisi, aktor dengan penari”.

Bagaimana pun, bentuk liris adalah busana paling sempurna dari sebuah emosi sementara. Sajak lirik bahkan tak jarang menjelma dari apa yang oleh Joyce disebut ”sebuah jeritan ritmis, semacam yang berabad-abad yang lalu membuat gembira orang-orang yang menarik dayung atau menarik batu ke puncak bukit”.

Lirik pada mulanya sebuah syair yang diiringi dengan petikan alat lira (dalam sastra Yunani). Lirik secara spontan melahirkan atau mewujudkan perasaan batin seseorang. Bersama dengan epik dan dramatik, lirik termasuk dari tiga jenis pokok sastra. Lirik mengutamakan nada dan irama, abstraksi terhadap waktu dan tempat tertentu serta gaya yang langsung menyapa perasaan pembaca. Lirik sendiri terbagi menurut ode, elegi, soneta. Ada juga yang membedakan lirik langsung dan lirik tak langsung. Lirik langsung yaitu suara batin si penyair langsung diperdengarkan, sementara lirik tak langsung aku lirik menyembunyikan diri di belakang lambang atau metafora.

Penyair lirik berusaha mengungkapkan perasaaan secara lebih sadar mengenai emosi sesaat, ketimbang dirinya sendiri saat merasakan denyut gravitasi emosi yang sedang naik-turun. Denyut itulah yang menjadi penghubung beragam unsur dan anasir dalam sebuah sajak dan diolah ke dalam orbit untuk kemudian ditransformasi—atau ditransmutasi—ke dalam bentuk sajak.

Sebuah sajak dicapai ketika vitalitas yang telah mengalir dan membentuk pusaran di sekitar tokoh-tokoh, lalu mengisi setiap tokoh itu dengan tenaga vital yang dia anggap sebagai sebuah kehidupan estetik yang sesuai dan tak bisa diraba. Inilah bentuk dramatik, yang juga kita rasakan dalam sebagian sajak Jimmy. Sajak dramatik menampilkan sebuah jeritan, irama atau gairah jiwa dan berproses menjadi narasi yang mengalir dan memancar, hingga akhirnya menguatkan dirinya sendiri melalui eksistensi.

Gambaran estetik dalam bentuk sajak dramatik mirip sakramen, atau kehidupan yang tersucikan, atau yang terpancarkan dari ”rahim imajinasi” (James Joyce). Rahasia kehidupan estetis—seperti penciptaan materi—bisa diraih dan sang penyair seperti Pencipta—atau ciptaan—yang berada di dalam atau di belakang, di luar atau di atas karyanya. Bentuknya terkadang samar, tak terlihat, namun terasah oleh eksistensinya—atau mencoba mengasah dirinya sendiri melalui eksistensinya—sambil bersantai makan kuwaci dan minum segelas kopi.

Dalam sajak-sajak Jimmy terdapat suasana melankolia dengan guratan kata-kata cinta, kisah-kisah mistis di perkampungan misterius yang dihuni para tuan dan puan yang bergelut dengan perih. Bahkan ada ajakan untuk bercinta dengan puitis: “Mari, cium ranum keningku/sebelum kau alum dirajam waktu”. Ritme dan komposisi sajaknya tampak tertata dengan rapi. Ada warna yang berkilau embun, seni rupa kurva dan musik lirih.

Kata-kata yang muncul terkadang terasa memberat oleh kegandrungan bercerita. Jimmy memang penyair yang gemar bercerita, kadang secara gamblang. Dengan gaya bercerita, dengan bentuk yang menyerupai drama, sajak-sajak Jimmy hendak memenuhi tantangan lama, bahwa kisah-kisah dan drama-drama tua bisa menjelma masyarakat yang hidup tanpa ikatan kenyataan. Sebab, dunia kisah-kisah adalah sebuah kriminalitas dalam ingatan seorang penyair masa lampau. Maka kesusastraan kisah-kisah adalah sebuah dunia berbahaya karena ia bisa beroposisi terhadap realitas, dengan mengubahnya jadi cerita-cerita.

Untuk menegaskan bahwa puisi sebagai kisah-kisah, Jimmy memasukkan kalimat-kalimat berkisah, bahkan muncul kata syahdan sebanyak dua kali dalam buku ini. Sebagai cerita-cerita, puisi Jimmy menjadikan yang purba bukan sebagai masa lampau, tapi justru yang menyekarang. Jika kita menengok sejumlah kitab suci, di sana berjibun puisi kisah-kisah.

Saya suka pada kejernihan bahasa yang digunakan Jimmy, terutama ketika melukiskan kisah tablo dalam lima babak yang beberapa baitnya menyerupai gurindam: ”sudah tiga ratus pagi habis/ia belum juga ceguk dan menangis....di dalam, seorang lelaki telanjang/terus memasak dengan gasang”. Ada banyak kosakata yang asing—dalam arti yang masih jarang digunakan. Saya kira inilah salah satu kelebihan Jimmy dari penyair Lampung yang lain.

Simak pula kesederhanaan puisi Mencari Alamat: “sudah bergantikah warna cat rumahmu?/musim hujan sudah lama tiba/aku belum sempat menyimpan payung dan mantel/cuma ada potret kekasih, sajak-sajak lama/dan dongeng Zarahustra”. Mencari rumah ziarah bagi Jimmy ternyata tak mudah, kadang kala dengan via dolorosa (jalan penuh duka): “bagaimana jalan menuju rumahmu sekarang? Seperti lintas Sumatera atau jalan Dolorosa?”

Tak ada yang mengejutkan dalam sajak-sajak Jimmy. Tak ada kamuflase atau suspens, atau yang baru, karena sebagian besar sajaknya berangkat dari metafora yang menggelorakan imaji melalui pertemuan sunyi dan bunyi, drama purba dan lirik tua. Sebagaimana Jimmy mengutip Gao Xingjian dalam kata pembuka bukunya, maka saya ingin menegaskan juga: dalam sajak-sajakmu ”tak ada keajaiban/itulah yang dikatakan Puan Kecubung kepadaku”.