Sabtu, 31 Januari 2009

Spiritualitas Waktu

Oleh Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang


Spiritualitas Waktu adalah pertarungan hidup mati umat manusia. Masalah sastra menyangkut masalah paling eksistensial tentang bagaimana mengolah ladang waktu, menguasai ladang waktu, dan manusia bisa jaya terhadap waktu. Jika kalian gagal melawan sang Waktu, berarti kalian mengalami kekalahan terhadap maut. Inilah pertanyaan religius paling gawat, kata Romo mangun dalam Sastra dan Religiusitas, tapi juga problem si atheis yang paling sulit dijawab. Setelah manusia membunuh Waktu, hidupnya terasa lebih ringan, karena seolah-olah ia telah lepas dari beban sang Waktu, tetapi sekaligus hidupnya lebih berat, karena dia sendiri harus menjadi Waktu.

Nietzsche membunuh Sang Kala dan menemui Kala baru melalui tiga metamorfosis: dari seekor unta lahir seekor singa; dari seekor singa menjadi anak-anak. Jorge Luis Borges mengungkai teka-teki persamaan perempuan dan cermin. Sutardji melahirkan tiga metamorfosis, o-amuk-kapak, yang tak menepati janji. Brandon Rope menampilkan komidi tentang Penyihir Yang Menari, yang mengenakan pakaian dari kulit binatang yang berhiaskan rasi bintang dan bersanding dengan anjing kesayangan, yang menunjang pandangannya tentang adanya metamorfosis seni yang lahir dari tangan pertama, sebagai hasil jawaban terhadap misi kenabian untuk berkomunikasi di atas kemampuan dunia fana.

Tuhan melahirkan metamorfosis tiga waktu primordial. Bukti-bukti arkeologi dalam metamorfosis waktu ketiga telah melenyapkan segala praduga tak berdata yang dituduhkan oleh manusia yang menganggap seni-religi-sains sebagai gambaran tiga singa saling memangsa, sekadar rongsokan di atas bendi tua yang ditarik oleh seekor unta yang hanya pasrah menerima.


“Ada renungan yang panjang terutama ketika waktu diukur dan dibekukan dalam satuan-satuan menit. Seakan-akan ada rentetan statis yang lantas dianggap sebagai waktu”. Ini kata-kata Bambang Sugiharto ketika memahami waktu dari konteks filsafat.
Memang, seperti kata Bambang mengingatkan, kita hidup dalam waktu. Karena itu, dimensi waktu kini jauh lebih relevan ketimbang dimensi ruang. Waktu menjadi bagian tak tepisahkan dari manusia, alam, dan Tuhan. Hampir semua kebudayaan yang ada di muka bumi memiliki pemahaman tentang Waktu atau waktu: waktu sebagai angka hari, bulan dan tahun sejarah, maupun waktu dalam arti makna dan pemahaman. Waktu geometris, waktu kalenderis, waktu antropologis, waktu mistis, waktu abstrak, waktu simbolis.

Waktu bertaut-erat dengan sejarah; serangkaian kejadian atau peristiwa yang dalam pandangan tradisionalisme tak dapat berulang. Waktu lampau membeku dalam sejarah dan tak dapat kembali. Musim durian tahun 2007 hanya sekali walau tahun berikutnya berkali-kali terjadi musim, namun berbeda hari, bulan atau tahun. Dan waktu tak mungkin berputar mengikuti lingkaran siklus yang sama.

Namun waktu menjadi lain ketika dilihat dari konteks makna dan pemahaman. Dengan kata lain, waktu kualiatif. Alexis Carrel mengingatkan pentingnya waktu kualitatif, karena banyak persoalan manusia dan alam raya tak terkait secara kuantitatif. Martin Heidegger memahami waktu sebagai yang sambung-menyambung antara masalalu, masakini, masadepan dan berputar-putar tanpa awal dan akhir.

Kini waktu ibarat komidi putar di taman ria yang mengelilingi lingkaran yang sama. Ratusan tahun lampau al-Hallaj telah menyebut tofik waktu sebagai lingkaran titik-titik primordial yang berputar terus-menerus dalam kesatuan antara masalampau, masakini, dan masadepan. Manusia memahami luncuran waktu sebagai proses yang tak cuma mengenai masa lalu, melainkan masakini dan juga masa depan.

Kalangan fisika kuantum konon mampu kembali ke waktu 1 miliar tahun lampau. Seorang kritikus pernah menganalogikan tahun 2007 melalui mesin waktu lewat penafsiran atas waktu dalam sajak Padamu Jua Amir Hamzah. Sang kritikus itu, kalau tidak salah, pernah mengatakan begini: skala waktu geologi kini mencakup masa jutaan, bahkan miliaran tahun, karena Bumi sendiri telah berumur sekitar 4,5 miliar tahun. “Bicara waktu untuk kosmos atau alam semesta malah lebih menggetarkan karena menjangkau sedikitnya 13 miliar tahun”, katanya dengan sangat percaya diri.

Dalam kurun yang jauh melampaui rentang waktu hidup Amir Hamzah, katanya, manusia yang cerdas dan terus mendedikasikan tenaga, waktu, dan pikiran untuk memahami rahasia alam, kini bisa kembali ke masa miliaran tahun silam. Bahkan, kalau umur kosmos disebut 13 miliar tahun, katanya yang tampak sangat matematis, maka dengan berbekal ilmu fisika kuantum, manusia dapat mereka ulang kejadian-kejadian di dekat masa 13 miliar tahun silam itu, bukan saja satu detik setelah alam semesta lahir, tetapi bahkan seperjuta-triliun-triliun-triliun detik. Luar biasa! Haruskah kita menyalahkan pencapaian sains yang ilmiah ini?

Sekali lagi, waktu ibarat komidi putar yang berkeliling menyapa kita, terus berproses mengelilingi lingkaran tanpa pusat dan tanpa sumbu atau orbit. Octavio Paz mengaitkan kenyataan puisi modern dengan waktu sebagai sebuah perulangan, yang juga tanpa awal dan tanpa akhir, terus-menerus mencari persilangan waktu, memusar ke satu titik pertemuan yang melebur kala silam, kini dan kelak.

Dalam konsep Hindu, ada istilah Mahakala (waktu tanpa akhir), yang mengatasi waktu dan siklus perputaran kelahiran kembali. Dalam kerangka reinkarnasi, waktu merupakan roda perputaran yang menyedihkan dari eksistensi di dunia yang fenomenal, yang bukan dunia nyata, melainkan maya. Karena itu mereka mencoba mengatasi apa yang imortal dan yang abadi dengan yang berubah dan tak selesai.

Dalam ajaran panca maha butha misalnya, semua makhluk hidup pada akhirnya akan terurai dan terberai atas unsur alam pembentuk kehidupan: air, api, logam dan eter. Kematian adalah siklus. Satu hidup saja memang tidak abadi, karena hidup masih sering ditata dalam prasangka kefanaan, tetapi rangkaian siklus kehidupan dan reinkarnasi dalam Hindu, itulah makna keabadian sejati.

Goenawan Mohamad, seingat saya, pernah menekankan waktu ekstasis dalam hubungannya dengan sejarah interior ketimbang sejarah eksterior, terutama dalam esai Kota, Waktu, Puisi. Ini sebaliknya dari pandangan Albert Camus, bahkan gagasan Jose Rizal—novelis terkemuka Filipina—dalam tilikan Anderson, di mana waktu dipersepsi sesuai perhitungan kalender, di mana ruang dan waktu interior justru bergeser ke ruang dan waktu eksterior, bukan sebaliknya.

Contoh menarik tentang perubahan waktu dalam konteks kebudayaan masyarakat Bugis lama pernah ditunjukkan dengan sangat menarik oleh Christian Pelras dalam esai Pendahuluan Siklus La Galigo yang Tak Dikenal. Sejak dahulu, bagi sebagian besar masyarakat Bugis terkait dengan soal waktu yang mistis melalui sejumlah ritus suci. Waktu berhubungan erat dengan upacara sinkretis. Namun ketiga Islam masuk, maka mulailah konsep waktu dikaitkan dengan ajaran Islam. Hal yang gaib disesuaikan dengan konsep Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah paham filsafat matematis yang menekankan hanya satu sebagai bilangan pasti.

Sejak kekuasaan raja-raja Bugis dihapus dan Islam jadi patokan di segala bidang, gejala-gejala sinkretisme dan mistisisme mulai tergusur. Demikian pula dalam penanggalan Jawa kuna. Bilangan mistis, magis, dan nonrasional, akhirnya berubah sejak Sultan Mataram berkuasa dan masuknya Islam ke bumi Nusantara. Berbagai corak mistis dan magis serta misteri-misteri yang terkait dengan bilangan, telah tergusur oleh gerakan pemurnian dan ilmu pengetahuan. Sebagian besar masyarakat bahari Nusantara memiliki pemahaman tentang dunia ruang dan waktu yang spiritualis, dengan daya-daya kekuatan supranatural—terlepas apakah itu berupa yang ilahi atau setan.

Dalam astronomi Babilonia yang digerakkan oleh ras Sumaeria dan Akkadia, ruang dan waktu adalah bingkai kehidupan yang non-rasional. Pemikiran astronomi dan matematis pada awalnya masih diliputi oleh suasana pemikiran magis-mistis. Ruang dan waktu dalam sistem astronomi awal tidak berupa ruang dan waktu teoritis yang terdiri dari titik-titik dan garis-garis yang bisa diukur. Astronomi lebih dikenal sebagai astrologi. Karena astronomi tak mungkin lahir tanpa sosoknya yang mitis dan magis , yaitu sosok astrologi.

Selama ber-abad-abad sifat ini bertahan, bahkan menurut Ernest Cassirer dalam An Essay on Man, masih terdapat dalam kurun pertama abad ke-20. Namun, kesulitan-kesulitan mendasar untuk mengekspresikan ruang dan waktu abstrak dan simbolis, akhirnya dialami juga oleh para filsuf. Fakta bahwa ada ruang abstrak merupakan penemuan terpenting dari pemikiran Yunani.

Namun para pemikir Yunani, kata Cassirer, masih kesulitan menjelaskan corak pemikiran logisnya. Sama seperti aljabar simbolis Babilonia masih teramat elementer dan sederhana. Maka larilah para filsuf Yunani ke dalam pernyataan-pernyataan paradoksal. Demokritos menganggap ruang ”bukan hal ada”. Newton mengingatkan agar tak mencampur-adukkan ruang matematika murni dengan ruang pengalaman inderawi. Tugas filsafat justru mengabstraksikan data-data dari penglaman inderawi ini.

Para pemikir Berkeley menampik gagasan Newton tentang ruang matematika murni sebagai yang tak lebih dari ruang imajiner juga; suatu khayalan dalam pikiran manusia. Weinz Werner menganalisa gagasan ruang dan waktu masyarakat primitif dan secara angkuh menyimpulkan bahwa: ruang dan waktu manusia primitif kurang objektif, kurang terukur, kurang abstrak, sifatnya yang egosentris atau antromorfis, yang fisiognomis-dinamis yang tak sesuai dengan teori ruang dan waktu ilmiah. Dengan ruang geometris, katanya, maka manusia mendiami ruang universal.

Descartes berangkat dari penemuan besar di bidang matematika yang melahirkan cita-cita ideal mathesis universalis yang bermetamorfosis menjadi cogito ergo sum. Kant memisahkan pengertian antara ruang dan waktu, di mana ruang adalah bentuk pengalaman luar manusiawi, sementara waktu adalah bentuk pengalaman dalam. Demikian pula Leibniz.

Pemikiran astronomi dan matematika yang masih menyimpan kandungan metaforis dan mistis, akhirnya berubah menjadi sangat rasionalis dan khaostis. Astronomi mengugusur astrologi. Kuantitatif dalam matematika telah menggusur kualitatif. Maka ruang dan waktu mitis dan magis pun disisihkan oleh ruang dan waktu geometris. Padahal para penemu pertama astronomi dan geometri tak bermaksud meretas selubung mistik dengan teori ilmiah. Baru kemudian ketika astronomi dan pemikiran matematis Babilonia yang mistis telah beralih ke Yunani dan Arab-muslim, maka ruang dan waktu yang mistis digusur oleh yang serba-rasionalis.

Pencarian religius orang Hindu lama mengikuti jejak spiritual yang membuat mereka keluar dari siklus dan keterikatan waktu dari eksistensi, dan untuk mencapai keadaan eksistensi yang abadi, imortal dan bahagia. Budha mirip dengan pandangan Hindu yang menggambarkan keadaaan nirvana sebagai arus waktu melalui gagasan kelahiran kembali. Hanya saja, dalam kosmologi Budha, alam semesta adalah siklis, dan arus waktu kelahiran kembali itu tenyata melahirkan parinirwana—fase ketika tidak ada lagi reinkarnasi atau terhentinya kelahiran kembali.

Masyarakat ”primitif” mengenal waktu sebagai tak bisa dipisahkan dengan keseluruhan aktivitas sosial dan fenomena ekologis dan meteorologis. Ada waktu yang suci dan diangap terjadi secara periodik, dan waktu biasa tanpa kaitan dengan sesuatu yang magis dan religius. Mitos dan ritus menghadirkan kembali hal-ikhwal yang mereka percayai sebagai sejarah suci dalam wujud tindakan simbolis dan ritual. Sebagian mereka memaknai waktu dengan mengacu pada siklus hidup individu dan sosial. Siklus waktu dapat dilihat konteks geneologi, konteks mitos, dan legenda-legenda asal-usul kehidupan alam semesta.

Edward W. Said dalam Orientalisme, khususnya pada bagian tentang geografi imajinatif dan representasi dalam konteks mentimurkan timur, mengatakan begini: sampai dengan pertengahan abad ke-18, para orientalis adalah cendekiawan Injil, pengkaji bahasa-bahasa Semit, spesialis-spesialis Islam, dan sinolog-sinolog yang bergerak dalam pemahaman waktu modernis. Namun Said sendiri mengira bahwa waktu akan terhenti ketika ditafsirkan oleh modernisme sebagai waktu yang melulu matematis-geometris.

Pranata imperial, ilmu pengetahuan, dakwah agama, ternyata telah menciptakan berbagai kategori dan yang berakar kokoh dalam sistem klasifikasi dan representasi yang menyerahkan diri begitu saja pada dualisme, dan penataan dunia secara hierarkis. Linda Tuhiwai Smith dalam Dekolonisasi Metodologi misalnya, melihat waktu sebagai bagian integral organisasi kehidupan sosial masyarakat ”primtif”, namun lewat diskusi yang menghadirkan keterpautan waktu dengan revolusi ilmu pengetahuan, imperialisme, dan etika keagamaan, Linda—yang terinspirasi oleh Edward W. Said—melihat ketiga proyek ini punya andil besar dalam mengakhiri hubungan integral antara waktu dan kehidupan sosial.

Para orientalis, kata Said, telah menciptakan suatu penelitian arbitrer (sembarang) tentang Islam dan menghasilkan pandangan tentang binari antara ”daerah mereka” dan ”daerah kita”, antara yang ”objektif” dan ”yang subjektif, ”masyarakat primitif” dan ”masyarakat modern”, ”timur” dan ”barat”. Oleh karena itu kata Said pula, ”mereka jadi mereka dengan sendirinya”, daerah kita ditetapkan berbeda dengan daerah mereka. Maka, jika kita sepakat bahwa segala sesuatu dalam sejarah adalah diciptakan oleh manusia, maka kita akan memahami mengapa benda, ruang, tempat, dan waktu bisa saja diberi peranan dan arti yang (seolah-olah) memperoleh validitas obyektif hanya sesudah peranan dan arti tersebut diberikan. Padahal semua itu, kata Said sambil mencontohkan tentang ruang dalam sebuah rumah yang dipinjamnya dari Gaston Bachelard, hanyalah ilusi.

Novel Things Fall Apart Chinua Achebe dengan cantik menampilkan bagaimana misionaris Kristen telah menghancurkan tradisi Ibo masyarakat pribumi yang menempatkan waktu sebagai siklus kehidupan dan organisasi sosial yang tak tepisahkan di Niegeria-Afrika. Lewat konflik penokohan yang terjadi pada Okonkwo dan rekan-rekannya, Achebe berhasil menyampaikan secara apik gambaran tentang tragedi kemanusian yang diakibatkan oleh kehendak menyebarkan agama ke segala bangsa.

Seraya merujuk Walter Benjamin, Benedict Anderson dalam Imagined Communities menegaskan adanya analogi antara gagasan tentang sesosok makhluk hidup sosiologis yang bergerak mengikuti kalender melalui waktu yang homogen dan hampa, dengan gagasan tentang bangsa sebagai imagined communities—komunitas-komunitas terbayang.


***

Pemahaman atas waktu telah mengubah pemahaman atas alam dan manusia. Kini alam dan kehidupan bersama manusia kian berada dalam pertanyaan yang mencemaskan. Semakin lama banyak orang semakin bergantung pada alat-alat kekuasaan untuk menyelamatkan diri sendiri, yang digunakan mulai dari kedudukan hingga penguasaan ekonomi, dan dipraktekkan dari tingkat individu hingga negara. Alam yang kita kenal sebagai memiliki hukum penciptaannya sendiri (baca: hukum alam), kini justru dijadikan alat di tangan manusia untuk menundukkan misteri kehidupan.

Hukum alam sudah dimanipulasi sedemikian rupa oleh kesadaran egologi manusia lewat ilmu pengetahuan dan teknologi. Kehidupan alam mulai terancam sejak manusia menemukan teori kausalitas. Sejak silogisme Aristoteles hingga cogito ergosum Descartes sampai dengan karya arsitektur pesanan penguasa, telah jauh membawa pengetahuan manusia ke egosentris.

Hampir setiap hari kita menyaksikan manusia-manusia mesin yang telah menjadi biang keladi atas kerusakan lingkungan dan menganggap ilmu pengetahuan berada di atas hukum kosmis. Lingkungan kebudayaan yang diciptakan oleh manusia seakan mengungguli lingkungan alam ciptaan Tuhan. Pandangan purba yang menempatkan alam di atas kebaradaan manusia, dianggap sudah ketinggalan zaman. Rasionalisme dan modernisme dipercaya sebagai iman yang teguh karena konon akan memberikan harapan masa depan bagi kemajuan umat manusia.

Para perencana, arsitek, pengelola, dan pemodal, masih saja berpikir dan berlomba-lomba untuk membuat berbagai macam desain lingkungan untuk memberi mereka akses dalam memanfaatkan hamparan alam di bawah kendali ilmu pengetahuan dan teknologi. Tak mengherankan jika muncul akibat sampingan, di mana alam yang tak bisa diganggu gugat, yang sakral, yang menjadi penyangga kehidupan semua makhluk di bumi, menjadi diabaikan, dan lambat laun dikonstruksi dan diubah-jadikan sesuai dengan mesin pemangsa.

Keberadaan alam sebagai payung kehidupan di bumi terus mengalami pengrusakan. Para penghuni alam, manusia dan binatang, mengalami alienasi dan tak lagi bisa menentukan keberadaan ruang huniannya sendiri secara alami. Ozon telah lama diisukan mengalami tukak, bolong, dan mengancam kehidupan. Srigala pemangsa ternyata jauh lebih peka dalam memandang keberadaan dan fungsi alam ketimbang manusia sempurna. Sebab, manusia semakin lama justru kehilangan medianya melalui berbagai politik perijinan dan legitimasi hukum yang dijalankan sistem teknologi pemerintahan.

Imajinasi sosial kita tentang lingkungan, ruang, dan tempat menjadi impian-impian buruk di masa lalu, sekarang dan mungkin juga nanti. Berbagai fenomena baru yang muncul dalam pengalaman ruang kita di hari ini, sebagaimana juga pernah disinggung Bambang Sugiharto (2002), telah mengalami perubahan peran dan fungsi. Karena itu, kini dituntut bukan saja sekadar melakukan koordinasi atas relasi ruang dan tubuh kita, melainkan juga menciptakan pola persepsi atas pemahaman akan nilai ruang kehidupan bersama.

Para arsitek memang tak pantas dianggap sebagai biang keladi kehancuran lingkungan hidup jika saja mereka peka dalam memandang keberadaan alam dan tidak melulu menjalankan titah ilmu pengetahuan dan teknologi habis-habisan demi untuk memutlakkan mitos kecerdasanan manusia sebagai satu-satunya kuasa manusia menyaingi kuasa Tuhan. Mengikuti pandangan dan gagasan para arsitek di Lampung beberapa tahun terakhir, sungguh sangat memperihatinkan apa yang tertanam dalam benak mereka. Para dosen arsitek di kampus tampak masih enggan masuk ke dalam kajian ekologi kota dengan mengaitkannya dengan politik kota, apalagi masuk ke dalam pengimajinasian seni, budaya, dan keadilan gender. Padahal dalam perencanaan sebuah kota, tidak melulu bersifat perencanaan teknis, tetapi juga perencanaan secara politis.

Lingkungan masih sangat signifikan. Karena dalam perencanaan kota, bisa ditetapkan apakah pengembangan teknik akan diabadikan kepada tujuan yang menghancurkan lingkungan atau ke arah kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan. Apakah dalam perencanaan juga akan ke arah menggusur sistem pengetahuan lokal dan menjadi alternatifnya, atau justru bisa memperkuat sistem pengetahun budaya lokal dan menjadi komplemennya.

Dalam analisa perencanaan kota selama ini, terlihat bahwa pengetahun teknik para arsitek dikonsentrasikan pada teknologi dan teknologi dikonsentrasikan pada industri yang pada gilirannya di arahkan secara terpusat pada gerakan eksploitasi lingkungan. Penelitian yang banyak dilakukan para arsitek kampus yang bekerjasama dengan pemerintah kota tentang pesisir pantai Teluk Betung misalnya, masih tersihir oleh kokok ayam empirisme-positivisme. Hasil “Studi Penataan Kawasan Pantai Sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Menuju Bandar Lampung Ecocity” (2003) yang dilakukan Jausal dkk. sangat meragukan karena adanya kesulitan yang bersifat prinsipil yang tak mereka sadari; yaitu bagaimana caranya menjaring fakta-fakta sosial dan budaya yang bersifat non-empiris dengan metode-metode empiris.

Sejarah arsitektur dan ruang kota ternyata memang ditulis oleh jenderal yang menang. Para arsitek menyikapi politik keruangan melalui pemanfaatan ruang dan waktu geometris. Proses kapitalisasi telah memposisikan ruang kota berhadapan dengan waktu yang berlari. Bahkan ruang ikut dihancurkan oleh waktu. Modernisme telah melahirkan ruang-ruang yang cemas dan genting.

Berbagai kearifan lokal dan genealogi Melayu telah diletakkan dalam kerangka antroposentrisme yang memangsa. ”Manusia hanya hidup dan berkarya dalam penguasaan sejarah yang mengabaikan kearifan yang menjadi akar penting bagi manusia dan alam”, tulis Wardah Hafidz. ”Refleksi terhadap kehidupan bersama yang bersifat mistis dalam memandang alam kita telah kehilangan peluangnya untuk dinyatakan. Posisi alam dan hubungan antar-masyarakat lebih banyak merefleksikan ketakutan bersama. Warga pun mulai kehilangan modal sosialnya—rasa saling percaya, kohesi sosial, kebersamaan”.

Bahkan menurut Wardah, perkembangan kampung yang merepresentasikan dirinya dengan pemandangan kesenjangan mencengangkan, yang meliputi perumahan, tingkat penghasilan, gaya hidup, ketertiban umum yang tidak cukup nyaman, hingga pelayanan sosial yang banyak mengandung masalah, adalah sebagian dari gambaran kehidupan bersama kita yang sudah tidak nyaman.

Pengkotak-kotakan kebudayaan terjadi dimana-mana. Model pembangunan di dalam era modernisasi hanya memikirkan dirinya sendiri-sendiri tanpa peduli faktor lain yang sesungguhnya berkaitan. Bentuk pembangunan di dalam kompetisinya untuk mencapai kemajuan (progres) menjadi semacam gurita yang menakutkan dan memangsa yang lainnya. Karena itu, konsep ”jaringan” menjadi gagasan alternatif bagi kampung-kampung di kota yang telah jatuh ke dalam curuk dan ceruk yang hiruk-pikuk, sarang pertama dalam penampungan kaum urban, kumuh dan padat, dan setiap saat berada dalam ancaman kebakaran atau penggusuran. Sejarah tidak memberi toleransi pada keberadan kaum urban poor alias kaum paria di kota-kota di Indonesia. Kehidupan bersama dalam konteks jaringan kampung bukan bermakna sebagai pembalikan ‘desa sebagai latar depan’. Kita tidak membutuhkan ‘desa sebagai latar depan’ seraya menjungkirbalikkan kota sebagai latar belakang. Apa yang dibutuhkan adalah ruang perantara dan jejaring bersama yang menghubungi latar desa-kota dalam kerangka pemikiran lebih luwes.

Kompleksitas kehidupan alam telah menenggelamkan kita ke dalam apa yang disebut krisis utopia—yang memanifestasi secara paling kuat pada hilangnya kemampuan dan keberanian masyarakat kita untuk bermimpi. Tapi jangan kecil hati dulu: baru-baru ini seorang anak muda dari latar keluarga miskin telah menghebohkan jagad kesusastraan Indonesia dengan tetralogi Laskar Pelangi. Si Andrea Hirata namanya, lewat tokoh Lintang, telah menantang kita lewat edensor untuk berani bermimpi: ”ekspedisiku telah membuka jalan rahasia yang tersembunyi di antara lipatan sekat-sekata ruang dan waktu; sebuah jalan rahasia yang menghubungkan apa yang kualami saat ini dengan peristiwa masa laluku; inilah ekstase terbesar yang hanya mungkin dicapai mereka yang berani bermimpi”.

Manusia kini terus bergulat dalam kondisi insomnia melelahkan, yang menghilangkan kejernihan akal budi untuk dapat secara kuat dan imaginatif mengatasi permasalahan. Betapa sering bencana muncul akibat tangan manusia yang telah menjelma mesin. Teori ”tangan tersembunyi” Adam Smith telah menempatkan lingkungan sebagai produk pasar yang bisa dipasarkan, dikaplingkan. Dalam lima tahun terakhir ini kita terus menyaksikan ribuan pohon bertumbangan, rumah-rumah berantakan, binatang-binatang kian menjauh dari sukma bumi oleh keangkuhan pikiran dan tangan manusia. Kehidupan di bumi tengah beramai-ramai menuju peradaban ‘kota’, ‘modern’, ‘kemajuan’, ‘pembangunan’. Secara ekologis, semua konsep yang bagus-bagus itu saling terpatahkan.

Dalam kebudayaan mutakhir, sudah jarang kita temukan ritual keselamatan bumi dan kehidupan bersama. Prosedur yang ditempuh para seniman mutakhir lebih ke arah pemberontakan terhadap konvensi dan mainstream. Padahal konsep keselamatan dalam masyarakat tradisi merupakan totemisme, acuan terhadap nilai kosmologi bersama yang ekologis sifatnya. Meraka melakukan ritual dan upacara meruwat alam dan laut sebagai keselamatan bersama, membebaskan diri dari bala dan bencana, membersihkan alam semesta dari roh jahat.

Sikap kulturalis yang mistis ini, merupakan kesadaran terpenting dalam relasi sosial kehidupan masyarakat tradisi. Segala yang berkaitan dengan alam dan lingkungan ditempat sebagai pan-kosmisme, di mana manusia hanya dipandang sebagai bagian dari alam. Tak ada pemisahan antara alam dan manusia. Alam dipandang sebagai Ibu Bumi.

Setelah berbagai bencana menimpa, baru kini kita tergerak menyediakan ruang luas untuk penciptaan alternatif-alternatif unik yang kreatif. Pemecahan konvensional dalam arti yang melulu menekankan rasio dan nalar, mungkin hanya akan mengulangi kesalahan mendasar sebelumnya. Maka yang kini kita butuhkan adalah sejenis refleksi dan keheningan untuk mengembalikan manusia ke dalam kesadaran-dirinya, keterbatasan dan kerendahatian-nya.

Kini agaknya kita rindu akan tradisi mistis purba, karena kian hari kian banyak kerusakan di bumi. Hutan terus digerus dan digunduli. Di Toraja, di Tengger, di Jawa, dan banyak lagi, masyarakat kita memiliki nilai bersama untuk menjaga bumi dari kerusakan. Meruwat bumi adalah upaya menjaga refleksi kreatif bagi pemecahan konstruktif atas permasalahan bumi dan kehidupan secara bersama.

Orang Minangkabau menyebut negerinya sebagai Alam Minangkabau, yang merepresentasikan kedekatan manusia dengan alam. Bahkan mereka juga menyebut dirinya "Anak Alam". Dalam legenda masyarakat Lampung, banyak kita temukan kisah-kisah kehidupan ‘Anak Dalam’ yang begitu dekat dengan bumi dan lingkungan yang sakral.

Meruwat alam kembali dengan tradisi purba kian dirayakan, seakan-akan hidup memang betul-betul mengulang ke muasal yang silam. Meruwat semesta memang bisa memaknai kembali kehidupan bersama kita. Alam dan kehidupan perlu diruwat (dibersihkan) karena keberadaannya kini telah dijamah oleh tangan-tangan raksasa yang menabarkan bahaya. Kebobrokan dan ketidakjujuran yang tengah menghimpit hukum alam sudah selayaknya diruwat demi kelahiran kembali yang suci.

Kapan lagi misi profetis itu diagendakan lagi, kalau tidak sekarang nanti, atau lain kali. Karena kita tahu, sambil merujuk seorang penulis tarikh terkemuka dikalangan Kristen, bahwa manusia telah ditempatkan di akhir zaman. Goeterdaemmerung, senjakala, kalau boleh menggunakan istilah kaum postmodernis yang kini sedang ramai.

Tapi analogi itu terbukti tak juga meyakinkan, karena ”sejarah tak pernah mengenal senjakala bagi berhala”, tulis Goenawan. Setiap senja dimulai dari fajar, lalu tering yang garang dan senja yang berwarna lupa. Lalu kita masuk ke dalam malam, ke dalam sunyi ngilu dan mencekam. Tak ada lagi revolusi industri dan gerakan menyebarkan agama dengan senjata yang akan memisahkan waktu dari kehidupan manusia, masyarakat, dan alam semesta.

Alam raya, hamparan luas yang tidak lempang, dan bumi yang membentuk bola dunia, terus-menerus mengelilingi matahari tanpa akhir yang bisa kita pastikan. Maka demikian pula hidup dalam waktu, yang mungkin mengulang tapi tak mungkin berulang. Sebab segalanya kini tak pernah berakhir, tidak juga kembali. Bahkan sejarah pun adalah sebuah kelana dalam proses yang hidup, di mana yang lalu bisa hidup lagi di sini, dan yang kini atau besok bisa terhapus oleh perjalanan pematokan yang lain lagi.

Betapa musykil hidup dalam keakhiran, kepastian, ketunggalan. Tidak, kita tidak merayakan hidup sebagai satu, seperti filsafat matematika yang pongah itu, tapi kita hidup sebagai beda dan berubah. Bukan hidup dengan sesuatu yang menjulang megah dan gagah yang kita inginkan, karena terbukti tidak meyakinkan. Tapi hidup dalam transit, numpang singgah, sementara, untuk kembali berjalan undur atau maju, tak lagi tentu tuju.

Tak ada lagi ideologi yang mesti saya puja. Tidak juga pandangan-dunia, apalagi pandangan-dunia yang kukuh, bulat dan padu, karena waktu akan menuntun saya tidak menuju ke mana-mana. Antara, ruang bimbang mungkin bukan sesuatu yang pantas disebut tulus-menjadi, melainkan tulus-mencari. Kita berkata ya untuk “pasangan yang lengkap menari bersama” (Eliot) tanpa henti karena kita hidup dengan ”dua dunia belum sudah” (Rustam Effendi).

Pandangan-dunia tak lagi cocok bagi hidup di abad ke-21 ini. Hidup yang intens dan meruwah, dan mungkin juga kalah. Hidup dalam rasa hayatan puisi yang tak terikat oleh ruang dan waktu; puisi yang “lahir dari dorongan untuk mengulang momen batin yang intens itu, untuk mencapai yang tak mungkin itu”, tulis Goenawan suatu kali. Dan firdaus yang hilang mungkin saja akan kembali, seperti sejauh-jauh elang terbang akan pulang ke kandang karena “di taman ini”, kata Ayu Utami, “saya adalah seekor burung; terbang beribu-ribu mil dari sebuh negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon, yang tak pernah kita tahu namanya, atau umurnya”.

Barang kali kita rindu seperti Sapardi Djoko Damono yang begitu intim dan intens mencatat percakapan sunyi, tanpa berteriak, dari beribu saat dalam kenangan surut perlahan ketika mendengar bumi menerima tanpa mengaduh sewaktu detik pun jatuh, lalu kita dengar bumi yang tua masih dalam setia, Kasih tanpa suara, sewaktu bayang-bayang kita memanjang, mengabur batas ruang (Sajak Putih). Atau, yang sempat zarah ruang dan waktu yang capai menyusun Huruf, ketika sepi manusia, jelaga, dan duka-Mu abadi (Prologue), dan di ruang semakin maya dan musim tiba-tiba reda (Saat Sebelum Berangkat) dan kita gaib dalam gema (Dalam Sakit) karena waktu hari hampir senja, menunggu senja (Lanskap) dan di bawah bunga-bunga menua, musim senja telah tiba, dan kita bertanya dengan cemas: masih adakah? (Sehabis Mengantar Jenazah). Atau cukup diamlah, karena sementara burung-burung di atas rumah menghabiskan terik kemarau, sekali waktu kita mesti memilih kata-kata dalam ruang hampa udara (Suatu Siang di Kota M).

Dan arus waktu mengalir ke muara “sajak sunyi abadi dan kristal kata” Goenawan Mohamad hingga waktu pun dibayangkan Sapardi hanya sebagai detik-detik berjajar pada mistar yang panjang: sebuah waktu matematis, di mana Desember segera mengeras di tembok semula, lalu Januari tiba dan kita hanya mengikuti garis semula sampai musim pun masak sebelum menyala cakrawala. Dan tak terasa hujan bulan Juni tiba, dan jarum jam melewati angka-angka. Hingga akhirnya kita pun cemas bertanya: kemana kita?

Kita mengikuti gema di kejauhan, sewaktu hari kian merapat, di mana jarum jam hibuk membilang saat-saat terlambat (Hari pun Tiba), dan Pada Suatu Hari Nanti kita tinggalkan kota ini, ketika menyeberang sungai, terasa waktu masih mengalir, di luar diri kita. Dan di Dalam Doa 1 akan kita pandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya, kita pandang semesta, hingga Sebelum Surya Terakhir datang kembali memberikan tanda bahwa seluruh ruang telah siap menunggu. Namun, tiada jejak yang bisa kita simak, karena daun-daun di halaman, tirai jendela, helai-helai penanggalan, sudah mengabur dalam asap. Dan apa yang tersisa untuk kita genapkan, hanya tinggal jejak langkah, tak sampai.

Karena kita tak kuasa lagi mengekang luncuran waktu, tak mampu membebaskan diri dari alam kosmos yang telah diciptakan oleh para genius fisika dan astronomi yang memenjarakan manusia sejak Abad Pertengahan dan Renaisance. Maka sains senantiasa bergerak pada orbit-orbit tanpa batas, tanpa dapat kita kekang. Lalu waktu, bukan girilanku, kata Amir Hamzah mengingatkan. Lalu batu, lalu waktu, tulis Radhar pula: Walau kemarin berlalu tanpa hari ini, tetap kita harap nanti datang ini kali. Bahwa kita sekarang tidak ada dalam waktu, namun dalam penjara yang kita inginkan, sekaligus tidak kita harapkan.

Demikianlah hari ini, puisi hari ini. Orbit keindahan akan terus menggoda mimpi. Orbit cinta yang memberi arah bagi harmoni musik alam-manusia-dan Tuhan-terus kita kenang. Orbit kemuliaan, yang merupakan imbalan paling berharga bagi manusia yang sadar-diri, rendah hati, tulus, sabar dan tawakal, akan jadi remedi bagi luka besar manusia dan kemanusian.

Feminis yang Terluka oleh Komunis

Oleh Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang



Pada tahun 1987, Partai Komunis Vietnam menyerukan kepada para penulis dan jurnalis untuk menghilangkan kekakuan, gaya formal realisme sosialis yang telah dipaksakan kepada mereka, dan meneguhkan kembali peran mereka sebagai pemegang kontrol sosial. Dalam atmosfir keterbukaan inilah, sebagian sastrawan dan intelektual Vietnam meresponnya dengan beragam karya sastra, film, novel dan teater yang secara terang-terangan mulai melontarkan kritik atas kebijakan partai Komunis. Salah satunya adalah Duong Thu Huong, penulis Novel Tanpa Nama (2003), dengan dengan terang-terangan mengkritik kebijakan partai Komunis Vietnam. Pada tahun 1989 para pejabat partai konservatif Vietnam tiba-tiba menghentikan seruan tersebut dan mencanangkan kembali politik “ketertiban” dan menyensor buku-buku yang dianggap tidak sepaham. Novel-novel Duong Thu Huong menjadi sasaran kemarahan rezim karena itu dilarang terbit.
Duong Thu Huong adalah sosok feminis sekaligus penulis penuh kontroversi. Melalui novel-novelnya, Huong tak henti-hentinya mengkampanyekan semangat keterbukaan dan menentang segala bentuk sensor yang dibuat oleh rezim penguasa. Novel Sorga bagi si Buta (Indonesiatera, Oktober 2004), adalah contoh novel yang secara spesifik mengkritik kebijakan-kebijakan partai Komunis yang memberlakukan kebijakan reformasi tanah yang dipaksakan kepada rakyat jelata. Mengambil setting di era 1980-an, dengan narator seorang perempuan muda Vietnam, Hang, novel ini mengalunkan kisah mencekam dan teror yang menakutkan. Sebagian besar novel ini bertempat dalam angan-angan Hang ketika ia tengah melakukan perjalanan dengan kereta api menuju Moskow untuk mengunjungi pamannya, Ho Chi Minh, seorang kader partai Komunis yang kelak menjadi musuhnya. Dari tempat kelahirannya, di sebuah desa kumuh di pinggiran sebelah utara Hanoi, Hang memulai kisah panjang tentang peristiwa revolusi, kediktatoran partai Komunis dan sikap sastrawan penganut realisme sosialis yang sering memaksakan kehendak.
Paman Chinh adalah kader yang bertanggungjawab bagi pendidikan ideologis di belahan utara kota Quang Ninh. Di mata kader partai Komunis, ideologi adalah profesi yang mulia, lebih tinggi dari segala-galanya. Guru dianggap sebagai orang terpelajar, yang menyalurkan pencerahan dan pemikiran berharga yang tak dapat dibeli dengan uang. Slogan-slogan mereka begitu elitis bagi kalangan petani dan pedagang kecil seperti ibu dan tetangga-tetangganya yang hanya butuh sesuap nasi untuk bisa bertahan hidup. Gerakan mogok massal, pertentangan kelas antara kapitalisme dengan komunisme, imperialisme, gerakan kaum buruh, gerakan revolusioner, Front Nasional dan sejenisnya, terdengar asing dan menakutkan bagi penduduk setempat.
Selama empat puluh lima tahun, Duong Thu Huong menyaksikan teror dan horor yang ditimbulkan oleh kampanye reformasi tanah. Kisah ini merupakan bagian permulaan yang paling besar menimbulkan kekecewaannya pada praktik pemerintah Komunis yang otoriter dan diktator. Sebagaimana digambarkan Duong, kampanye reformasi tanah (1953-1956)--yang sebagian besar terinspirasi oleh revolusi Cina yang dipimpin oleh Mao Zedong--telah memancing gelombang kekerasan: tindakan mengerikan para penduduk desa yang menggulingkan “tuan tanah” tetangga mereka, juga keluarga ayahnya, sebagian hanya karena memiliki tanah beberapa akre saja--telah ditangkap, dipermalukan dan diusir dari tanah moyangnya.
Di antara “tuan tanah” itu banyak yang merupakan penduduk desa yang baik, orang-orang yang hanya sedikit memiliki tanah, yang menghargai ladang padinya sebagai darah daging mereka sendiri, hanya dengan satu pernyataan yang kejam mereka tersingkir, terlempar dari sekadar penonton tak berdosa menjadi pihak tertuduh. Teror yang ditimbulkan oleh pengikut partai Komunis telah menelan korban ratusan ribu nyawa. Ironisnya, kampanye idologi yang hendak menghapus sistem kepemilikan pribadi, ternyata diikuti oleh hasrat menumpuk kekayaan dari kaum elit partai. Sebagian lainnya mengambil keuntungan dibalik kesempitan mereka yang terguling. Karena itu, slogan-slogan “demi perbaikan ekonomi kaum proletar”, “tuan tanah musuh abadi kaum tani”, “hidup proletariat”, “gayang para borjuis” , “kepalkan tangan” adalah slogan-slogan yang terdengar klise dan kehilangan daya sihirnya.
Absurdnya reformasi tanah dan kampanye ideologi patai Komunis telah menimbulkan berbagai dampak psikologis yang patal bagi penduduk setempat. Bagi Duong Thu Huong, yang berasal dari keluarga kelas pekerja dan sempat menjadi anggota partai Komunis itu sendiri, Vietnam menjadi negeri yang dilanda rasa takut yang mencekam, dimana darah seorang telah berubah menjadi putih lantaran perang yang berkepanjangan, sempoyongan di jurang kelaparan, dan tiba-tiba harus mempertahankan diri mereka melawan pemimpin mereka sendiri. Huong dengan lantang mengutip teriakan-teriakan dan khotbah-khotbah para kader partai Komunis dengan penuh semangat. Ada sikap marah, kecewa dan terkadang terdengar putus asa menghadapi orang-orang yang menghamba pada sebuah ideologi licik dan pengecut yang menghalalkan segala cara. Itulah sikap yang ditunjukkan oleh paman Chinh yang ternyata tak kalah rakusnya dari kaum elit borjuis lainnya, hidup dan tinggal di rumah mewah di atas penderitaan orang lain.
Ketika pemerintahan Viet Minh mulai mendengar kritik dan teror yang disebabkan oleh kampanye-kampanye partai Komunis yang dianutnya, dia mengumumkan permintaan maaf, mengakui bahwa reformasi tanah adalah sebuah “kesalahan” dan mengelompokkan para petani kembali melalui kampanye “Perbaikan Kesalahan”. Mereka yang selamat dari kamp buruh dikirim kembali ke desa mereka di bawah perintah untuk “memaafkan dan melupakan”. Dengan ketajaman nalurinya, ajakan untuk memafkan kesalahan dari rezim yang berkuasa tetap belum mampu melupakan ingatan akan betapa pedih masa lalu keluarganya . Meski secara de facto, hidup yang dialami Huong jauh lebih bebas dari tahun-tahun ketika perang dan pertentangan ideologi dirayakan, kenyataan pahit tetap menjadi memori kolektif yang sulit dilupakan. Duong Thu Huong dan kisah dalam novel ini, betapa pun pedih pada awalnya, ia tetap menjadi ikon bagi pejuang hak asasi manusia di Vietnam. Huong adalah seorang feminis yang terluka oleh perang dan pertentangan ideologi yang tak kenal menyerah. Kejujuran dan keberaniannya, tak jarang menjadi sesuatu yang menakutkan bagi rezim yang sedang berkuasa. Novel-novel Huong menjadi saksi sejarah betapa ideologi dan politik tak selamanya bisa diserbatunggalkan.
Hingga saat ini, ada tiga novel karya Duong Thu Huong yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia; Novel Tanpa Nama (2003), mengisahkan gambaran yang liris dan subtil tentang orang-orang 'tanpa nama' dalam perang berabad-abad dan tanpa akhir di Vietnam. Novel Sorga bagi si Buta (2004) dan Menembus Mimpi Hampa (2004), mengisahkan perjalanan pahit dua orang perempuan yang hidup di tengah-tengah huru-hara perang dan pertentangan ideologi politik yang berlarut-larut. Juga penderitaan sebagian perempuan Vietnam dalam menghadapi dominasi ideologi patriarkal yang meletakkan perempuan di bawah subordinasi laki-laki, menjadi sisipan kisah indah sekaligus menggugah.
Buku Novel Tanpa Nama konon mendapat sambutan luar biasa di Vietnam. Namun, di sini, novel yang diterbitkan hampir dua tahun lalu, dengan mudah masih kita temukan di rak-rak toko buku. Novel Sorga bagi si Buta dalam versi Inggrisnya, konon terjual 40. 000 eksemplar. Novel Menembus Mimpi Hampa dalam waktu yang tak sampai dua pekan, sudah habis terjual 60. 000 eksemplar. Sebuah prestasi yang gemilang yang jarang ditemukan di negeri ini. Betapa pun indah dan kuat pesan moral yang ditawarkan Duong Thu Huong dalam novel-novel terjemahan ini, dari segi tematis, tak ada yang baru. Tema pertentangan kelas dan ideologi Komunisme sudah banyak digarap oleh para sastrawan, politikus dan kaum cerdik-cendikia lainnya. Sekedar menyebut beberapa contoh, buku Milovan Djilas (The New Class), adalah buku debutan yang meramalkan komunisme akan hancur karena ia mengabdi kepada kepentingan kelas pelaksana (aparatchik), terbukti sudah. Czeslaw Milosz (The Captive Mind), penulis Polandia ini mendeskripsikan hilangnya kebebasan bangsa dan manusia Polandia. Maka menurutnya, betapa nyeri proses penyesuaian diri para intelektual dan seniman terhadap konsepsi kekuasaan totaliter di negara-negara Eropa Timur, yang jatuh ke dalam orbit kekuasaan Uni Soviet setelah Perang Dunia. Padahal negara-negara Eropa Timur itu dulunya adalah bangsa-bangsa yang bebas, dan nasionalisme mereka sendiri yang kuat dan teguh seperti Polandia,, Hongaria, Cekoslowakia, dan sebagainya. Buku dalam tema yang sama, namun terhitung masih baru, adalah novel Arundhaty Roy (The God of Small Things), sebuah novel debutan yang sempat heboh lantaran kritiknya atas partai Komunis India.
Pengamatan Djilas, Milosz dan Arundhaty Roy sebenarnya sudah didahului oleh sebuah pandangan lain dari Antonio Gramsci, seorang teoritikus komunis Italia yang meninggal dunia tahun 1927. Ia mengajukan kritik pedas kepada gerakan komunis waktu itu, yang telah kehilangan pesonanya lantaran mencampakkan spiritualitas dan wajah kemanusiaan. Namun konteks dan sudut pandang yang berbeda, membuat tema semacam ini tetap layak diapresiasi dan menarik untuk terus didiskusikan, menjadi bahan refleksi betapa bahayanya ideologi yang menghamba pada kepentingan kelas.

Prosa Imaji dan Resolusi Tinggi

Oleh Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang




Syahdan, demi menghindari hasrat seksual istri kakaknya, Hayy ditingalkan oleh pasukannya di hutan belantara yang sepi hingga akhirnya terkapar sendirian. Di tempat pembuangan itulah ia diselamatkan oleh seekor rusa kecil dan diajari rahasia semesta melalui akal dan nalar mistisnya, yang mesti tak masuk akal, namun rusa kecil itu terus mewasiatkan pikiran induktifnya agar kelak ia mampu membuka tabir rahasia para pembuat versi.


Telah berhari-hari Hayy memikirkan dirinya yang terjerat sendirian di tengah hutan yang ganas. Pada suatu saat ia merenung, mencoba menutupi bagian bawah tubuhnya dengan dedaunan, mempersenjatai dirinya dengan sebuah tongkat, dan dengan begitu ia mulai menyadari dirinya lebih sempurna ketimbang binatang berkaki. Tapi apa yang terjadi kemudian, rusa kecil itu terpaksa harus meninggalkan dirinya di hutan belantara yang menyiksa.

Setiap hari Hayy merenungkan kekasihnya, Yaqzan, hingga akhirnya ia melihat binatang yang menggunakan tubuhnya sebagai alat, sebagai petunjuk waktu, seperti tongkat di tangannya sebagai petunjuk arah, yang memberinya penerangan dan kehangatan dengan api, dan dengan begitu menyerupai benda-benda angkasa. Kemudian ia lari berpaling, memperbandingkan objek-objek yang muncul di sekelilingnya, membeda-bedakan apa yang dilihatnya, menggolong-golongkan mereka sebagai benda mati, benda hidup, tanaman dan hewan.

Sejak itu sang sahibul hikayat dan pembuat versi fantastis itu telah melahirkan satu versi cerita tentang tubuh sebagai unsur umum setiap objek. Dan setiap objek memiliki ruh, namun karena ruh tak mampu dilihatnya, ia pun berpaling pada gagasan mengenai suatu Kemaujudan Utama yang kekal, yang tak berjasad, namun abadi.

Perjalanan Hayy yang tinggal seorang diri di belantara sepi dan hutan-hutan menyiksa itulah yang menghasilkan satu versi filosofis yang kemudian dikenal dengan kisah Hayy ibn Yaqzan yang menebarkan imaji dan mimpi-mimpi. Ibn Tufail, sang pembuat versi yang abadi itu, menyerap kisah-kisah filosofis-mistis dari dataran Alexsandria dan Persia yang kemudian dirangkai dengan kisah-kisah kejadian hingga menjadi sebuah prosa yang menebar dongeng-dongeng mistis yang menandai datangnya kebaruan dunia sastra-filosofis dalam sejarah kesusastraan dan filsafat Islam.

***

Sepenggal kisah Hayy ibn Yaqzan di atas saya caba kaitkan dengan beberapa prosa mutakhir yang berkecenderungan menjadikan mitologi, dongeng, dan pabel sebagai inti cerita. Cerpen-cerpen Ucu Agustin tampil melalui sentuhan beragam unsur kreatif yang dijumpai pengarangnya.

Cerita pendeknya dalam antologi Kanakar (2005) tak hanya menunjukkan kepandaian pengarangnya dalam mendayagunakan kekuatan bahasa dan tidak melulu mengusung cerita yang berumit-rumit dengan alur cerita yang melingkar-lingkar. Tetapi yang lebih penting dalam cerita Ucu Agustin adalah bagaimana ia mampu membuka pikiran dan wawasan pembaca untuk memandang dunia prosa dengan retoris dan imajis yang disembunyikan di dalam isi maupun bentuk cerita.

Ada tema kejadian yang melindap dalam bagian ceritanya, yang berkisar antara perempuan dan kegelisahan naratif, yang terasa gerak-gerik dan gestikulasinya. Tampilan metafor tentang hujan di setiap bagian teks ceritanya menghasilkan kiasan yang kreatif. Cerpen “Perawan Yang bersemayam Di Mata Loth” misalnya, begitu pekat menampilkan keintiman dengan ungkapan-ungkapan yang tekesan eksotis, jorok, jijik hingga kita pun merasa mual dibuatnya.

Di sana kita temukan pemberontakan perempuan lewat kehendak untuk bertelanjang, ada bayi-bayi yang langsung bisa mencari makan sendiri tanpa membuat kendur payudara bundanya yang memang telah dibuat melendur oleh bapaknya, demi melayani nafsu lelaki yang tak ada kendurnya itu. Kehendak untuk “bertelanjang bulat” di depan umum yang dilakukan tokoh perempuan dalam cerpen ini tak lain, mengutip kata-kata Ucu Agustin sendiri, “karena di sini bertelanjang adalah subversi”.

Dalam cerpen “Kanakar”, ceritanya banyak mengambil tema kejadian dalam sebuah mitologi. Maia—salah satu tokoh utama yang mengingatkan kita akan tokoh dalam novel “Cala Ibi” (2003) karya Nukila Amal—merupakan salah seorang dari tujuh puteri yang dikejar oleh dewa orion, Sang Pemburu dalam mitologi Yunani.

Tersebutlah seorang dewa, Orion namanya. Ia jatuh cinta kepada pleione dan ketujuh puterinya yang tinggal di dalam hutan. Ketujuh puteri itu meniupi tanah hingga menjadi debu pijar dan melayang ke awan-awan hingga menjelma merpati dan yang lain kemudian menghilang. Dan yang tinggal di dalam hutan hanyalah pleaides yang maha terang.

Siapa “Kanakar” dalam cerpen ini agak gelap untuk bisa ditangkap. Bisa jadi “Kanakar” adalah sebuah petunjuk waktu; waktu menyambut datangnya tahun baru di “saat bening embun di pagi bulan Januari yang berseri kehilangan pamor dan menjadi malu saat melihat cara kerja benih yang tumbuh begitu ajaib”. Tapi di lain sisi, “Kanakar” menjelma “bisik lirih seumpama bujuk pagi yang menyelusup lembut di hitam malam untuk pelan-pelan menguasai dan mengambil alih tahta dengan bantuan sinar fajar.”

“Kanakar” mungkin saja makhluk hidup atau benda mati, binatang atau manusia, suara-suara atau kebisuan, yang lenyap dan kemudian menghilang untuk muncul kembali suatu waktu. Namun di ujung cerita, apa yang disebut “Kanakar” adalah kembar siam dari Dmitri. Tapi, apa arti semua ini? Tak lain hanya sebuah imaji, alegori, fantasi, dan mimpi-mimpi.

Selain Ucu Agustin, cerpen-cerpen Nukila Amal juga begitu pekat dengan peristiwa mitologis. Cerpen dalam antologi Laluba (2005) menunjukkan posisi Nukila Amal di dunia cerita pendek mutakhir dan (mungkin juga) masa depan. Cerpen-cerpennya begitu pekat menampilkan kejadian yang berkelok dan bercecabang: di antara orang yang berjalan hilir-mudik, rehat di kedai kopi, bayi di rahim perempuan, kejenuhan hidup, permainan rasa, cinta pertama, kesepian, angkara, hingga konflik perasaan tokoh akibat perang berkepanjangan.

Subyek dan setting ceritanya nyaris tak teridentifikasi lantaran tempat yang dijadikan latar peristiwa berhamburan kian ke mari: dari jalanan kota Jakarta meloncat ke Halmahera, lalu ke desa di Korsika, pulang lagi ke Yogyakarta, galeri di negeri Belanda, nelayan di Makassar, sirkus di negeri antah berantah, atau taman ria di dalam mata. Pengolahan bahasanya mendekati cerita semi dramatik yang begitu pendek hingga lebih pantas disebut fiksi mikro. Namun kekhasan Nukila ada pada kesegaran berbahasa, pemadatan imaji, dan rangkaian metafor yang berhamburan.

Setiap gerik tokoh-tokohnya teraba dengan cepat dan ditangkap sebagai siapa saja atau apa saja atau entah siapa: ada perempuan hamil, penari eksentrik, setetes embun, dua tangan yang bercakap, bayi di rahim ibu, hingga seekor buaya kecil yang menyeruak keluar gambar. Pada setiap bagian ceritanya menampilkan karakter tokoh pada posisi batin dimana secara paling sadar dan fitrah terlibat di dalam semua unsur; gerak, alur dan kehidupan.

Pemberontakan terhadap narasi patriarki yang melindap dalam cerpen-cerpen Nukila Amal seakan meleburkan batas pencitraan aku-perempuan lewat dialog sederhana seputar penamaan tokoh ceritanya: “Aku telah punya nama untukmu. Laluba. Kalau lelaki? tanya ayahmu. Laluba, jawabku. Kalau perempuan? Laluba. Kau akan gesit berenang seperti lumba-lumba”.

Kekuatan imaji dan metafor yang dibangun Nukila Amal tampak seperti permainan tangkap dan lari, yang kerap mengagetkan, menggetarkan, dengan pilihan rima yang liris, yang terpadu ke dalam struktur yang ketat, namun menampilkan keheningan yang begitu reflektif.

Cerpen “Laluba” secara lebih ekstrem mencipta prosa yang mengandalkan kekuatan kata, diksi penuh bunyi, permainan gema, motif yang bersahut-sahutan. Dengan penuh kesadaran Nukila memasukkan bait-bait puisi untuk menyelubungi makna dari peristiwa. Sebab kiranya “makna memang bermula dan bersarang dan beranak-pinak di benak…Jadi tak boleh membiarkan benak berkeliaran dan berubah-ubah bentuk seperti awan, melepas para kekasih lama keluar main berseliweran”.

Saya kira disinilah letak kesamaan atau bahkan kemiripan Ucu Agustin dan Nukila Amal, yakni gaya bahasa yang mereka bangun sama-sama memukau dan kaya metafor, ungkapan-ungkapan puitis dengan mengandalkan kekuatan imaji. Hanya saja Nukila secara lebih ekstrem ingin mencipta prosa yang bersilang-seluk puisi.

Tak berlebihan kiranya bila kedua cerita pendek jenis ini layak disambut dan dirayakan dengan ucapan—sebagaimana Nukila Amal mengucapkan—“Selamat datang di dunia imaji dan resolusi tinggi”.

Kuntowijoyo

Oleh Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang



Kuntowijoyo meninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, Selasa 22 Februari 2005, pukul 16. 00 Wib, setelah lebih dari sepuluh tahun mengalami serangan virus meningo enchepalitas yang mematikan. Sastrawan, budayawan, sejarawan, dan pemikir Islam local genious ini, sepanjang hayatnya banyak melahirkan karya sastra, sejarah dan pembaharuan pemikiran Islam yang begitu cemerlang hingga hari ini. Dalam menghadapi virus ganas yang menyerang otaknya, karya-karyanya terus lahir menyapa kita.
Satu persatu kita kehilangan orang-orang yang selama ini tak pernah meminta lebih dari apa yang kita berikan, juga tak pernah mengharap lebih dari apa yang semestinya. Mochtar Lubis, YB Mangunwijaya, Subagio Sastrowardoyo, Sutan Takdir Alisjahbana, Linus Suryadi Ag, Arifin C Noer, Teguh Karya, HB Jassin, Satyagraha Hoerip, Motinggo Busye, Mahbub Djunaedi, Dick Hartoko, AA Navis, Umar Kayam, Saini KM, Hamid Jabbar dan Kuntowijoyo, dan entah siapa lagi yang akan menyul berikutnya.

Di tengah duka yang bertubi-tubi menimpa negeri ini, kita tersentak mendengar kabar meninggalnya guru besar ilmu budaya di Universitas Gadjah Mada ini. Sementara kita yang masih tinggal di sini, berharap-harap cemas, meratapi kesedihan yang kian berlarut-larut. Pancangan kenangan yang telah almarhum berikan kepada kita seakan telah menebus seribu satu kesalahan yang telah kita perbuat selama ini. Ia tak henti-hentinya menyapa kita lewat kolom-kolom agama, novel dan cerita pendek hingga tulisan-tulisan sejarah yang begitu cemerlang memaparkan kekerdilan dan kebodohan kita.
Buku-bukunya, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Ibadah dan Fenomena Kepribadian Muslim (1985), Paradigma Islam, Interpretasi dan Aksi (1991), Identitas PolitikUmat Islam (1997), Muslim Tanpa Masjid (2001), Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas (2002), adalah karya-karya di luar fiksi yang banyak dirujuk orang. Kematangan refleksinya melahirkan pembaharuan pemikiran keagamaan dalam konteks sejarah gerakan keislaman dan keindonesian. Sementara buku Metodologi Sejarah (1994), yakni sebagai ilmu dasar sejarah (ontologi), hubungan ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu etik, dan menawarkan cara menulis sejarah yang estetik.
Kunto adalah pengarang produktif dan berkarya yang nyaris tanpa interupsi. Ia senantiasa membayang-bayangi kita lewat cerita-cerita sederhana namun mengandung metafor yang begitu dahsyat menyadarkan kita manusia Indonesia akan bahaya lupa. Ia juga tak kalah uniknya dalam membangun konflik-konflik tokoh ceritanya. Bahkan beberapa cerita pendeknya, seperti memberi isyarat maut bahwa suatu waktu ia akan pergi meninggalkan kita selama-lamanya.
Dalam cerpen Anjing, Kunto memperingatkan akan bahaya kefanatikan yang dipeluk teguh oleh umat beragama. Berkali-kali—bahkan sering—ia menampilkan rasa tidak puas diri ketika melihat banyaknya orang-orang yang beragama tapi hanya berhenti pada realitas artifisial yang dangkal. Metafor anjing sungguh sangat tepat menunjukkan bagaimana sikap orang -orang yang beragama yang menganggap yang lain (anjing) sebagai sesuatu yang najis dan harus dijauhkan dari lingkungan keluarga.
Tokoh istri dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang istri yang berpendidikan dan begitu taat mengikuti suaminya, tapi kadar religiusitasnya begitu dangkal. Realitas kehidupan beragama semacam ini kita temukan juga dalam cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon dan cerpen Sepotong Kayu untuk Tuhan. Dalam “kesadaran sastra transendental”, mengutip istilah Kunto sendiri, kerapkali ia melontarkan kritik terhadap agama (Islam) dan tokoh-tokoh agama yang munafik, yang tak jarang menganggap dirinya paling suci di dunia ini.
Sejak novel Khotbah di Atas Bukit (1976), kecenderungan Kunto menampilkan setting keberagamaan yang profetis—keberagamaan yang mendekati tauladan dan sifat kenabian-- sudah begitu menonjol. Dalam cerpen Kembali Mencintai Bunga-bunga, Kunto kembali menghangatkan apa yang waktu itu (tahun 1960-an) disebut sebagai dualisme kehidupan beragama: tradisional vs modern. Alam tradisional yang diwakili oleh kehidupan orang-orang desa masih menempatkan agama sebagai laku moral yang harus ditegakkan, dimana pun dan dalam realitas apa pun. Sementara alam modern secara gamblang ditampilkan lewat kehidupan orang-orang kota yang secara angkuh menolak nilai-nilai “spiritualitas transenden”.
Tapi sungguh satu hal yang paling simbolik dalam cerpen-cerpen Kunto adalah ketika berkali-kali ia menulis cerpen tentang masalah kuburan. Agaknya cerpen-cerpen semacam ini menjadi semacam isyarat puitik dan pesan-pesan terakhirnya sebelum kemudian ia meninggalkan realitas duniawi dan masuk ke alam kubur dalam arti yang sebenarnya. Dalam cerpen Anjing-anjing Menyerbu Kuburan—sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas 1997—Kunto memainkan sebuah realitas kehidupan modern lewat metafor anjing. Ia menampilkan kisah-kisah sederhana (baik bentuk maupun gaya) untuk mengungkap kehidupan manusia yang kian serakah, yang saling memangsa satu sama lain.
Kehidupan keluarga miskin yang berhari-hari kelaparan dan tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya terpaksa harus mencuri makanan. Namun ketika makanan sudah didapat, sekonyong-konyon anjing datang mengambilnya. Kisah ini seakan memberikan gambaran kepada kita bagaimana penindasan dilakukan atas nama kemiskinan.
Dalam cerpen Jangan Dikubur Sebagai Pahlawan—juga dimuat dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 1997 dan diterbitkan dalam karyanya berjudul Hampir Sebuah Subversi (1999)—Kunto kembali memainkan jurus-jurus sejarah dan sosiologis lewat orang-orang yang serakah atawa penjahat, tapi dikuburkan sebagai pahlawan. Cerpen ini mengingatkan kita pada roman karya Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam, dimana orang-orang dungu yang tak pernah berjuang menegakkan kemerdekaan diberi predikat oleh negera sebagai pahlawan: “dan di antara kuburan mereka yang dianggap pahlawan itu, ada yang terdapat bajingan yang karena salah penyelidikan termasuk juga dalam golongan pahlawan”, demikian Pramoedya melukiskan.
Sementara Kunto merasa kecewa pada mereka yang secara terang-terangan mencoba melupakan mereka yang seharusnya pantas diberi predikat pahlawan lewat kesaksian-kesaksian orang pertama dan kedua di cerpen ini. Baik cerpen Jangan Dikuburkan Sebagai Pahlawan maupun novel Bukan Pasar Malam, keduanya sama-sama menggunakan tokoh ayah. Dan kedua-duanya juga sama-sama mengambil setting cerita pada masa Revolusi 1945. Bedanya, Pramoedya bertutur lewat orang ketiga, sementara Kunto bertutur lewat orang pertama dan kedua.
Dalam cerpen ini Kunto begitu piawai membangun konflik pada tokoh-tokohnya. Ia juga menampilkan sosok tokoh yang protagonis bernama Sangadi. Di masa Revolusi 1945, Sangadi dikenal sebagai orang yang pemurah hati dan tak segan-segan meminjamkan uangnya kepada orang-orang yang dianggap membutuhkan. Tapi di sisi lain, ia sering memperkosa perempuan dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Sang narator mengalami kebimbangan ketika hendak menentukan apakah Sangadi pantas dikuburkan di makam pahlawan atau tetap dibiarkan berada di kuburan di desanya, seperti terlihat dalam kutipan di bawah ini:

“Waktu itu tahun 1947, Zaman Revolusi. Ayah saya betugas di Dinas Penjualan Garam dan Candu. Tidak ada garam, jadi praktis yang dijual candu”....”Sangadi bersahabat baik dengan ayahku. Barangkali persahabatan yang aneh. Sangadi adalah bajingan paling ditakuti ayahku termasuk orang yang dihormati”. “Kemudian Sangadi meninggal. Mereka bertemu orang-orang menggotongnya keluar dari kampung kita, lalu dikuburkan di makam umum desa. Setelah aman, makam itu dibongkar dan dipindahkan ke tempat yang baru, yang kita kenal sebagai Makam Pahlawan”.

Meski pengarang mencoba menghindar dari posisi “menghukum” tokohnya, namun secara terang jawabannya terungkap lewat judul cerpen ini, “Jangan Dikuburkan Sebagai Pahlawan”. Jasa baik Sangadi telah luntur lantaran perbuatannya yang begitu sering melakukan pencabulan dan pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan tak bersalah.

Karena kisah yang ditampilkan dalam cerpen ini hampir sama dengan dengan roman karya Pramoedya di atas, maka (maaf) saya sedikit mencoba untuk membandingkan kedua karya ini.

Dalam roman Bukan Pasar Malam, Pramoedya secara tajam mengkritik orang-orang yang selama ini tak pernah berjuang di medan perang menegakkan kemerdekaan tapi diberi predikat pahlawan: “dan kini, belum lagi setahun kemerdekaan tercapai ia sudah tak digunakan lagi oleh sejarah, oleh dunia, dan oleh manusia”, demikian Pramoedya mengungkapkan.

Selanjutnya, dengan kembali menggunakan orang ketiga sebagai penutur, Pramoedya tak henti-hentinya mengingatkan kita akan bahaya dari sejarah buatan rezim resmi:

“Ayah Tuan jatuh sakit oleh kekecewaan—kecewa oleh keadaan yang terjadi sesudah kemerdekaan tercapai. Rasa-rasanya tak sanggup lagi ia melihat dunia kelilingnya yang jadi bobrok itu—bobrok dengan segala akibatnya. Mereka yang dulu jadi Jenderal di daerah gerilya, mereka yang tadinya menduduki kedudukan-kedudukan penting sebelum Belanda menyerbu, jadi pemimpin pula di daerah gerilya dan jadi bapak rakyat sungguh-sungguh. Dan ayah Tuan membela kepentingan mereka itu. Tapi, kala kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama berebutan gedung dan kursi”.

Dengan demikian, baik Kunto maupun Pramoedya, keduanya memang pengarang yang piawai memainkan kilas-balik sejarah masa lalu yang tetap menemukan pijakan pada masa kini dan bahkan di masa mendatang. Kedua tokoh ayah dalam kisah ini tampil sangat memikat lewat ayah yang bekerja sebagai pedagang garam dan candu (Kunto) dan ayah yang bekerja sebagai guru Sekolah Rakyat (Pramoedya), yang menggugat kebijakan Dinas Pemerintahan Kolonial. Dan sebagaimana diketahui, kedua tokoh ayah ini hampir tidak pernah disinggung-disinggung apalagi dimasukkan dalam buku pelajaran sejarah resmi. Buku sejarah tentang pahlawan-pahlawan nasional di negeri ini di susun untuk melupakan sejarah yang sebenarnya.

Gugatan yang bertubi-tubi dihadirkan Kunto lewat cerpen-cerpen yang menggugat warisan buku-buku sejarah resmi menarik untuk dikaji lebih mendalam. Bahkan beberapa cerpennya yang lain, tak kalah bernasnya mengisahkan kehidupan orang-orang kalah, seperti cerpen Orang yang Mencintai Kuburan. Cerpen ini menunjukkan secara kontras antara makam orang-orang kaya dengan makam orang-orang miskin dan realitas politik “yang tidak jauh berbeda dengan kehidupan anjing” (yang besar memakan yang kecil). Begitu juga dalam cerpen Hampir Sebuah Subversi, lewat kisah sederhana ini ia mendedah sosok mahasiswa yang kritis tapi oleh dosennya dituduh sebagai anti-ideologi negara.

Sampai disini, karya-karya almarhum Kuntowijoyo menawarkan sebuah kisah dramatik sekaligus subversif. Cerpen-cerpen bertema kuburan memang sebuah isyarat puitik tentang kematian, yang setiap orang akan pergi meninggalkan yang lain. Maka dari sini, cerpen-cerpen Kunto menawarkan kesegaran dan ketegangan sebuah cerita, bukan pencabulan ata kenenesan yang membual mimpi-mimpi indah. Karena itu, sepantasnya bila almarhum diberi gelar bapak bangsa dan dikuburkan sebagai pahlawan nasional. Suka atau tak suka, begitulah adanya.

Semsar Siahaan

Oleh Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang



Barangkali hanya Semsar Siahaan(1952-2005) perupa yang dengan setia melukis realitas kehidupan yang carut-marut masa kini. Sebagai pelukis dan pematung ia sering menampilkan lukisan-lukisan yang dramatik tentang wajah-wajah kaum miskin dan buruh di belahan Dunia Ketiga. Meski berkali-kali ia melukis dalam keadaan bahaya, namun satu persatu lukisannya hadir menyapa kita. Puluhan karya lukisnya pernah dipamerkan di Galeri Nasional Agustus 2004 dengan respon publik yang cukup menggembirakan.

Semsar adalah seniman yang dengan teguh meyakini karyanya sebagai seni yang terlibat. Karyanya, The Shade of Northern Lights (Galeri Nasional, 2004) merupakan buku kumpulan lukisan terbarunya sebelum kemudian ia pergi untuk selama-lamanya. Dari judul-judul lukisannya dengan sangat tegas ia menolak semboyan seni untuk seni dan mengagumi seni kontekstual. Lukisan “G-8”--dengan rangkaian ”lingkaran segi enam” yang memperlihatkan bentuk pizza raksasa-- menampilkan wajah seni yang prontal. Dengan potongan gambar-gambar simbolik, tentang teknologi, globalisme dan kapitalisme, Semsar hendak menegaskan pentingnya seni sebagai alat perjuangan.

Dalam dunia kesenian--juga dunia aktivis sosial--Semsar telah menjadi ikon penting tidak hanya di negeri ini. Mungkin dialah seniman yang berada pada garis terdepan perjuangan melawan globalisme, kapitalisme, imperialisme atau juga pelanggaran hak asasi manusia lewat karya seni. Dalam lukisan berjudul “Genoa Tragedy 1”, ”Genoa Tragedy 2” dan ”Genoa Tragedy 3” (2001), ia menampilkan sosok manusia dalam lukisan serigrafi dengan tampilan otot-otot binatang yang ditusuk-tusuk atau disangkut-pautkan dengan gancu dan tongkat besi pengait. Di sini ia hendak menghadirkan sosok manusia yang terkurung dalam lingkaran globalisme lewat gambaran realitas masyarakat Dunia Ketiga.

Dalam karya ”In Memoriam Santa Cruzs” (2001) ia menghadirkan peristiwa naas di kota Santa Cruzs yang selama ini hanya hadir lewat berita-berita yang dilansir media. Dalam karya "The Man Who Knows All” (2002) ia melukis tubuh George Bush yang sedang memakai gaun yang ”terlampau besar untuk dirinya”. Bush terlihat sedang bersandar pada pemasang perangkap lalat ”pertanda kematian”, dengan senjata yang dia pegang--sementara sepatu ”kesayangannya” menginjak surat perjanjian antinuklir.

Dalam lukisan hitam-putih berjudul The Death of on Ancestor (ukuran 56x76 cm), Semsar menampilkan sebuah drama kematian yang penuh simbolik dan kontras antara harapan yang bebas dengan realitas yang terpasung. Orang bebas memiliki harapan. Namun, bagaimana manusia bisa bebas bila selalu--bahkan saat tidur--dirongrong kematian? Konon, kematian akan membawa kebebasan yang utuh. Namun, siapa yang dengan suka hati menyongsong kematian? Hanya segelintir orang yang mau menyambut kematian dengan tenang tanpa harap dan cemas.

Semsar termasuk segelintir orang yang siap menerima kematian dengan penuh takzim. Bahkan ia juga dengan berani menatap kematian dengan jarak dekat. Dengan penuh ketakziman ia merekam baris-baris kematian lewat lukisan warna-warni—juga hitam-putih—yang menambah suasana kian mencekam. Semsar dengan giat mendokumentasikan tubuh-tubuh yang membiru, bergelimpangan, berpeluh-berkesah di atas kanvas putih yang berubah menjadi wana kemerah-merahan. Tapi goresan warna kematian itu tetap terasa hidup secara biologis.

Dalam lukisan " Measing Beauty" (2002), dan “Tragedi Geno” ia menampilkan gambaran tubuh seorang aktivis anti globalisasi di Italia, Julian, saat dieksekusi mati oleh tentara Italia beberapa tahun lalu. Semsar tak pernah “terganggu” dengan tuduhan sebagai seniman realis yang pandai memindahkan realitas nyata ke dalam karya seninya.

Lukisan Semsar pada umumnya hampir sama. Ia tak hanya melukis wajah-wajah manusia yang merintih-meradang-menerjang, sebagaimana lukisan realisme umumnya, tapi ia juga melukis benda-benda simbolik yang memintanya untuk bicara sendiri. Empat belas karya hitam putihnya dalam buku The Shade of Northern Lights sama sekali tak memperlihatkan wajah-wajah manusia yang terkulai lemah seperti lukisan warnanya. Karya itu nampak sangat kuat memainkan imaji dan metafor lewat benda-benda dan tiulang-tulang binatang yang menggeliat-memberontak.

Semsar memang menghadirkan realisme berkabung dan kepedihan yang berlarut-larut yang menimpa negeri pascakolonial. Permainan metafor dan simbol-simbol dalam lukisan hitam-putihnya menjelma sebuah dialektika kehidupan nyata dan alam imajinal. Semsar juga menghadirkan permainan terang-gelap, dekat-jauh: sesuatu yang konvensional tapi sungguh menggetarkan. Permainan seni abstaraksi juga tak jarang menjelma sebuah proses yang mengalir lancar dalam suatu fusion yang saling membentuk gugusan makna. Benda-benda dalam lukisan hitam-putih itu mempertontonkan wajah-wajah serius dan murung dalam bentuk yang terang benderang.

Mengapa Semsar memilih lukisan dan bukannya puisi? Bukankah puisi juga tak kalah kuatnya menghadirkan suasana kabung lewat kata-kata seorang penyair? Bagi Semsar, kelebihan lukisan realisme terletak pada kehendaknya untuk memberi arti atau makna. Sementara puisi—walau tidak semua—sering gamang menghadapi realitas carut-marut dan hanya melahirkan kata-kata verbal dan tak mampu menyusuguhkan empati dan daya magis. Kata-kata sebagai sarana ekspresi bagi Semsar sudah jauh ditinggalkan, tapi anehnya, di tangan para penyair di Indonesia masih dianggap mantra.

Semsar bahkan pernah dengan jujur mengaku, “Semangat berkarya seniku masih selalu menjauh dan mengambil jarak dari ke-Indah-an yang manja, serta eksotisme tradisional yang meminta belas kasihan” (It is the spirit of my art, which stillstory away, even goes away, from the spoilt beuty, the traditional exotism that begs for mercy).

Karya seni rupa Semsar berada dalam penggambaran citra-citra yang penuh rasa iba. Tapi karya seninya bukan sebuah kenenesan apalagi kecengengan. Ia memang berduka tapi tidak bersenandung liris yang di bawa oleh arus mimpi-mimpi yang membuai-menghanyutkan. “Rakyat” dalam lukisan Semsar tetap memberi citra dan bentuk yang serius. Ini pertanda dari sebuah wujud dari sebuah tekad yang kembali tumbuh dengan sehat hingga ia mampu bertahan menghadapi berbagai tantangan alam dan keserakahan manusia.

Realisme Semsar Sihaan tetap mengandung kesan simbolik. Ia tak sekedar menghadirkan tematik penciptaan realisme sosial dan kemanusiaan, tapi juga subjektivitas dirinya yang berdialog dengan alam, seperti dalam lukisan The Springs Full Moon 1 (2004) dan The Springs Full Moon 2 (2004). Karya-karyanya memang menampilkan garis-garis--bahkan objek yang dibuat itu—mengutip Sihar Ramses Simatupang—kerap menjelma semacam ”abstrak berfigur”: sebuah lukisan yang tak verbal dalam perwujudan objeknya namun tetap memperlihatkan tema sosial atau sebaliknya, tema sosial yang memperlihatkan nuansa verbal.

Sketsa lukisan Semsar tampak begitu lugas menampilkan kenyataan sehari-hari yang timpang. Meski begitu, Semsar tetap menampilkan warna tersendiri dalam dunia seni rupa. Warna-warna muram yang berbentuk garis-garis hitam-putih tak sekedar menampilkan warna hitam. Karya lukis Third Millenium Totem 1, Third Millenium Totem 2 (Mother and Child) dan Third Millenium Totem 3 atau The Poet who Dissapeared (2000), menunjukkan kecenderungan ke arah itu.

Di sinilah letak kekuatan—mungkin juga kelemahan—Semsar. Seni rupa yang bergumul dalam realitas “buruk rupa” memang tak mampu mengelak dari semangat belas-kasihan. Tapi keindahan seni kontekstualnya mampu melahirkan “estetika yang dipenuhi tata krama berkarat dan basi yang tak akan pernah menjadi tantangan bagi dunia penghayatan dan nalar”.

Realisme Cerita Pendek

Oleh Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang






Koran, tempat lahirnya banyak cerita pendek di negeri ini, tampaknya tak ragu-ragu memuat cerita pendek dengan narasi yang memang pendek. Jika awalnya banyak menuai kritik, lantaran berbaur dengan realisme berita koran yang cepat dan jelas--seperti kritikan yang muncul dengan sebutan ‘sastra koran’ yang sinis beberapa tahun terakhir. Cerpen koran bagaimana pun telah menyita energi sebagian pemerhati sastra di tanah air. Ia sering dihakimi sebagai cerita yang melulu tunduk pada realisme berita. Dengan wataknya yang ringkas lagi pendek, cerita pendek yang dimuat di koran sering diadili sebagai cerita dengan bahasa yang sempoyongan. Jika tidak, maka cerita semacam itu dianggap sebagai cerita sekali jadi, berhenti pada cerita yang dianggap belum selesai. Cerita pendek di koran memang tak memberi ruang untuk mengembangkan cerita lebih jauh.

Para pemerhati sastra kita melulu disibukkan oleh hal-hal yang tidak mencerahkan. Sasaran cemoohan bukan lagi pada substansi dengan gaya dan bentuk cerita--seperti perdebatan tempo dulu—tapi pada media tempat cerita itu dimuat. Para kritikus sepuh yang dulu beramai-ramai mempersoalkan bentuk dan gaya, kini tengah mengidap insomnia yang parah. Para kritikus sastra yang lebih muda sering terjebak pengulangan, diksi yang itu-itu juga. Maka jadilah koran sebagai sasaran kegelisahan dan sering dipersoalkan. Maka tak heran jika kritik sastra kita jauh tertinggal dibanding kritik sastra Eropa. Di Eropa, sastrawan sekaliber Umberto Eco tanpa malu-malu menuangkan karyanya di koran-koran dan tak pernah kehilangan kualitas literernya. Maka lahirlah buku Travels in Hyper-Reality dan Misreading yang menghebohkan sastrawan dan intelektual. “Dalam setiap tulisan dimana terjadi pergolakan emosi yang disulut oleh peristiwa tertentu, demikian Eco, Anda menulis refleksi, berharap adanya seorang yang akan membacanya dan kemudian melupakannya. Saya tak percaya adanya perbedaan antara menulis di buku, dijurnal yang ketat, dengan menulis di koran”.

Lihatlah cerita pendek ‘semiesai’ Jorge Luis Borges—yang kebetulan memang narasinya pendek-pendek—meski mungkin tidak dimuat di koran-koran. Labirin cerita pendek Borges menawarkan sekian dimensi cerita, yang tidak sekedar berumit-rumit ria dan gagah-gagahan, seperti kebanyakan para cerpenis kita. Gaya (style) yang dibangun, dengan membaurkan kisah-kisah mistis penuh simbolik, memadukan gaya surealisme dengan realisme, cerita-cerita Borges justru menyajikan keindahan sekaligus kenikmatan.

Ini yang kemudian mengilhami Hasif Amini untuk merumuskan apa yang kemudian disebutnya sebagai fiksi mikro. Sebuah fiksi yang berupa ‘narasi pendek, yang hanya terdiri dari beberapa kata dan dipadatkan secara maksimal dan indah bagai sebuah teorema, bisa dinikmati dalam satu sesap kopi, dalam rentangan waktu habisnya sekeping koin di telepon umum, dalam rentang waktu yang tersedia pada sehelai kartu pos. Saat memulai adalah sekaligus saat mengakhiri, ketika ia hendak mengembang, saat itu juga ia mesti menguncup, saat hendak mengurai, sekaligus ia mesti memadat” (Prosa No.1/2002: 61-62). Kemudian, dalam menuju pencapaian literernya, ada tiga sihir yang biasa berlaku dalam fiksi mikro.

Pertama, sudut-pandang (provokatif). Fiksi mikro tidak bisa lain kecuali menawarkan perspektif yang segar, yang cerdas, yang gila, yang tak terduga. Ibarat berpapasan dengan orang asing yang tiba-tiba mengatakan sesuatu yang tak disangka-sangka. Masing-masing bisa asyik, dahsyat, tak terlupakan; atau take it or leave it! Kedua, imaji, yakni pemilihan dan pemadatan imaji merupakan taruhan dengan memori dan asosiasi: imaji yang kuat akan bertahan dalam ingatan dan merangsang lompatan imajinasi pembaca, seperti dalam haiuku atau koan Zen, di sana mesti ada kejernihan dan sekaligus teka-teki. Fiksi mikro tak punya banyak waktu untuk memerikan atau memaparkan, ia hanya bisa menyaran, atau menandaskan, atau memohok, hit and run. Ketiga, kata demi kata. Dalam fiksi mikro, ekonomi penulisan demikian mengemuka dan tak tertawar: setiap patah kata menjadi amat berharga dalam menyiapkan bangkitnya sebentuk narasi yang—betapapun sederhananya—kompak dan bernas, dimana prosa satu dengan puisi (Ibid., h. 62).

Satu hal yang membuat fiksi mikro tetap mendapat tempat dan sering, bahkan terlalu sering dirujuk orang, terletak pada kisahnya yang tidak sekedar bermain dengan bahasa dan estetika yang puitis, tapi tetap menyampaikan pesan yang kuat yang gaungnya sekian lama tetap terasa. Dalam prosa “Nukila Amal”, meski harus diakui, imaji dan estetika yang dibangun dalam cerita Cala Ibi begitu indah dan menyentak-nyentak, dan sangat jarang kita dapatkan dalam karya-sastra sebelumnya. Dan kita terperanjat ketika dia bilang: “realisme menyesaki yang nyata, penuh dengan kata-kata nyata, dengan bahasa yang menuding-nuding hidung realita, yang mestinya tak kasat mata tak terkira” (h. 73). Tapi, ketika substansi dicampakkan, cerpenis kawakan seperti Sapardi Djoko Damono tak mampu menagkap substansi dan pesan di dalamnya.

Berbeda dengan imaji yang dibangun Nukila Amal, Zen Hae tetap berpegang teguh pada alur realisme. Meski cerita realisme Zen sangat dekat dengan anjuran Nukila Amal: “sebaik-baik penceritaan realitas ialah dengan alegori dan metafora’, atau dalam istilahnya Zen sendiri; dengan perlambang atau simbolisme. Dalam cerpen “Taman Pemulung”, cerita mengalir bagai serpihan-serpihan puisi liris dengan gaya surealis yang kental. Cerpen “Rumah Jagal” misalnya, ceritanya mengalir layiknya sebuah esai—sebuah surat upaya. Damanhuri suatu ketika pernah mengajukan sebuah pertanyaan yang agak menyentak: apakah tokoh Mahmuda Tongga dan puisi yang dikutip Zen dalam cerpen ini memang ada dalam realitas faktual atau hanya sekedar kisah imajiner yang “direalitaskan”?

Pertanyaan cerdas itu menunjukkan sikapnya yang penuh ragu: jangan-jangan cerpen semacam itu sama sekali tak ada hubungan dengan realitas faktual—dalam arti benar-benar pernah ada penyair Mahmuda Tongga dan puisi semacam itu. Mahmuda Tongga dan puisi yang dijadikan setting cerita di atas barangkali semacam upaya membuat seolah-olah realitas faktual, padahal hanya sebuah imajinasi si pencerita.

Dengan tetap yakin bahwa cerita-cerita Zen Hae adalah cerita realisme, dalam arti realisme faktual, bagaimana pun realisme semacam itu tetap menarik. Kemampuannya membungkus realitas dalam bentuk metafor yang penuh perlambang, seperti menjelma dalam cerita Kereta Ungu dan Taman Pemulung, adalah kisah-kisah yang menjemput decak kagum para pembaca. Lihatlah kelincahannya mengisahkan orang-orang lajang, tak punya pekerjaan, tak dapat santunan negara akhirnya bergabung dalam gerakan bawah tanah yang menyokong pembangkangan terhadap pemerintah resmi dalam cerpen Kereta Ungu. Tema-tema pemberontakan, separatis, otonomi daerah, krisis ekonomi hingga militer berhamburan dan bersanding dengan tema-tema cinta, seks hingga tarian telanjang. Atau kegelisahan orang-orang kalah di Jakarta, perlakukan diskriminasi oleh negara atas etnis tertentu, sebuah refleksi yang menyentak naluri kita dalam cerpen Taman Pemulung. Sebuah tema yang kelak bisa kita jumpai juga dalam cerpen-cerpen Azhari.

Adapun A.S. Laksana cukup menonjol mengeksplorasi tema realisme dalam cerpen-cerpennya. Kumpulan cerpen Bidadari Yang Mengembara adalah satu contoh lagi dari capaian literer cerpen ‘koran’. Buku ini telah mengantarkan A.S. Laksana (36 tahun) dalam deretan cerpenis yang cukup berpengaruh. Sebuah karya realisme yang kental dengan kisah pergolakan kehidupan sosial-politik Indonesia dengan bahasa dan metafor cukup sederhana, bahkan terkesan datar. Mingguan Majalah Tempo mentahbis A.S. Laksana sebagai ‘tokoh seni terbaik tahun 2004. Untuk mengundang siapa di antara para seniman yang layak diangkat sebagai ‘tokoh’ tahun 2004, Majalah Tempo mengundang Nirwan Dewanto--kritikus sastra yang banyak dibenci oleh para penulis itu—sebagai juri tahbis sastra yang sangat kontroversi. Sebuah esai bertitimangsa “Tiga Penguak Tabir” dalam mingguan ini mengulas seni rupawan Handiwirman Saputra, cerpenis A.S. Laksana dan arsitek Adi Purnomo. Karya ketiganya masuk dalam kategori seni terbaik 2004 versi Majalah Tempo. Esai ini tanpa identitas, tapi melihat diksinya yang khas, dugaan kuat bahwa yang menulis esai ini adalah Nirwan.

Dua belas cerita pendek A.S. Laksana menurut si penulis esai, nampak terancang dengan baik, namun bukan sekedar rancangan untuk membina kesatuan cerita, melainkan untuk meneguhkan watak fiksi sebagai apa yang beririsan dengan fakta (realitas) namun tak pernah menjadi representasi yang sempurna. Karya Laksana menghidupkan kembali seni bercerita sekaligus mengandung sikap kritis terhadap bentuk cerita itu sendiri. Ketika kita merasa puas dengan pengalaman para tokoh, si narator menyadarkan kita bahwa semua itu hanya ingatan atau tuturannya yang boleh jadi keliru (h. 62-63). Sebuah penilaian yang sangat berlebihan. Cerpen Laksana agak dekat dengan cerita-cerita Linda Cristanty, yang kebetulan keduanya juga seorang jurnalis. Berkat Kuda Terbang Maria Pinto, Linda dinobatkan sebagai pemenang Khatulistiwa Literer Award tahun 2004 bersama Seno Gumira Ajidarma.

Alqur’an, Keindahan Aural, dan Puisi

Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang



Tradisi membaca Qur’an dalam Islam dinamakan tilawah. Bentuk resital yang paling populer di tanah air adalah pembacaan Alqur’an secara murattal, atau ritmik, yang juga sering disebut tartilan. Tradisi ini di negeri kita biasanya dilombakan dalam festival Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ). Dalam MTQ, yang ditonjolkan adalah Alqur’an sebagai keindahan aural (keindahan yang didengarkan), bukan yang dituliskan. Bacaan Alqur’an yang aural dilantunkan begitu merdu, begutu indah, seperti puisi kanonik yang kaya akan semesta metafora dan gaya.

Dalam Alqur’an memang terdapat banyak muatan puisi dan prosa. Kisah nabi Adam dan Hawa, kisah nabi Musa, Isa, Yusuf, Sulaiman, Daud, dan cerita kaum Ad dan Thamud, cerita Ashabul Kahfi, Ashabul Fil, Isra’-Mi’raj, merupakan kisah-kisah dalam bentuk prosa dan puisi.

Hasil penelitian Shahnon Ahmad (1977) dari Malaysia menunjukkan ada sebanyak 227 surat Alqur’an yang merujuk para penyair, terutama penyair jahiliyah. Dalam surat-surat Makkiyah (surat yang turun di Mekah), terutama yang pendek-pendek, struktur stilistik (gaya) dan bahasa sangat bertumpu pada struktur puisi. Kata alif, lam, mim, ya, ain, shod, menunjukkan stilistik yang sama dengan puisi.

Sudah banyak riwayat diceritakan bagaimana pesona keindahan bahasa dan stilistika Alqur’an yang mampu menggugah orang bahkan terpengaruh olehnya. Kisah masuk Islamnya pujangga al-Walid bin al-Mughirah yang diutus oleh suku Quraisy untuk berdialog dengan nabi Muhammad, kisah terpesonanya Umar bin al-Khattab terhadap Alqur’an hingga ia masuk Islam, merupakan kisah tentang keindahan bahasa dan gaya Alqur’an.

Ketakjuban masyarakat terhadap Alqur’an muncul dari adanya semacam gairah akan kesusastraan. Kita masih ingat ketika Alqur’an diturunkan, masyarakat Arab pada waktu itu sudah memilki tradisi sastra yang kuat. Ketika masyarakat Arab menerima Alqur’an pun senantiasa dikaitkan dan diuji dengan sastra—terutama keindahan bahasa, retorika, dan gayanya.

Keindahan Alqur’an ketika dibacakan mengandung kekuatan sastrawi yang mampu membetot pikiran dan perasaan pendengarnya. Maka tak heran bila ada yang beranggapan bahwa Alqur’an mengandung kekuatan magis yang mampu mempengaruhi orang yang membaca atau mendengarkannya. Ini tentu tidak mengherankan karena keindahan Alqur’an itu sendiri berasal dari yang Maha Indah. Allah sendiri Maha Indah dan mengagumi keindahan.

Jika Allah adalah Maha Indah, maka sudah barangtentu firmannya juga indah. Kata Alqur’an sendiri berarti bacaan, bacaan yang indah. Untuk mendekati Alqur’an yang indah disyaratkan dengan pendekatan yang mampu menguak tabir keindahannya. Dan ini sangat mungkin dilakukan dengan kajian sastra yang memang sangat apresiatif terhadap bahasa dan seni keindahan.
Dengan kata lain, “mendekati” yang Maha Indah yang telah melahirkan firman yang sangat indah (Alqur’an), sangat logis dengan yang juga indah (puisi). Manusia tak akan mampu “berjumpa” dengan yang Maha Indah dalam kondisi yang tidak indah atau kotor, karena itu untuk “menjumpai” yang Maha Indah dibutuhkan seperangkat alat yang indah—atau minimal yang menghargai keindahan.


Amin al-Khuli pernah mengajukan metode pendekatan sastra dalam membangkitkan semesta metafora dalam Alqur’an. Seorang mufassir, kata Amin al-Khuli dan Nashr Hamid Abu Zayd—dalam buku Metode Tafsir Sastra versi terjemahan bahasa Indonesia (Fakultas Adab Press IAIN (sekrang UIN) Yogyakarta (2004)—mau tak mau harus menggunakan ilmu-ilmu sastra seperti gramatika, metafora, gaya, agar mampu menghindari makna monolitik atas Alqur’an, dan pada saat yang sama, mampu menghadirkan keragaman makna Alqur’an itu sendiri.

Amin al-Khuli tidak sendirian, muridnya, Nashr Hamid Abu Zayd bahkan telah mengaplikasikan pendekatan teks dan metode tafsir sastra dalam menguak semesta kiendahan Alqur’an. Jauh sebelum Amin al-Khuli, ulama tafsir yang menekankan bahasa dalam tindak penafsiran Alqur’an adalah Muhammad Abduh (1848-1905) dan Thaha Husayn (1889-1973). Di Indonesia tentu kita masih ingat H.B. Jassin dalam “Alqur’an Bacaan Mulia” dan “Alqur’an Berwajah Puisi” yang sangat heboh itu.

Adakah yang salah dengan cara seperti itu? Bukankah metode tafsir sastra atas Alqur’an itu sendiri merupakan sebuah ijtihad? Bila kini banyak ulama dan pemikir yang menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah, filsafat, dalam menafsirkan Alqur’an, dan banyak yang tak keberatan, maka metode tafsir sastra sama yang saya maksudkan. Mengungkap makna terhadap ayat-ayat Alqur’an melalui pendekatan puisi atau prosa tidak berarti menempatkan Alqur’an di bawah puisi.

Justru dengan cara ini, keindahan Alqur’an tidak semata-mata sebagai klaim sempit umat Islam, tapi akan memiliki landasan argumentasi pengetahuan yang kuat. Bila kita percaya bahwa Alqur’an itu indah dan penciptanya Maha Indah, maka pendekatan sastra yang menekankan sisi keindahan tak akan mampu menggerogoti kemukjizatan Alqur’an.

Bukankah “jalan menuju ke pengetahuan tentang mukjizat Alqur’an”, kata Nashr Hamid Abu Zayd, “senantiasa terpampang bagi siapa saja yang ingin mengetahui keindahannya. Pintu untuk bisa membuka rahasia kemukjizatannya—betapapun kecilnya yang bisa dilakukan oleh manusia—sangat mungkin dengan kajian sastra dan puisi khususnya”. Mengapa puisi? Karena “puisi”, kata ‘Abd al-Qahir, “akan mampu menjamin anda untuk tak terjebak pada akidah tunggal, akan menjamin anda untuk tak melakukan kesalahan di dalam membuat klaim, menjaga anda untuk tak menjadi orang yang alim hanya secara taklid semata”.

Gema yang berpendar di kejauhan

Asarpin
Pembaca sastra



Ketika hari hampir gelap, dan senja hanya terlihat di tepi ufuk lembut yang bisu, sebelum kemudian tenggelam di balut kelam, seorang penyair muncul di sebuah podium untuk membacakan sajak-sajaknya. Sang penyair dikenal di negerinya sebagai sang otoritas yang tak terjangkau, suatu dewa eros yang terus bicara tapi tak mendengarkan. Sajak-sajaknya menampilkan monolog batin yang sok khusuk dan khidmat. Tetapi, di kalangan kritikus sastra ia dikenal sebagai seorang narsisme Hindu yang panjang umur. Hal itu terlihat pada kegemaran puisinya pada labirin.

Karena puisi-puisi labirinnya dianggap terlampau nenes dan cengeng, tak dapat tempat di hati kritikus. Akhirnya ia pun mengasingkan diri di sebuah tempat yang terpencil, dan tinggal di sebidang tanah lempang dekat sungai yang tak banyak riak. Suatu hari ia melewati sebuah jembatan kanal yang menghubungkan rumah barunya dengan kepenatan, sebuah perkampungan misterius yang dihuni orang-orang yang bergelut dengan perih. Kemudian ia bergegas pulang untuk menulis selarik kalimat sunyi berbunyi: “bertumpu pada penaku yang paling pribadi, aku bergerak perlahan, memasuki sebuah jembatan,yang kubayangkan tanpa mesin perasaan”.

Puisi lirik, karena itu, sebuah pergulatan dalam wilayah perasaan. Juga kepekaan pada situasi yang khusus. Sering kali tampil dengan suasana hati tanpa banyak cingcong. Maka, membaca puisi lirik ibarat melintasi jembatan perjalanan menuju tepi-tepi terakhir; tepi sebagai kegelisahan yang masih bersifat dicari-cari. Sebuah proses tak selesai. Atau sebuah tepi dari dunia hampa yang hanya bisa dilukiskan dengan kata-kata yang minus suara, bahkan sering tanpa gema.

Sajak lirik ibarat sultan terakhir dari keraguan Hamlet. Si sultan yang kemudian hari memilih hidup sebagai pendurhaka, dan menulis secarik puisi yang saya baca pertama kali saat negeri kita sedang huru-hara: “izinkan aku bicara padamu, dengan kebisuan sebungkah batu”.

Begitulah yang dibayangkan ufuk dari pagi kemarin yang berpijar kembali dalam gema puitis di kejauhan. Makin lama kata-kata tampak bersayap kupu-kupu yang hanya bisa di cuaca. Kalimat-kalimat yang lembayung, yang bermain dalam dua aras tematis: gelap dan gumun.

Tatkala terbit puisi lirik Gema Secuil Batu, ufuk yang gelap dan gumun itu kian membungakan perasaan aku pembaca yang haus akan sesuatu yang puitis. Himpunan puisi ini menghadirkan suasana hati dengan nada dasar yang mendendangkan keparauan, juga kerisauan, juga ketidakpastian. Debar serta gemetar berseling kelakar, disertai debam lengang, seperti menyembul dari pengalaman katan—atau luka yang belum sampai histeria. Kata-kata seperti memiliki ekor yang bisa dipegang, bersosok dan berbentuk—bagaikan sebuah adegan-gerak-diam. Belum lagi dari segi ritme dan komposisi, warna yang ungu, seni rupa kurva, dan musik lirih. Ya, “penyair lirik adalah yang paling lama membaur dengan musisi, aktor dengan penari”, ucap Zarahustra dalam karya Nietzsche.

Puisi lirik mungkin seperti yang dimaui si pengarang Gema Secuil Batu: memberi kita semacam “dendang yang sebentar dan gelisah”. Gema Secuil Batu adalah pengalaman membaca karakter sensitif yang hidup dalam resah dan gelisah. Sangat klise memang. Namun pada yang klise rangkap banyak sekali pun, sering kita measakan gairah ritme dan komposisi yang menakjubkan. Aku lirik tak jarang justru mampu meyakinkan kita untuk ikut menghayati kembali sesuatu yang remeh dan sederhana: daun yang digoyang angin, gerimis, perdu, sulur, pohon, daun, sayap kupu-kupu, hujan, batu, parit dan sungai yang mengalir dari hulu ke hilir mengikis tebing, biru laut yang lirik yang membentangkan layar yang bebas, ganggang, umang-umang, bunga karang, remah kerang, dan entah.

Iswadi menghadirkan khayal yang jauh, yang nyaris melumat dan mengikis-habis individunya sendiri. Seorang yang luka, atau menulis tentang pengalaman akan luka yang membentuk delta sungai mutiara dari endapan lumpur yang bertahun terabaikan. Amis darah yang meresap masuk bersama kenyataan bahwa: aku lirik tak pernah puas dengan hanya menulis yang diketahui. Sebab dunianya adalah yang sembunyi. Bahkan apa yang tak terpahamkan justru sesuatu yang memuaskan. Karena itu, jangan berharap sajak-sajaknya seperti novel yang bertanggungjawab, karena puisi lirik sifatnya “hanya sebuah kemungkinan dari kenyataan yang belum seluruhnya terjadi”, tulis Iswadi.

Pribadi sunyi Iswadi terasa hendak membaurkan lirik dengan tradisi epik yang tidak dipenting-pentingkan. Sebab puisi pada dasarnya cuma gema secuil batu, atau bunyi yang lain dari lirik Sitor dan Goenawan yang posesif. Di dalamnya kita disuguhkan sebuah keterpesonaan dan terhubungnya dunia pengalaman penyair dan pengalaman pembaca.

Beberapa sajak memunculkan suasana hening namun belum terbening. Saya katakan belum terbening karena Iswadi banyak menampilkan kata-kata sebagai elemen kediam-dirian. Beberapa sajaknya bahkan memiliki relasi estetik dengan Octavio Paz, khususnya tentang tradisi menulis dalam diam sebagai elemen-elemen bawah-sadar dari kebisuan, atau elemen-elemen yang tak terpikirkan; seperti memikirkan diri sendiri. Iswadi mungkin suka jika aku memaknai kembali kata-kata Octavio Paz: “kau berasal dari sunyi, Idan kepada sunyi kau kembali”.

Sajak-sajak Iswadi terasa menyamun asap dan kabut bahasa dengan kekayaan luka, atau kata yang menjelma semacam doa-diam yang meragukan realitas hampir tanpa batas dalam melakukan monolog batin. Sebuah akal kelajuan lain yang membentang suram di ufuk dini hari, kadang dengan permainan tegangan, sulawan, dan gejolak yang menembus-tembus dinding keharusan. Karena itu, tak mudah bagi saya menangkap gema dari sajak yang berayun antara lirik dan epik, sonata dan balada, fuga dan drama.

Memang, dari sekian elemen itu, betapa diam ingin jadi maqam menuju pendakian ke puncak pohon lotus terjauh. Dan seorang aktor ternama yang disukai Iswadi pernah mengatakan: “Jika aku berkesempatan untuk mengadakan hubungan batin dengan perasaanku sendiri dalam keadaan hening, maka aku akan menikmatinya”. Kata-kata ini saya petik dari Stanislavski dalam Persiapan Seorang Aktor terjemahan sangat baik oleh Asrul Sani, terutama ketika menyinggung sifat silent soliloquy.

Tentu saja percakapan dengan diri sendiri lebih mudah dilakukan dalam puisi, ketimbang di atas panggung. Tapi monolog batin inilah yang juga sedang dicari bentuknya dalam tiap kali pementasan Teater Satu yang naskahnya ditulis dan pertunjukannya disutradarai Iswadi sendiri. Bahkan dalam lomba teater monolog beberapa bulan lalu di Lampung, Iswadi Pratama dan Ari Pahala mengeluh dengan sulitnya mencari teater monolog yang memenuhi kriteria.

Iswadi cukup intim dalam mengungkai semesta batin di tengah cuaca yang bergayut mendung, suram. Tak Aku lirik seakan sedang berpegangan pada sebatang jerami kering, atau pada apa yang oleh Ivan illich dan Goenawan Mohamad dinamakan: bergayut pada “seutas tali kebisuan”. Atau komunukasi dalam diam, dan menulis pun tampak “dalam diam”. Kediam-dirian inilah yang tak disangka-sangka akan melahirkan “sebuah kefasihan dari diam”—the eloquency of silence—kata Illich.

Monolog batin, kembali ke rumah sunyi, kefasihan dari diam, adalah kembali ke kewajaran, ketakbiasaan, yang disebabkan oleh pembesaran kata tunggal aku yang selama ini terdengar bertalu-talu. Kekuasaan aku lirik adalah gerak terakhir dari kebimbangan penyair. Sajak-sajaknya memunculkan bayang-bayang dari elegi Rilke, balada Garcia Lorca hingga simponi Bethoven, pencinta yang muram, penurunan dalam gravitasi Einstein sampai yang terendah, pendakian ke puncak menara keterasingan, berbaur-maur bersama gerak-komposisi puisi Sitor dan Goenawan.

Tidak harus dibaca sebagai pengaruh-mempengaruhi, sebab sudah lumrah jika ada kemiripan dan kedekatan antara satu sajak dan sajak lain dari penyair berbeda walau tak pernah jumpa dan saling terpaut. Tanpa harus mengamini semangat pasca-modernis tentang alusi, parodi, komidi, rekonstruksi, apropriasi, transformasi, intertektualitas.

Dan marilah kita beralih ke sesuatu yang lain, yang mungkin masih tersembunyi oleh hutan rimbun imaji. Apa yang Iswadi cari dengan puisi, tampaknya bukan sesuatu yang khas negeri ini. Iswadi mencari bukan ke-Lampung-an! Bahkan si penyair menulis elegi bukan zaman ini, menghadirkan puisi ironi dan parodi pada kelampauan yang jauh sekali. Agak aneh bahwa logat puisi Iswadi justru kental dengan Jawa ketimbang Lampung. Sajaknya “telah lama” sekali (mencuri judul puisi Sitor) bermain dalam wilayah lawa, antara ada dan tiada, atau expatriate kata Goenawan.

Iswadi masih menulis buah khuldi, sesuatu yang fitri dalam hidup ini, barangkali, yang sedang ia susuri di pantai-pantai pengharapan tempat balada-balada orang tercintanya Garcia Lorsa sampai Rendra dinyanyikan, atau pertempuran dan salju penghabisan di Paris-nya Sitor berlangsung. Sesekali muncul kilatan kata-kata sunyi yang mendekati gairah dengan ritme dan komposisi sajak Pastoral Goenawan yang melukiskan “arus yang menyisir batu, batu yang menahanmu” dengan komposisi musik untuk dua soprano dan kuartet gesek. Barangkali itulah gema yang sebentar, atau pendar di kejauhan untuk kemudian lenyap, dan diam adalah suatu maqam menuju Tuhan. Dan barangsiapa mengikuti pendirian kepenyairan Iswadi, akan tahu bahwa para sufi adalah bisu. Diam adalah cara kekasih Tuhan, karena Tuhan menyukai diam. Diam adalah gaya hidup para pujangga dan kebiasaan orang-orang tercinta. Diam adalah bagian intim dari hikmah kebijaksanaan. Dan diam adalah menggemaskan. Dan diam adalah: ”tersapih paling jauh dari komunikasi orang-ke-orang”.

Apa yang gemas, juga ganjil, dalam sajak-sajak gebalau nonsens Iswadi adalah watak pelarian dari “hidup yang jadi komoditas” (mencuri frase Goenawan) dan sering bikin gemas. Sebab si aku lirik ternyata masih juga merasa tidak menghiraukan sehelai regas daun kambas, harum pepohonan, butir embun, burung gereja. Untung saja Iswadi tak senekat Goenawan walau nyaris jadi kembar siamnya. Goenawan yang menulis ratusan puisi lirik dengan pelarian dan kediam-dirian yang sunyi, masih menganggap yang remeh-temeh sebagai “sederet rahmat”. Bahkan semua yang remeh dan sepele menurut kebanyakan orang, justru memberi getar pada hidup Goenawan tanpa banyak cingcong.

Iswadi seperti Goenawan yang tak henti-hentinya merasa bersalah dan meyakinkan kita pentingnya menulis tentang burung dan angin, rumput dan perdu. Iswadi ingin menerima apa saja yang wajar di dekat ambangnya. Karena, seperti kata Goenawan, “selama ini kita lupa dan tak pernah terkesima akan hal yang sesungguhnya dahsyat tapi tersisih; warna bulu burung yang menakjubkan itu, sepasang mati yang seperti merjan jernih itu, sayap-sayap yang serba-sanggup itu. Ternyata selama ini saya tak punya waktu buat tetek-bengek itu…saya hanya menyimak dan memakai hal-hal besar agar dunia jadi lebih adil di masa depan. Ada yang salah agaknya.”

Person dan Aktor Hamidah dalam Teater

Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang


Saya tidak sedang berpretensi sebagai pengamat teater, ketika akhir-akhir ini melihat ramainya fenomen teater yang disibukan dengan dialog yang berlarat-larat sehingga tidak mempunyai ruang untuk menggarap detail di tingkat tubuh aktor. Demikian pula ihwal monolog batin, yang kini tampaknya ditempatkan sebagai locus theatricus, dan nyaris dianggap sebagai model terdepan plus terbaik.
Hal itulah yang saya rasakan tatkala Iswadi Pratama berusaha mencari buku penyelamat aktor. Mungkin karena aktor benar-benar sedang berada di ambang kematian, dan hanya sedikit aktor seperti Hamidah. Pencarian dan pengembaraan yang dilakukan Iswadi ternyata tidak sia-sia, sebab setelah sosok Hamidah disebut oleh Tempo (15 Desember 2008) sebagai seorang diri yang sanggup menghadirkan dunia batin seorang perempuan yang terluka, dan dinobatkan majalah yang sama sebagai satu di antara aktor teater terbaik 2008, Iswadi juga menemukan dua kitab suci pegangan para aktor yang ditulis "nabi teater“ Stanilavsky lewat versi terjemahan Persiapan Menjadi Aktor (Asrul Sani) dan Membangun Tokoh (B Verry Handayani, Dina Octaviani, dan Tri Wahyuni).
Sang inovator, aktor, sutradara, dan kritikus teater Rusia itu punya sejumlah kesamaan dengan sutradara-penulis naskah Nostalgia Sebuah Kota, Kenangan tentang Tanjungkarang yang dipentaskan kali pertama pada 2003 di Jakarta, yang menyabet empat penghargaan sekaligus: Naskah Terbaik, Sutradara Terbaik, Grup Terbaik, dan Kelompok Artis Terbaik.
Selera Iswadi dan Stanilavsky sungguh berdekatan. Stanilavsky begitu menghargai penonton, sampai-sampai pernah bilang: apa arti sebuah pertunjukan teater sekalipun naskahnya ditulis oleh sutradara yang handal, aktor terbaik, hiasan panggung yang berseni, jika tanpa kehadiran penonton. Iswadi pernah bilang: banyak penonton teater mengalami skizofrenia lantaran banyak teater gelap dan tak mau berbagi pada penonton. Tapi apakah teater monolog yang diproduksinya selama ini mudah dipahami penonton?
Jika Stanilavsky pernah memuji silent soliloquy dan monolog-batin bisa dilakukan di atas panggung, bahkan menjadi sebuah pilihan yang menantang, Iswadi adalah sang sutradara yang fanatik pada teater monolog. Bersama Ari Pahala, Iswadi Pratama berkali-kali mengadakan lomba teater monolog dan bertindak sebagai juri. Namun menciptakan teater monolog bukan hal mudah, sekali pun sutradara sekelas Iswadi.
Ada yang mesti juga dicatat, lakon monolog garapan Iswadi tak semuanya berhasil dibandingkan dengan karyanya yang menyuguhkan dialog yang intim. Sambutan pemirsa teater yang menggelegak di berbagai kota atas lakon Nostalgia Sebuah Kota, Kenangan tentang Tanjungkarang, bukan melulu karena teater ini jadi penyelamat aktor. Justru karena gaya hibrid yang kuat, persenyawaan antar berbagai seni pertunjukan, pertemuan antara balet dan serimpi, gerak dinamis, dialog-dialog yang puitis, dan nyaris jadi teater epik.
Dari sini kita tahu bahwa aktor bukan segalanya. Aktor yang baik tidak melulu yang pasih berdialog, melainkan mampu menghubungkan momen batinnya dalam keadaan intim dan hening. Inilah yang dilakoni Iswadi, yang hampir sepenuhnya meyakini definisi aktor teater dari Goenawan Mohammad, di mana keterampilan seorang aktor merupakan hal yang paling signifikan. Keterampilan dalam memahami, menghayati, dan memainkan peran serta menghidupkan pertunjukkan, untuk menjadikan pertunjukan tersebut menjadi suatu realitas tersendiri yaitu realitas pertunjukan teater, di mata Goenawan adalah hal paling mendasar. Terlebih lagi dalam teater monolog yang memang menempatkan aktor sebagai orbit.
Tengoklah pernyataan Goenawan dalam Catatan Pinggir Lakon dan Lelucon, betapa dekat dengan semangat esai Buku 'Penyelamat Aktor: "persoalan yang dihadapi oleh seorang sutradara dewasa ini“, kata Goenawan, adalah "ketika metode akting Stanilavsky tampaknya tidak pernah diikhtiarkan lagi dan ketika karya-karya yang sering dipanggungkan di Indonesia sekitar tahun 1950-1960-an (Chekhov, Ibsen, Strindberg, misalnya, atau beberapa lakon Indonesia oleh Motinggo Boesje dan Nasyah Djamin) tidak pernah muncul kembali. Di pentas di Indonesia sekarang mungkin hanya Studi Teater Bandung yang masih meneruskan apa yang dulu dirintis oleh Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan tentu saja oleh Jim Adilimas. Kita tak pernah lagi menyaksikan Pinangan atau Kebun Cheri, di mana aktor dituntut menampilkan drama batin, karakterisasi, suasana hati (lebih penting ketimbang alur cerita), dengan fokus pada segi tragikomedi dari kejadian-kejadian yang sering banal“.
Buku Persiapan Seorang Aktor meyakinkan kita melalui pengalaman personalnya tentang makna sesungguhnya dari monolog batin: “Jika aku berkesempatan untuk mengadakan hubungan batin dengan perasaanku sendiri dalam keadaan hening“, tulis Stanilavsky, "maka aku akan menikmatinya“.
Ucapan Stanilavsky itu berhubungan erat dengan aktor yang memiliki sifat silent soliloquy. Tentu saja, monolog batin bukan hal yang gampang. Iswadi sendiri jauh lebih berhasil melakukan percakapan dengan diri sendiri dalam puisi, ketimbang di atas panggung. Tapi monolog batin itulah yang juga sedang dicari bentuknya dalam tiap kali pementasan Teater Satu yang naskahnya ditulis dan pertunjukannya disutradarai Iswadi sendiri. Bahkan dalam lomba teater monolog beberapa tahun lalu di Lampung, Iswadi Pratama dan Ari Pahala mengeluh dengan sulitnya mencari teater monolog yang memenuhi selera dan dahaga keduanya.
Iswadi dikenal cukup intim dalam menghadirkan semesta batin di tengah cuaca teater yang tengah bergayut mendung, suram. Tak jarang saya membayangkan Iswadi di atas panggung sedang berpegangan pada sebatang jerami kering, menarah keperihan dan kegelisahan dengan rintih-diam. Dalam hal ini, Iswadi tampak secara harafiah mengikuti petuah Stanilavsky tentang bermain dalam diam. Dalam puisi, Iswadi lebih dekat dengan ucapan Carlos Fuentes: menulis dalam diam.
Setelah sebelumnya digugat, aktor kembali diberi peran dominan, terutama ketika bicara perihal apa yang disebutnya "menubuhkan tokoh". Ada yang rancu dalam kata-katanya, ketidakjelasan memisahkan makna sutradara dan peran, aktor, tokoh serta tokoh utama, dan membuat Iswadi memamah biak begitu saja gagasan teater monolog dan teater tergantung pada aktor Stanilavsky, Goenawan, Yudi A Tajudin.
Iswadi bilang: "bagaimana memberi bentuk fisik peran/karakter yang dimainkan sehingga citraan-citraan lahir maupun batin peran bisa sampai“. Apa arti kalimat ini, Bung? "Bahkan, tidak jarang ada semacam keraguan di kalangan mereka untuk menentukan apakah aspek-aspek batin peran terlebih dahulu yang harus diserap aktor kemudian diberi bentuk fisik; ataukah citraan-citraan fisikal lebih dahulu yang dikejar aktor barulah 'jiwa’ peran diberikan?“ Apa pula ini?
Dengan nada iklan Iswadi meyakinkan pembaca dan calon-calon aktor perihal tiga hal pokok yang wajib dimiliki seorang aktor: Kehidupan intelektual, kehidupan rohani, dan perkembangan keterampilan. Salah satu saja dari ketiga faktor itu terhenti dalam proses keaktorannya, kata Iswadi, maka sebenarnya ia telah "tamat" sebagai aktor (seniman). Yang tersisa kemudian hanyalah seseorang dengan mimpinya sebagai aktor!” Wah, wah, wah, Trinitas amat, Bung Iswadi! Apa memang aktor identik dengan seniman? Apa seniman juga aktor? Saya khawatir, memuja aktor berlebihan bisa menghilangkan peran elemen lain, yang bisa jadi merupakan jaringan tubuh yang tak terpisahkan dalam jagad teater.
Sebagai pelaku teater, Iswadi meletakkan teater hanya melulu aktor, dan kalau aktornya baik maka bisa jadi juru selamat dalam teater. Apakah memang hal itu menjamin? Apa tidak ditentukan oleh beragam soal? Beberapa kali saya dengar kritikus teater menyebut tentang kekuatan sebuah teater justru ada pada person. John Perreault dan Michael Kirby mendedah lakon Oedipus, a New Work dan menemukan daya pukau dan daya sihir sebuah teater pada matrik tokoh dan kisahan yang menampakkan kekuatan person, alih-alih aktor.