Selasa, 08 Desember 2009

Dunia dalam Cerita

Esai-esai Asarpin



Daftar Isi

Pengantar
Realisme Cerita (Pendek) Kita
Cerita yang Bergoyang
Dawai Cinta Isbedy
Mitos dalam Cerpen Kanakar Ucu Agustin
Eksperimentasi Berbahasa dalam Laluba Nukila Amal
Metafor Batu Taufik Ikram Jamil
Metafor Kuburan dan Cerpen Kuntowijoyo
Tubuh Cerpen Dina Oktaviani
BH Emha
Enigmatik dan Mistik: Tentang Novel Bilangan Fu Ayu Utami
Szikofrenia, Kegilaan dan Modernitas: Tentang Prosa Iwan Simatupang





Pengantar


Suatu hari saya ditanya oleh seorang teman yang kebetulan mengaku mengikuti perkembangan cerpen kita. Katanya: apakah yang membedakan cerpen dengan naskah drama? Aku jawab: tidak ada bedanya, dan banyak cerpen itu berupa drama dan drama itu berupa cerpen.

Tentu saja teman saya itu tak puas dengan jawaban itu, maka ia megajukan pertanyaan yang baru: apa perbedaan mencolok antara cerpen yang dimuat di Kompas dengan cerpen yang dimuat di Koran Tempo?

Waktu itu saya menjawab spontan: cerpen di Kompas banyak dialog, sementara di Koran Tempo jarang dialog, atau hanya naratif. Tentu saja jawaban saya tidak lahir sekonyong-konyong, kendati diucapkan dengan spontan. Saya cukup sering mengikuti cerpen yang dimuat di dua harian nasional itu, dan tentu saja saya sering mendengar kritikus sastra mengungkapkan kecenderungan tema dan gaya cerpen yang dimuat di kedua media itu.

Jawaban saya itu tidak mesti dianggap kesimpulan. Dan tentu bukan soal itu yang saya bicarakan dalam esai-esai tentang cerpen dan prosa dalam buku ini. Sebab, seperti sudah banyak diketahui, cerpen yang banyak menampilkan dialog dengan yang monolog atau naratif sama-sama punya peluang sebagai cerpen yang baik atau jelek. Nilai sebuah cerpen tidak diukur dengan itu.

Ada seorang bijak di bidang penulisan cerpen, pernah bersaran: sekarang ini dirasakan perlu adanya porsi yang seimbang antara cerpen dialog dengan cerpen tanpa dialog. Banyak dialog tentu saja bisa menjadi cerpen yang cengeng dan terasa ringan, dan minus dialog menjadi serius dan lambat.

Himbauan itu agaknya sudah banyak dipraktekkan para penulis cerpen. Cerpen-cerpen Seno menampilkan dialog dan naratif yang cukup seimbang. Ada kalanya ia melonggarkan dialog tapi ada pula yang mengetatkan dialog. Kedua-duanya cukup diperhitung, kendati tak cukup membuat cerpen-cerpennya bagus. Seno kadang memberontak terhadap azaz penulisan cerpen sehingga cerpen-cerpennya terasa bebas. Sementara cerpen-cerpen Isbedy terasa ringan dan enteng karena begitu banyak dialog yang fungsinya kurang diketatkan.

Dulu saya suka membaca cerpen Dyah Indra Merta. Tapi sekarang tampak bahwa cerpen-cerpennya hanya gebalau yang nonsens. Kejutan-kejutan yang ditampilkan memang cukup galak, tapi akhirnya terasa bagai tali simpul yang longgar sehingga plotnya terasa tak bergerak.

Ada anggapan bahwa cerpen-cerpen yang dimuat di Koran Tempo lebih banyak yang bagus dibandingkan dengan yang dimuat di Kompas. Apakah ini bukan sebuah penilaian tentang baik dan buruk dalam konteks cerpen dialog dengan cerpen naratif?

Saya serahkan pembaca menilainya. Bukan tugas saya di sini menyampaikan ihwal yang itu. Lalu bagaima cerpen-cerpen di Lampung Post? Izinkan saya menyampaikan sedikit pengalaman membaca cerpen di harian ini. Tentu saja banyak cerpen yang justru menampilkan dialog karena ada anggapan bahwa cerpen tanpa dialog bukan cerpen. Tapi beberapa kali pula harian ini menurunkan cerpen tanpa dialog dan bagus.

Seandainya cerpen naratif itu gayanya dapat saya temukan dalam kolom-kolom pendek yang ditulis wartawan Lampung Post, niscaya membaca kolom-kolom itu tidak membosankan. Tapi sayang, hanya kolom Djajad Sudrajat di hari Minggu yang esainya selalu rampung saya baca. Yang lain meletihkan karena dialog yang ditampilkan menjadi seperti kuda beban yang sayangnya tidak serba-bisa.

Edgar Allan Poe adalah cerpenis yang sangat bakhil dengan dialog. Cerpen-cerpennya jarang sekali ada dialognya. Mungkin ia tak percaya dengan dialog sebagai kunci yang membuat tokoh cerita jadi hidup, konflik bisa terbuka dan emosi bisa bangkit.

Senadainya gaya Allan Poe ini diterapkan dalam esai, saya membayangkan esai naratif ternyata juga cerpen naratif. Prosa naratif—baik berupa esai maupun cerpen—adalah prosa tertua yang di mulut nenek moyang kita berwujud penuturan-penuturan atau dongeng-dongeng sebelum tidur.

Salah satu penulis cerpen yang cukup berhasil membangkitkan semesta emosi dan konflik dengan alur cerita bergerak-maju adalah Umar Kayam. Cerpen-cerpennya yang ditulis saat di Amerika syarat dengan dialog yang hidup dan termasuk cerpen yang kuat. Dialog di tangan Kayam menjadi pisau semata-mata karena kemampuannya menjalankan aneka tugas dan kepentingan.

Akhirnya, selamat membaca.






Realisme Cerita (Pendek) Kita


Gairah penulisan cerita pendek dalam dua puluh tahun terakhir benar-benar menggelegak. Tak terhitung jumlah cerpen yang dipublikasi setiap minggu dari ratusan penulis cerpen yang ada di negeri ini. Hampir rata-rata buku kumpulan cerita pendek yang diterbitkan, menampilkan cerita pendek yang pernah dimuat di koran. Mereka tidak lagi mempersoalkan ruang pendek yang disediakan oleh sebuah koran, tetapi justru karena kependekan itu menjadi semacam taruhan bagi para cerpenis untuk terus melakukan eksperimen bentuk dan isi.

Bayangkan seandainya koran-koran tidak menyediakan rubrik cerpen. Kita tak tahu bagaimana menyalurkan gairah penulisan cerita pendek dari ratusan pengarang kita, sebab majalah satu per satu tiarap. Hanya ada Horison dan Matra yang masih setia menghadirkan cerpen.

Sebagian besar cerpen yang bagus juga dimuat di koran. Beberapa cerpen Zen Hae, A.S. Laksana, Nukila, Gunawan Maryanto, Hudan Hidayat, Raudal Tanjung Banua, Azhari, dan banyak lagi, pantas disebut sebagai cerita pendek yang sering bermain dalam wilayah cerita realis dan non-realis. Imaji bahasa yang mereka bangun, dan diksi penuh bunyi, sekan mengalunkan rima bunyi yang memukau. Puncaknya adalah buku cerpen Laluba Nukila yang sungguh-sungguh menumpahkan kekuatan permainan bahasa.

Mereka tak lagi malu-malu menerima gunjingan tentang kentalnya realisme dalam karya-karya mereka. Bahkan mereka juga tak ambil pusing apakah karya mereka akan dianggap main-main atau melulu membawa pesan moral eksplisit.

Koran, tempat lahirnya banyak cerita pendek di negeri ini, tampaknya tak ragu-ragu memuat cerita pendek dengan narasi yang memang pendek. Jika awalnya banyak menuai kritik, lantaran berbaur dengan realisme berita koran yang cepat dan jelas--seperti kritikan yang muncul dengan sebutan ‘sastra koran’ yang sinis beberapa tahun terakhir. Cerpen koran bagaimana pun telah menyita energi sebagian pemerhati sastra di tanah air. Ia sering dihakimi sebagai cerita yang melulu tunduk pada realisme berita. Dengan wataknya yang ringkas lagi pendek, cerita pendek yang dimuat di koran sering diadili sebagai cerita dengan bahasa yang sempoyongan. Jika tidak, maka cerita semacam itu dianggap sebagai cerita sekali jadi, berhenti pada cerita yang dianggap belum selesai. Cerita pendek di koran-koran memang tidak memberi ruang untuk mengembangkan cerita lebih jauh.

Para pemerhati sastra kita melulu disibukkan oleh hal-hal yang tidak mencerahkan. Sasaran cemoohan bukan lagi pada substansi dengan gaya dan bentuk cerita--seperti perdebatan tempo dulu—tapi pada media tempat cerita itu dimuat. Para kritikus sepuh yang dulu beramai-ramai mempersoalkan bentuk dan gaya, kini tengah mengidap insomnia yang parah. Para kritikus sastra yang lebih muda sering terjebak pengulangan, diksi yang itu-itu juga. Maka jadilah koran sebagai sasaran kegelisahan dan sering dipersoalkan. Maka tak heran jika kritik sastra kita jauh tertinggal dibanding kritik sastra Eropa. Di Eropa, sastrawan sekaliber Umberto Eco tanpa malu-malu menuangkan karyanya di koran-koran dan tak pernah kehilangan kualitas literernya. Maka lahirlah buku Travels in Hyper-Reality dan Misreading yang menghebohkan sastrawan dan intelektual. “Dalam setiap tulisan dimana terjadi pergolakan emosi yang disulut oleh peristiwa tertentu, demikian Eco, Anda menulis refleksi, berharap adanya seorang yang akan membacanya dan kemudian melupakannya. Saya tak percaya adanya perbedaan antara menulis di buku, dijurnal yang ketat, dengan menulis di koran”.

Lihatlah cerita pendek ‘semiesai’ Jorge Luis Borges—yang kebetulan memang narasinya pendek-pendek—meski mungkin tidak dimuat di koran-koran. Labirin cerita pendek Borges menawarkan sekian dimensi cerita, yang tidak sekedar berumit-rumit ria dan gagah-gagahan, seperti kebanyakan para cerpenis kita. Gaya (style) yang dibangun, dengan membaurkan kisah-kisah mistis penuh simbolik, memadukan gaya surealisme dengan realisme, cerita-cerita Borges justru menyajikan keindahan sekaligus kenikmatan.

Ini yang kemudian mengilhami Hasif Amini untuk merumuskan apa yang kemudian disebutnya sebagai fiksi mikro. Sebuah fiksi yang berupa ‘narasi pendek, yang hanya terdiri dari beberapa kata dan dipadatkan secara maksimal dan indah bagai sebuah teorema, bisa dinikmati dalam satu sesap kopi, dalam rentangan waktu habisnya sekeping koin di telepon umum, dalam rentang waktu yang tersedia pada sehelai kartu pos. Saat memulai adalah sekaligus saat mengakhiri, ketika ia hendak mengembang, saat itu juga ia mesti menguncup, saat hendak mengurai, sekaligus ia mesti memadat” (Prosa No.1/2002: 61-62). Kemudian, dalam menuju pencapaian literernya, ada tiga sihir yang biasa berlaku dalam fiksi mikro.

Pertama, sudut-pandang (provokatif). Fiksi mikro tidak bisa lain kecuali menawarkan perspektif yang segar, yang cerdas, yang gila, yang tak terduga. Ibarat berpapasan dengan orang asing yang tiba-tiba mengatakan sesuatu yang tak disangka-sangka. Masing-masing bisa asyik, dahsyat, tak terlupakan; atau take it or leave it! Kedua, imaji, yakni pemilihan dan pemadatan imaji merupakan taruhan dengan memori dan asosiasi: imaji yang kuat akan bertahan dalam ingatan dan merangsang lompatan imajinasi pembaca, seperti dalam haiuku atau koan Zen, di sana mesti ada kejernihan dan sekaligus teka-teki. Fiksi mikro tak punya banyak waktu untuk memerikan atau memaparkan, ia hanya bisa menyaran, atau menandaskan, atau memohok, hit and run. Ketiga, kata demi kata. Dalam fiksi mikro, ekonomi penulisan demikian mengemuka dan tak tertawar: setiap patah kata menjadi amat berharga dalam menyiapkan bangkitnya sebentuk narasi yang—betapapun sederhananya—kompak dan bernas, dimana prosa satu dengan puisi (Ibid., h. 62).

Satu hal yang membuat fiksi mikro tetap mendapat tempat dan sering, bahkan terlalu sering dirujuk orang, terletak pada kisahnya yang tidak sekedar bermain dengan bahasa dan estetika yang puitis, tapi tetap menyampaikan pesan yang kuat yang gaungnya sekian lama tetap terasa. Dalam prosa “Nukila Amal”, meski harus diakui, imaji dan estetika yang dibangun dalam cerita Cala Ibi begitu indah dan menyentak-nyentak, dan sangat jarang kita dapatkan dalam karya-sastra sebelumnya. Dan kita terperanjat ketika dia bilang: “realisme menyesaki yang nyata, penuh dengan kata-kata nyata, dengan bahasa yang menuding-nuding hidung realita, yang mestinya tak kasat mata tak terkira”. Tapi, ketika substansi dicampakkan, cerpenis kawakan seperti Sapardi Djoko Damono akan gelagapan kalau ditanya apa makna di dalamnya.

Zen Hae bermain di wilayah cerita yang surealis dan realis, dengan mengambil sejumlah mitos Betawi sebagai latar cerita. Cerpen-cerpen realis Zen Hae sangat dekat dengan anjuran Nukila Amal: “sebaik-baik penceritaan realitas ialah dengan alegori dan metafora’, atau dalam istilahnya Zen sendiri; dengan perlambang atau simbolisme.

Dalam cerpen “Taman Pemulung”, cerita mengalir bagai serpihan-serpihan puisi liris dengan gaya surealis yang kental. Cerpen “Rumah Jagal” misalnya, ceritanya mengalir layiknya sebuah esai—sebuah surat upaya. Damanhuri suatu ketika pernah mengajukan sebuah pertanyaan yang agak menyentak: apakah tokoh Mahmuda Tongga dan puisi yang dikutip Zen dalam cerpen ini memang ada dalam realitas faktual atau hanya sekedar kisah imajiner yang “direalitaskan”?

Pertanyaan cerdas itu menunjukkan sikapnya yang penuh ragu: jangan-jangan cerpen semacam itu sama sekali tak ada hubungan dengan realitas faktual—dalam arti benar-benar pernah ada penyair Mahmuda Tongga dan puisi semacam itu. Mahmuda Tongga dan puisi yang dijadikan setting cerita di atas barangkali semacam upaya membuat seolah-olah realitas faktual, padahal hanya sebuah imajinasi si pencerita.

Kemampuan Zen Hae membungkus realitas dalam bentuk metafor yang penuh perlambang, seperti menjelma dalam cerita Kereta Ungu dan Taman Pemulung, adalah kisah-kisah yang menjemput decak kagum para pembaca. Lihatlah kelincahannya mengisahkan orang-orang lajang, tak punya pekerjaan, tak dapat santunan negara akhirnya bergabung dalam gerakan bawah tanah yang menyokong pembangkangan terhadap pemerintah resmi dalam cerpen Kereta Ungu. Tema-tema pemberontakan, separatis, otonomi daerah, krisis ekonomi hingga militer berhamburan dan bersanding dengan tema-tema cinta, seks hingga tarian telanjang. Atau kegelisahan orang-orang kalah di Jakarta, perlakukan diskriminasi oleh negara atas etnis tertentu, sebuah refleksi yang menyentak naluri kita dalam cerpen Taman Pemulung. Sebuah tema yang kelak bisa kita jumpai juga dalam cerpen-cerpen Azhari.

Adapun A.S. Laksana cukup menonjol mengeksplorasi tema realisme dalam cerpen-cerpennya. Kumpulan cerpen Bidadari Yang Mengembara adalah satu contoh lagi dari capaian literer cerpen ‘koran’. Buku ini telah mengantarkan A.S. Laksana (36 tahun) dalam deretan cerpenis yang cukup berpengaruh. Sebuah karya realisme yang kental dengan kisah pergolakan kehidupan sosial-politik Indonesia dengan bahasa dan metafor cukup sederhana, bahkan terkesan datar. Mingguan Majalah Tempo mentahbis A.S. Laksana sebagai ‘tokoh seni terbaik tahun 2004. Untuk mengundang siapa di antara para seniman yang layak diangkat sebagai ‘tokoh’ tahun 2004, Majalah Tempo mengundang Nirwan Dewanto--kritikus sastra yang banyak dibenci oleh para penulis itu—sebagai juri tahbis sastra yang sangat kontroversi. Sebuah esai bertitimangsa “Tiga Penguak Tabir” dalam mingguan ini mengulas seni rupawan Handiwirman Saputra, cerpenis A.S. Laksana dan arsitek Adi Purnomo. Karya ketiganya masuk dalam kategori seni terbaik 2004 versi Majalah Tempo. Esai ini tanpa identitas, tapi melihat diksinya yang khas, dugaan kuat bahwa yang menulis esai ini adalah Nirwan.

Dua belas cerita pendek A.S. Laksana menurut si penulis esai, nampak terancang dengan baik, namun bukan sekedar rancangan untuk membina kesatuan cerita, melainkan untuk meneguhkan watak fiksi sebagai apa yang beririsan dengan fakta (realitas) namun tak pernah menjadi representasi yang sempurna. Karya Laksana menghidupkan kembali seni bercerita sekaligus mengandung sikap kritis terhadap bentuk cerita itu sendiri. Ketika kita merasa puas dengan pengalaman para tokoh, si narator menyadarkan kita bahwa semua itu hanya ingatan atau tuturannya yang boleh jadi keliru. Sebuah penilaian yang sangat berlebihan. Cerpen Laksana agak dekat dengan cerita-cerita Linda Cristanty, yang kebetulan keduanya juga seorang jurnalis. Berkat Kuda Terbang Maria Pinto, Linda dinobatkan sebagai pemenang Khatulistiwa Literer Award tahun 2004 bersama Seno Gumira Ajidarma.

Azhari, cerpenis muda usia ini, layak juga disinggung. Tahun 2004 ia melahirkan satu buku kumpulan cerpen, Perempuan Pala yang memuat 13 cerpen pilihan. Selama hampir dua bulan sejak buku ini diluncurkan, koran-koran berbagai daerah berlomba-lomba menurunkan ulasan atas karya ini. Lagi-lagi, Azhari tidak malu-malu harus mengais kotoran-kotoran ‘realisme’ yang berserakan di negeri Serambi Mekah. Nuansa seni daerah dan hiruk-pikuk kekerasan yang diderita tokoh-tokohnya, melahirkan satire yang getir dan pilu. Cerpen “Kenduri” secara gamblang mengisahkan puluhan orang-orang kalah yang pada akhirnya harus mati. Tokoh cerpen ini nyaris mendekati tokoh cerpen Francis Macomber, sang pemburu singa dalam salah satu kumpulan cerpen Salju Kilimanjaro-nya Ernest Hemingway. Tembakan Macomber dan tokoh dalam cerpen Azhari adalah satu dari apa yang bisa disebut—meminjam ungkapan Gabriel Garcia Marquez—kebodohan-sarat-inspirasi-- yang hanya bisa datang dari para penulis besar.

Kegamangan orang-orang Aceh yang ditinggalkan oleh ayahnya, perempuan-perempuan janda dan lanjut usia, anak-anak, hingga laki-laki yang nyaris ‘tanpa nama’, menjadi seting cerita hampir keseluruhan cerpen ini. Maka ketika Hikmat Gumelar melihat kesulitan Azhari mengakhiri cerpen “Kenduri” hingga membuatnya “terpeleset” dan “gagal’mengolah penembakan di akhir cerita, justru disinilah letak kekuatan cerita pendek, yang sadar dengan kependekannya. Realisme cerita pendek tidak melulu harus dikisahkan dengan detil dan perjuangan sang tokoh tidak harus terus berhasil.

Beberapa cerpenis yang disinggung di atas relatif lebih sedikit dibandingkan banyaknya cerpenis-cerpenis muda yang berbakat beberapa tahun terakhir. Cerpen-cerpen Dyah Indra Mertawirana, Gunawan Maryanto, Raudal Tanjung Banua menunggu untuk diapresiasi. Cerpen-cerpen mereka akan terus menyapa para pembaca lewat rubrik hari Minggu yang disediakan oleh surat kabar. Di tangan mereka kelak, akan lahir cerpen-cerpen realisme bermutu yang mungkin bisa disebut sebagai pengilham fiksi mikro masa kini. Sebuah fiksi yang tak malu-malu memanggap cerita baru sebatas—meinjam ungkapan Hasif Amini lagi-- “bahan mentah”, bahkan “bahan entah”. Dengan karakternya yang demikian, realisme cerita pendek bukanlah kutukan, tapi berkah bagi perkembangan sastra masa depan.




Cerita yang Bergoyang


Siapa saja yang bergelut dengan dunia kepengarangan sudah galib jika memimirkan bahasa. Hampir tak ada pengarang yang tidak berurusan dengan bahasa. Bahkan ada kredo: bahasa adalah senjata, bahasa adalah arsenal yang menjadikan seorang disebut pengarang, bahasa adalah segalanya, bahasa adalah inti semua karya sastra…
Ketika sampai pada anggapan yang demikian, kita boleh saja tidak sepaham, berdebat, dan menyanggah ragam frase yang gagah itu. Dan bukan tak banyak yang sudah memberi kritikan, terutama sejak muncul kredo puisi Sutardji dan pameran puisi konkret. Sutan Takdir Alisjahbana saja yang ahli bahasa, pernah menganjurkan untuk melanggar gramatika.

“Melanggar pagar gramatika sedikit tidaklah mengapa dalam menulis sastra, karena terlampau takut membuat salah itulah maka karya sastra kita menjadi seperti kuda yang telah tua, yang setiap hari berjalan melalui jalan yang satu dan sepanjang zaman tiada berubah-ubah hingga ajal tiba menjemputnya”, tulis STA dalam Perjuangan Tanggung Jawab Dalam Kesusastraan (1977).
Seno Gumira Ajidarma pernah mengajukan pertanyaan yang sudah sering kita kenal dalam kritik sastra: apakah seseorang masih layak disebut pengarang jika masih terus mengulang bentuk-bentuk fiksi yang sudah ada, mengulang wacana, mengulang bahasa, mengulang segala macam penanda dalam bumi manusia?
Seno menjawab dengan tidak mutlak-mutlakan namun sudah bisa diduga ketika ia mengatakan bahwa pengarang yang terus mengarang selalu ingin berada di luar wacana dan melompat ke luar cakrawala bahasa. Apa yang disebut bentuk estetik sastra adalah hal yang tak harus dicapai dengan mengutak-atik bahasa, melainkan menjadi konsekuensi logis dari pergulatan seorang pengarang dengan hidupnya.

Sutardji Calzoum Bachri justru berbeda dengan Seno karena menulis sajak atau cerpen baginya justru memprovokasi kata, menggoyangnya, mengutak-atiknya, dan menuliskan seintens mungkin, semaksimal mungkin, mencari dan menemukan bahasa; yang tak menemukan bahasa takkan pernah disebut penyair atau cerpenis.

Tidak berarti bahwa Seno menganggap eksplorasi bahasa sudah selesai dan bukan pula menjadi tujuan baginya. Seno tidak terlalu peduli apakah prosa yang ditulisnya pantas disebut sastra atau bukan sastra, “bahkan tetap akan saya tulis jika bentuknya ternyata tidak seperti prosa”, kata Seno. Di sini saya teringat pendapat Agus Noor, Dari Cerita (Pendek) ke Prosa di Kompas (8/2/2004) yang di apresiasi Rachmat H Cahyono dalam Penulis dan Bahasa di koran yang sama (22/2/2004) yang masih menempatkan redaktur cerpen dalam mata kecurigaan.

Agus dan Rahmat melontarkan kesalahan pada pengelola ruang cerpen koran yang menurut keduanya “masih bersifat eksoforik (teks-cerita memiliki tautan yang begitu kuat dengan realitas faktual di luar teks)” atau “sulit mengharapkan munculnya karya prosa yang bersifat eksplorasi isi-bentuk atau bersifat eksperimentasi”. Masa begitu? Bukankah yang juga mestinya dipersoalkan adalah cerpenisnya sendiri yang tak pandai bereksprimentasi?

Apakah saya pragmatis? Apakah Seno tidak pragmatis? Jika pendapat Seno di atas jadi acuan, jelas ia bukan pengarang pragmatis yang menulis cerpen berdasarkan selera dan ideologi media. Ia bebas menulis cerpen dalam gaya dan bentuk apa saja, bahkan yang bertentangan dengan kecenderungan selera sebuah koran sekali pun, cerpennya masih banyak dimuat juga. Tapi bila kita amat-amati kebanyakan cerpen Seno, ia tak juga sepenuhnya bebas dari kepraktisan.

Tidak pragmatis atau pragmatis, keduanya mengandung masalah. Bila dikatakan tidak pragmatis, maka di sini kita perlu melihat ulang anggapan orang bahwa koran ini kecenderungannya dengan tema, gaya, dan selera seperti itu, media itu seperti ini. Bila pragmatis, dalam arti beberapa cerpen Seno yang dimuat di Koran Tempo dan Kompas memang seperti selera redaktur cerpen Koran Tempo dan Kompas, maka siapa yang layak dipercaya? Dalam hal Seno, dialah yang saya percaya. Dalam hal Tardji, dialah yang saya ikuti. Saya tak punya alasan untuk mengatakan bahwa redaktur koran pantas disalahkan, bahkan pengaranglah yang layak dipertanyakan.

Apakah saya pragmatis? Ya, maka saya pun melanjutkan; tak jarang juga redaktur koran memasang selera yang memang menutup kemungkinan-kemungkinan melahirkan variasi tema, bentuk, gaya dan isi. Lalu kalau sudah seperti ini bagaimana posisi bahasa dalam sastra?

Cerita, Bahasa, Irama


Sepanjang sejarah cerpen Indonesia, saya menemukan ada dua cerpen dengan vibrasi yang menampilkan metafora terindah dengan bahasa berirama; cerpen Gerbera dan Hujan. Hasif Amini menyebut cerpen Hujan sebagai “cerpen liris tercantik yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia hingga hari ini”. Saya melihat cerpen Gerbera yang hadir ke publik jauh lebih tua usianya dari cerpen Hujan, tapi masih muda bahasanya. Jika dua cerpen ini digabung dalam satu cerita, alangkah indah permainan bahasa Indonesia yang kita punya. Baca dua fragmen cerita menawan berikut ini:

Gerbera

Aku terlentang di geladak kapal menuju ke utara hanya dengan kenangan bunga gerbera merah, melambai, merah seperti senja, merah seperti bibirnya, sungguh saya memperhatikannya dengan seksama bagaimana kota di kala pagi, siang, siang lagi, senja, senja lagi. Malam dan malam lagi; semua serupa kenangan gerbera merah. Merah. Merah seperti darah mengucur dan meluncuri mata dengan kereta-api timur, mengkilap di gelas whisky, di kali senja-merah. Gerbera. Merah. Dia. Hijau matanya yang mengiris malam, aku berdiri dan mendekapnya, terasa bagi bulu ayam yang dapat ditating dengan dua jari dan dia pun menoleh, terus menghadap laut namun matanya terasa menyusup dalam mataku, dalam kepalaku dan menembus ke belakang ke kejauhan pegunungan di tengah pulau…Tiba-tiba terdengar guruh dari jauh dan pagi memerah, di timur fajar memerah. Memerah gerbera. Gerbera. Masihkah bunga mekar di lereng-lereng gunung? Besok aku harus terbang ke barat, karena kau bungkam aku merasa sebagai pengemis, terima kasih!...

Hujan

Butir-butir air lebat bersama angin menyibakkan dedaunan di lebuh rumah, dan pada dedaunan itu hujan menjadi dedaunan hujan. Deras hujan meniti-niti pagar dan pada pagar itu menjadi pagar hujan…Lihatlah, hujan meloncat-loncat dari ranting ke ranting dan menjadi ranting hujan. Hujan pun berkisar dan mengusap-usap mawar, dan pada mawar itu menjadi mawar hujan. Lantas, pada buah jambu hujan menggelembung dan menjadi buah hujan…Ayesha ingin memetik buah hujan tanpa meninggalkan jambu. Ingin meraih mawar hujan tanpa mengganggu mawar kudan…menjadi pawang hujan…

Kedua cerpen itu bukan ditulis oleh orang yang selama ini dikenal sebagai cerpenis dan rajin nulis cerita, tapi justru ditulis oleh penyair papan atas yang tabiatnya suka main-main dan menempatkan cerita tampaknya cuma pelengkap kreativitas, tapi kualitasnya nyaris tak tertandingi oleh cerpenis Indonesia yang lain.

Dua cerita itu terasa menyegarkan. Bahasanya tampak liris dan bening. Di sana muncul bahasa yang bersahaja, berima, berdiksi dan bernyanyi. Di sana terkuak nuansa spontan hingga membuat kita terbetot oleh alunan detonasi dan desir kata-kata yang seakan meloncat-loncatkan ludah harapan di pucuk klorofil daun damar kaca. Kersik kata-kata seakan bercerita ria tanpa beban makna, bening dan hening seperti peri kegirangan. Terasa debar tipis di dada saat membaca vibrasi yang hanya memberi perhentian sejenak untuk kemudian berjalan mengalir menuju tak terhingga.

Saya kerap kali tergoda membandingkan dua cerpen ini, tapi bukan untuk perbandingan nilai dan ilustratif, yang selama ini banyak dilakukan dalam studi perbandingan sastra dan agama. Jauh lebih mengasyikkan jika dua cerpen ini dilekatkan dalam satu laboratorium tempat melakukan penelitian secara seksama tentang batas kemampuan manusia mendayakan kekuatan kata dalam cerita yang pendek.

Dua cerpen ini pantas disebut “cerita isotopi” dengan semangat kasih sayang yang menyuguhkan teknik penulisan cerita yang piawai dengan kata-kata yang isotopinya sendiri nyaris tandas. Siapa saja yang melek cerita pendek, tidaklah berlebihan jika menempatkan kedua cerpen ini dalam cenayang puitik yang sangat unik dan bisa bikin iri hati dengan segurat tanya mengemuka: mengapa saya yang penyair tak bisa menulis cerpen seperti Sitor Situmorang menulis Gerbera (Siasat, 1950)—diterbitkan kembali dalam kumpulan cerpen Kisah Surat Dari Legian (2003)—dan Sutardji Calzoum Bachri menulis Hujan (Kompas, 1990)—diterbitkan kembali dalam Hujan Menulis Ayam (2001—yang begitu menyentak kesadaran imaji diam?

Metafora kembang gerbera seakan ikut memerah di telinga kita, menyilaukan mata tatkala fajar menyingsing pada rutin pagi setiap membaca cerpen tiap Minggu, dan senja menekan warna mawar dalam lawa petang, atau malam yang datang menjulurkan lidah estetik di puncak ngarai, melantunkan tembang kehidupan bersama tetesan hujan pelan dan bening bagaikan embun terpacak di kaca jendela yang lenyap seketika oleh serbuan berahi puitik dari gebalau yang nonsens dengan kesadaran diksi yang sulit dilampaui.

Denting suara penari yang meliuk-liuk seperti ranting bergoyang di dahan atau seperti menonton penyair yang menari dan bercerita dengan ringannya, berbaur seketika dengan alunan regium Mozart yang menyihir penyair. Kehadiran kembang gerbera dalam belantika cerpen Indonesia seakan menampilkan cerita sembilan warna sembilan petak, tetesan bening dalam cerpen Hujan di batu pualam membangunkan kelopak gerbera perlahan-lahan hingga menyentuh telinga “tuan pembaca”, kata Sitor.

Dari dua puluh tiga cerpen Sitor yang pernah saya baca, setidaknya ada empat cerpen yang kuat dan memikat: Salju Di Paris, Fontenay Aux Roses, Gerbera, Akbar. Fuad Hassan benar ketika menyebut Sitor sebagai penulis produktif yang senantiasa mengajak kita berusaha mampu memahami dunia manusia yang membuka kemungkinan untuk berbagai pilihan. ”Dipengaruhi filsafat eksistensialis Prancis”, cerpen-cerpen Sitor sama dengan cerpen-cerpen Sutardji: berat, berfilsafat, sebagaimana Sartre dan Camus.

Saya baru percaya bahwa penyair yang sungguh-sungguh bergulat dengan hakikat manusia dan kemanusian seperti Sitor memiliki simpanan tenaga kata yang bisa meledakkan tabung bahasa dari dalam dan luar yang berlangsung dalam cerita. Dalam ketangkasan bercerita dan menggoyang-goyang kata sampai mengeluarkan gema, Sitor dan Tardji tak lagi terpaku pada satu rumusan gaya dan tema yang ditetapkan ideologi media. Siapa bilang licentiae poetica atau hak menggunakan bahasa secara bebas menari atau bahkan melanggar batas terlarang untuk kepentingan estetik dan kenikmatan puitik hanya berlaku pada puisi saja dan oleh karena itu dianggap sebagai sikap fotosentristis saja lagi?

Masih dua lagi cerita pendek yang juga ditulis oleh kedua penyair ini dengan sangat piawai berbahasa dalam ruang yang amat pendek: yaitu cerpen Akbar karya Sitor dan Magi dari Timur karya Tardji. Di tangan Tardji kata-kata menyimpan aroma gelak yang tersembunyi saat bening pagi. Sang pencerita tidak lagi terikat pada gramatika dan tata bahasa baku model kursus penulisan kreatif. Cerpen Sitor mengandung aura kedewian yang bisa kawin-mawin dengan cerita Tardji yang menampilkan sikap gemati yang gemah ripah.

Sitor dan Tardji pandai menggoyang-goyangkan kata, huruf demi huruf, agar fonem saling menari menyusun morfem dan kalimat mencari kedalaman kemaknaan kata dan bahasa dari kehidupan di pedaman yang kelam dan sunyi, karena hanya kata yang bergoyang-goyang yang bisa saling silang, saling sungsang, saling sikut, saling terjang, hingga bunyi-bunyi saling bertabrakan, saling memangsa dalam ketakterdugaan, keterkejutan, keterjagaan, keterfanaan sekaligus ketidakberdayaan.

Di tangan Sitor dan Tardji kata-kata berdendang, meliuk menjuntai menunjukkan muka depan belakang samping dan menari bersama angin lasi atau kabut di laut rembang atau dalam ambang malam atau lawa pintu ; di antara laut dan darat, di antara yang sakral dan yang profan, yang terhampar di pantai kesadaran hingga membuat sang mualim meradang-radang mengucap manusia.

Keduanya berusaha memprovokasi kata, menyibaknya, menggoyangnya, mengubah posisinya, menciptakan dan menyulap kekosongan kata menjadi kesegaran yang mengundang kekayaan kemaknaaan, seperti angin menyibak daun pisang, seperti anggur dalam gelas piala, seperti debur ombak di batu karang, yang berkisar mengusap-usap mawar, membelai pantai yang landai, menjatuhkan putik bunga dari kuncupnya, atau ranting kayu yang terpelanting miring dari curuknya. Ahai, biarlah kata sungsang asalkan kisah yang kita tuliskan jadi semerbak wewangian, menjadi rajah para pawang hujan pawang kerbau liar yang merakit ke hulu dan ke puncak ibu bumi, lalu menari dan hadirkan cerita dengan desah gebalau, suatu renungan pribadi sunyi, suatu lirik bening atau bisikan senyap dari maka sepi yang hanya kedengaran bagi pembaca yang berhati besar, yang bersiap untuk paham. Bagai perempuan penari malam atau bayang-bayang dari sebuah pigura dengan kehadiran kata-kata sebagai esensi, sari pati dari hasil persiran, kerangka tempat menjaring dan merajut nilon-nilon menjadi jala atau bubu yang mampu menangkap kehadiran kemaknaan dan respon puitik yang melompatkan imaji para pembaca.

Di tangan kedua penyair yang menulis cerpen berima dan berirama itu, kepiawaian berbahasa mampu menghasilkan suatu butir telur pendadaran bahasa yang masih menyimpan kandungan kemaknaan dengan gaya yang mengandung bobot kata yang meledakkan penjara kemandekan berbahasa dan kesempitan dalam memandang aturan baku bercerita hingga kuasa menyusun rumah tangga kesadaran eksistensial yang bertingkah hidup dan menghidupkan cerita lama.



Dawai Cinta Isbedy



Isbedy Stiawan ZS, selain sebagai penyair terdepan di Lampung, juga mencatatkan diri sebagai cerpenis paling produktif, tidak hanya untuk ukuran Lampung. Setiap bulan, kalau kita rajin membaca koran nasional dan koran-koran daerah, akan berjumpa dengan cerpen Isbedy.

Isbedy telah ditahbiskan beberapa kritikus di Lampung sebagai “paus sastra” (sebuah gelar yang terkesan hanya sebagai olok-olok). Mungkin satu-satunya pengarang yang paling produktif dalam dua pluh tahun ini, baik di bidang puisi maupun cerpen, maka dialah Isbedy. Dari tangannya telah terbit sepuluh buku kumpulan puisinya. Sementara buku cerpennya yang telah terbit adalah: Ziarah Ayah (2003), Bulan Rebah di Meja Diggers (2004), Dawai Kembali Berdenting (2004), Perempuan Sunyi (2004), cerita anak bertajuk Dongeng Sebelum Tidur (2004), Selembut Angin Setajam Ranting (2005), Seandainya Kau jadi Ikan (2005), dan Hanya untuk Satu Nama (2005).

Dari sekian buku cerpen itu, dapatlah ditegaskan kembali di sini: produktivitas tidak selalu adalah kreativitas. Tapi spontanitas tak jarang juga menghasilkan dunianya sendiri yang menantang pembaca. Jika ada pengarang yang menunjukkan bakat alam yang nyaris tak mendapat sentuhan pengetahuan mengarang, mungkin dialah Isbedy. Sering kali bakat alam itu lebih menonjol dan tanpa pengolahan secara matang. Isbedy terlampau simpati pada bencana dan korban hingga banyak kejadian dalam cerpennya dikorbankan. Perisiwa tsunami berhampuran dalam kumpulan cerpennya, dan itu tidak digarap dengan piawai, atau ibarat biola, tak berdentang.

Sebagian besar cerpennya dalam buku Dawai Kembali Berdenting, misalnya, terlalu banyak menghadirkan realisme yang renta sehingga tak ada biola yang berdentang di dalamnya. Sepintas buku ini mengingatkan saya pada roman Biola Tak Berdawai Seno Gumira Adjidarma. Lewat metafor biola Seno ingin mengungkap perumpamaan sebuah karya sastra yang telah kehilangan tenaga. Sastra yang menjadikan kata tak lebih sebagai pajangan yang sudah kehilangan nyawa. Sementara Isbedy terus-menerus berusaha membangkitkan tenaga bahasa dalam beberapa cerita pendeknya agar menjelma dawai yang kembali berdenting.

Namun, karena kelewat pekat menggambarkan realitas carut-marut yang berhamburan dalam cerpen-cerpennya, dan kecenderungan penulisan otomatis, cerita pendek Isbedy sama sekali tak melahirkan apa yang disebut sebagai “dawai kembali berdenting” itu. Sang narator dalam cerpen-cerpennya hanya mampu menyudu sebuah tematik yang umum: perselingkuhan dan perkawinan poligami.

Berkali-kali Isbedy menyuguhkan komentar sosial atas perselingkuhan dan perkawinan segitiga yang mengingatkan kita pada cerita-cerita perselingkuhan Agus Noor dalam buku Selingkuh Itu Indah (galang Press, 2001). Namun berbeda dengan Agus Noor, tema perselingkuhan dan perkawinan poligami di tangan Isbedy justru tak banyak melahirkan kejutan. Metafora yang dibangunnya seakan memberontak dari kesunyian individual. Tapi ternyata tak lebih sebagai muslihat menyesatkan, dan kita sekali lagi bersiap untuk kecewa.

Judul-judul cerpennya syarat metafor dan simbol, tetapi ketika kita menengok isinya, kita menemukan komentar-komentar klise sang narator yang membosankan dengan menampilkan petatah-petitih (pepatah) yang diketahui semua orang. Lihatlah beberapa cerpen “Mungkin Karina”, “Biar Waktu Bawa Kami Mengalir”, dan cerpen “Dawai Kembali Berdenting”, nampak jauh dari harapan akan munculnya seribu satu tafsir dibenak pembaca.

Cerpen “Mungkin Karina” misalnya, mengisahkan perjalanan bolak-balik seorang perempuan bernama Karina. Dengan rasa kecewa dan keterpaksaan menjalani hidup, ia akhirnya menikah untuk yang kedua kalinya. Di sini sang narator sepertinya hendak “menjustifikasi” perkawinan poligami yang dialami oleh Karina dengan Zainudin. Demikianlah, diceritakan bagaimana sebuah keterpaksaan memang kadang membuat seseorang tak bisa berbuat apa-apa. Ia harus menerima apa adanya. Seperti seorang yang terlempar di suatu tempat tak berpenghuni, maka ia tak mungkin bisa melepaskan diri untuk kembali ke semula.

Dalam cerpen ini kita disuguhkan dialog (rayuan?) Zainudin dalam usaha untuk “menaklukan” keteguhan karakter Karina. Bujuk-rayu Zainudin pada akhirnya mampu mematahkan cinta Karina kepada Mas Andre hanya dengan sekali ucap: poligami dibolehkan secara hukum. Alih-alih memberontak terhadap teks bias jender yang berselimut dalam teks-teks agama, Isbedy malah ikut arus konvensi dan mainstream yang berlaku.

Meski ada usaha dan sikap yang terbaca untuk membongkar teks-teks bias jender yang ditampilkan lewat perkawinan poligami dan selingkuh, namun pada akhirnya teks itu keburu “digilas” oleh konvensi itu sendiri. Obsesi sang pengarang untuk merayakan “kesetaraan jender” berakhir dengan “ketidakadilan jender”. Upaya untuk membongkar kekerasan yang dialami Karina justru melahirkan kekerasan kembali. Apakah hanya karena alasan istri sedang lumpuh dan tak mampu memenuhi hasrat seksual sang suami, lantas harus lari memburu mangsa yang lain? Bila demikian, sangat disyangkan bahwa kebahagian seorang perempuan harus bergantung pada duka orang lain.

Di sinilah letak kesulitan Isbedy untuk keluar dari jeratan konvensi umum. Ini berbeda ketika Isbedy merayakan tema perempuan dalam puisi-puisinya, semisal dalam kumpulan puisi Roman Siti dan Aku Selalu Mengabarkan yang diterbitkan Damar Lampung 2001. Dalam puisi-puisi itu, Isbedy mampu membuat kejutan dengan “memuncahkan” kata dan bahasa lewat emosi yang bertubi-tubi menggugat praktik patriarki lewat perempuan ranum yang nyaris tak lagi bisa senyum.

Sedang dalam cerpen “Dawai Kembali Berdenting”, sang pengarang lagi-lagi memperlakukan tokoh-tokohnya sebagai manusia yang melulu doyan selingkuh. Bagaimana rasanya bermain petak-umpet dan lari dengan perempuan-perempuan lain harus terhenti lantaran tak mampu menyembunyikan dengan baik dua buah karcis disaku celananya. Kenikmatan harus terhenti, dan perselingkuhan seketika tak selamanya indah. Seperti apa yang selalu dinasehati para orang tua, sang pengarang tanpa merasa risih mengutip pepatah lama seakan jadi pembenaran: “sepandai-pandai tupai melompat akan jatuh jua”—“ah, betapa miskin metafor seperti ini. Agaknya, sikap semacam itu juga bisa mewakili ke enam belas cerita pendek Isbedy dalam kumpulan ini.

Dalam cerpen “Biar Waktu Bawa Kami Mengalir”, Isbedy nampaknya sudah mulai beranjak keluar dari kungkungan laki-laki. Ia mampu menyiasati bagaimana tokohnya harus bertindak dan memberikan pilihan di tengah kehidupan masyarakat yang menghalalkan praktik poligami. Tokoh aku (berjenis kelamin perempuan) bekerja di sebuah club malam, yang senantiasa melayani nafsu para lelaki. Tapi perempuan itu mampu melawan keinginannya untuk menikah kedua kali meski perkawinananya yang pertama (dengan Her) tak membuahkan kebahagian. Gus, pacar gelapnya, konon pernah menikah dan tidak dikarunia seorang anak yang sampai akhir kisah dibiarkan tetap sebagai misteri. “Ah, indahnya hidup jika tidak diusik keinginan yang sesungguhnya terbentang misteri. Apakah Gus juga Berdusta? Biarlah waktu membawa kami mengalir” (h. 24-25). Bagian-bagian akhir inilah letak segala pertanyaan-pertanyaan yang dibiarkan tak terjawab.

Apa pun kata orang tentang cerpen-cerpen Isbedy selama ini, satu hal yang mengagumkan adalah produktivitasnya nyaris tanpa halte. Dalam waktu yang kurang dari satu bulan Isbedy mampu melahirkan empat buah cerpen berturut-turut. Dan kurang dari dua belas bulan ia mampu melahirkan cerpen lebih dari selusin. Tapi, menulis cerita pendek, Bung Is, membutuhkan sebuah energi kreatif-reflektif yang mendalam agar karya yang dilahirkan mampu memberi gagasan-gagasan segar!

M. Arman AZ kini bisa dikatakan cerpenis terdepan di Lampung sejak Dyah Idra Mertawirana meninggalkan Lampung. Beberapa cerpennya sangat kuat. Bahasanya tidak bermaksud mengejar rima dan liris, tapi sangat sederhana menggunakan kosakata. Salah satu cerpen terbaiknya adalah Tato Mawar Hitam (2006). Sebuah kisah yang agaknya menjadi semacam antitesis dari cerpennya yang lain. Cerpen ini berkisah sangat sederhana tentang seorang pelacur bertato mawar hitam, yang bertemu di tanjakan Tarahan saat mereka membeli durian dan menatap laut dan senja yang indah lewat sebuah teropong. Keindahan alam dan suasana alam yang nyiur-melambai di pantai berpadu dengan keindahan tarian perempuan yang diilustrasikan dengan singkat.

Apa yang membuat cerpen ini jadi indah? Yang jelas bukan tema, karena ini cerpen biasa yang dikisahkan secara sederhana. Namun, jangan salah, cerpen ini berhasil karena tokohnya tidak keberatan menanggung beban yang dipikulnya. Kesederhanaan dan kepolosannya adalah kekuatannya. Inilah cerpen yang mengingatkan saya pada kalimat Hemingway: sebuah kebodohan yang syarat inspirasi, yang bisa lahir dari penulis yang berbakat.

Cerpen yang berhasil memang bukan sekadar berumit-rumit ria dan memanjakan pembaca melalui alur cerita yang melingkar-lingkar. Tapi yang tak kalah pentingnya juga, gramatika yang disuguhkan serta pilihan kata dan metafora. Si tukang cerita menyembunyikan makna yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Namun jarang di sadari, cerpen juga membuka kemungkinan pikiran dan wawasan pembaca untuk memandang dunia fiksi yang disembunyikan di dalam isi cerita.





Mitos dalam Cerpen Kanakar Ucu Agustin


Syahdan, demi menghindari hasrat seksual istri kakaknya, Hayy ditingalkan oleh pasukannya di hutan belantara yang sepi hingga akhirnya terkapar sendirian. Di tempat pembuangan itulah ia diselamatkan oleh seekor rusa kecil dan diajari rahasia semesta melalui akal dan nalar mistisnya, yang mesti tak masuk akal, namun rusa kecil itu terus mewasiatkan pikiran induktifnya agar kelak ia mampu membuka tabir rahasia para pembuat versi.

Telah berhari-hari Hayy memikirkan dirinya yang terjerat sendirian di tengah hutan yang ganas. Pada suatu saat ia merenung, mencoba menutupi bagian bawah tubuhnya dengan dedaunan, mempersenjatai dirinya dengan sebuah tongkat, dan dengan begitu ia mulai menyadari dirinya lebih sempurna ketimbang binatang berkaki. Tapi apa yang terjadi kemudian, rusa kecil itu terpaksa harus meninggalkan dirinya di hutan belantara yang menyiksa.

Setiap hari Hayy merenungkan kekasihnya, Yaqzan, hingga akhirnya ia melihat binatang yang menggunakan tubuhnya sebagai alat, sebagai petunjuk waktu, seperti tongkat di tangannya sebagai petunjuk arah, yang memberinya penerangan dan kehangatan dengan api, dan dengan begitu menyerupai benda-benda angkasa. Kemudian ia lari berpaling, memperbandingkan objek-objek yang muncul di sekelilingnya, membeda-bedakan apa yang dilihatnya, menggolong-golongkan mereka sebagai benda mati, benda hidup, tanaman dan hewan.

Sejak itu sang sahibul hikayat dan pembuat versi fantastis itu telah melahirkan satu versi cerita tentang tubuh sebagai unsur umum setiap objek. Dan setiap objek memiliki ruh, namun karena ruh tak mampu dilihatnya, ia pun berpaling pada gagasan mengenai suatu Kemaujudan Utama yang kekal, yang tak berjasad, namun abadi.

Perjalanan Hayy yang tinggal seorang diri di belantara sepi dan hutan-hutan menyiksa itulah yang menghasilkan satu versi filosofis yang kemudian dikenal dengan kisah Hayy ibn Yaqzan yang menebarkan imaji dan mimpi-mimpi. Ibn Tufail, sang pembuat versi yang abadi itu, menyerap kisah-kisah filosofis-mistis dari dataran Alexsandria dan Persia yang kemudian dirangkai dengan kisah-kisah kejadian hingga menjadi sebuah prosa yang menebar dongeng-dongeng mistis yang menandai datangnya kebaruan dunia sastra-filosofis dalam sejarah kesusastraan dan filsafat Islam.

***

Sepenggal kisah Hayy ibn Yaqzan di atas saya caba kaitkan dengan beberapa prosa mutakhir yang berkecenderungan menjadikan mitologi, dongeng, dan pabel sebagai inti cerita. Di antaranya adalah cerpen-cerpen Ucu Agustin.

Ucu banyak menampilkan cerpen melalui sentuhan beragam unsur kreatif yang dijumpai pengarangnya. Cerita pendeknya dalam antologi Kanakar (2005) tidak melulu mengusung cerita yang berumit-rumit dengan alur cerita yang melingkar-lingkar. Tetapi yang lebih penting dalam cerita Ucu Agustin adalah bagaimana ia mampu membuka pikiran dan wawasan pembaca untuk memandang dunia prosa dengan retoris dan imajis yang disembunyikan di dalam isi maupun bentuk cerita.

Ada tema kejadian yang melindap dalam bagian ceritanya, yang berkisar antara perempuan dan kegelisahan naratif, yang terasa gerak-gerik dan gestikulasinya. Tampilan metafor tentang hujan di setiap bagian teks ceritanya menghasilkan kiasan yang kreatif. Cerpen “Perawan Yang bersemayam Di Mata Loth” misalnya, begitu pekat menampilkan keintiman dengan ungkapan-ungkapan yang tekesan eksotis, jorok, jijik hingga kita pun merasa mual dibuatnya.

Di sana kita temukan pemberontakan perempuan lewat kehendak untuk bertelanjang, ada bayi-bayi yang langsung bisa mencari makan sendiri tanpa membuat kendur payudara bundanya yang memang telah dibuat melendur oleh bapaknya, demi melayani nafsu lelaki yang tak ada kendurnya itu. Kehendak untuk “bertelanjang bulat” di depan umum yang dilakukan tokoh perempuan dalam cerpen ini tak lain, mengutip kata-kata Ucu Agustin sendiri, “karena di sini bertelanjang adalah subversi”.

Dalam cerpen “Kanakar”, ceritanya banyak mengambil tema kejadian dalam sebuah mitologi. Maia—salah satu tokoh utama yang mengingatkan kita akan tokoh dalam novel “Cala Ibi” (2003) karya Nukila Amal—merupakan salah seorang dari tujuh puteri yang dikejar oleh dewa orion, Sang Pemburu dalam mitologi Yunani.

Tersebutlah seorang dewa, Orion namanya. Ia jatuh cinta kepada pleione dan ketujuh puterinya yang tinggal di dalam hutan. Ketujuh puteri itu meniupi tanah hingga menjadi debu pijar dan melayang ke awan-awan hingga menjelma merpati dan yang lain kemudian menghilang. Dan yang tinggal di dalam hutan hanyalah pleaides yang maha terang.

Siapa “Kanakar” dalam cerpen ini agak gelap untuk bisa ditangkap. Bisa jadi “Kanakar” adalah sebuah petunjuk waktu; waktu menyambut datangnya tahun baru di “saat bening embun di pagi bulan Januari yang berseri kehilangan pamor dan menjadi malu saat melihat cara kerja benih yang tumbuh begitu ajaib”. Tapi di lain sisi, “Kanakar” menjelma “bisik lirih seumpama bujuk pagi yang menyelusup lembut di hitam malam untuk pelan-pelan menguasai dan mengambil alih tahta dengan bantuan sinar fajar.”

“Kanakar” mungkin saja makhluk hidup atau benda mati, binatang atau manusia, suara-suara atau kebisuan, yang lenyap dan kemudian menghilang untuk muncul kembali suatu waktu. Namun di ujung cerita, apa yang disebut “Kanakar” adalah kembar siam dari Dmitri. Tapi, apa arti semua ini? Tak lain hanya sebuah imaji, alegori, fantasi, dan mimpi-mimpi.






Cerpen Puitis Nukila Amal


Nama Nukila Amal muncul dalam deretan pengarang prosa Indonesia sejak menerbitkan novel eksperimentasi berbahasa, Cala Ibi. Novel ini sering disebut sebagai novel post-modernis lantaran Nukila melebur batas antara puisi dan prosa sekaligus menempatkan permainan bahasa dengan lincah. Kata dan makna didedah, dan tak jarang didekonstruksi.

Nukila juga menulis cerpen. Buku himpunan cerpen pertamanya, Laluba (2005), kembali menampilkan sosok Nukila yang piawai dalam berbahasa dan merangkai cerita. Buku ini menunjukkan posisi Nukila Amal di dunia cerita pendek mutakhir dan (mungkin juga) masa depan. Cerpen-cerpennya begitu pekat menampilkan kejadian yang berkelok dan bercecabang: di antara orang yang berjalan hilir-mudik, rehat di kedai kopi, bayi di rahim perempuan, kejenuhan hidup, permainan rasa, cinta pertama, kesepian, angkara, hingga konflik perasaan tokoh akibat perang berkepanjangan.

Subyek dan setting ceritanya nyaris tak teridentifikasi lantaran tempat yang dijadikan latar peristiwa berhamburan kian ke mari: dari jalanan kota Jakarta meloncat ke Halmahera, lalu ke desa di Korsika, pulang lagi ke Yogyakarta, galeri di negeri Belanda, nelayan di Makassar, sirkus di negeri antah berantah, atau taman ria di dalam mata. Pengolahan bahasanya mendekati cerita semi dramatik yang begitu pendek hingga lebih pantas disebut fiksi mikro. Namun kekhasan Nukila ada pada kesegaran berbahasa, pemadatan imaji, dan rangkaian metafor yang berhamburan.

Setiap gerik tokoh-tokohnya teraba dengan cepat dan ditangkap sebagai siapa saja atau apa saja atau entah siapa: ada perempuan hamil, penari eksentrik, setetes embun, dua tangan yang bercakap, bayi di rahim ibu, hingga seekor buaya kecil yang menyeruak keluar gambar. Pada setiap bagian ceritanya menampilkan karakter tokoh pada posisi batin dimana secara paling sadar dan fitrah terlibat di dalam semua unsur; gerak, alur dan kehidupan.

Pemberontakan terhadap narasi patriarki yang melindap dalam cerpen-cerpen Nukila Amal seakan meleburkan batas pencitraan aku-perempuan lewat dialog sederhana seputar penamaan tokoh ceritanya: “Aku telah punya nama untukmu. Laluba. Kalau lelaki? tanya ayahmu. Laluba, jawabku. Kalau perempuan? Laluba. Kau akan gesit berenang seperti lumba-lumba”.

Kekuatan imaji dan metafor yang dibangun Nukila Amal tampak seperti permainan tangkap dan lari, yang kerap mengagetkan, menggetarkan, dengan pilihan rima yang liris, yang terpadu ke dalam struktur yang ketat, namun menampilkan keheningan yang begitu reflektif.

Cerpen “Laluba” secara lebih ekstrem mencipta prosa yang mengandalkan kekuatan kata, diksi penuh bunyi, permainan gema, motif yang bersahut-sahutan. Dengan penuh kesadaran Nukila memasukkan bait-bait puisi untuk menyelubungi makna dari peristiwa. Sebab kiranya “makna memang bermula dan bersarang dan beranak-pinak di benak…Jadi tak boleh membiarkan benak berkeliaran dan berubah-ubah bentuk seperti awan, melepas para kekasih lama keluar main berseliweran”.

Gaya bahasa yang dibangun Nukila memukau dan kaya metafor, ungkapan-ungkapan puitis dengan mengandalkan kekuatan imaji. Hanya saja Nukila secara lebih ekstrem ingin mencipta prosa yang bersilang-seluk puisi. Tak berlebihan kiranya bila kedua cerita pendek jenis ini layak disambut dan dirayakan dengan ucapan—sebagaimana Nukila Amal mengucapkan—“Selamat datang di dunia imaji dan resolusi tinggi”.




Rumah Cerpen Zen Hae



Buku analekta cerita pendek Zen Hae, Rumah Kawin (KataKita, Jakarta, Oktober 2004) sangat pantas dijadikan bahan telaah di perguruan tingi. Eksperimen bentuk dan isi cerita dalam himpunan ini penting karena kaya dengan ragam peristiwa dalam cerita dengan tetap menampilkan kedalaman kemaknaan.

Beberapa cerpen Zen Hae terasa sangat surealis. Imaji bahasanya yang memukau, mencekam dan penuh teka-teki menjadi semacam pertaruhan bagi seorang pengarang cerpen. Sisipan kata-kata jenaka dengan mudah kita jumpai dalam sembilan cerpen yang terangkum dalam buku ini. Cerpen Zen Hae barangkali tak mengena jika dibaca dalam terang sastra “main-main”-nya ” Budi Darma. Saya lebih suka membaca Zen Hae dengan sastra “main-main” ala Hasif Amini; soalnya main-main di sini menjadi “keharusan” yang mesti dipertahankan.

Dalam cerpen “Taman Pemulung”, Zen Hae mengisahkan tentang seorang gadis, putri pemilik restoran Cina yang berubah menjadi seekor burung. Gadis itu kemudian mengembara dari satu tempat ke tempat lain hingga terdampar di sebuah Taman Pemulung. Bermula dari rumahnya yang terbakar, tentang amukan orang-orang bermata merah, bengis dan ganas, hingga bertemu dengan seorang perempuan pemulung, cerpen ini seakan menjelma “pabel” politik orwelian.

Si pemulung mengalami hidup yang tragis hingga sampah busuk pun tak mau berbaik hati padanya. “Apakah orang-orang kaya itu menelan semua yang mereka makan tanpa menyisakan sedikit pun sampah buatku, seperti anjing yang tak menyisakan sedikit pun daging dan tulang dari tuannya?”. Inilah pertanyaan pilu dan penuh nuansa politik. Meski kedengaran pilu, namun bagi si pemulung, “aku tak boleh kalah ceria dari matahari”, menjadi semacam tekad yang harus ditegakkan meski dengan segala tetesan keringat dan bau badan. Kenyataannya ia terus menggeliat seperti “geliat lidah api, asap gimpal, jerit nyawa sekarat, kata-kata iblis, kota tua di utara”—batas-batas puisi dan prosa tampak mencair.

Karena keasyikan mengais sisa makanan, pada akhirnya si pemulung menemukan secarik surat yang berisi kisah seorang gadis yang berubah menjadi burung. Cerita itu menjadi semacam anggur kolesom baginya. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari burung itu. Ia pergi ke sebuah tempat di pinggiran kota. Tempat itu penuh dengan pemandangan yang unik, yang mengingatkan kita pada realitas empat wilayah kota Jakarta: “Laut dan pulau-pulau kecil di utara, hingga pegunungan biru di selatan. Pabrik-pabrik dan permukiman buruh di timur, sungai-sungai beracun di barat. Ia tak menemukan burung itu. Kota itu telah ditinggalkan burung-burung sejak lama sekali”.

Dengan tekad yang teguh dan harus dijalankan, si pemulung itu terus mengembara ke arah matahari terbenam. Disusurinya jalan setapak dan bercecabang, setiap dijumpainya taman ia berhenti. Begitulah setiap taman didatanginya namun tak juga ia temukan taman dan burung itu. Di sebuah tempat yang sudah jauh dari pinggiran kota (Jakarta), ia berteriak: “Ahai, inilah kicau jekimpreng....Ahai, inilah taman yang asri itu”—sebuah diksi khas Zen Hae yang tampak seperti lelucon.

Burung itu seperti mengerti hasrat si pemulung. Ia melompat lebih rendah dan bertengger di pinggir bangku taman. Dari sorot matanya tampak kerinduan seorang pencari—bergulungan, menerjang dan pecah: “Aku sudah menamatkan hari-hari letihku untuk mencarimu”, kata si pemulung. “Aku sudah menghabiskan hari-hari indahku untuk melupakan jejak api dalam tubuhku, tubuh orang tuaku dan saudara-saudaraku”, kata si jekimpreng.

Dari sini cerita tampak baru akan dimulai. Dialog antara si pemulung dengan jekimpreng menjadi bingkai cerita berlanjut. Pemulung itu begitu berhasrat ingin menjadi burung, tapi menjadi burung bukanlah ilmu yang bisa dipelajari, tapi sebuah kebetulan. Seperti mukjizat nabi. Ia tak bisa diajarkan atau diturunkan pada orang lain, itulah pengetahuan sekaligus falsafah burung ala Zen Hae.

Jika bukan lantaran karena amukan orang-orang bermata merah itu, mungkin si sekimpreng tak akan pernah berubah menjadi burung. Lalu berkhotbahlah si pemulung tentang sebuah negeri impian, Negeri Empat Puluh Satu:

“Hanya di negeri itulah kedamaian yang sejati berada dan dinikmati setiap orang. Di sana tak ada kemiskinan. Tak ada operasi pembersihan pengemis, pemulung, dan kaum gelandangan seperti di sini. Orang-orang seperti mereka selalu dikasihi. Tak ada dendam dan perang. Sebab rasa dengki sudah diganti dengan cinta”. “Ah, itu kan dongeng pengantar tidur”, kata si jekimpreng menimpal. “Nggak, negeri itu benar-benar ada. Ia hanya bisa ditemukan oleh orang-orang suci dan bisa menjadi burung seperti kamu”, kata si pemulung. Tapi “aku bukan orang suci dan nggak nemuin apa-apa, cuma kobaran api dan teriakan orang kalap. Mayat-mayat gosong. Kebencian rasial di mana-mana”, kata si jekimpreng membalas.

Dalam keasyikan bermain canda dengan tokoh-tokohnya, sang pengarang tampaknya masih terjebak untuk mendesakkan amanat tokoh-tokohnya kepada khalayak pembaca. Namun ketika cerita ini ingin mengembang menjadi pesan moral eksplisit, Zen Hae mampu memalingkannya ke tema-tema lain, hingga tetap berhasil dari kecenderungan mainstream cerita moralis.

Dalam cerpen “Kota Anjing”, tampak dakwah yang dimainkan sang psikiater pada tokoh yang mengalami proses pembinatangan (animalization), tepatnya penganjingan (h. 94), hampir menghabiskan satu lembar halaman ini. Pembelaan Nirwan Dewanto atas Zen Hae sebagai “pengarang yang bukan lagi tukang khotbah, tetapi benar-benar menjelma narator” ( Tempo/4 /1/ 2004: 158), masih perlu diperdebatkan; kalau pun ia, itu tak berlaku untuk sembilan cerpen Zen Hae dalam antologi ini.

Cerpen “Rumah Jagal” juga sebuah cerpen yang cukup berhasil memaksimalkan kata dengan kalimat pendek-pendek. Pengarang berhasil mengolah teka-teki yang penuh misteri, menawarkan perspektif yang tajam dan fokus. Ceritanya bermula dari tokoh Ceu Tarmi yang kemasukan setan, yang mengigau dengan kata-kata indah:

“Bertubuh-tubuh telah kaubunuh. Setiap malam kau kirimkan isyarat maut dalam tidurku. Hingga ketika aku terbangun selalu ada sisa ledakan di kamarku. Pecahan kaca dan tembikar, serpiahan kayu dan dedaunan, sobekan kain terbakar. Tetapi angin pagi menerangkap bau tubuhmu, jejak yang tidak bisa kau hapus sepenuhnya. Suatu saat akan kuketemukan, aku akan balik membunuhmu. Kau akan hancur, wahai Sang Minotaour” .

Dari sini kisah mengalir menyusuri beragam persoalan dalam sastra dan politik. Tentang orang yang bernama Ceu Tarmi dan Salamah, tentang ungkapan Ceu Tarmi yang mirip dengan puisi Mahmuda Tongga. Tentang Front Anti Maksiat yang selalu membawa firman Tuhan dalam beragam aksinya. Tentang pelacur, hingga cerita mengalir masuk ke dalam persoalan plagiat dan “pengaruh-memengaruhi” dalam sastra, “penulisan otomatis” (automatic writing) hingga puisi “Sang Minotaour”-nya Goenawan Mohamad. Perihal siapa pemilik sah ungkapan itu menjadi titik berangkat bagi pengarang untuk merangkai bait-bait puisi yang indah menjadi kisah yang menantang imajinasi.

Teki-teki semacam itu bukan lagi bentuk perpanjangan dari kelisanan. Pengarang begitu lentur mengolah berbagai sumber . Ia beranjak lebih jauh menelusuri data dan melakukan riset yang serius. Cerpen-cerpen Zen Hae dalam kumpulan ini hampir keseluruhannya dilandasi oleh penelitian dan riset yang sungguh-sungguh—tepat seperti diungkapkan Kurnia Efendi di sampul belakang buku ini. Cerpen “Rumah Jagal” menjadi contoh dari keberhasilan seorang penyair-cerpenis-esais tentang pentingnya melakukan penjelajahan peristiwa, meski misteri dibalik cerita itu tetap tinggal sebagai teka-teki. Siapa Ceu Tarmi, apa hubungannya dengan Salamah, Mahmuda Tongga, Goenawan Mohamad, perlahan-lahan bisa terungkap tanpa menarik kesimpulan yang eksplisit.

Kelebihan cerpen-cerpen realisme Zen Hae juga terletak pada kemampuannya “membungkus” realitas dalam bentuk metafor yang penuh simbolisme. Ketika membicarakan tema seks dalam cerpen “Segalanya Terbakar Di Matamu”, sang tokoh menyukai bentuk penulisan yang samar-samar, penuh perlambang atau bentuk penulisan simbolisme. Barangkali cerpen “Rumah Kawin” bisa menguji seperti apa seks yang penuh perlambang yang dimaksud tokoh di atas:

“Mamat Jago mengerang dan menekan pantat Sarti. Kali ini Sarti membiarkan Mamat Jago meremas dan menekan pantatnya. Ada api meletup dari bekas lubang hitam itu. Suhu badan Mamat Jago melonjak naik dan menjalar ke tubuh Sarti. Api menjalar ke tubuh pengibing dan wayang cokek lainnya. Semuanya terbakar. Para penonton menelan ludah. Seorang penonton meremas selangkangannya. “Pulanglah bersama Abang!”. “Pulanglah ke mana?” “Pulanglah...”Batuk Mamat jago meletus lagi, bertanding dengan irama gambang. Nafasnya seperti bunyi mesin perahu ngadat. Hingga pada suatu pukulan gong, nafasnya mereda. Sarti menjerit. Orang-orang menoleh. Tubuh Mamat Jago terkulai di tubuh Sarti. “Terus main. Gua bakal mati gambang berhenti”, kata Mamat Jago dalam tujuh kali jeda. Setengah berbisik, setengah menjerit.”

Tema seks yang samar-samar dan penuh perlambang juga bisa dijumpai dalam cerpen “Kereta Ungu”: “Ahai, dalam remang yang tampak tinggal tubuh telanjang. Setelah itu ia kembali melompat, bersijingkat, meliuk, berputar, meregang, mundur-maju, merentangkan dan bertepuk tangan, merentangkan kaki kanan, menghunjamkan tangan kiri. Timbul-tenggelam. Angin yang sejak lama mengintai di balik semak-belukar tak tahan lagi. Mendengus. Menggelosor. Berputar. Lalu hujan. Ohoi, hujan petang yang berahi. Menderai. Bergelombang. Menjilat tubuh telanjang yang terus melompat, meliuk, menerjang, mengerang...Tubuhmu terguncang-guncang, hingga daging pipimu berjatuhan, belatung beterjunan dan berenang, rambutmu berlepasan.....Mereguk anggur kenangan. Mabuk. Hingga kau meracau an menolak kematian yang Kukirimkan” (h. 87-88).

Cerpen “Rumah Kawin” yang dipilih sebagai judul kumpulan ini “mirip” dengan setting novel Menggarami Burung Terbang-nya Sitok Srengenge. Dalam novelnya, Sitok mengembangkan beberapa tembang Jawa, seperti tembang genjer-genjer Banyuwangi-an yang dicap sebagai lagu PKI. Dalam cerpennya, Zen Hae banyak memasukkan tembang-tembang Betawi. Kepiawaian mengolah lagu sehari-hari, seperti lagu Teratai Putih, tetap memenuhi kualitas literer sebagai seni keindahan. Ia indah karena mampu “bermain-main” dengan “nakal” terhadap segala bentuk kekuasaan.

Tema-tema politik yang juga berhasil dalam ontologi ini adalah cerpen “Kereta Ungu” . Kilsas-balik politik yang menjadi bingkai cerita ini begitu indah dan jauh dari kesan horor dan slogan-slogan murahan. Seorang pemuda lajang, tak punya pekerjaan, tak dapat santunan negara, akhirnya bergabung dalam gerakan bawah tanah yang menyokong pembangkangan terhadap pemerintah resmi. Alhasil, ditangan Zen Hae, tema-tema pemberontakan, separatis, otonomi daerah, krisis ekonomi, hingga kekerasan militer berhamburan dan bersanding dengan tema-tema cinta, seks, hiburan yang begitu indah dan puitis.

Membaca cerpen ini, sama dengan membaca puisi-puisi lirik Goenawan Mohamad dan sapardi Djoko Damono yang berhasil memainkan sunyi dan bunyi, atau membaca prosa-prosa Kafka dan Milan Kundera dengan seni ambiguitasnya.

Cerpen-cerpen Zen Hae dengan begitu akan lebih bernas jika dibaca dalam kerangka fiksi mikro—meminjam istilah Hasif Amini. Dalam fiksi mikro, cerita barangkali hanya sebatas “bahan mentah”, bahkan “bahan entah”: ia bergerak dalam rentang waktu yang bercecabang, berkembang, berkelok dan bergerak lagi. Sebuah cerita, mengutip Hasif Amini, “ketika ia diceritakan oleh juru cerita, tindakan menceritakan atau proses penceritaan, membuat sebuah cerita menemukan ekspresi dan gayanya. Sebuah teks, sebagai medium penceritaan, memunculkan sebuah versi cerita”. Inilah yang disebut Hasif Amini sebagai Cerita-Penceritaan-Teks: Versi.

Cerita kemudian menjalin menjadi teks yang bermakna, menjadi bahasa. Cerita sepenuhnya menjadi tergantung pada bahasa, ia tak punya rute lain kecuali melalui rute bahasa. Kata bekerja melakukan suatu penciptaan dunia makna, melahirkan teks yang bercerita dan menjelma sejenis puisi. Ini disebut Teks-Penceritaan-Cerita: Puisi (Prosa No. 1/2002: 57-59).

Fiksi mikro tidak memilah secara ketat antara prosa dan puisi, keduanya bisa menyatu. Begitu juga antara esai dengan puisi, seperti dalam tulisan Goenawan Mohamad berjudul “KTP”. Ia bisa disebut esai tetapi sekaligus juga puisi. Karenanya, dalam kumpulan buku puisinya, editor memasukkan “KTP” sebagai bentuk puisi, sementara dalam catatan pinggir, ia menjelma sebagai esai. Keduanya bisa menyelusup masuk, bertukartangkap hingga tak lagi kelihatan batas-batasnya secara jelas.

Sisi yang lain dari fiksi mikro, masih menurut Hasif Amini, ada pada cerita yang berupa “narasi pendek yang hanya terdiri dari beberapa kata dan dipadatkan secara maksimal dan indah bagai sebuah teorema, bisa dinikmati dalam satu sesap kopi, dalam rentangan waktu habisnya sekeping koin di telepon umum, dalam rentang waktu yang tersedia pada sehelai kartu pos....Saat memulai adalah sekaligus saat mengakhiri.....Ketika ia hendak mengembang, saat itu juga ia mesti menguncup, saat hendak mengurai, sekaligus ia mesti memadat”.

Ada tiga “sihir” yang lazim bekerja pada teks-teks fiksi mikro dalam menuju pencapaian literernya: Pertama, sudut-pandang (provokatif). Karena keringkasannya, fiksi mikro tidak bisa lain kecuali menawarkan perspektif yang segar, yang cerdas, yang gila, yang tak terduga. Ibarat berpapasan dengan orang asing yang tiba-tiba mengatakan sesuatu yang tak disangka-sangka. Masing-masing bisa asyik, dahsyat, tak terlupakan Kedua, imaji, yakni pemilihan dan pemadatan imaji merupakan taruhan dengan memori dan asosiasi: imaji yang kuat akan bertahan dalam ingatan dan merangsang lompatan imajinasi pembaca, seperti dalam haiuku atau koan Zen, di sana mesti ada kejernihan dan sekaligus teka-teki. Fiksi mikro tak punya banyak waktu untuk memerikan atau memaparkan, ia hanya bisa menyaran, atau menandaskan, atau menohok. Ketiga, kata demi kata. Dalam fiksi mikro, ekonomi penulisan demikian mengemuka dan tak tertawar: setiap patah kata menjadi amat berharga dalam menyiapkan bangkitnya sebentuk narasi yang—betapapun sederhananya—kompak dan bernas, dimana prosa satu dengan puisi (Ibid., h. 59-62).

Cerita pendek yang ampuh, kata Hasif Amini dalam esainya yang lain, adalah “sejenis rayuan maut dalam suatu pertemuan singkat di suatu tempat, ia merasuki diri kita, bisa memabukkan, menyihir, menggila, ambiguitas, subversif, namun mungkin meninggalkan geledek yang gaungnya tak kunjung sirna dalam ingatan” (Bertandang dalam Proses, Kalam, Jakarta, 1999: 47). Atau cerita yang bukan lagi “ringkasan dari risalah panjang, tetapi mikrokosmos dimana kita bisa bermain tangkap-dan-lari dengan tokoh”, kata Nirwan Dewanto.

Akhirnya, kalau pun layak membicarakan realisme, teks realisme cerita pendek Zen Hae dapat digolongkan (sementara) dalam teks fiksi mikro: teks realis yang tak menghancurkan realitas demi bentuk dan gaya. Realisme semacam ini berusaha membawa pembaca untuk piknik menuju teks: dalam arti semua realitas adalah teks. Setiap teks merupakan bikinan berdasarkan tujuaan siapa yang berkepentingan membuat teks itu.




Metafor Batu Taufik Ikram Jamil



Adakah yang berharga dari tumpukan batu di jalan-jalan, selain setumpuk benda-benda yang tak pernah bicara? Tapi mengapa banyak sastrawan menjadikan batu sebagai proses pengendapan kreativitas mereka? Bukankah masih banyak benda-benda atau mitos-mitos dan hikayat-hikayat yang menghuni sebagian besar jagad semesta raya ini, tapi mengapa batu?

Bukankah setiap sejarah yang pernah hadir di dunia kini dan di sini tak hanya sejarah tentang manusia berikut eksistensi dirinya, tetapi juga sejarah tentang batu-batu? Tengoklah kisah-kisah Taufik Ikram Jamil (TIJ) dalam antologi Hikayat Batu-Batu (Buku Kompas, 2005). Cerpenis terkemuka Kepulauan Riau ini seperti berusaha untuk meminta batu-batu di belahan bumi bicara sekaligus menjadi saksi dengan cara dan bahasa mereka sendiri. Dari batu-batu-lah cerpen-cerpennya mengalir dan membentuk gugusan makna, membentuk hikayat, cerita dan kemudian melahirkan kreativitas. Seperti diakuinya sendiri, proses kreativitas lahirnya cerpen-cerpen dalam antologi ini bermula dari pengamatan terhadap batu-batu.

Mengapa batu? Ketika dari hari ke hari kita tak merasakan terjadinya perubahan pada diri kita, pada penguasa, bahkan komunikasi lewat kata yang selama ini kita gunakan telah diperalat sedemikian rupa, maka batu menjadi media yang ampuh untuk berkomunikasi saat ini. Ketika kekuasaan begitu bebal terhadap segala yang pernah terjadi, dan dengan mudah dilupakan, maka batu adalah senjata, arsenal yang ampuh untuk membuat kekuasaan segera bangun dari tidur lelapnya. Batu memang sebuah material yang keras, yang membutuhkan tenaga untuk menggarapnya, tetapi sekaligus sangat ampuh meluluhlantakkan kekuasaan yang membisu dan membatu.

Batu yang tergeletak di sudut-sudut jalanan, di sungai dan pegunungan, bukan lagi sebagai material yang sulit didapat, namun muncul dalam keseharian sang pengarang hingga melahirkan cerita batu-batu yang punya kesan begitu membumi. Upaya TIJ untuk menggarap batu berarti mencoba untuk menaklukkan kekerasan waktu. Di sini kita segera diajak untuk menyelam puisi Radhar Panca Dahana. Meski berkali-kali Radhar menulis puisi tentang rasa sepi yang mengaduh-meradang, ia pernah melahirkan kumpulan puisi Lalu Batu. Dari batu Radhar mencipta kata, merangkai bait, menjadikan puisi (yang bisa dinikmati oleh puluhan artis yang berbeda latar dan bahasa).

Ketika manusia, demikian ungkap Radhar, senantiasa mengejar waktu dan mengalahkan waktu, maka perjalanan mengalahkan waktu merupakan perjalanan menaklukkan si empunya waktu. Karena si empu dan pemilik waktu hanyalah Dia yang Kuasa, sedang batu hanya tempat berdiamnya waktu, hanya sementara, maka si Aku menjalani proses yang mengendap menjadi batu. Dan dari endapan batu-batu kelak menjadi fosil, menjadi sesuatu. Sesuatu itu bagi TIJ bermula dari batu dan dari batu kemudian melahirkan kumpulan “Hikayat Batu-batu”. Menjadikan batu untuk terus bicara, berkomunikasi dengan dirinya, dengan raganya atau segenap jiwanya. Setelah mengendap melalui hikayat batu-batu, apakah ia berhasil menciptakan “gramatika batu-batu” sebagaimana Afrizal Malna menciptakan “gramatika benda-benda?”

Awal segala mula adalah batu, lalu membeku, membatu, menjadi kisah, menjadi hikayat batu-batu. Itulah yang terlihat dalam “batu belah batu bertangkup, telan aku sekali tangkup”. TIJ hendak menjadikan batu di gunung-gunung untuk memintanya bicara. Proses pengendapan ini segera mengingatkan kita pada puisi pendek Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Batu”: ...”batu mawar batu langit batu duka batu rindu batu jarum batu bisu kaukah itu teka teki yang yang menepati janji?” Jika batu di tangan Sutardji dipuisikan, maka batu di tangan TIJ dirosakan. Keduanya saling melengkapi, menutupi setiap lubang batu untuk sama-sama melahiurkan mantera, hikayat, juga parodi.

Kisah tentang batu yang terdapat dalam antologi cerpen TIJ bermuara pada dua perkara besar yang menohok dan menggugat kita. Pertama, sebagai sebuah curahan gejolak estetik-naratif. Kedua, menjadi eksternalisasi rasa gundah, rasa balau yang mendobrak kepekatan krisis yang telah membatu. Dalam kaitan ini, proses penggarapan cerita pendek tentang batu–batu justru melahirkan narasi semacam “katarsis” seorang pengarang. Yakni katarsis yang timbul akibat tekanan situasi krisis yang tak pernah berakhir hingga hari ini. Saya sebut “katarsis” karena cerpen-cerpen TIJ lahir dari konsep yang serupa dengan estetika Yunani kuno, estetika yang percaya pada kemungkinan pembersihan, pencucian (atau penyucian emosi-emosi) dengan menggunakan pengalaman estetis.

Di sini batu dalam kisah-kisah TIJ menjelma otokritik terhadap “kekuasaan” dan “pusat”. Kisah-kisah batu seperti menggelinding, hilir-mudik seperti kendaraan di jalan raya, sangat intuitif, tanpa sedikit pun merasa riskan akan cemoohan para kritikus sastra, tapi sangat subversif. Lewat kumpulan cerpen ini pantaslah bila TIJ dijuluki sebagai penjaga gawang cerita pendek melayu Riau. Bila Sutardji mata kanan—mengikuti Dami N. Toda—bagi kesusastraan Riau, maka TIJ mata kirinya. Lengkaplah pandangan kesusastraan Melayu Riau yang selama ini nyaris (di) timpang (kan). Menikmati empat belas cerita pendek dalam buku ini nampak satu sama lain saling jalin-menjalin, merakit-rakit, seperti rangkaian batu yang berjejer di tepi sungai dan di sudut-sudut jalanan. Dalam cerpen-cerpen yang berkisah tentang batu ini terdapat ragam hal tentang metafor batu: terkadang menyerupai batu-batu sebagai peralatan rumah tangga tapi di sisi lain sering menyerupai alat kelamin manusia.

Dalam cerpen “Menjadi Batu” misalnya, ia mencoba merangkai deretan batu-batu sebagai lambang cinta abadi di Kepulauan Riau, di Mekkah, dan masih banyak di tempat-tempat lain. Monolog-monolognya pada batu mengajak kita untuk menembus kedalaman jiwa manusia. Dalam sebuah hikayat, seorang lelaki telah disumpahi ibunya menjadi batu. Mungkin kita tak akan pernah lupa bagaimana burung-burung ababil menyerang Abrahah dalam sejarah yang tertuang dalam kitab-kitab suci, juga bagaimana kota-kota yang dibangun dari tumpukan batu-batu: jembatan, tol, dan gedung-gedung pencakar langit. Tak mustahil kita akan terkenang kembali hikayat-hikayat besar itu bila membaca cerpen-cerpen TIJ.

Sampai di sini, TIJ telah berusaha sekuat tenaganya untuk mengajak kita bertamasya bersama-sama membenturkan kepala keras-keras kepada batu. Hingga kepalanya dan kepala kita berdarah dan ajal menjadi hampir, namun hasilnya hanya sebuah ke-sia-sia-an. Mengapa? Karena kita diperhadapkan pada hidup dan realitas kekuasaan (negara) yang pemerintahnya telah menjelma dan berubah menjadi batu. Negara yang membatu, menjadi fosil. Jika begitu, masihkah kita berharap kepada negara yang seluruh bangunan penyangganya—eksekutif, legislatif, yudikatif dan rakyatnya--telah membatu? Akankah hikayat batu-batu itu menjadi titik balik bagi TIJ untuk melahirkan cerpen-cerpen yang bernas di kemudian hari? Entahlah. Sepastinya hanya ia yang tahu!


Metafor Kuburan Kuntowijoyo

Sastrawan, budayawan, sejarawan, dan pemikir Islam local genious ini, sepanjang hayatnya banyak melahirkan karya sastra, sejarah dan pembaharuan pemikiran Islam yang terhitung masih cemerlang hingga hari ini.

Kunto telah menghasilkan sejumlah buku non fiksi dengan sejarah sebagai latar depan: Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Ibadah dan Fenomena Kepribadian Muslim (1985), Paradigma Islam, Interpretasi dan Aksi (1991), Identitas PolitikUmat Islam (1997), Muslim Tanpa Masjid (2001), Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas (2002).

Kematangan refleksinya melahirkan pembaharuan pemikiran keagamaan dalam konteks sejarah gerakan keislaman dan keindonesian. Sementara buku Metodologi Sejarah (1994), yakni sebagai ilmu dasar sejarah (ontologi), hubungan ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu etik, dan menawarkan cara menulis sejarah yang estetik.
Kunto adalah pengarang produktif dan berkarya yang nyaris tanpa interupsi. Ia senantiasa membayang-bayangi kita lewat cerita-cerita sederhana namun mengandung metafor yang begitu dahsyat menyadarkan kita manusia Indonesia akan bahaya lupa. Ia juga tak kalah uniknya dalam membangun konflik-konflik tokoh ceritanya. Bahkan beberapa cerita pendeknya, seperti memberi isyarat maut bahwa suatu waktu ia akan pergi meninggalkan kita selama-lamanya.
Dalam cerpen Anjing, Kunto memperingatkan akan bahaya kefanatikan yang dipeluk teguh oleh umat beragama. Berkali-kali—bahkan sering—ia menampilkan rasa tidak puas diri ketika melihat banyaknya orang-orang yang beragama tapi hanya berhenti pada realitas artifisial yang dangkal. Metafor anjing sungguh sangat tepat menunjukkan bagaimana sikap orang -orang yang beragama yang menganggap yang lain (anjing) sebagai sesuatu yang najis dan harus dijauhkan dari lingkungan keluarga.
Tokoh istri dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang istri yang berpendidikan dan begitu taat mengikuti suaminya, tapi kadar religiusitasnya begitu dangkal. Realitas kehidupan beragama semacam ini kita temukan juga dalam cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon dan cerpen Sepotong Kayu untuk Tuhan. Dalam “kesadaran sastra transendental”, mengutip istilah Kunto sendiri, kerapkali ia melontarkan kritik terhadap agama (Islam) dan tokoh-tokoh agama yang munafik, yang tak jarang menganggap dirinya paling suci di dunia ini.
Sejak novel Khotbah di Atas Bukit (1976), kecenderungan Kunto menampilkan setting keberagamaan yang profetis—keberagamaan yang mendekati tauladan dan sifat kenabian-- sudah begitu menonjol. Dalam cerpen Kembali Mencintai Bunga-bunga, Kunto kembali menghangatkan apa yang waktu itu (tahun 1960-an) disebut sebagai dualisme kehidupan beragama: tradisional vs modern. Alam tradisional yang diwakili oleh kehidupan orang-orang desa masih menempatkan agama sebagai laku moral yang harus ditegakkan, dimana pun dan dalam realitas apa pun. Sementara alam modern secara gamblang ditampilkan lewat kehidupan orang-orang kota yang secara angkuh menolak nilai-nilai “spiritualitas transenden”.
Tapi sungguh satu hal yang paling simbolik dalam cerpen-cerpen Kunto adalah ketika berkali-kali ia menulis cerpen tentang masalah kuburan. Agaknya cerpen-cerpen semacam ini menjadi semacam isyarat puitik dan pesan-pesan terakhirnya sebelum kemudian ia meninggalkan realitas duniawi dan masuk ke alam kubur dalam arti yang sebenarnya. Dalam cerpen Anjing-anjing Menyerbu Kuburan—sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas 1997—Kunto memainkan sebuah realitas kehidupan modern lewat metafor anjing. Ia menampilkan kisah-kisah sederhana (baik bentuk maupun gaya) untuk mengungkap kehidupan manusia yang kian serakah, yang saling memangsa satu sama lain.
Kehidupan keluarga miskin yang berhari-hari kelaparan dan tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya terpaksa harus mencuri makanan. Namun ketika makanan sudah didapat, sekonyong-konyon anjing datang mengambilnya. Kisah ini seakan memberikan gambaran kepada kita bagaimana penindasan dilakukan atas nama kemiskinan.
Dalam cerpen Jangan Dikubur Sebagai Pahlawan—juga dimuat dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 1997 dan diterbitkan dalam karyanya berjudul Hampir Sebuah Subversi (1999)—Kunto kembali memainkan jurus-jurus sejarah dan sosiologis lewat orang-orang yang serakah atawa penjahat, tapi dikuburkan sebagai pahlawan. Cerpen ini mengingatkan kita pada roman karya Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam, dimana orang-orang dungu yang tak pernah berjuang menegakkan kemerdekaan diberi predikat oleh negera sebagai pahlawan: “dan di antara kuburan mereka yang dianggap pahlawan itu, ada yang terdapat bajingan yang karena salah penyelidikan termasuk juga dalam golongan pahlawan”, demikian Pramoedya melukiskan.
Sementara Kunto merasa kecewa pada mereka yang secara terang-terangan mencoba melupakan mereka yang seharusnya pantas diberi predikat pahlawan lewat kesaksian-kesaksian orang pertama dan kedua di cerpen ini. Baik cerpen Jangan Dikuburkan Sebagai Pahlawan maupun novel Bukan Pasar Malam, keduanya sama-sama menggunakan tokoh ayah. Dan kedua-duanya juga sama-sama mengambil setting cerita pada masa Revolusi 1945. Bedanya, Pramoedya bertutur lewat orang ketiga, sementara Kunto bertutur lewat orang pertama dan kedua.
Dalam cerpen ini Kunto begitu piawai membangun konflik pada tokoh-tokohnya. Ia juga menampilkan sosok tokoh yang protagonis bernama Sangadi. Di masa Revolusi 1945, Sangadi dikenal sebagai orang yang pemurah hati dan tak segan-segan meminjamkan uangnya kepada orang-orang yang dianggap membutuhkan. Tapi di sisi lain, ia sering memperkosa perempuan dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Sang narator mengalami kebimbangan ketika hendak menentukan apakah Sangadi pantas dikuburkan di makam pahlawan atau tetap dibiarkan berada di kuburan di desanya, seperti terlihat dalam kutipan di bawah ini:

“Waktu itu tahun 1947, Zaman Revolusi. Ayah saya betugas di Dinas Penjualan Garam dan Candu. Tidak ada garam, jadi praktis yang dijual candu”....”Sangadi bersahabat baik dengan ayahku. Barangkali persahabatan yang aneh. Sangadi adalah bajingan paling ditakuti ayahku termasuk orang yang dihormati”. “Kemudian Sangadi meninggal. Mereka bertemu orang-orang menggotongnya keluar dari kampung kita, lalu dikuburkan di makam umum desa. Setelah aman, makam itu dibongkar dan dipindahkan ke tempat yang baru, yang kita kenal sebagai Makam Pahlawan”.

Meski pengarang mencoba menghindar dari posisi “menghukum” tokohnya, namun secara terang jawabannya terungkap lewat judul cerpen ini, “Jangan Dikuburkan Sebagai Pahlawan”. Jasa baik Sangadi telah luntur lantaran perbuatannya yang begitu sering melakukan pencabulan dan pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan tak bersalah.

Karena kisah yang ditampilkan dalam cerpen ini hampir sama dengan dengan roman karya Pramoedya di atas, maka (maaf) saya sedikit mencoba untuk membandingkan kedua karya ini.

Dalam roman Bukan Pasar Malam, Pramoedya secara tajam mengkritik orang-orang yang selama ini tak pernah berjuang di medan perang menegakkan kemerdekaan tapi diberi predikat pahlawan: “dan kini, belum lagi setahun kemerdekaan tercapai ia sudah tak digunakan lagi oleh sejarah, oleh dunia, dan oleh manusia”, demikian Pramoedya mengungkapkan.

Selanjutnya, dengan kembali menggunakan orang ketiga sebagai penutur, Pramoedya tak henti-hentinya mengingatkan kita akan bahaya dari sejarah buatan rezim resmi:

“Ayah Tuan jatuh sakit oleh kekecewaan—kecewa oleh keadaan yang terjadi sesudah kemerdekaan tercapai. Rasa-rasanya tak sanggup lagi ia melihat dunia kelilingnya yang jadi bobrok itu—bobrok dengan segala akibatnya. Mereka yang dulu jadi Jenderal di daerah gerilya, mereka yang tadinya menduduki kedudukan-kedudukan penting sebelum Belanda menyerbu, jadi pemimpin pula di daerah gerilya dan jadi bapak rakyat sungguh-sungguh. Dan ayah Tuan membela kepentingan mereka itu. Tapi, kala kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama berebutan gedung dan kursi”.

Dengan demikian, baik Kunto maupun Pramoedya, keduanya memang pengarang yang piawai memainkan kilas-balik sejarah masa lalu yang tetap menemukan pijakan pada masa kini dan bahkan di masa mendatang. Kedua tokoh ayah dalam kisah ini tampil sangat memikat lewat ayah yang bekerja sebagai pedagang garam dan candu (Kunto) dan ayah yang bekerja sebagai guru Sekolah Rakyat (Pramoedya), yang menggugat kebijakan Dinas Pemerintahan Kolonial. Dan sebagaimana diketahui, kedua tokoh ayah ini hampir tidak pernah disinggung-disinggung apalagi dimasukkan dalam buku pelajaran sejarah resmi. Buku sejarah tentang pahlawan-pahlawan nasional di negeri ini di susun untuk melupakan sejarah yang sebenarnya.

Gugatan yang bertubi-tubi dihadirkan Kunto lewat cerpen-cerpen yang menggugat warisan buku-buku sejarah resmi menarik untuk dikaji lebih mendalam. Bahkan beberapa cerpennya yang lain, tak kalah bernasnya mengisahkan kehidupan orang-orang kalah, seperti cerpen Orang yang Mencintai Kuburan. Cerpen ini menunjukkan secara kontras antara makam orang-orang kaya dengan makam orang-orang miskin dan realitas politik “yang tidak jauh berbeda dengan kehidupan anjing” (yang besar memakan yang kecil). Begitu juga dalam cerpen Hampir Sebuah Subversi, lewat kisah sederhana ini ia mendedah sosok mahasiswa yang kritis tapi oleh dosennya dituduh sebagai anti-ideologi negara.

Sampai disini, karya-karya almarhum Kuntowijoyo menawarkan sebuah kisah dramatik sekaligus subversif. Cerpen-cerpen bertema kuburan memang sebuah isyarat puitik tentang kematian, yang setiap orang akan pergi meninggalkan yang lain. Maka dari sini, cerpen-cerpen Kunto menawarkan kesegaran dan ketegangan sebuah cerita, bukan pencabulan ata kenenesan yang membual mimpi-mimpi indah. Karena itu, sepantasnya bila almarhum diberi gelar bapak bangsa dan dikuburkan sebagai pahlawan nasional: suka atau tidak suka.




Tubuh Cerpen Dina Oktaviani



Saya suka pada monolog-monolog batin yang dihadirkan Dina lewat sejumlah cerita pendeknya. Membaca sepuluh cerpen dalam Cumo Un Sueño, saya seperti diajaknya mengembara ke lembah-lembah gelap yang nyaris tanpa batas dan tepi. Di dalamnya saya bertubi-tubi disuguhkan berbagai refleksi dan pertanyaan kritis yang dibiarkan tanpa jawaban. Hampir seluruh cerpen Dina menampilkan kisah aku naratif yang gelisah, menderita, dan kesepian. Dalam hal keluarga, cerpen-cerpennya banyak menyuarakan konflik antara perempuan yang harus bekerja di luar rumah dengan kewajiban mengasuh anak di dalam rumah.

Nicole—perempuan asal Bandung—dalam cerpen karya Dina Oktaviani, memiliki karakter yang unik. Selain karena judul dan setting cerita “tidak nyambung”, cerpen ini mengisahkan karakter seorang perempuan lokal yang terjerat di tengah-tengah kehidupan orang ramai di kota modern. Nicole tinggal di kota Manhattan—sebuah kewarganegaraan baru yang mengancamnya—lantas kawin dengan tokoh “aku”. Mereka hidup bersama dan sepakat untuk pura-pura tak saling mengenal sampai waktunya mereka pulang kembali ke kampung halaman.

Manhattan dalam cerpen Cumo Un Sueño tampil lewat realitas kehidupan tokoh-tokohnya yang begitu menggugah keingintahuan lebih jauh. Nicole dan si Aku tinggal di sebuah apartemen atau gedung pencakar langit. Menurut ukuran kita yang biasa tinggal di “Hotel Indonesia”, menetap di apartemen mewah di Manhattan bukannya menyenangkan. Bagi seorang yang beragama Katolik seperti si Aku dan Nicole, menonton adegan-adegan penuh aksi di film-film Hollywood sungguh menggoda. Tapi pada saat bersamaan, budaya pop seperti ini bisa menggrogoti keyakinan yang selama ini masih bisa dipertahankan.

Nicole dan si Aku--orang kampung yang tak jauh berbeda dengan kita--begitu gamang memposisikan diri di tengah kehidupan modern di kota Manhattan atau New York. Dalam cerpen ini, Dina kembali menghadirkan tema lama tentang “Timur” dan “Barat” yang ujung-ujungnya, “Timur” lebih baik dari “Barat”. Alam lokal begitu kuat menariknya untuk kembali ke kampung halaman. Pengarang nampaknya belum mampu keluar sepenuhnya dari kecenderungan lama para pengarang “rantau” kita, yang ketika telah menetap di negeri orang, ingin kembali lagi ke kampung halaman.

Tema semacam itu sudah banyak digarap oleh para sastrawan. Sitor Situmorang—sekedar menyebut contoh—adalah “tipe ideal” penyair yang gamang menghadapi negeri “asing” (Prancis) dan kembali ke kampung halaman—baik dalam arti kiasan atau sebenarnya. Puisi-puisinya sempat menjadi perbincangan dikalangan kritikus sastra. Goenawan Moehamad menyebut gejala manusia modern semacam ini sebagai, Potret Seorang Penyair Muda Sebagai si Malin Kundang (1972). Soebagio Sastrowardoyo melahirkan, Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (1989). Sementara Radhar Panca Dhahana melahirkan “tesis” sastra, Yatim Piatu yang selalu Meragu (2001).

Pada cerpen Dina, alam lokal yang tenang dipertentangkan dengan alam global yang bising. Bayangkan, setiap memasuki pukul enam sore, si aku menyaksikan di jalan-jalan kota Manhattan berubah menjadi lautan kepala manusia. Segalanya siap untuk bereaksi. Semunya sibuk dengan diri sendiri. Menjelang hari Natal dan Tahun Baru, segalanya menjadi kacau.

Sinar lampu yang berkunang-kunang membuat rambut di balik slayer merah yang dikenakan Nicole terurai panjang seperti “kunang-kunang yang mengingatkan mereka pada selembar kain bendera Amerika…Seragam putih bertepi merah seperti bendera Indonesia.” Pada penghujung kalimat sang narator menegaskan, “Ah, sentimentil imigran.”

Saya kira di sini letak kelebihan—atau malah kegagalan—cerpen Dina. Saya terpaksa harus membaca kembali cerpen Umar Kayam, Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1968) yang diterbitkan kembali oleh Penerbit Grafiti (2003). Ada beberapa kedekatan naratif antara cerpen Dina dan Kayam. Kita tahu, Kayam melukiskan dengan sangat indah realitas Manhattan sebagai kota yang dipenuhi lampu-lampu yang menjelma seperti “ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa”.

Lewat dialog tokoh Marno dan kekasihnya , Kayam berusaha untuk menghindar dari perangkap kisah sentimentil yang memuja berlebihan Tanah Air dan kampung halaman. Saya kutip dialog kedua tokohnya untuk sedikit “membandingkan” dengan cerpen Dina.
“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”
“Lantas?”
“Tidak apa-apa. Itu akan membuat aku lebih senang sedikit.”
“Kau anak desa yang sentimental!”
“Biar!”

Di situ terlihat usaha sang pengarang untuk menghindar dari kecenderungan kisah sentimentalisme dengan membubuhkan kata sentimentili itu pada teks cerita. Selain itu, kedua cerpen itu sama-sama memainkan narasi dengan rima bunyi dan dialog yang bersahut-sahutan. Penulisan nama juga begitu dekat. Dalam cerpen Kayam, nama martini—nama sebuah minuman atau jus—“berubah” menjadi nama tokoh Maraini dalam cerpen Dina.

Dalam cerpen Dina, ada makanan yang “berjenis kelamin”—yang semula digambarkan sebagai sosok perempuan rupawan—berubah menjadi sebuah makanan “lobster” jantan atau Dad (makanan) menjadi Dad (nama orang). Dalam cerpen Kayam, sebuah negara bernama Eskimo—tentang adat istiadat yang menyuguhkan istri kepada tamu—sama dengan realitas negara Meksiko dalam cerpen Dina.

Begitu juga tentang kisah percintaan antara si Aku dan Nicole dalam cerpen Dina, begitu berdekatan dengan kisah cinta si Aku dengan Marno dalam cerpen Kayam. Kedua kisah percintaan—keduanya sama sekali tidak bicara tentang “tomo maindo” atau bersetubuh dan Cu atau vagina--di kereta bawah tanah (Dina) dan di apartemen (Kayam), hanyalah setting pelengkap yang tak begitu dominan. Istilah-istilah Portugis yang dihadirkan dalam cerpen Dina (seperti terlihat dari judul) atau Spanyol, Timor Leste dan Indonesia, hanya bingkai atau polesan sekilas. Selebihnya, kisah tentang kehidupan orang-orang Manhattan berikut realitas politik di dalamnya.

Baik cerpen Dina maupun Kayam, keduanya cukup unik. Terutama ketika di penghujung kisah, sang narator menyuguhkan kepada kita tentang pentingnya “menjelaskan” karya ini. Keduanya bagai petualang yang melahirkan banyak inspirasi –juga ilusi dan mimpi-mimpi-- yang mengagumkan. Pada cerpen Dina Octaviani dengan sangat terang-benderang sang narator mengatakan, “Aduh, maaf kalau cerita ini jadi kelihatan berantakan, ngawur, tidak waras dan mengada-ada, bahkan seperti sebuah mimpi saja. Ya, como un sueño. Habis, aku stres. Pada cerpen Umar Kayam disebutkan, “ di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.”.

Apa maksud kedua kalimat terakhir ini? Apakah sang narator hendak mengatakan bahwa cerpen ini hanya ilusi atau kejadian-kejadian dalam mimpi—seperti dalam film-film Hollywood—atau…? Semua kemungkinan bisa saja ditafsirkan. Tapi ada hal-hal—yang meski sangat terang-benderang--yang tak mampu keduanya hindari adalah, seni bercerita memang menjadi taruhan tersendiri bagi pengarang untuk melahirkan cerpen realisme yang tak sekedar berumit-rumit dengan metafor atau estetika yang berlebihan.

Kembali pada cerpen Dina, tokoh Nicole dan si Aku memang berkali-kali digambarkan sebagai “orang Timur” yang terpana dan terjebak di gedung-gedung pencakar langit yang menimbulkan kesangsian yang luar biasa. Salju-salju di Manhattan yang begitu indah justru menyiksa. Orang-orang yang menonton adegan-adegan penuh aksi sementara keduanya hanya termangu. Sebagai orang yang dibesarkan dengan tata karma agama dan adat istiadat Timur, si Aku tak mampu bertahan lama dalam cengkraman budaya pop kota Manhattan.

Sang narator juga menyuguhkan kepada kita tentang persepsi “Barat” terhadap “Timur”. Pada suatu hari, ketika si Aku dan Nicole sedang menyantap makanan, sebuah koran dengan sebuah headline yang kacau-balau tentang Indonesia bergeletakan di meja-meja restoran. Si Aku duduk di sudut restoran sendirian, sementara orang-orang berkerumun dan berbicara tentang Indonesia dengan berapi-api sambil tangan menunjuk-nunjuk ke arah halaman koran itu.

Kemudian si Aku menangkap pembicaraan orang-orang tersebut seraya berkata, “Aku penasaran dan dengan malas mengambil juga satu koran. Ada berita yang menjatuhkan negaraku habis-habisan. Di negeri orang, manusia sentimentil dan emosional sepertiku pun bisa menjadi begitu nasionalis dan terpukul”.

Di Manhattan, setiap orang Barat menemukan berita tentang Indonesia di koran atau media massa, mereka tak mampu menyembunyikan wajah tak bersahabat terhadap Indonesia. Di Manhattan pula, manusia sentimentil dan emosional (seperti watak si Aku), yang semula kurang begitu memikirkan masalah “Indonesia Tanah Airku”, tiba-tiba berubah menjadi seorang nasionalis yang memeluk teguh negara-bangsa-nya.

Ada nada ironis(me) yang tampil gamblang dalam cerpen ini. Meski sang narator mencoba mengalihkan persoalan ini ke masalah yang lain, seraya mencoba menghindar dari keterpukauan terhadap kebudayaan Manhattan, namun diam-diam Nicole menaruh rasa kagum dan simpati pada kota ini. Ia pun tak mampu menyembunyikan kesenangannya saat mengikuti perkemahan di musim panas, meski tubuhnya sering sakit-sakitan.

Pertengkaran tak bisa dihindarkan, dan singkat cerita, kedua anak manusia ini harus berpisah. Namun mengurus perceraian dan segala tetek-bengeknya di kota Manhattan tak semulus yang mereka duga. Terlebih untuk pasangan Katolik seperti mereka, mengurus perceraian begitu menyiksa. Di sini si Aku lag-lagi menampilkan wajah ‘Timur”-nya dan mengingat kembali sikap orang-orang di restoran yang dulu menjelek-jelekkan negaranya. Ia menangkap arti lirikan orang-orang di restoran setelah membaca koran suatu Sabtu itu. Ia juga tahu kenapa temannya dan seorang lelaki tegap memperdengarkan kata “komo en suenyo”—ejekan dengan memplesetkan kata como un sueño --sambil memandang kepadanya. Ia juga tak ingin menyusahkan temannya dan karena itu ia harus segera pulang ke Bandung.

Dari sini, Nicole harus tinggal seorang diri di Manhattan sementara si Aku harus segera angkat kaki dari negeri yang tidak menaruh simpati pada negaranya. Cerita selanjutnya hanya menghadirkan kisah surat-menyurat antara si Aku yang sudah berada di Jakarta (menginap di Hotel Indonesia) dengan Nicole yang masih tinggal di Manhattan. Dari surat-menyurat itu sang narator menghadirkan kisah kegagalan si Aku di Manhattan seraya ingin hidup seperti dulu lagi: menulis dan mengarang cerita tentang sebuah “bangsa yang sudah tak punya muka” dan perang antara Jerman (Nazi) dengan Yahudi, dengan “ambisi setinggi langit untuk meraih nobel sastra”.

Mengapa kisah perang membuatnya ingin menulis prosa? Sang narator sadar atau tidak tengah menegaskan kembali apa yang dulu pernah dikatakan Milan Kundera. Di zaman ini, hanya negeri yang pernah luka oleh sengitnya perang saja, yang bisa melahirkan karya berwibawa seperti lukisan Guernica. Alih-alih bersikap kritis, sang narator justru tengah menegaskan kembali apa yang pernah dipertanyakan secara kritis oleh Goenawan Mohamad: bisakah kita katakan bahwa kita, juga sastra, membutuhkan perang dan kejahatan dan kekejaman untuk dicatat dan dapat tempat?

Sementara cerpen Pementasan Terakhir nyaris merangkum seluruh perasaan si aku naratif dalam kumpulan cerita pendek Dina. Dilihat dari temanya, cerpen ini agak dekat dengan cerpen semibiografis, di mana pengarang mengisahkan pengalaman si Aku lirik yang menulis puisi dan menceburkan diri di dunia seni pertunjukan (sandiwara dan teater). Namun pada puisi-lah si Aku menemukan lirik yang memuaskan: sesuatu yang ketika ia tak kuasa menolak kekalahan di luar dirinya, ia membalasnya dengan puisi. Baginya, puisi adalah kemenangannya yang terakhir setelah sandiwara dan teater.

Di sini tema kesepian, angkara, dan kegelisahan tampil lewat kisah kehidupan perempuan yang berkali-kali mengalami nasib tragis. Dalam cerpen Biografi 1510, pengarang kembali menampilkan cerita seorang perempuan yang hamil di luar nikah hingga kemudian melahirkan seorang anak yang tak pernah mendapatkan kasih sayang dari keluarganya. Di kamar Hotel Sabrosa 1540, sejarah hidupnya terukir dengan amat tragis. Ia diperkosa oleh seorang lelaki yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri.

Tema incest – hubungan seksual antara orang yang masih memiliki hubungan darah—ternyata memancang ingatan kelam bagi masa depan seorang gadis seperti dalam cerita ini. Betapa nyeri proses yang berlaku bagi seorang gadis tak berdosa dalam menanggung beban penderitaan bertahun-tahun. Tema incest terung lagi dalam cerpen Setangkai Mawar Dari Emily. Cerpen ini berkisah tentang perjalanan seorang perempuan yang kehilangan mimpi-mimpi indahnya dan tak lagi memiliki nyali untuk berhadapan dengan dunia luar (publik). Dalam cerpen ini, pengarang bertubi-tubi menggugat kita—kaum maskulin—dan mereka yang dengan lancang menanamkan kekuasaan hanya pada kaum laki-laki. Tuan Dickinson adalah lelaki berwibawa, tuan tanah yang kaya, memiliki empat istri, dan dibangga-banggakan oleh orang-orang kampungnya. Ia meninggal dunia ketika Emily berusia dua puluh tiga tahun.

Emily adalah putri Tuan Dickinson yang mengalami penderitaan yang tragis lantaran hamil di luar nikah. Sejak ia melakukan hubungan seks ia mengalami gangguan jiwa yang berat, yang ayahnya—juga orang-orang di kampungnya -- tak pernah memahaminya. Tema incest terkuak ketika sang ayah yang telah menanamkan benih di rahimnya. Pengarang nampaknya ingin menggugat sang ayah lewat pertanyaan sederhana: kenapa kautancapkan jakar di rahimku bila kemudian engkau pergi meninggalkan aku seorang diri tanpa kepastian? Kenapa setelah benih kau sebarkan ke seluruh sendi-sendi tulangku tapi tak pernah engkau sirami?

Tema perempuan dalam cerpen-cerpen Dina selalu diperlakukan tidak manusiawi. Mitos keluarga yang pengasih dan penyayang dalam cerpen-cerpennya digugat habis-habisan lewat dualitas kehidupan modern-tradisional, lelaki-perempuan, surga-neraka, kehidupan-kematian, dan seterusnya. Kalimat-kalimatnya terasa mengalir lancar dalam keheningan—seperti lirik puisi-puisinya—seraya mencoba memainkan perasaan dan getaran jiwa seorang perempuan.

Sampai di sini, tema incest cukup berhasil menyuguhkan konflik yang dialami tokoh-tokoh perempuan ciptaan Dina. Suasana jiwa yang bergolak begitu menghunjam, bahkan rasa putus asa nyaris tak tertahan, lantaran kehamilan dan pendarahan begitu menyiksa para puan.




BH Emha



Membaca cerita pendek Emha Ainun Najib selalu mengingatkan saya pada “manifesto” Seno Gumira Ajidarma: “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Kesan itu kian meyakinkan saya ketika membaca ontologi cerpen BH Emha. Sebanyak dua puluh tiga cerpen dalam ontologi ini memiliki persinggungan yang kuat dengan apa yang saya namakan cerpen sebagai kritik sosial. Cerpen-cerpen Emha muncul di surat kabar dan majalah seiring dengan hangatnya perdebatan sastra kontekstual tahun 1980-an. Bahkan jauh sebelum istilah ini dikampanyekan oleh Arif Budiman dan Ariel Heryanto, dan diikuti penulis-penulis lain, Emha telah menghasilkan puluhan cerpen realisme dengan tema kritik sosial.

Dalam cerpen “Lelaki Ke-1.000 di Ranjangku” misalnya, Emha menghadirkan kritik sosial lewat penderitaan seorang pelacur bernama Nia, yang kecewa terhadap suaminya. Nia adalah perempuan yang terjerat di antara dua karang yang harus dipilih: kehidupan di desa yang tentram tanpa suami atau kehidupan di kota menjadi pelacur. Nia jatuh pada pilihan untuk tinggal di kota menjadi pelacur yang berhari-hari bersimbah peluh melayani nafsu laki-laki. Setiap minggu tak kurang delapan orang laki-laki hadir mendekap erat tubuhnya.

Adakah yang peduli dengan suara rintihan dan jerit sekarat yang menghunjam jiwanya? Realitas sosial menjadi titik balik bagi Emha untuk melahirkan cerpen sebagai kritik sosial, sekaligus kritik terhadap ideologi patriarkhi. Sampai pada laki-laki yang ke-sembilan puluh sembilan yang menggagahi tubuhnya, Nia masih merintih pilu. Pada laki-laki yang ke-seribu, ia mulai merasakan getar yang menjalar-masuk ke sendi-sendi tulangnya. Laki-laki ini hanya bersetubuh batin dengan dirinya, tanpa pernah merobek-robek kemaluannya. Tapi laki-laki yang satu ini hanya ada dalam mimpi dan khayalan, tanpa pernah mewujud dalam kenyataan sehari-hari.

Dalam cerpen “Padang Kurusetra”, Emha menampilkan tema kritik sosial secara gamblang lewat hikayat Prabu Kresna dengan menampilkan mitologi-mitologi pewayangan dalam tradisi Jawa. Saat terjadi pertentangan antara Kurawa (penguasa) yang licik dengan Pandawa (rakyat jelata) yang selalu membela kebenaran di padang Kurusetra, sang narator menunjukkan keberpihakan kepada rakyat jelata.

Pada cerpen “Pesta”, Emha lagi-lagi mengangkat kejadian sosial sehari-hari dengan membubuhkan wawasan sosial pada tema pesta perkawinan yang cukup sederhana. Dalam cerpen sependek ini, Emha bahkan menyusupkan dialog tentang masalah isi dan bentuk dalam sebuah karya sastra. Pada cerpen ini juga, Emha mendulang persoalan “Timur” dan “Barat” yang sejak tahun 1930-an masih terus diproduksi hingga hari ini. Tema ini memang banyak mengilhami para sastrawan, tapi sekaligus banyak menjerumuskan mereka ke dalam pusaran politik yang melelahkan. Tapi dalam cerpen ini, peliknya masalah “Timur” dan “Barat” dihadirkan dengan bahasa yang ringan.

Dari segi bahasa, cerpen-cerpen Emha gagal membangun wawasan estetika yang kuat, tapi berhasil mendulang wawasan kritik sosial. Sebagai narator, ia gagal membangun suasana liris dan subtil—sebagaimana dalam kolom-kolomnya—tapi berhasil menyandingkan ilmu sosial dengan ilmu sastra.... Emha luput menghadirkan metafor atau simbol sebagai bagian yang harus dirayakan dalam karya sastra, tapi ia berhasil membuat karyanya terang-benderang dan tidak bergelap-gelapan ala penyair liris. Penuturan dan pilihan katanya terlampau sederhana, bahkan terkesan asal-asalan, tapi sangat kuat menghadirkan masalah penokohan, konflik-konflik yang terjadi, yang berakhir dengan sangat mengenaskan.

Dalam hal stilistik penciptaan, realisme cerita pendek Emha gagal, tapi berhasil menyusupkan daya mantra yang menggugah, menggetar, mendobrak pawang sastra yang angkuh. Daya mantra menjadi taruhan untuk melahirkan genre cerpen realisme—yang betapa pun sederhanya—yang tidak merengek meminta belas kasihan, mengaduh saat ditikam, atau merintih saat diserang, seperti terlihat dalam cerpen “Pesta” yang main-main, teka-teki, bahkan kelewat jenaka menertawakan diri kita.

“Nyeroslah terus, ngecoh dan berkhotbahlah terus, karena musik dan jojing pun terus! Bangunlah keasyikan sendiri, bangunlah dunia sendiri, bangunlah obrolan sendiri!...Begitu terus. Naah, ngomonglah terus. Aku juga. Kita bergayung sambut, kita saling pidato berdua, kita minum rokok sendiri dan membangun kesibukan sendiri. Acung-acungkan tanganmu ke arahku dan kuacung-acungkan tanganku ke arahmu! Semprotkan gerimis kalimat dan air dari mulutmu dan kutampar mukamu terus dengan hentakan-hentakan responsku! Terus begitu! Terus!...”.

Selain miskin metafor dan gagal membangun keindahan, susunan kalimatnya terkesan acak, ngawur atau berantakan. Sesekali sang narator menjelma sebagai juru khotbah yang bertubi-tubi menggurui tokoh-tokohnya. Sebagai cerpen kritik sosial, kenyataan ini tidaklah tabu, bahkan harus dirayakan. Bukankah begitu banyak cerita pendek di negeri ini—yang seperti sampah—tidak hanya gagal melahirkan metafor, tapi juga gagal membangun wawasan estetis?

Dalam cerpen “Kepala Kampung”, Emha lagi dan lagi mengusung keranda mayat untuk membawa potongan kepala (kampung) lewat kritik sosial yang “liar”, yang tidak bermanis-manis—apalagi basa-basi. Realitas politik yang ditentukan oleh segelintir elit Kurawa di negeri ini lagi dan lagi hadir dengan amat terang-benderang, yang sudah berkali-kali dimamah biak media massa. Tapi lagi dan lagi Emha mampu mengelak dari kenenesan atau bahkan kecengengan ala pengarang “rantau” yang rindu kampung halaman. Rakyat dalam cerpen Emha tak ubahnya seperti kita, tak pernah diberi kebebasan menjaga diri sendiri, tapi harus diawasi, dijaga, sampai membuang kotoran ke WC sekalipun.

Kritik sosial dalam cerpen-cerpen Emha tidak hanya ditujukan pada negara atau penguasa tapi juga kepada mazhab sastra yang masih meliris-alis memetik anggur memoles bibir atau bermahligai di langit. Berkali-kali Emha melontarkan kritik pada agamawan—juga sastrawan-- yang berlagak seperti wali Tuhan tapi menciptakan tuhan-tuhan hampir disetiap sudut halaman koran. Ini terungkap dalam cerpen “Ambang”, “Lingkaran Dinding”, dan cerpen “Yang Terhormat Nama Saya”. Dalam cerpen ini, nuansa sastra dan religiositas—mencomot istilah almarhum Romo Mangun—hadir seperti esai-esainya yang memantik, nyinyir, menohok, memberontak.

Realisme cerita pendek Emha memang tak mendapat tempat di mata penulis cerpen liris yang senang berpeluh-berkesah-bermimpi dengan seks dan senggama—seraya mempertontonkan auratnya secara telanjang di depan umum. Dalam cerpen “BH”, dengan judul nyentrik atau ngeseks, sama sekali tak menghadirkan persoalan seks atau kelamin, tapi kisah cinta antara Niken—seorang sarjana yang cerdas dan pernah menjadi hakim—dengan si Aku seorang guru ngaji di sebuah pesantren.

Bagaimana pun sinisnya mereka yang menolak sastra kontekstual atau sastra sebagai kritik sosial, cerpen-cerpen Emha tetap berharga untuk menjaga watak manusia dari lupa dan alpa yang memusnahkan. Sebab kekuasaan—apa pun retorika kita tentangnya—dalam cerpen-cerpen Emha muncul dengan wajah yang bengis, ganas, meradang-menerjang, dan peristiwa-peristiwa biadab yang pernah hadir tapi terlanjur dilupakan. Dengan cerpen-cerpen Emha kita selalu dipaksa untuk awas terhadap sifat lupa yang dipelihara.














Prosa Enigmatik dan Mistik Bilangan Fu Ayu Utami


Satu yang dirumuskan tanpa konsep nol adalah satu yang dirumuskan bukan dalam mentalitas matematis, melainkan mentalitas metaforis. Satu yang dirmuskan tanpa konsep nol, adalah satu yang sekaligus memiliki properti nol. Inilah, saya rasa, yang dicari-cari Ayah melalui pendekatan dan lakunya yang sulit dimengerti dalam bilangan itu. Satu yang juga nol.
--AYU UTAMI

Matematikawan adalah orang yang sangat eksklusif. Mereka menempati suatu dataran sangat tinggi dan memandang rendah semua orang lain. Ia membuat hubungan mereka dengan perempuan sangat rumit.
--ZIPPORAH LEVINSON



Syahdan, di sebuah kota tua bernama Merv, hidup seorang lelaki yang berdagang kain celup. Inilah kerajinan yang dikenal oleh orang-orang sekitarnya sebagai tempat pemalsu paling tersohor. Mirip seperti kota Bandung, Merv banyak dikunjungi para pedagang kain yang datang dari berbagai penjuru.

Suatu hari lelaki yang berdagang kain celup itu menghilang. Terdengar kabar ia muncul di Khurasan, dan tak disangka-sangka ia menjadi seorang hakim di lingkungan orang-orang muslim. Entah kebetulan atau suratan nasib, namanya sendiri adalah Hakim. Orang menyebutnya Nabi Tabir. Pada masa kekhlaifahan Mohammad al-Mahdi (khalifah yang dikenal cukup longgar terhadap orang-orang yang menikmati hubungan mesra dengan Tuhan), ia memiliki para pengikut begitu banyak, yang terkadang ngawur dan gawat hingga sang khaifah tak lagi kuasa menyembunyikan kemarahan.

Hakim sendiri sama sekali tak punya niat ingin menyalahgunakan kelonggaran aturan sang khalifah, namun apa boleh buat, ulah para pengikutnya telah membuat khalifah murka. Sejak itu terjadilah tuding-menuding soal bid’ah, dan perselisihan tak terhindari. Hakim sendiri mulai cenderung aneh, sampai akhirnya ia meletakkan prinsip-prinsip syahadat pribadinya dan menjadi seorang gnostik kuna. Maka ia pun mulai kerasukan oleh aura mistik, dan banyak merenungkan masalah kosmologi dan kosmogoni yang tidak abadi. Pada sebuah akar kosmogoninya terdapat sesosok tuhan yang tak tembus pandang. Baginda tuhan ini dikenal sebagai maha tanpa muasal. Dia tuhan yang tiada berubah, namun cintanya merekahkan sembilan waktu dan bayangan.

Seraya menurun ke penciptaan, ia mengemban dan mengepalai surga pertama. Dari mahliga ilahi mula ini, muncul mahligai kedua, dan ini membentuk surga yang lebih rendah—yang merupakan pencerminan simetris dari surga pertama. Kemudian dari sini dicerminkan pada mahligai ketiga. Mahligai ini dicerminkan pada mahligai yang lebih rendah, dan seterusnya, dan seterusnya, hingga berjumlah 999. Inilah bayangan dari bayangan dari bayangan lain lagi—dan pecahan keilahiannya mencapai nol.

***

Sekelumit kisah di atas saya cuplik dari terjemahan karya Jorge Luis Borges tentang kisah Tukang Celup Kain Bertopeng: Hakim dari Merv, dalam Sejarah Aib. Kisah tesebut, sengaja saya kemukakan untuk mengwali suatu pembicaraan mengenai sebuah novel dongeng masyhur tahun ini: Bilangan Fu. Pengarangnya adalah pengarang dua novel yang menghebohkan masyarakat sastra sebelumnya: Saman dan Larung.

Beda dengan dua novel sebelumnya, Bilangan Fu adalah novel filsafat dengan warna esai yang khas. Di dalamnya sulit ditemukan bahasa imaji yang berima, sebagaimana dua novel sebelumnya. Novel ini banyak mengungkai kisah-kisah mitologis yang, selain mengenai kosmologi dan kosmogoni, juga mengaduk-aduk matematika, geometri, fisika, agama, dan tafsir tentang Tuhan antara sebagai satu dan nol yang sangat rumit.

Sudah sejak halaman muka, kita dipertontonkan dengan rajutan berbagai narasi yang hampir mati atau sudah mati, namun agaknya berhasil dihidupkan kembali melalui jalinan kisah-kisah kejadian yang kadang mengandung alegori mistik, motif mitos, mimpi dan fantasi. Semua itu tampaknya ditakik dari aneka khazanah melalui riset yang serius.

Kisah-kisah purba, baik yang bersumber dari Kitab Suci maupun mitologi Jawa, muncul susul-menyusul, yang bagaikan para dewa yang sedang menyusun dinastinya sendiri melalui kilas-balik kilas-balik yang tak selesai. Hamparan menu hidangan dan sakramen-sakramen aib seputar agama dan politik di masa lalu, masa kini dan masa depan, ditampilkan dengan intim. Imajinasi sang pengarangnya seperti meluncur bagai roket menjelajah bidang-bidang liputan yang masih dibalut oleh tegangan, sulawan, misteri dan teka-teki.

Beragam masalah yang dinarasikan itu akhirnya sampai juga kepada masalah tiga yang bukan menguak tabir, namun ikut juga merundung sebagian besar para pengarang, yaitu modernisme-monotheisme-militerisme (yang oleh penulisnya dengan ringan disingkat 3M). Dari sini lalu kita diajak menjelalah dunia spiritualisme dan rasionalisme, estetika kesatu-paduan dan estetika hibrida, tentang masalah kalender Masehi dan Hijriyah dan Jawa purba. Lantas mengembara serba-selintas ke dalam ilmu falaq, ilmu bumi, fisika dan biologi, filsafat dan psikologi.

Novel ini tak cuma esai, tapi adalah esai. Senadainya Romo Mangunwijaya masih hidup, mungkin akan memasukkan novel ini sebagai susastra berciri esai dalam esainya berjudul “Pemasyarakatan Susastra Dipandang dari Sudut Budaya”. Amat banyaklah di bawah kolong langit ini yang bersifat mistis, historis dan mitologis, sebagaimana dalam adonan novel ini. Ayu memang pintar melukiskan peristiwa nyata, atau seolah-olah nyata, seperti dalam novel-novel realis, namun dengan sedikit bermain-main dengan metafora.

Pola-pola geometris di tangan Ayu justru dipintal menjadi suatu pola perlambangan yang berisi namun bukan suatu pilihan estetik. Berbagai jalinan kisah seakan menggemakan suara lonceng abad tengah yang bangkit dari dalam tiap nurani para tokohnya. Barang kali inilah sebuah kekosongan yang mesti ditebus dengan kesendirian dan kehilangan. Sunya kata orang Hindu. Cifr dalam bahasa Arab. Sebuah kekosongan yang tak menuntut diisi, tapi juga mesti diisi. Perasaan kosong itu hadir dalam sosok perempuan tanpa nama yang hidup di tengah bejibun nama. Atau sebuah nol di tengah angka dan orang banyak. Sebuah mimpi, angan-angan, dan harapan yang bersemi dari puing-puing ironi sejarah yang menyesakkan. Sebuah laku hidup yang mengalir dan merayap bagai tanaman rambat, memuntir dan meliuk untuk memperlihatkan tunas-tunas hijau. Meski di tengah segala dusta, kendati di tengah segala prasangka.

Novel ini tak ayal mengajak kita untuk merenungkan seorang narator bernama Yuda—penantang ulung dam penyuka panjat tebing. Salah satu tokoh novel ini bernama cantik: Parang Jati (tokoh yang lahir pada bulan Sadha atau Hapit Kayu). Atau bulan keduabelas dalam penanggalan Jawa kuna yang kini telah berubah nama menjadi Pranata Mangsa. Alkisah, Parang Jati bertemu dengan Farisi, dan kelak akan mengalami nasib yang dekat dengan kisah “penulis” cerpen ‘Langit Makin Mendung’. Parang Jati dan Suhubudi berusaha melepas penangalan Hijriyah, mungkin karena keduanya bukan orang yang berada dalam satu barisan dengan pasukan Muhammad yang hijrah dari Arab ke Madinah yang ditetapkan sebagai awal mula kalender Hijriyah dalam Islam.

Dari sini kita dipertontonkan kecerdasan Ayu dalam mengolah sebuah teorema yang indah, dengan ciri yang sulawan. Gayanya tak ubahnya seperti dongeng masa lampau, namun yang membedakannya: novel ini terasa lebih intelektual karena ini novel esaistis yang mengandalkan isi ketimbang bentuk karena bentuk mungkin dianggap terbatas, meniscayakan keterbatasan. Di dalamnya akan kita temukan ketegangan yang tak hendak meloncat dan membahana, kadang dengan kejutan yang tenang dan lirih. Berkali-kali juga bahasa penegasan muncul, baik tenang orang Jawa yang memiliki almanak sendiri, yang bebeda dengan kalender Hindu dan Islam.

Sang narator adalah sosok makhluk yang sadar-diri, sabar dan tawakal dalam melayani kelebatan pemikiran para tokohnya. Beberapa kali kita temukan sang narator menjelaskan soal pergeseran penanggalan Jawa menjadi Jawa-Islam, seperti pada karakter Sultan Agung Mataram. Tarikh Jawa kuna sendiri, yang jauh lebih tua dari ritual Bakakak Nngayogya, telah berubah ke arah yang tidak kreatif. Kini orang Jawa kebanyakan masih menjalankan ritual berdasarkan Pranata Mangsa. Masyarakat Jawa adalah para petani, bercocoktanam dengan mengenal musim. Orang Jawa tidak bisa menanggalkan penanggalan Hijriyah dan bulan Sapar sepenuhnya. Tapi justru karena orang Jawa lebih percaya pada Pranata Wangsa, maka berakhirlah bulan Sadha: bulan pertama dalam tradisi kita telah kembali. Dan bulan ketigabelas, di mana sesuatu menjadi satu lagi. Air surut di beberapa lubuk. Pohon kapuk tua mulai meretaskan buahnya, melayangkan serabut kapas putih bersama angin...

Dari sana kita diajak kembali memasuki rawa-rawa tersembunyi melalui mitos-mitos alam dan manusia. Dalam perjalanan memasuki hamparan luas intertektualitas, kita bersiap untuk dikejutkan berbagai kisah dalam Kitab Suci, semisal kisah dalam Kitab Kejadian. Kitab ini adalah kitab pertama dalam Alkitab, yang pada mulanya tak merumuskan Tuhan sebagai satu. Agama Hindu India sebelum Masehi memiliki konsep mengenai kekosongan, ketiadaan, nihilis. Konsep itu terkandung pada kata shunya, dengan lambang spasi kosong dan titik dan lingkaran nol. Lalu lama kelamaan konsep filsafat Hindu itu bermetamorfosa menjadi bilangan o (nol) yang ditemukan bersamaan dengan numerasi, sistem penomoran.

Mungkin benar bahwa puisi tertua adalah puisi kisah-kisah. Betapa banyak kisah dalam Kitab Suci yang puitis. Seandainya dogma-dogma masa kini dihadirkan, atau ditulis ulang dengan bahasa puisi, mungkin saja lebih banyak pembacanya.

Dalam Islam, proses evolusi dari yang metafora lalu menjadi ilmu pasti, muncul dalam gagasan ”titik primordial” dalam kitab Tawasin al-Hallaj. Lalu secara geometris, tampak pada pandangan Al Kwarizmi—matematikawan dan astronom yang menulis soal aljabar dan algoritme. Kwarizmi juga sempat menulis sebuah kamus megah yang berjudul Ensiklopedi Berbagai Disiplin. Buku yang berhasrat menjangkau kepelbagaian ilmu pengetahuan ini, sayangnya, isinya hampir tak terbaca lagi oleh generasi kini.

Karena Ayu mempersoalkan posisi Kwarizimi juga dalam novelnya yang agak distorsi, maka izinkan saya menyinggung tokoh ini agak panjang melalui berbagai kutipan dari pendapat orang lain, yang mungkin saya sebutkan atau tidak saya sebutkan sumbernya di sini.

Syahdan, dalam Ensiklopedi Berbagai Disiplin disebutkan: ada sebuah cabang ilmu bernama algoritme. Nama lengkap pengarangnya: Abu Ja’far Muhammad bin Al-Kwarizmi (ada juga yang menulis namanya Al Khawarizmi). Banyak yang cuma memanggilnya dengan singkat: Kwarizmi (Ayu menulis Al Khuwarizmi yang mungkin karena behubungan dengan hu).

Sepanjang hidupnya, ia sering dipanggil Sang Secans atau Sang Tangens, karena ia memag ahli terhadap dua ihwal yang pelik ini. Orang Arab ini pernah mempersoalkan sistem penomoran, dan memang sempat menjadi poros sains dan banyak pemikir yang menimba ilmunya. Puncak dari kesohoran bangsa Arab terhadap sains bisa didentifikasi dari beberapa kurun waktu, namun yang sempat jadi perhatian sejarah yang terkenal adalah pada periode khalifah Harun-al-Rasyid abad ke-9. Periode ini dikenal dengan periode belajar secara besar-besaran di Arab. Berbagai karya filsuf Yunani disyarah, ditakwilkan dengan baik ke bahasa Arab, termasuk dam hal ini karya Almagest—mahakarya Ptolemeus itu.

Pada masa itu astronomi dan geometri Yunani pun memasuki dunia Arab-muslim dan merangsang para astronom di jazirah untuk melanjutkan kesuksesan Yunani. Sejarah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan Yunani bergeser ke Islam. Kwarizmi tepat hidup dalam situasi yang haus ilmu pengetahuan periode ini. Sesudahnya muncul tokoh tersohor bernama al-Batani (± tahun 850) yang menghitung kembali presesi equinox dan menyusun tabel astronomi yang memukau. Lalu berlanjut sampai Omar Khayyam yang selain menulis puisi juga aljabar dan geometri.

Konon, Kwarizmi begitu getol melakukan eksperimen berbahaya di bidang sains dan menantang keseriusan seluruh anggota tubuhnya. Secara lebih fokus akhirnya ia mendalami bidang trigonometri dan astronomi dengan memakai rumus secans dan tangens, maupun di bidang matematik atau geometri. Dalam usia yang terhitung masih muda, ia pernah bekerja di Bayt al-Hikmah di bawah pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (786-833 M). Ayu Utami menyebut dalam novelnya dengan memplesetkan menjadi Sultan Al Mansur nan bijak yang membangun Baitul Hikmat di mana ilmu pengetahuan dikembangkan.

Pada baitul tersohor itulah nama Kwarizmi menjulang. Ia dipercaya sebagai observator oleh sang khalifah untuk melakukan berbagai riset matematika dan astronomi. Kesempatan yang tak boleh di sia-siakan. Bahkan dalam sebuah situs internet dikatakan, Kwarizmi sempat memimpin perpustakaan yang kaya dengan kitab kuning dari berbagai khazanah, khusunya Yunani, Romawi, dan Islam, milik sang khalifah tersohor itu.

Selama bekerja di perpustakaan yang menyimpan pelbagai kitab klasik berbahasa Ibrani, Arab dan Persia untuk bidang ilmu pengetahuan, sastra, Kwarizmi memanfaatkan waktunya sebaik-baiknya untuk melahap kitab-kitab yang banyak memuat rumus-rumus astronomi. Dari sini ia kelak menemukan rumusan tersendiri yang asli, yang lebih brilian dari para pendahulunya. Kwarizmi pernah memperkenalkan angka dan cara perhitungan India pada para penulis Arab-Islam. Ketika tidak lagi bertugas di perpustakaan milik “Sultan Al Mansur” (versi Ayu) itu, ia mulai memanfaatkan waktunya untuk menulis kitab yang kelak dikenal dengan nama Ensiklopedi Berbagai Disiplin. Sebuah kitab yang dari lema-nya saja sudah terkesan angker.

Karya ini mengenalkan aljabar dan ilmu hisab secara menawan, dan beberapa hal juga banyak menyoal algoritme. Dan sepanjang hidupnya, ia tak pernah merasa puas dengan satu ilmu pengetahuan. Anda mungkin pernah mendengar dongeng-dongeng fantastik Jorge Luis Borges dalam kisah tentang ensiklopedi yang menyinggung tiga nama yang entah makhluk ruang angkasa mana atau dari planet mana tiga sosok bernama Tlön, Uqbar, Orbis Tertius itu.

Tak berapa lama dari menerbitkan ensiklopedi wah itu, Kwarizmi mempelajari secara intim keeksakan yang terdapat dalam sains, dan di tangannya muncul sejumlah teori di bidang matematika yang masih populer hingga sekarang. Matematika Arab, yang dikenal paling rumit karena dihasilkan dari proses hibrid, berhasil disederhanakan tanpa kehilangan bobot ilmiahnya. Jenis-jenis matematika lainnya juga di rompaknya, seperti aritmetika, yang di mata para pemikir Arab-muslim dianggap merupakan turunan dari India dan didasarkan pada prinsip posisi.

Bila kini kita mengenal aljabar, meskipun berasal dari Yunani, Hindu dan sumber-sumber lain di Babylonia, akan tetapi di tangan para pakar muslim diubah dengan menekankan karakteristik baru dan lebih menggigit. Mungkin jika dibaca dalam konteks sastra, ”aljabar hanyalah omong kosong”, seperti kata Forbes Nash. Namun Kwarizmi-lah peletak dasar aljabar di dunia Islam. Pada zamannya ia menggeluti juga trigonometri, dengan ramuan utama dari Yunani, tetapi oleh bangsa Arab ditangani menurut cara Hindu, hingga mempunyai lebih banyak fungsi dan rumus. Lagi-lagi Kwarizmi punya andil besar di sini.

Berapa temuannya di bidang geometri masih digunakan para jenius hingga sekarang. Sebelum meninggal, ia sempat mewariskan sejumlah karya yang gemilang. Di antaranya: Al-Jabr wa’l Muqabalah, yang menguraikan pemakaian secans dan tangens dalam penyelidikan trigonometri dan astronomi. Lalu karya gemilang: Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah, yang banyak mengajukan contoh-contoh di seputar matematika dengan mengemukakan 800 buah soal yang di antaranya merupakan persoalan yang dikemukakan oleh Neo Babylian dalam bentuk dugaan yang telah dibuktikan kebenarannya oleh Kwarizmi.

Masih ada karya berjudul Sistem Nomor yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul De Numero Indorum. Karya ini mengenalkan konsep sifat dalam sistem nomor yang masih dikenal sampai sekarang. Banyak kaedah yang diperkenalkan, seperti apa yang disebut dengan kos, sin dan tan dalam trigonometri penyelesaian persamaan, teorema segitiga dan segitiga sama kaki yang mengira luas segitiga, segi empat selari dan bulatan dalam geometri—yang berasal dari Yunani tetapi di tangan bangsa Arab digeneralisasi di sana-sini sampai mengkristal seperti bentuknya sekarang ini. Kategori tersebut, setelah era Alhazen dari Mesir, dikembangkan ilmuwan Timur, tapi oleh orang Barat lebih dikenal sebagai penyair, yaitu Omar Khayyam. Banyak lagi konsep dalam matematik yang mencapai puncak gemilangnya di tangan Kwarizmi dan Khayyam yang digunakan oleh para penyair dalam puisi.

Khayyam memang pernah menganalogikan puisi dan geometri. Ia melengkapi gagasan Kwarizmi melalui persamaan kuadrat, baik untuk solusi aritmetika maupun solusi geometri. Untuk persamaan-persamaan umum pangkat tiga dipercayainya bahwa solusi untuk aritmetika adalah tidak mungkin (kelak pada abad lima belas dibuktikan bahwa pernyataan ini salah), sehingga dia hanya memberi solusi geometri. Gambar kerucut yang dipotong untuk menyelesaikan persamaan pangkat dua sudah pernah dipakai oleh Menaechmus, Archimedes dan Alhazen, namun Khayyam mengambil cara lebih elegan dengan melakukan generalisasi metode guna mencakup persamaan-persamaan pangkat tiga dengan hasil berupa akar bilangan positif.

Kwarizimi ingin mengatakan apa yang oleh Karlina Leksono dalam sebuah esai tentang kosmologi di Media Kerja Budaya, disebut nujuman lama tentang keterputusan semantik antara bahasa teoretis dan bahasa observasional, yang memungkinkan munculnya keadaan ke-tak-terpasti-kan teori oleh sebuah data. Tapi jadi aneh bila demikian, sebab seingatku ini soal lama dalam kajian kosmologi. Saya pernah membaca telisik Karlina Leksono yang fasih bicara soal kosmologi dan dekosmologisasi. Katanya, tatkala kosmologi berniat mendesakkan pola induktif empiris, yaitu mengacu ke data dan kemudian menarik generalisasi empiris, maka keterputusan semantik antara bahasa teoretis dan bahasa observasi selalu saja akan memunculkan keadaan yang disebut ke-tak-terpasti-kan teori oleh data.

Ketakterpastikan itu tak lain adalah suatu keadaan yang menyebabkan, untuk setiap teori T yang diajukan dalam menjelaskan gejala tak teramati langsung (seperti yang banyak muncul dalam dunia fisika dan terutama kosmologi), akan selalu dapat dibangun sejumlah takhingga teori-teori T1, T2, T3 ... yang semuanya setara secara empiris dengan teori itu. Jika T ternyata dapat dikukuhkan oleh sekumpulan bukti observasional, kesetaraan empiris semua T yang lain itu akan menyebabkan semua T itu juga terkukuhkan oleh bukti observasional yang sama. T manakah yang paling benar?

Karlina Leksono agaknya punya jawaban sendiri atas pertanyaan yang diajukannya sendiri yang saya kutip di atas melalui istilah Rudolf Otto: ketakterpaparkan adalah suatu mysterium, sesuatu yang tak terbahasakan karena keberbedaannya, sesuatu yang tak terjangkau karena tak terkenai konsep-konsep manusiawi, karena ketakberadaannya di dalam cakrawala; sesuatu yang ketika akan dimasuki kian memperlihatkan ketidakmampuan kita memasukinya. Ketakbercakrawalaan adalah ketakberhinggaan, suatu tremendum bagi yang berhingga; sesuatu yang menggetarkan. Kesadaran hening yang berhingga akan ketakberhinggaan, akan ketakbercakrawalaan, akan ketakterbahasakan, menghadirkan di dalamnya fascinans yang memukau. Mysterium tremendum et fascinans, kata Otto.

Agaknya kita perlu mengingat kembali apa yang sering disebut ”keyakinan kuna yang panjang umur”, minjam istilah Karlina lagi. Yakni tentang Tuhan, di mana Tuhan masih disebut-sebut, terkadang dengan pandangan yang kuna namun unik. Para penyair hampir tak ada yang luput mengekspresikan yang maha segala-galanya ini, yang tak bisa disebut ”Tuhan satu” menurut Ayu. Para filsuf, kosmolog, seniman atau penyair, bahkan kalangan sains seperti Einstein dan Pascal, mengutak-atik ide tentang Tuhan.

Apa yang menarik bagi Einstein adalah pertanyaan apakah Tuhan mempunyai pilihan dalam menciptakan alam semesta. Demikian pula Hawking, ia tak tangung-tanggung mengacu pada hukum-hukum alam sebagai the Mind of God. Sedangkan Fred Hoyle memperkenalkan Intelligent Mind. Tuhan dengan bebas dipesepsi. Dan puisi tentu punya kebebasan yang nyaris tak terbatas untuk mengekspresikan Tuhan tanpa beban. Dan se-liar apa pun pandangan penyair mengenai Tuhan dalam pusinya, tak banyak panggung hukuman pancung untuk penyair di sini, kecuali satu nama, karena itu mengapa takut dengan “imajinasi liar sekali pun” kata Sindhunata, karena untuk meliarkan imajinasi itu sendiri ternyata sebuah nama yang langka.

Khayam seorang penyair sekaligus matematikawan—sebuah kombinasi yang kini sudah langka. Puisi Khayyam telah dirangkum dalam al-Rubaiyat yang berisi 75 puisi pendek terdiri dari 4 baris dan biasa disebut quatrain. Khayyam menutup lubang yang menganga antara ekspresi bilangan dengan aljabar geometrikal, sebelum dikembangkan kemudian di Barat oleh Descartes, karena siapa yang berpikir bahwa aljabar bertujuan untuk mencari bilangan tidak diketahui adalah sebuah tindakan sia-sia.

Aljabar dan geometri dan puisi memang beda tampilan namun sama-sama mengandung lambang serta berdasarkan fakta yang telah terbukti. Kendati belum dapat membuat rumus utuh untuk mencari hasil dari suatu persamaan dua kuadrat, tiga dan pangkat lebih tinggi, tapi prestasi ini mampu menjadi spirit bagi perkembangan geometri dan puisi berikutnya, khususnya Lagrange. Dan Descartes berhasil menggagas alam sebagai yang mekanistik.

Tapi ada yang lebih gila kecuali ketika saya membaca sebuah esai dengan lema Ontologi Baru, Algoritme dan Api (2002). Esai ini menyebut seorang anggota Oulipo bernama Italo Calvino yang katanya ”ikut mengubah alam semesta menjadi sastra atau sastra menjadi alam semesta”. Apa ini tidak ngawur? Ternyata Nirwan Ahmad Arsuka bilang tak, jika tak dibaca secara harafiah. Sejak Kwarizimi dianggap para kritisi behasrat mengubah geometri jadi puisi dan Khayam ingin mengubah puisi jadi geometri, sejak mimpi Descartes sering diterjemahkan sebagai adanya analog antara kamus dan puisi, orang sempat geleng-geleng kepala. Apalagi mendengar Italo Calvino. Saya kira perbalahan Nirwan Ahmad Arsuka bisa dipercaya.

Dalam esai ini, Nirwan mulai meninggalkan pendiriannya dalam Perang Ilmu, dan agaknya tak sebagaimana kebanyakan rekannya di KUK yang terlampau postmodernisme sehingga nyaris meremehkan gagasan-gagasan matematika dan fisika dan membela secara belebihan genre puisi dan alegori mistik. ”Gagasan tentang makhluk Adikodrati datang dengan cara sama seperti ketika gagasan-gagasan matematika datang kepada saya”, tulis John Nash. Seorang matematikawan jenius yang lebih tertarik menggunakan kalkulus differensial, bukan pola geometris atau manipulasi aljabar.

***

Telisik panjang-lebar yang meminjam di sana sini tentang Kwarizmi di atas, sayup-sayup masih bisa kita rasakan dalam Bilangan Fu. Dengan keberanian Ayu menjelajah berbagai bidang liputan yang jauh di luar sastra, pantaslah jika novel ini disandingkan dengan novel dunia peraih Nobel. Selain memuat teori fisika yang segar, khususnya soal atom dan infinitesimalitas (nilai yang mahakecil yang mendekati nol tetapi tidak sama dengan nol), novel ini mengangkat permasalahan seputar jagad raya. Barangkali yang paling dominan, di luar persoalan psikologi, masalah matematika dan geometri. Ada bilangan mistik dengan membagi yang tak sama dengan membelah, sebaliknya, membagi di sini sekaligus memiliki sifat penggandaan: ”Jika aku membagi nyawaku kepada duabelas anggota, maka aku mengalikan nyawaku dengan duabelas, di mana, pada saat yang sama, nyawaku tetap satu”. Inilah rumusnya: 1:a = 1xa = 1, dan a bukan satu.

Bisa jadi bahwa dengan matematika bisa membuat orang terasing dan terpencil, namun ilusi matematis sebagai logis dan pasti ini hampir tak bisa dipakai untuk Tuhan. Barangkali dalam Quran sejak semula, Tuhan telah menyebut dirinya sebagai satu. Tuhan yang Maha Esa itu warisan matematika yang dilacurkan oleh ilmu antropologi dan perbandingan agama yang kelak melahirkan teori revalasi yang terkenal dengan nama monotheisme itu.

Kata ehad dan ahad dalam bahasa Ibrani dan Arab itu, kata Ayu, sama-sama berinduk Semit. Eka adalah satu dalam Sanskrit. Esa adalah satu dalam Islam. Ini pendapat saya. Sedang pendapat Ayu, terutama mengenai Kitab Kejadian awalnya belum merumuskan dirinya sebagai Tuhan . Kepada Abraham ia merumuskan dirinya sebagai ”Akulah Tuhan” atau ”Allah yang Mahatinggi” atau ”Allah yang Mahakuasa”.

Lalu Ayu seakan menyimpulkan: Satu yang dirumuskan tanpa konsep nol adalah satu yang dirumuskan bukan dalam mentalitas matematis, melainkan mentalitas metaforis. Satu yang dirumuskan tanpa konsep nol, adalah satu yang sekaligus memiliki properti nol. Inilah, saya rasa, yang dicari-cari Ayah melalui pendekatan dan lakunya yang sulit dimengerti dalam bilangan ”Satu yang juga nol” itu. Siapakah Ayah yang dimaksud Ayu di situ? Mungkin ayah Esau dan Yakub dalam kisah Kitab Kejadian.

”Satu yang sekaligus memiliki properti nol” atau ”satu yang juga nol” begitu rumit dijelaskan, bahkan dengan teori kembar siam sekali pun. Novel ini memang bicara dengan cakupan luas yang kadang terlalu jauh berfilsafat. Kadang terang-terangan merengkuh Kitab Suci, mitologi, kisah sufi, kadang-kadang ditafsirkan kembali dengan lambang-lambang. Kisah tentang Esau dan Yakub dalam Kitab Kejadian yang disinggungnya dalam sub-bab ”Kritik Hu Atas Monotheisme” menarik dibandingkan dengan pandangan John Forbes Nash yang disinggung panjang-lebar oleh Sylvia Nasr dalam A Beautiful Mind berikut ini.

Alkisah, Esau dan Yakub bersaudara, bahkan kembar (tapi bukan kembar siam). Berdua adalah anak Ishak dan Ribka yang pada mulanya saling menyayangi. Esau anak paling tua, dan ayahnya, Ishak, sayang kepadanya. Namun Ribka, ibu keduanya, lebih sayang kepada Yakub. Sebagaimana dikisahkan, Esau dua kali digusur oleh Yakub dari hak-haknya. Mula-mula Yakub mengakali Esau agar menjual hak sesulungannya kepada Yakub. Kemudian, Yakub juga mengambil berkat dari Ishak yang telah buta. Padahal berkat itu semula akan diberikan kepada Esau.

Yakub melakukannya dengan menyamar sebagai kakaknya. Ketika Esau menyingkap pengkhianatan Yakub, Ishak malahan menolak pengakuan itu dengan mengatakan: ”Sesungguhnya tempat kediamanmu akan jauh dari tanah-tanah gemuk di bumi/dan jauh dari embun dari la-ngit di atas./Engkau akan hidup dari pedangmu dan engkau akan menjadi hamba adikmu./Tetapi akan terjadi kelak,/apabila engkau berusaha sungguh-sungguh,/maka engkau akan melemparkan kuk itu dari tengkukmu”. Esau, yang penuh dendam kepada adiknya, berkata dalam hati: ”Hari-hari berkabung karena kematian ayahku itu tidak akan lama lagi; pada waktu itulah Yakub, adikku, akan kubunuh”.

Novel Bilangan Fu mengandung kesamaan dengan kisah di atas. Terutama saat narator berkata: ketika Ishak sang bapa telah rabun dan hampir mati, ia berniat memberi berkat kepada si sulung Esau (Ayu menulisnya ”berkat kesulungan Esau” yang kacau). Tapi istrinya mengelabuinya. Ia pun menghadirkan si bungsu Yakub, yang tengah mengenakan kulit domba. Ishak pun memberikan hak kesulungan itu pada si bungsu. Ketika Esau pulang dari berburu di padang, demikian disebutkan, tahulah ia bahwa adiknya telah merebut berkat itu. Maka ia mendendam pada Yakub.

Menanggapi kisah keluarga Ishak itu, Ayu menafsirkan begini: belum ada rumusan eksplisit tentang keesaan Tuhan seperti kelak dalam wahyu kepada Musa. Bahkan dalam kisah Esau dan Yakub yang panjang itu, kata Ayu, telah muncul persoalan nama. Yakni, manusia ingin mengetahui Tuhannya. Tapi Tuhan tak mau mengungkapkan namaNya. Kebilangan dan kenamaan ini pula yang sering disinggung Pram. Pandangan soal yang masyhur ini mengingatkan aku pada tafsiran Pram atas frasa dramawan terkemuka: ”apa arti sebuah nama”. Nukila Amal juga mengatakan serupa dalam Cala Ibi.

Demikianlah. Kearifan di atas memberi renungan yang tak mudah untuk ditafsirkan ini dan itu. Kisah dari Kitab Kejadian itu kian menegaskan bahwa Tuhan bukan seperti dalam konsep monotheisme, yang memaksakan konsep satu yang matematis kepada nol yang mistis. Zero yang spiritual adalah yang kosong sekaligus penuh, tidak berupa, tidak terbatas, tidak berbanding, dan maha. Penemuan angka O dan 1 konon merupakan revolusi dalam pikiran manusia.

Saya pernah baca juga tentang bilangan nol dari kitab sastra yang dikarang orang Jawa. Kitab Bumi Manusia. Nol itu keadaan suwung, katanya. Sebuah kosong. Seperti telur yang tinggal cangkang. Dari sebuah cangkang kosong, terjadi awal lagi. Dari awal terjadi mengembang sampai puncak, angka 9, kosong, berawal lagi dalam nilai yang lebih tinggi, belasan, ratusan, ribuan, kosong, dst. Kami tahu juga, betapa tak berartinya sistem desimal tanpa nol, bukan?

Karena Tuhan sebagai satu, bisa jadi bahwa kosmos berubah menjadi khaos, karena manusia sendiri terlampau lancung menerapkan yang puitis dan metaforis secara matematis dan geometris, dan yang spiritual menjadi yang rasional. Padahal ”pikiran rasional membentangkan sebuah garis pembatas terhadap konsep seseorang dalam hubungannya dengan kosmos”, tulis John Forbes Nash—matematikawan ”gila” peraih Nobel itu. Itulah ”selingan-selingan rasionalitas yang dipaksakan” kepada kita untuk memahami dunia.

Modernisme, selain syarat dengan keyakinan yang pasti, juga syarat dengan kekhawatiran mendalam akan kelangsungan umat manusia karena kemajuan ilmu pengetahuan telah jauh-jauh hari menyandarkan rasionalisme dalam ketinggian yang bikin cemas jutaan manusia. Orang terlalu sadar dengan satu, rasa gandrung pada ruang dan bentuk, padahal itu hanya ilusi. Tak banyak yang sadar isi, yang mau menyangga Kitab Suci dengan puisi-prosa dan menjadikan kesetaraan secara tak tampak antara dongeng tua dan Kitab Suci. Bisa jadi bahwa Esau dan Adam berhubungan dengan Saturnus dan Titan—bulan kedua Saturnus—adalah Yakub sekaligus musuh Budha dan Iblis, sebagaimana fantasi John Forbes Nash ketika sedang berada di ambang delusi.

Tuhan, yang dalam Kitab Suci agama monotheisme tertua menolak penomoran dan penamaan, kata Ayu, kini sudah diringkus ke dalam angka 1 yang pasti. 1+ 1 = 2, ini logis dan pasti! Boleh jadi matematika merupakan ungkapan nalar yang bersahaja, dan ada lambang-lambang unik dan cantik, konvensi-konvensi yang teguh, ringkas. Tapi, agama, iman, Tuhan jika didekati secara matematis-logis atau melalui nalar matematis, barangkali akan kehilangan aura estetis.

Filsuf Baston Bachelard—filsuf Prancis tahun 1940-an yang mati tak banyak diketahui—dan Ali Syariati pernah disebut sebagai penggagas puisi ruang. Menurut filsuf ini, mana kala tingkat peluang dan suatu gagasan bisa diekspresikan dalam bentuk matematis, maka ia telah menemukan bahasanya yang tepat guna menjelaskan diri dan dunianya sendiri. Gagasan apa pun yang diekspresikan dalam bentuk pola geometris—seperti puisi, filsafat, agama—dengan sendirinya ia sahih dan logis.

Apakah Tuhan logis? Tuhan bukan satu, bukan konsep matematis atau geometris. Bukan seperti puisi Ali Syariati berjudul ”Satu Yang Diikuti oleh Nol-Nol Yang Tiada Habis-Habisnya” yang menerapkan pola matematis yang berbunyi pasti: ”hanya satu yang ada/Selain satu, tiada/Selain Tuhan/Tak sesuatu pun ada/Tak seorang pun ada”. Penyair-filsuf ini terjebak dalam pusaran air ruang dan waktu geometris. Dan Tuhan menjadi seperti bilangan 1 yang riil, primer, rasional, operasional. Padahal Tuhan yang satu itu palsu, aku mengutip sebuah buku tentang Tuhan dan hal-hal yang tak selesai. Tuhan yang satu tak lebih sebagai ilusi matematis. Terpesona pada bentuk riil dan lupa pada isi yang abstrak. Tuhan bukan bilangan. Tuhan bukan sebagai pembuat almanak.

Seperti halnya agama, Tuhan bukan ini dan itu yang riil. Dan, tak ada kata pasti untuk agama, iman, dan Tuhan. Karena kalau demikian adanya, sama saja dengan 3M yang mendesakkan yang rasional kepada yang spiritual itu, atau mendesakkan kemurnian kepada yang campuran, etika tunggal dan estetika hibrida. Dan makna taukhid bukan sebuah tamsil, sambil mengutip kitab klasik berjudul Ta-Sin al-Azal wa al-Iltibas. Pernyataan bahwa ”Tuhan itu esa” terkesan sebagai taukhid yang tak berhubungan dengan Tuhan, karena kalimat itu menyatakan jumlah bilangan yang meniscayakan adanya kondisi yang terbatas. Padahal Tuhan tak berbilang, itulah yang ditegaskan Tuhan dalam surat al-Ikhlas ayat pertama: Qulhuallahu ahad, katakan Allah tak berbilang.

Yuda, yang gandrung manjat tebing itu, mulai menyibak aura mistik dan fasih bernarasi tentang seribu satu tokoh yang masing-masing punya dunianya sendiri-sendiri. Yuda dalam kitab Bilangan Fu seperti metamorfosis Mansur yang meninggalkan guru darwis dan beralih berguru kepada iblis. Seandainya tak ada iblis di sorga, mungkin takkan ada perintah untuk membaca karena Kitab Suci sendiri mungkin tak ada. Seandainya tidak ada Yuda yang bergelar ”si iblis” itu, apa arti Parang Jati dan orang-orang Farisi dan tokoh-tokoh lain.

Dari sini kita diajak masuk ke dalam ceruk-ceruk tersembunyi perihal pemanjatan tebing yang bermetamorfosis menjadi pemanjatan suci. Sacred climbing! Di sini Parang Jati seperti mengulum senyum yang menyembunyikan sesuatu, tapi bukan bertanda sebagai sinis, melainkan kritis; senyum naif yang kanak-kanak dan bukan senyum orang tua yang munafik. Yuda terus menarasikan hal-hal yang tak selesai. Tentang Khotbah di Atas Bukit Prosa, tentang Surat Musa, tentang Kitab Kejadian dan Kitab Kejatuhan, feminisme, dll.

Sambil menirukan Goenawan, para penganut theisme selama ini ternyata salah sangka. “Tuhan yang Maha Esa” itu ternyata bukan Tuhan sebenarnya. Tuhan yang bukan esa juga bukan Tuhan sebenarnya. Tuhan sendiri sudah bilang: ”ke arah mana saja kau berpaling maka ada wajahKu”, ini artinya bisa ditafsirkan sebagai ”Tuhan yang berbeda, bukan sebagai sama, bukan sebagai satu, karena satu itu palsu, seperti sapu lidi, meskipun padat dan pejal, ia bukan satu, tapi berbeda”.

Mengapa disebut bilangan fu? Karena bilangan fu memiliki properti nol dan satu sekaligus. Bukan pasti-pastian. Tidak mutlak-mutlakan. Fu bisa jadi merupakan alat musik tiup orang Asmat. Bilangan fu juga tak berjenis kelamin pasti, karena Fu adalah ”makhluk serigala-manusia-jantan-betina sekaligus”. Bukan feminin bukan maskulin, bukan pula seperti konsep Yin dan Yang. Lalu?

Seperti pesan spiritual dalam buku Tao Ching yang pernah dikutip oleh pengarang buku Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai, terutama dalam tatal 61, Tuhan tak bernama, dan itulah Bunda semua hal-ikhwal. Dengan mengatakan ”Allah itu esa”, maka kita telah menambahkan sesuatu pada taukhid. Memandang Tuhan dengan cara ini justru menganggap Tuhan hanyalah ketergantungan belaka. Padahal bagaimana pun, ketergantungan bukanlah sifat Tuhan. EsensiNya singular, sementara kata adalah sifat esensi, bukan esensi itu sendiri.

Tersebutlah dalam kitab Anti-Krist, bahwa satu Tuhan yang bisa menyembuhkan sakit dan bisa menjadi pelindung umat, kalau pun ia benar-benar eksis, tetap pantas untuk diacuhkan. Satu Tuhan merupakan bentuk dari silogisme pendeta, kata si penulis buku Anti-Krist. Atau silogisme Rasul—ini istilah teolog Mesir pengarang kitab-kitab Kalam.

Mengganggap bahwa Tuhan Mahaesa, bisa terjerumus ke dalam syirik. Mengapa? Tuhan takdir—bilangan Tuhan atau Tuhan berbilang. Kata takdir bersinonim—sambil merujuk kitab Tesaurus Bahasa Indonesia—”bilangan, garis hidup, kadar, ketentuan, kodrat, predestinasi, suratan, tulisan nasib”. Nah, tidak mungkin kata-kata itu dilekatkan pada Tuhan, bukan? Kata-kata bersinonim itu mengacu pada manusia. Tuhan bukan sebagai satpam yang berjaga di pintu rumah apalagi Tuhan sebagai pelayan domestik apalagi Tuhan bilangan dan punya suratan nasib.

Konsep tentang Tuhan ”melingkupi kata kami sebagai pengganti subyek-subyek”, kata pengarang kitab Tawasin. Dengan kata lain, sebuah taukhid hibrid. Tauhid yang bukan kata ”saya” yang tunggal. Karena seperti anak busur, Tuhan melintasi subyek-subyek, menerjang dan menjungkirbalikkan. Ini pula pandangan yang dianut ilmuwan fisika yang menulis tentang busur waktu. Tuhan tak terbatas. Subyek nyata dari taukhid meluncur dalam pusparagam subyek-subyek karena Tuhan berada tidak dalam subyek, bukan pula dalam satu obyek, bukan pula dalam hal pengganti keduanya. Puncak dari keadaan pronominal (tak bernama atau tak berbilang) taukhid, tidaklah menyertakan sang subyek-subyek.

Wah, makin tambah rumit! Makin tambah intelektual. Memang, karena kita membicarakan bukan Tuhan sebenarnya, namun Tuhan yang dipikirkan dan dihayati (minjam kategori dalam esai Pram berjudul Masalah Tuhan dalam Kesusastraan). Monotheisme dahulu dicetuskan untuk memudahkan manusia membedakan apa yang bukan Tuhan dan apa adalah Ia. Sekarang bisa jadi tiga agama monotheisme yang paling banyak pemeluknya itu = tiga musuh dunia postmodern.

Dalam estetika percampuran, tak ada tempat bagi bilangan, apalagi bilangan penunggalan, kesatuan. Tuhan tak menuntut sosokNya hadir secara pasti. Tidak ada yang solid, juga iman, juga Tuhan. Pengarang Bilangan Fu mengingatkan kita agar bersikap rendah hati, sadar-diri, dan waspada. Waspada, karena Tuhan bukan pernyataan taukhid. Sadar-diri, karena ”Aku adalah Aku” atau Tuhan adalah Tuhan!

Apa maksudnya? Aku cuma ingin mengatakan Tuhan bukan sebagai satu, tapi bisa jadi sebagai nol? Ya, aku ingat sebuah puisi dengan judul O dalam buku O Amuk Kapak. Salah satu bunyinya begini: oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O. Imajinasiku mengatakan Tuhan sebagai nol. Sebuah nol bukanlah takdir, bukan bilangan yang terbilang, ia kosong dalam segala atribut dan pengertian, dan bisa jadi bukan siapa-siapa dan siapa-siapa bukan....

Seorang filsuf kenamaan Jerman abad ke-19 yang menulis tentang tokoh Zarahustra yang alim itu, pernah bertanya: di mana kamu mencari? Kamu ingin menelanjangkan dirimu dengan sepuluh, seratus kali? Kamu mencari pengikut? Maka cailah nullen, (nol)!..Nullen berarti kosong, atau bukan siapa-siapa—maka carilah bukan siapa-siapa. Dengan bilangan fu, Ayu mencari ”bukan siapa-siapa” dan melampaui argumen-argumen pencarian Goenawan, bahkan dengan gemilang Ayu menantang riset novel Bumi Manusia Pramoedya yang juga mengutak-atik soal nama dan bilangan nol dari Arab dan filsafat India itu.

Novel Bilangan Fu sungguh mempesona. Kadang diam dan kadang membahana. Mengguyahkan kemapanan dan menawarkan perubahan. Sebuah novel postmodernisme pertama di Indonesia yang hendak mengenyahkan matematika dan geometri ruang imajiner dalam prosa dan puisi. Sebuah resistensi terhadap kesatu-paduan dengan asas berlawanan dengan tritunggal dunia kejahatan, atau 3M yang terbukti ”menuang kita semua ke dalam sebuah pusaran air disintegrasi abadi dan pembaruan, perjuangan dan kontradiksi, kebingungan dan penderitaan”—untuk menggunakan penjelasan Marshall Berman tentang modernisme. Lalu apa bedanya dengan postmodernisme?

”3M: Tiga Musuh Dunia Postmodern”, kata Parang Jati sambil mengucapkan selamat datang perdamaian bukan-baru dan kesadaran yang tak menjadi sandera sejarah untuk menohok kemunafikan para Farisi. Selamat datang laku-hidup yang menggairah-meruah menganga terbuka tanpa batas dan selalu awas terhadap kuasa/pengetahuan yang ditorehkan 3M yang ingin merangkul dunia itu, dan senantiasa melintas tepi-tepi yang menari untuk menolak segala ketamatan dan keujungan yang selesai itu.

Selamat untuk sebuah keterpukauan, keterfanaan, dan bentuklah manusia-manusia postmodern agar laku-kritik dan agar laku-hidup tidak mampat, karena orang semacam Farisi masih berkeliaran di jalan-jalan dan masjid-masjid dan gereja-gereja di negeri ini, yang kerjanya mengurusi iman orang lain dan mengganggu eksperimentasi model sosok-sosok Parang Jati yang menjelma seniman dan sastrawan yang sungguh-sungguh berjerih-berkeringat-berdarah dalam kesadaran manusia pasca-kematian. Hanya sedikit orang macam Parang Jati di sini, kalau dulu ada IS, sekarang ada GM, AU, dan beberapa yang terpukau, termasuk saya?

***
Realisme Ayu adalah sisi lain dari realisme Pram dan Takdir. Ayu telah menepati janjinya setelah menulis novel Saman dan Larung dengan ekspresi bentuk dan bahasa yang puitis, ia akan menulis novel realis.

Bacaan Ayu untuk menulis novel realis ini cukup kaya. Ayu tentu membaca mitologi, kosmologi, fisika, biologi, ilmu bumi, matematika, agama, geometri ruang imajiner, filsafat, psikologi hingga dunia mistik. Feminis yang agaknya telah memilih jalan selibat ini, kian dekat dengan petualangan Virginia Wolf yang pernah masuk ke dalam rawa tersembunyi bernama mitos ”Tawa Medusa”.

Ayu Utami adalah novelis yang paradoks. Di satu sisi Ayu masih menganggap kanon sastra penting—kendati yang dimaksud kanon bukan seperti dalam pandangan modernisme—dan mengusulkan novel tetralogi Pramoedya untuk dijadikan kanon sastra dalam esai Kanon Sastra: Mengapa Takut? Di sisi lain, terutama dalam novel Bilangan Fu, Ayu tampak sangat postmodernis ketka secara eksplisit mengkampanyekan 3M (Tiga Musuh Dunia Postmodern): modernisme-monotheisme-militerisme. Ketiga proyek yang serupa ini bahu-membahu untuk menyingkirkan spiritualisme, sinkretisme dan hibriditas, yang muncul secara kasat dalam pemilahan antara estetika ketunggalan dengan estetika campuran, antara logika dan metafora.

Ayu bicara kepada kita dengan menekankan segalanya menjadi relatif. Menjadi longgar. Roman atau novel tak lagi bisa dibedakan dengan esai. Dan lelaki dan perempuan sama saja. Kalau pun dapat dikenal perbedaan esai dan novel, itu tak penting. Demikian kita lihat argumen Goenawan terhadap salah sebuah karya Asrul Sani. Sebelum Goenawan telah muncul Ignazio Silone yang menolak pemisahan roman dan novel. Kalau memang ada perbedaan antara roman dan esai, katanya, cuma pada teknis. Mangunwijaya dalam Sastra dan Religiositas mengutip Ignazio Silone dari Rosario Assuanto dan saya mengutipnya kembali di bawah ini dari Mangunwijaya karena semuanya menjadi kutipan dari kutipan dari kutipan ini:

Igazio Silone berkata: antara roman dan esai hanya ada perbedaan teknis (dilansir oleh Rosario Assuanto...). Roman esaistis adalah roman, yang tidak hanya membatasi diri menceritakan suatu riwayat yang sedikit banyak dikarang, tetapi juga mengartikan kejadian-kejadian nyata dan menilainya, kritis menyoroti kebudayaan dan kelembagaan-kelembagaan, lagi membandingkan dua atau lebih citra-citra dunia serta manusia-manusianya dalam bentuk penceritaan, tanpa lari ke simbol-simbol atau alegori-alegori, dan juga tanpa disengaja berniat untuk bersasaran anagogik, atau seperti yang disebt oleh Castellet: sasaran pemurnian.

Novel yang sepintas mencibir bentuk dan mengkampanyekan isi ini, memang unik. Sebab bentuk kini bukan sesuatu yang wah. Rasa senang pada bentuk sama dengan rasa gandrung pada kedalaman; sama-sama ilusi. Maka, saya anjurkan pembaca membaca novel yang terbagi dalam tiga bab dan lima puluh dua sub judul ini dengan konsentrasi karena beberapa gagasan di dalamnya menarik jadi bahan diskusi. Lalu jangan lupa bandingkan bukan dengan perbandingan nilai dengan percik-permenungan yang berjumlah 99 tatal dalam buku Hal-hal yang Tak Selesai, karena selain ini langka, ”wajib” bagi pembaca yang siap untuk diguyur aura mistik dan hanyut dalam badai pencarian laku-kritik yang lapang.

Pada bab soal politik kita akan disuguhkan tingkah-polah yang akrab dalam keseharian namun seakan jauh. Imaji sakramen aib seakan menjadi tesis dan antitesis terhadap aib masyarakat politik kita yang tak ubahnya dengan 3M yang mutlak-mutlakan. Tak banyak orang Indonesia yang seperti Umber Eco dan Derrida memahami soal iman, sebagimana tak banyak sosok seperti Ayu dan Goenawan yang memilih jalan diam atau bahasa bisu kesyuhadaan sambil bergelut dengan hakikat yang tak selesai. Iman yang berproses, yang terus mencari. Dan bisa jadi, iman seperti ini pada mulanya akan menghasilkan kegelisahan dan kegundahan, kecemasan, namun bisa jadi pula akan membawa sang subyek pencari asyik-masyuk ke dalam cinta Sang Kekasih yang menjadi dambaan kaum mistik.

Jika ada kritik yang mesti dialamatkan pada novel ini, barang kali absennya penyuntingan dan karena itu ada beberapa tema pengulangan yang nyaris tanpa maksud kecuali kekurang-telitian. Soal laku-kritik yang telah panjang lebar dibicarakan pada halaman sebelumnya, mengulang lagi pada halaman berikutnya sehingga agak membosankan.

Sebagaimana mawar dan anggur tak selamanya bisa mengubah taman tandus menjadi asri nan indah, demikian pula kelana dalam proses pencarian tak selalu menjamin petualangan mengasyikan. Melempar batu ke depan tak ada jaminan pasti bahwa batu itu tidak akan memantul balik ke wajah. Lagi pula, siapa jamin subjek dalam eksperimen dan proses yang mungkin tidak atau tak selesai itu, bisa betah selamanya. Sementara modernisme-monotheisme-militerisme punya batasnya, demikian juga postmodernisme-feminisme-pluralisme. Salah-salah jika adonannya tidak pas, bukan nikmat pencarian yang didapat.

Dan semakin terbukalah mata saya akan perlunya postmodernisme sebagai tidak hanya kritik-diri, tapi juga laku-kritik yang menjadi nafas kehidupan sekaligus ozon penyangga agar neraka matahari tak menimpa kita. Tapi saya teringat ”olok-olok” Alan Sokal dan Karlina Leksono tentang postmodernisme yang memang harus diakui, ada gunanya, sedikitnya dapat membongkar keterpukauan kita kepada sains, seperti sudah terbukti sejak abad lalu. Betapa pun ilmu pengetahuan dibongkar dan diganyang, orang selalu jatuh ke dalam ketakjuban padanya. Sebab kini kita memang sedang berada pada sebuah zaman ketika karya sastra yang ditulis dalam tempo dan gaya yang sudah jauh dari masa kita sendiri. Dan ini semacam kemenangan postmodernisme juga, sebuah keterpukauan yang sulit disanggah.

Konsep ultim yang dianggap kokoh mulai dibongkar. Tuhan dinyatakan bukan pria bukan wanita, bukan pula seperti dalam konsep yin dan yang, bukan matahari dan bukan bulan. Bukankah Romo Mangun pernah menulis, dengan tafsiran yang luar biasa, terutama ketika mengatakan: bahkan ”Yesus sendiri orang tidak kawin dan tidak dikawinkan” dan ”bila matematika tidak mengenal matematika lelaki atau matematika perempuan, apalagi Tuhan”.



Skizofrenia, Kegilaan, Modernitas:
Studi tentang Prosa Iwan Simatupang


Novel pelacur mesti diuji keampuahannya dari suatu keadaan tepi-tepi terakhir, tepi yang menari-nari di remang kejauhan.
Tepi, daerah terakhir sebelum ketamatan
--IWAN SIMATUPANG



Begitu jauh ia telah menarik diri dari situasi politik lantaran setiap saat ia merasa dipaksa oleh suatu tata pemerintahan di negerinya untuk patuh dan mengikuti segala aturan yang telah ditetapkan oleh partai yang berkuasa. Ia merasa kehilangan kemerdekaan. Jiwanya kuyup dan pikirannya berhari-hari merasakan kesuntukan yang tak terlukiskan, dan nyaris tak ada pilihan bagi hidupnya. Satu-satunya jalan mungkin ia harus menyamar. Berrpura-pura patuh mengikuti garis yang dipancangkan pada semua orang, termasuk pada dirinya.

Tingkahnya makin lama makin ke-kanak-kanakan, dan terkadang pula meledek situasi yang sedang terjadi pada realitas politik dan seolah-olah mengikuti begitu saja kenyataan sesuai dengan garis partai yang sedang naik puncak. Namun, sekali lagi, ia cuma pura-pura.

Suatu hari ia berjalan ke gedung kesenian mengirimkan tulisan, dengan pakaian compang-camping dan tampak urakan. Orang bilang ia sangat taat pada aturan, namun tingkah-polahnya bikin orang yang bekerja di gedung kesenian tahu bahwa ia sedang menyaru, menyembunyikan sifatnya yang sebenarnya. Si pengarang itu sedang membuat parodi yang bercorak karikatural; seolah-olah mau mencemooh negara dengan cara tak wajar.

Menurut teman-temannya, ia termasuk rajin berkirim surat kepada sesama seniman, dan isi suratnya kadang kala mendoakan kekuasaan partai tunggal segera runtuh dan dirinya yang compang-camping itu akan menjadi manifes kalau diri palsu itu sudah ambruk dan semua protes akan menjadi nyata kalau topeng sudah diambil-alih.

Harapannya terbukti. Protes terhadap negara dan paduka mulai yang sedang berkuasa muncul di mana-mana. Beberapa orang bahkan ada yang sengaja memanfaatkan tentara negerinya agar kekuasaan partai tunggal segera hancur. Dan pemuda yang seniman itu juga pernah mengirim surat kepada kenalannya, Latok, dengan mengatakan: “Tentara nasionallah harapan kita yang paling makzul di masa akan datang, Latok!”


***
Apa hubungan kisah di atas dengan Iwan Simatupang? Lebih tepatnya: Adakah kisah itu tepat untuk mengawali pembicaraan tentang skizofrenia, kegilaan, dan modernitas dalam prosa Iwan Simatupang?

Jawaban dua pertanyaan itu saya serahkan pada pembaca. Apa yang terpenting di sini adalah apa itu skizofrenia dan kegilaan? Apa pula itu modernitas? Gejala skizofrenia dan kegilaan adalah kajian yang hangat pada pertengahan abad ke-20, dan kini sering dimasukkan ke dalam sub-bahasan tentang postmodernisme. Banyak seniman yang mengalami delusi skizofrenia, bahkan benar-benar gila, entah ada hubungannya dengan modernitas dan postmodernitas atau tidak.

Situasi skizofrenia dalam ilustrasi di atas, menegaskan beberapa hal: pertama, saya menjadi gila atau mengidap schizoid berhubungan dengan paksaan lingkungan yang menjajah kemerdekaan berpikir dan berserikat saya. Kedua, orang gila tetap manusia, juga dia tetap berupa hal mengada pada dunia.

Beberapa neourolog dan filsuf telah mencoba menjelaskan soal ini: Sigmund Freud, Eugen Bleuker, Louis A Sass (Madness and Modernism), C.R. Badock (yang salah satu bukunya telah diterjemahkan ke Indonesia dengan judul Kegilaan dan Modernitas, 1987), Anthony Storr (The Dynamics of Creation dan Solitude: A Return to the Self), Ray Monk (Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius), Irving I Gottesman (Schizophrenia Genesis: The Origins of Madness) , Nietzsche, Fanon, Sartre, Marleau-Ponty, Sylvia Nasar (A Beautiful Mind), dll. Kondisi skzofrenia dan kegilaan terkait erat dengan situasi modernitas dengan segala derivasinya. Situasi kegilan bagaimana pun sering kali merupakan korban lingkungan. Namun orang yang dianggap gila justru menyimpan kejeniusan.

Membaca sejumlah prosa Iwan Simatupang, tak ayal di sana muncul tokoh-tokoh yang berada dalam kecemasan yang luar biasa. Seakan hidupnya sendiri tak lagi punya harapan, dan tokoh-tokohnya nyaris nyata. Saya kira Gabriel Marcel benar ketika mengatakan, sambil mengutip sebuah pepatah asing, bahwa yang dipakai untuk membuat hidup manusia ialah harapan: without hope no life. Kita hidup berdasarkan harapan, ketika harapan hidup punah, manusia resah dan cemas. Bahkan bisa jadi putus asa dan gila. Maut tak bisa dibayangkan. Ketika istri tercinta kita mati, maka maut seperti datang kepada kita tanpa basa-basi dan tak bisa diduga. Gejala ini tentu bisa ditafsirkan macam-macam, bukan hanya dialektika dari retensi dan protensi seperti Hegel melukiskan putus asa absolut.

Novel Ziarah Iwan dibuka dengan kematian sang istri tercinta, di mana sang suami tampak linglung. Kemudian geala ke arah skizofrenia terkuak ketika si suami melontarkan kata-kata yang sering tak beraturan dan menerabas tanda baca melaui gaya fantasi yang kekanak-kanakan. Walau sejak kematian istrinya, ada alasan baginya tiap siang hari untuk terus hidup. Namun ketika malam tiba, ia mabuk dan nyaris berada pada ambang kegilaan. Letupan kata-kata muncul dengan merdeka tanpa beban dan di situlah makna harapan dan tiadaharapan tokoh yang mengalami skizofrenia terkuak.

Sepanjang hidup Iwan sering melontarkan perasaan kesepian dan merasa tertekan akibat situasi politik yang tak menentu. Banyak kritikus yang mencemooh gagasan eksistensialisnya, baik dari kalangan Lekra maupun di luar. Sutan Takdir dan Sudjatmoko, misalnya, tak terlampau menaruh harapan pada eksistensialis dan sering meledek eksistensialisme Iwan. Namun, jarang sekali kritikus sastra mengaitkan secara serius narasi skizofrenia dan kegilaan dalam prosa Iwan dengan situasi modernitas yang tengah melanda Indonesia pertengahan abad ke-20. Prosa-prosa gebalau nonsens Iwan didominasi oleh suatu pelarian dari realitas yang disebabkan oleh perkembangan modernitas yang mendadak ke suatu bidang seni dan sastra.

C.R.Badcock sendiri pernah menelusuri hampir semua karya seni, mulai dari lukisan, musik, teater, puisi, prosa (novel dan cerpen) kian mirip dengan karya psikotik dan anak-anak dengan bentuk ekspresi regresif di mana tokoh-tokoh mengalami disintegrasi, skematisasi, degradasi. Seni lukis Sezanne, novel Samuel Beckett (How It Is) yang tidak mengunakan tanda baca, teater Ionesco (The Bald Prima Donna), James Joyce, dll. Dalam bukunya, Madness and Modernity—terjemahan Bosco Carvallo—Badcock melukiskan panjang lebar konteks skizofrenia dan kegilaan dalam karya seni atau sastra, berikut ini:

Beberapa karya penulis seperti Beckett, Joyce, Ionesco, mungkin mewakili keekstriman, bahkan untuk kesusastraan modern sekali pun, namun para pengarang ini tidak dapat dilukiskan sebagai eksentrik, periferal, atau tanpa pengaruh. Kebanyakan pembaca akan sependapat bahwa ciri modernisme dalam kesenian yang telah saya kemukakan bukan tidak esensial dan ciri tersebut memang perlu diberi komentar. Sudah sejak lama ada kebiasaan di kalangan connoisseur avant-garde untuk menghukum orang-orang awam di jalanan karena kebanyakan menolak kesenian modern lantaran tidak memahaminya sebagai suatu macam kegilaan, namun pada kesempatan ini orang di jalanan tersebut—yang, tidak seperti para connoisseur, tida membela suatu kepentingan tetap atau tidak tetap—mungkin memang benar.
Jika kita menanyakan diri kita sendiri mengapa dalam bidang kesenian dan khususnya kesusastra-anlah simtom konflik skizoid, psikokotik dengan realitas paling menonjol, maka jawabnya mungkin harus ditemukan dalam dua pertimbangan utama. Pertama, ada pendapat yang mengatakan bahwa dampak kultur modern, ilmiah, dan teknologis ternyata paling sulit dialami oleh orang-orang yang mempunyai temperamen artistik dan intuitif yang mengungkapkan dirinya melalui teknik tradisional seperti pengrajin. Kedua, ada pendapat yang mengatakan bahwa kesenian dan kesusastraan, barangkali lebih daripada yang lain kecuali agama, menjamin eksternalisasi bawah sadar yang diakui secara kultural dan barangkali bahkan lebih daripada agama, untuk bawah sadar individual khususnya. Oleh karena itu, ketika dampak itu tiba, dampak itu tercatat amat kuat dalam bidang-bidang upaya yang terutama sangat rentan dan sangat cocok untuk ekspresi reaksi psikologis yang sangat mirip dengan ekspresi psikosis individual.

Pada prosa Iwan bukan tidakada tanda-tanda yang dikemukan Badcock lewat teori psikoanalis Freudian itu. Kita tahu, situasi politik pada masa Orde Lama terlampau menuntut tanggungjawab seniman. Seni untuk seni dipandang borjuis. Eksistensialis dianggap terlampau mewah untuk Indonesia pada masa Orde Lama, bahkan sampai Orde Baru. Dalam situasi inilah Iwan banyak menulis prosa yang dipengaruhi karya-karya eksistensialisme Prancis. Iwan memang pernah dekat dengan gagasan eksistensialisme dan Humanisme Jean Paul Sartre. Namun dalam perihal tentang s’enganger (melibatkan diri) dan tanggungjawab seorang seniman, tampak bahwa Iwan berbeda dengan Sartre.

Gagasan Iwan tentang komitmen sosial dan tanggungjawab malah agak dekat dengan Levi-Strauss: yakni tanggungjawab pada dirinya sendiri dan apa karyanya berikutnya. Tidak semua orang bisa seperti Sartre yang melakukan banyak hal, selain menulis roman, filsafat, teater, dan politik. Namun bukan berarti bahwa ketika Iwan mengangkat kaum urakan, kaum gelandangan, orang gila, tak punya komitmen terhadap masyarakatnya. Iwan telah menunjukkan tanggungjawab pada dirinya dan karyanya.

Apa boleh buat, Iwan masih tak banyak pengikut kecuali segelintir sastrawan yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan. Tuntutan tanggungjawab pengarang dan komitmen sosial jauh lebih bergemuruh dan membuat jiwanya kuyup. Kemerdekaan untuk memilih sesuai dengan nurani belum banyak sekutu. Maka muncullah pergulatan batinnya yang keras dan nyaris melumat individunya.

Pikiran muncul dengan merdeka dalam sunyi, dan terkadang tanpa berpikir panjang. Ketika muncul peluang untuk membebaskan diri dari rasa tertekan, apa pun sering nol pertimbangan. Dan Iwan sendiri pernah menaruh harapan pada TNI sebagai pembebasan dari tekanan kaum komunis. Dalam suratnya kepada Larto bertanggal 19 Agustus 1965 (saya baca dari buku Prahara Budaya suntingan D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995: 410), Iwan pernah menulis begini:

...TNI-lah harapan kita yang paling utama di masa depan, Larto! Semangat kemerdekaan yang masih tetap bergelora dalam dada korps Siliwangi, Brawijaya, Diponegoro, Bukit Barisan, Sriwijaya, Hasanudin, Pattimura, dan lain-lain, kukira semangat kemerdekaan mereka ini masih cukup ampuh untuk menghadapi eksperimen Madiun kedua yang akan datang! Prajurit-prajurit seperti Abdul Haris Nasution, Ahmad Yani, Suharto, Basuki Rachmat,, Ibrahim Adjie, dan lain-lain adalah (masih) tetap jaminan bangsa kita, bahwa eksperimen seperi itu bakal pasti memperoleh perlawanan yang sangat dramatis, dan bahwa eksperimen itu, walau betapa besar pun nantinya jumlah korban yang bakal dimintanya, tapi kemenangan terakhir pastilah ada pada pihak KEMERDEKAAN YANG BERDAULAT PENUH DARI NUSA DAN BANGSA KITA!...

Bukan maksud saya untuk membuka polemik lama antara Lekra dan Manifes Kebudayaan dan memojokkan Iwan di sini, namun pernyataan itu saya kutip untuk menegaskan bahwa dalam situasi yang gawat dan mengancam, orang sering tak berpikir panjang untuk mengambil suatu alternatif. Gejala ini sedikit banyak terkait dengan skizofrenia dan kegilaan yang ingin saya ketengahkan. Beberapa pernyataan Iwan menjadi kenyataan, dan seorang yang tengah merasakan situasi yang menekankan kadang kala bertindak seperti kaum futurolog yang berdepan-depan dengan zaman.

Prosa-prosa Iwan lebih dekat dengan semangat kaum Lekra keyimbang Manifes Kebudayaan. Iwan banyak menulis tentang kaum urakan, kaum gelandangan, kaum hina-papa yang banyak dijadikan tokoh-tokoh ideal di kalangan seniman Lekra. Lalu mengapa Iwan menolak Lekra? Mengapa Iwan tidak menulis sesuatu yang justru dibabat Lekra?

Surat-menyurat Iwan menarik dijadikan bahan studi dan contoh bagaimana perasaannya dan sikapnya terhadap kekuasaan Orde Lama dan berbagai penopangnya yang pernah ada. Iwan kerap kali melukiskan hidupnya seperti kapal pecah dihempas gelombang, naik-turun tanpa kepastian. Pikiran sering melantur, regresif, dan sering tanpa corak integrasi. Komunikasi dengan orang lain seakan tertutup dan jadilah ia makhluk kamar, menyepi di sebuah hotel di bilangan Bogor dan menulis novel, cerpen, esai, surat, dll., dengan mutu yang relatif terjaga (walau bahasa Indonesia yang digunakan tidak sepenuhnya mengikuti kaidah bahasa yang baik dan benar).

Tiap kali saya membaca prosa-prosanya, selalu muncul imago kegilaan dan makin lama makin tampak menunjukkan gaya ke arah ekstase yang bersifat mistis. Selama ini, pembacaan terhadap sudut pandang penokohan dalam novel dan cerita pendeknya, cenderung berhenti pada tokoh-tokoh gelandangan, seperti dalam pembacaan Dami N. Toda, Mangunwijaya (1982), Kurnia JR (1999). Tak banyak yang mencoba mengaitkannya dengan narasi kegilaan dan skizofrenia lebih jauh. Hanya sedikit yang mengaitkan tema skizofrenia dan kegilaan dan modernitas.

Pembacaan saya terhadap hampir semua prosa Iwan, tidaklah berlebihan jika saya mengatakan di sini bahwa Iwan telah menjelma sosok pengarang Indonesia yang begitu intim menghadikan narasi kegilaan dalam prosa pada zamannya. Bahasa eksistensialis yang dipinjamnya dari eksistensialisme Prancis cukup membantu mengekspresikan narasi skizofrenia dan kegilaan yang di Indonesia pada dekade 1950-an-1960-an belum terlalu banyak disuarakan.

Dalam prosanya muncul letupan kata-kata yang dari mulut Tokoh Kita dan tokoh-tokoh lelaki lainnya, yang terkesan main-main dengan kata-kata, seperti Merahnya Merah, Ziarah, Koong, Kering, dan kumpulan cerpen Tegak Lurus dengan Langit (cetak ulang oleh Pustaka Kompas, Jakarta, 2004), mirip dengan cerocosan orang gila. Ceracau tokoh-tokoh antagonis dan eksentriknya, mengingatkan kita pada orang-orang gila yang di autopsi di Rumah Sakit Jiwa.

Saya tak tahu persis ungkapan yang tertulis dalam sampul belakang buku Ziarah penerbit Djambatan (1969), ketika muncul kata-kata yang agaknya mengarahkan kita untuk melihat fenomena novel Iwan sebagai cermin keberhaslan melahirkan narasi kegilaan. Saya kutip langsung dalam ejaan lamanya: “Dalam penondjolan tokoh-tokoh dan watak-wataknya adalah orang-orang la biasa. Tetapi kesan ini disebabkan karena penulisnja menempatkan mereka didepan suatu katjagila”.

Kedekatan Iwan terhadap manusia-manusia yang tampak seperti pasien-pasien yang merasa terpenjara di RSJ itu, tentu berhubungan dengan kedekatan Iwan terhadap tema ini. Kita tahu, Iwan pernah melakukan studi tentang kejiwaan manusia dengan intim; ia pernah kuliah di fakultas kedokteran Universtas Airlangga Surabaya, walau tidak tamat. Lalu ia mendalami kembali tentang manusia lewat kajian antropologi di Universitas Leiden dan mendalami filsafat—khususnya eksistensialisme—di Univesitas Sorbonne, Paris.

Konflik penokohan dalam prosanya begitu kuat justru karena Iwan tak pernah henti-hentinya memahami manusia berikut pernik-pernik kejiwaan secara intim. Iwan menghadirkan prosanya bagaikan para sufi yang tengah akstase, dan ia memang pernah mengatakan tentang “manusia dalam ekstase sekaligus kemanusian dalam ekstase”. Tidak berlebihan jika Mangunwijaya dalam Sastra dan Religiositas (1982) menyebut novel-novel Iwan adalah “novel gaya sur-realis lebih berkecimpung dalam teritorium puisi daripada prosa, lebih dalam bahasa mistik daripada bahasa theologi, lebih melamun daripada bercerita”.

Hal-hal yang dianggap gila, yang dijauhkan masyarakat kebanyakan, justru diapresiasi Iwan dengan sangat intim dan penuh penghayatan individual yang keras melalui bahasa kesyuhadaan. Apa yang “gila” itulah yang lazim dan menantang sekaligus yang paling segera menjadi minatnya, menjadi titik-pemberangkatan dari dunia di luar lingkungannya. Untuk apakah semua itu? Lamat-lamat kita melihat sebuah “keakanan yang tak selesai”: untuk menyusun (sementara) dunianya sendiri. Bahasanya sendiri. Gayanya sendiri.

Ada kesan bahwa Iwan menulis prosa seperti pernah menjadi orang gila betulan, karena kata-katanya kerap kali melantur begitu saja dan dengan cekatan dinarasikan tanpa beban, hingga bahasanya pun seakan melompat-lompat menyalahi aturan ejaan yang diberlakukan secara sengaja. Tengok ucapan ini: “Begitu malah jatuh, pantatnya di tuangnya arak penuh-penuh, memanggil Tuhan keras-keras, kemudian meneriakkan nama istrinya keras-keras, menangis keras-keras, untuk pada akhirnya tertawa keras-keras” (Ziarah).

Lalu dalam lembar beikutnya Iwan kembali menulis sebagai hasrat melukis dengan kata-kata di benak pembaca: “malam waktu itu, dia mulai dikenal sebagai pemabuk, yang keras-keras memanggil nama istrinya, keras-keras menangis, keras-keras memanggil Tuhan, dan akhirnya keras-keras tertawa, terbahak-bahak kesetanan”.

Pemberontakan Iwan terhadap pandangan dunia “kegilaan” yang selama ini secara picik diterjemahkan, dan orang-orang gila senantiasa dianggap sampah oleh masyarakat, memang sangat dekat dengan tema pemberontakan atas konvensi-konvensi sastra resmi yang terlanjur dimamahbiak oleh masyarakat banyak. Dalam cerpen Lebih Hitam dari Hitam—cerpen ini dipublikasikan pertama kali oleh di majalah Siasat Baru Desember 1959—tokohnya menjelma sebagai pasien yang “tak waras” dan terpaksa harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Dalam rumah sakit tersebut sang tokoh bertemu dengan “orang-orang gila” yang berceloteh-ria dan terkadang monolog dengan dirinya sendiri.

Seorang lelaki berperawakan kekar memperlihatkan caranya menatap dan mengamati sesorang, memulai bicara dan menyudahi kalimat-kalimatnya, meninggalkan kesan bahwa orang ini begitu disegani dan ditakuti. Dalam cerpen ini sang narator terlihat begitu simpati dengan orang-orang yang dianggap miring dan gila yang sedang dirawat bersamanya. Jiwanya terasa kuyup oleh segala pelabelan dan harga diri orang-orang normal yang menderas kesadaran batinnya.

Sementara dalam cerpen Monolog Simpang Jalan, sang narator kembali mengisahkan seorang lelaki gelandangan yang dianggap gila dan melakukan sebuah monolog—sesuatu yang sering dijadikan indikasi bahwa setiap orang yang berbicara sendiri dianggap gila. Lewat cerpen ini, sang narator mengisahkan perjumpaannya dengan seorang gelandangan yang berpakaian dekil dan kumuh di sebuah persimpangan jalan yang dilaluinya. Lelaki itu, dengan sorot mata yang tajam, menatap ke arahnya dan melemparkan kata-kata yang menyentak kesadaran batinnya.

Sang gelandangan dalam cerita ini nyaris tak memberi ruang dialog bagi tokoh lainnya, tapi lebih suka bicara sendiri dai hti ke hati. Di tengah-tengah kegalaun dan teka-teki yang menyelimut perasaannya, ia menangkap kesunyian sempurna di balik raut wajah lelaki tersebut. Sang lelaki tersebut tampak sedang mempersaksikan seorang manusia, seorang yang menanggung seluruh beban dari sunyinya, di dunia yang kian hari kian ramai dan bising. Orang-orang memperlakukannya sebagai orang sinting dan harus segera dibawa ke RSJ. Orang-orang pun hilir mudik dan sibuk mencari ambulan, dan dari dalam mobil ambulan tersebut berlompatan beberapa juru rawat yang siap dengan tandu penggotongnya.

Iwan Simatupang menafsir dengan kritis tentang makna tersirat di balik narasi kegilaan. Pergulatan sang narator adalah pergulatan seorang yang protagonis, yang absurd, dan hampir tak pernah mau berkompromi. Meski pada akhirnya lelaki dalam cerita itu tinggal sendirian menanti “ayam pertama berkokok kembali, senyum lebar di wajahnya, senyum yang sangat membebaskan”, sang narator tampak seperti ikut terlibat dalam konfli penokohan dalam prosanya. Tokoh lelaki itu, tingkah lakunya yang aneh, sepeti wajahnya dihadapkan pada terik yang terbit, tegak lurus dengan langit, menunjukkan rasa hayatan yang kuat tentang pengetahuan kegilaan.

Tetapi, sang tokoh dalam Tegak Lurus Dengan Langit tak pernah tunduk dan menyerah dengan kesendirian atau kehampaan. Harga diri dengan segala tetek-bengeknya telah ia campakkan. Semua yang dijumpainya, lelaki tua, lelaki kekar, orang-orang gila perlahan-lahan hanya tinggal bayangan. Ia kembali dengan dirinya sendiri, dengan kesunyian dan kekosongan dan kehampaan, tempat keheningan yang harus ditebusnya dengan kepedihan dan kegilaan. Ia terus menyusuri pahitnya liku-liku kehidupan, menelanjangi segala bentuk kemunafikan dan kecongkakan, menohok realitas sosial, budaya hipokrisi, dan “memihak” mereka yang gila. Iwan memang pernah menyebut novel dan cerita pendeknya sebagai “novel tak bermoral” tapi inilah “novel masa depan”.

Agaknya, ini pula “suara eksistensialis” Iwan Simatupang yang paling khas dan sering disalahpahami para kritikus, dan tak jarang juga disanjung dengan pujian—seperti dalam esai-esai Dam N. Toda, Mangunwijaya, dan Kurnia JR. Bagi kalangan Marxis, filsafat eksistensialis dengan tokoh sering tak bernama, tak jelas, amoral, terlampau subjektif dan sama sekali tidak berurusan dengan realitas pedih dan komitmen sosial, akan dicap sebagai kegagalan. Kaum eksistensialis tak ubahnya makhluk kamar yang terisolir, soliter, tanpa peduli dengan nasib sesama. Dan, sekali lagi, dalam pandangan kaum sosialis, eksistensialisme tak lebih dari warisan ego cogito ergo sum-nya Descartes. Iwan Simatupang seakan menegaskan saya gelandangan maka saja ada, saya gila maka saya ada.

Syahdan, seorang lelaki yang menakutkan duduk di bawah jembatan, yang membuat orang-orang yang lewat menyimpulkannya sebagai orang gila. ”Mula-mula kukira ia orang yang sangat ramah. Setiap orang yang berpapasan dengan dia, disenyuminya”, kata Iwan dalam cerpen Senyum di Jembatan. Asosiasi kegilaan dihadirkan lewat tokoh lelaki yang senyum sendirian. Bukan sumringah, melainkan ketidakwajaran.

Lalu selanjutnya kita akan menemukan komentar sang narator kembali terhadap si lelaki sebagai bentuk “pembelaan”. “Tapi, ketika kulihat pada satu hari, bahwa ia juga tersenyum kepada seekor kuda penarik gerobak tukang sayur, pendirianku berubah. Aku menduga dia tak waras. Dan perempuan tempat aku bayar makan, mengiyakannya”.

Kejadian cerita di jembatan dalam cerpen ini berlangsung di sebuah kota besar yang bukan Jakarta, Surabaya, atau Medan, melainkan Amsterdam. Sang tokoh mulanya jadi “gila” karena sempat di penjara akibat ia menolak dikirim ke Indonesia sebagai serdadu untuk menumpas orang Aceh. “Alhasil”, kata sang narator, “ia dimasukkan dalam tahanan. Alhasil, ia jadi tak waras. Alhasil, ia tersenyum terus...” Gaya pengucapan infantil ini sudah khas Iwan. Dalam Ziarah bahkan berkali-kali ia menggunakan gaya repetitif yang kemudian kita temukan bayangannya dalam puisi-puisi Afrizal. Misalnya: “Lihatlah keseluruhan wajahnya, bahunya, dadanya, tubuhnya, riwayat hidupnya...”.

Ketika sang tokoh lelaki dalam Senyum di Jembatan mulai membuka dialog tentang kota-kota di Indonesia, Suabaya, Makasar, Manado, Ambon, terkuak kejeniusan sang tokoh yang terlanjur disimpulkan gila tadi. Jawaban-jawaban yang muncul dari mulutnya ternyata tidak ngawur, dan sang narator kembali berkilah: “Dia boleh orang sebut gila, tapi pengetahuan ilmu buminya, atau setidaknya kesadaran arahnya, masih tetap utuh. Aku ini kagum, sekaligus aku mulai menyangsikan ketakwarasannya. Suatu hasrat jalang timbul kini dalam diriku. Yakni, hasrat tahu bagaimana pula bunyi jawabnya atas pertanyaan-pertanyanku berikut”.

Ada perasan terlibat dan dekat pada tokoh-tokoh gila yang tak mampu disembunyikan oleh sang naratornya. Kontras antara waras dan tak waras dipermainkan sedemikian rupa hingga posisi yang tak waras menjadi waras, bahkan lebih waras karena sangat cerdas, sementara yang waras sendiri menjadi hipokrisi, menjadi manusia tak bermatabat. Orang gila yang sering dianggap sebagai mentalitas hidup yang kacau itu, ternyata menyimpan perasaan yang mengalami kehilangan, kekosongan, kelungkrahan, karena ke-aku-an mengalami semacam disintegrasi, tapi dengan begini justru hidup menjadi merdeka dan kreatif.

Dari sisi seorang fenomenolog, kegilaan bisa dilihat sebagai suatu disintegrasi dari situasi yang tak hendak mengejar reintegrasi di tingkat lebih rendah, melainkan di tingkat puncak. Justru ketika hal-hal yang “irasional” dan kegilaan hilang dalam benak dan jiwanya, bisa jadi ia justru menjadi tak kreatif. Roland Barthes benar ketika mengatakan dalam Mitologi: “semakin kejeniusan seseorang coba disembunyikan oleh otaknya, semakin kreatif penemuannya mendapatkan dimensi magis, dan memberikan suatu inkarnasi kepada gambaran esoteris primitif tentang pengetahun yang sepenuhnya terkandung ke dalam huruf”.

Rasionalisme dan berpikir logis justru menjadi hantu paling menakutkan bagi orang gila atau seorang yang mengalami skizofrenik. Orang yang ketakutannya terhadap menjadi normal hampir sama besar dengan ketakutannya dengan menjadi abnormal, mungkin akan menjadi kreatif yang tak cuma karena dorongan pengalaman kenikmatan estetik, atau gairah yang mengalami pikiran yang aktif, tetapi juga untuk mempertahankan diri terhadap kecemasan akibat konflik antara soliter dengan solider.

Gugusan kegilaan dari perasaan soliter dan luka eksistensial yang muncul bertubi-tubi, seperti ditunjukkan Iwan dalam tokoh-tokoh ceritanya, dengan segala ego dan emosinya yang yang aneh itu, akan dianggap tak sanggup menjangkau sesama manusia yang menderita, apalagi berpikir tentang solidaritas kaum tertindas. Tetapi ini adalah sebuah tuduhan yang mulai sekarang harus segera ditinggalkan, mengingat hidup soliter Iwan justru begitu deras menghadirkan komitmen sosial pada kaum gelandangan atau kaum yang tak berumah.

Empati Iwan—kalau boleh kata ini dipakai—terarah pada kaum gelandangan dan orang-orang gila dan yang dianggap “sampah masyarakat”, dalam satu tarikan nafas ia mengubahnya. Dalam menghadirkan gebalau-gebalau nonsens dan igauan-igauan yang abnormal, Iwan membela subjektivitas habis-habisan dari serangan kaum pemuja objektivisme. Iwan seakan menyerukan ke-orang-lainan dalam prosanya; keoranglainan yang menggelandang, mengemis, dan tidur di bawah kolong jembatan.

Tematik penciptaan orang-orang tak waras dalam prosanya berangkat dari sebuah lamunan akan pertanyaan filsafat eksistensialis yang melihat bagaimana dunia mesti dibaca dari kacamata orang yang dianggap gila. Narasi kegilaan Iwan dalam prosa orang-orang gelandangan itu, memang bukan sesuatu yang baru, karena tema semacam ini telah lama jadi perhatian pengarang-pengarang Eropa.

Narasi kegilaannya memiliki kesamaan dengan kisah kegilaan di One World--sebuah nama institusi sebuah rumah sakit jiwa dalam novel The Comfort of Madness karya Paul Sayer. Prosa Iwan memiliki kesamaan dengan tema “sejarah kegilaan” yang pernah diangkat Michel Foucault, kendati tokoh terakhir ini sangat skeptis terhadap pembicaraan tentang kepribadian, kesadaran, kebebasan. Kepiawaian Iwan terletak pada kemampuannya menangkap penderitaan pasien yang diperlakukan secara khusus tanpa melakukan autopsi yang mencincang kaum yang sering dicap “abnormal” itu. Gugatan sarkastis Iwan terhadap para juru rawat di rumah sakit yang menggunakan metode persis seperti yang dilakukan di York Retreat—sebuah lembaga pengobatan jiwa yang sering diungkapkan Foucault—tampak memberikan sebuah narasi kegilaan yang seakan membangkitkan sebuah peradaban baru.

Kita tahu Iwan salah ketika kita mulai membaca Foucault yang tidak lagi percaya pada kebaruan dan lebih tertarik pada karya yang anonim. Namun beberapa gagasan Foucault tentang skizofrenia dan kegilaan justru telah berpengaruh dalam “pikiran liar” Iwan, kendati tak sepenuhnya tepat untuk mengatakan Iwan adalah sosok postmodernisme.

Lewat bahasa prosa, Iwan mengungkapkan narasi kegilaan dengan limit dan pembangkangan atau transgresi terhadap pertentangan biner yang diciptakan oleh dunia medis modern seperti ‘same’ dan ‘other’, ‘waras’ dan ‘gila’, ‘normal’ dan ‘abnormal’, atau ‘civilized’ dan ‘uncivilized, “subjektive” dan “okjektive”. Dan ini memang postmodernisme. Namun segera pandangan itu mengalami kontradiksi tak berkesudahan dan tarik-menarik antara modernisme dan postmodernisme.

Dengan bekal pengalaman dan pengetahuan tentang dunia kedokteran dan medis Iwan sangat piawai dan berhasil mengisahkan tragedi kemanusiaan yang paling sadis yang berlangsung di ruang pengobatan dan kamar isolasi RSJ. Dengan wawasan psikologi fenomenologi dan filsafat eksistensialis Prancis, Iwan berhasil mengangkat kesadaran seorang protagonis, absurd dan nihilis yang percaya bahwa kegilaan adalah kehidupan. Kegilaan adalah kemanusiawian.

Sigmund Freud memang pernah mengatakan bahwa kegilaan bukanlah sebuah penyakit, melainkan potensi manusia yang terkubur. Sigmund Freud menyebut ide kegilaan sebagai situasi yang berada dalam alam bawah sadar (unconsciousnes). Semua manusia adalah neurosis dan memiliki kegilaannya sendiri, karena banyak sekali ketidaksadaran yang disimpan dalam gudang jiwa manusia. Bahwa kegilaan sebetulnya adalah pengobatan jiwa itu sendiri. Kegilaan adalah kedahsyatan manusia di mana manusia tidak lagi diberi batas-batas hukum. Ia lebih bebas dari imajinasi. Kegilaan adalah ketidaksadaran yang disadarkan dan kemudian menjadi sesuatu yang genius, yang mencerahkan, yang kreatif.

Pembauran antara sudut pandang eksistensialis dan psikoanalisis atau neurologis, menjadikan prosa Iwan berada dalam menara kekosongan, sebuah nol mutlak, dan menyandang obesesi yang tidak lagi sebagai narasi dan tema-tema besar, kendati rangsangan yang ditimbulkan alam novelnya muncul dari tokoh-tokoh besar. Kebesaran, atau terlalu kecil untuk ukuran tokoh-tokohnya yang berkali-kali mengalami depresi berat. Jiwanya melayang-layang menghayalkan sesuatu yang tak tergapai. Ia mengalami gangguan jiwa, seperti skizofrenia, melankolia involusi, parafrenia involusi, demensia dan sejenisnya. Tetapi, tokoh-tokohnya itu dengan sadar menikmati kegilaanya.

Menarik menghubungkan narasi kegilaan yang telah dibicarakan di atas dengan novel Kering lewat jalan hidup Tokoh Kita yang telah menemukan jalan pembebasan justru dengan jalan ketakwajaran dan kegilaan. Tokoh Kita merintis jalan baru kemanusian dan pembebasan para rudin, setapak demi setapak, berlarah-larah dan kering-kerontang bagai tanah tandus yang bertahun-tahun tak disiram hujan. Begitulah jiwa yang dirasakan Tokoh Kita dalam Kering, namun dengan jalan itu justru ia menemukan kebebasan yang paling penuh kesadaran. Sebuah pandangan yang menolak ketamatan sambil menghunjamkan subjek dalam proses yang tak selesai dalam sebuah pencarian sampai ke titik nadir, sebuah titik, sebuah nun, sebuah nol yang mutlak. “Dari x, ke 2z, ke 1 x, dan kini ke 0 x makan sekali”.

Tak ragu lagi, tokoh-tokoh imajiner Iwan mendendangkan sejarah kegilaan, yang menarik jika dikaitkan dengan Nietzsche yang merupakan salah satu tokoh yang dikagumi Iwan. Sejarah kegilaan yang pernah jadi perhatian Nietzsche kemudian dilanjutkan oleh Michel Foucault, dalam bukunya Kegilaan dan Perdaban yang terbit pertamakali pada tahun 1965. Sejauh ini, Foucault memang juru bicara Nietzsche yang paling fasih di abad ke dua puluh, dan tak tanggung-tanggung, ia pun menjelajahi tema kegilaan dengan penelitian yang mendalam di sebuah lembaga bernama York Retreat.

Belakangan, upaya penelitian semacam ini juga diikuti oleh Paul Sayer di sebuah lembaga bernama One World, yang bisa ditelusuri dalam novelnya berjudul The Comfort of Madness yang sudah diterjemahkan oleh penerbit Lafadz Yogyakarta. Baik Foucault maupun Sayer, keduanya paling getol melacak soal narasi kegilaan. Keduanya menampik model praktik Rumah Sakit jiwa yang mengklaim melakukan diagnosa terhadap pasien secara objektif—nilai yang sering dijadikan syarat untuk mencapai ilmu pengetahuan yang diagung-agungkan oleh disiplin modernitas. Bagi Foucault, para dokter jiwa modern selalu menggunakan taktik pengawasan (surveillance) dan pelabelan (judgement) sebagai terapi ampuh untuk menyembuhkan orang gila. Mereka menundukkan pasien-pasien di bawah observasi dan evaluasi dengan standar penilaian tingkah laku yang kaku. Subjektivitas dari jati diri, yang turut membingkai akan pemahaman dunia medis sama sekali tak pernah dipertimbangkan.

Foucault dan Sayer melakukan sebuah transgresi terhadap pertentangan biner dan menemukan metode kekuasaan yang digunakan untuk memapankan satu kategori yang menindas. Dengan bekal pengalaman sebagai mantan perawat di sebuah rumah sakit jiwa, Sayer mampu mengisahkan secara apik tragedi kemanusian di ruang isolasi perawatan pasien Rumah Sakit Jiwa dalam novel semi ilmiah itu. Dalam salah satu monolog tokoh Peter, misalnya, menarik dibandingkan dengan tokoh-tokoh ang digunakan Iwan Simatupan.

Peter ternyata seorang pasif, dan memilih untuk tidak merespon apapun yang menghampirinya meski sebenarnya ia bisa melakukannya. Dalam terang ilmu jiwa modern, pilihan cara hidup Peter sudah cukup untuk membawa dirinya ke ‘mental institusi’ yang mengklaim bisa memulihkannya menjadi orang ‘normal’ kembali. Bagaimana rasanya melihat dan mengalami dunia dari sudut kegilaan? Pertanyaan ini menjadi titik berangkat sebagian besar pengarang yang mengambil seting kegilaan. Bagi mereka, kegilaaan adalah ciptaan, kutukan sekaligus kehidupan. Menjadi gila adalah merasakan kembali kebebasan, “keliaran” sekaligus kesedihan.

Menarik mengikuti tafsir yang dikemukakan oleh A. Setyo Wibowo (2004) dan Sindhunata tentang kegilaan seorang Nietzsche. Filsuf ini bisa mendobrak segala kemapanan, kepuasan diri, katanya, bahkan mendobrak forma apa pun. Iwan sendiri dalam esai berjudul mahapendek, Dan, memang pernah mengatakan: pemberontakan terhadap realitas, berontak untuk berontak saja, taklah menarik bila mega segumpal pun tak ada yang mengarak. Atau: “kekuatan abstrak untk berkata tidak!”

Iwan tidak bisa dipojokkan pada sudut mana pun. Nietzsche memang telah membunuh Tuhan. Tapi kita harus hati-hati untuk menggelarinya sebagai “pembunuh Tuhan”. Seluruh keresahan jiwanya justru bisa membantu kita untuk memurnikan Tuhan dari kekerdilan anggapan kita tentang-Nya, dan dengan demikian, menakhtakan-Nya di atas kekerdilan manusia. Nietzsche memang melakukan suatu refleksi filsafat yang ateis, namun kita mesti berhati-hati untuk menyudutkannya sebagai seorang ateis.

Dengan filsafat “palu”-nya, Nietzche justru memperolok mereka yang merasa telah mencapai pencerahan dengan jalan ateisme. Ateisme Nietzsche malah bisa menuntun kita untuk melihat apa yang seharusnya paling mistik dalam relasi kita dengan Tuhan. Dalam hal ini, Nietzsche yang a-religius itu sesungguhnya adalah orang yang sangat religius.

Wajar saja jika kita menemukan keliaran ungkapan dalam prosa Iwan Simatupang, yang ia sendiri nyaris berada dalam ambang ketidaksadaran, karena imajinasi orang dalam situasi ini sungguh merdeka. Seorang yang merasa jiwanya melayang, tokoh-tokohnya dengan cepat menghayalkan sesuatu yang tak tergapai, sering dianggap mengalami gangguan jiwa. “Penyakit jiwa” seperti dilukiskan sebagai penciptaan makna, suatu pendapat yang berbeda dengan teori para psikiater yang sering melukiskan skizofrenia dan kegilaan sebagai alam anpa makna. Di sini makna hadir dengan latar belakang dari hal yang tak bemakna, yang jika menggunakan kata-kata Marleau Ponty, sebuah “sens dan nonsens”: sense ialah corak yang membutuhkan latar belakang dari nonsens.

Iwan memang bermain dalam wilayah manusia dan kemanusian sebagai latar depan dengan mempermainkan dengan ringan antara kebermaknaan dan tanpa kebermaknaan, sens dan nonsens. Manusia dalam hayatannya mirip seperti ahli sihir yang kadang-kadang berhasil menghadirkan suatu makna kegilaan yang menghidupkan kesadaran, tapi kadang-kadang ia pun gagal menembus kabut tebal awan penanda dan petanda yang telah lama dipancangkan oleh masyarakat. Makna tak terpisah dengan tanda, dan rasio paling tinggi duduk di sebelah kegilaan paling hebat. Makna senantiasa berada dalam tegangan dengan ketidakbermaknaan, tapi sekaligus berbaur-erat dalam ketakterhinggaan.

Sebagian besar novel Iwan Simatupang, Ziarah, Merahnya Merah, Kering, dan cerpen-cerpennya, bisa diberi arti secara psikologis, dan kita nyaris ikut mengami skizofrenia pula saat membacanya. Menarik mengaitkan gejala skizofrenia dalam prosa Iwan dengan modernitas dan kegilaan, di mana kondisi skizofrenia sebagai sebuah wacana diungkapkan pada tahun 1806 dan dipopulerkan Eugen Bleuler, yang mengenalkan istilah skizofrenia pada tahun 1908 dan menjabarkannya sebagai ”sejenis peningkatan pikiran, perasaan, dan hubungan dengan sesuatu yang bukan dari dunia ini”. Nietzsche, Freud, Franz Fanon dan Michel Foucalt, Sayer adalah tokoh-tokoh yang berjasa mempopulerkan tema skizofrenia, sehingga sering diidentikkan oleh para kritikus sebagi postmodernisme.

Membaca gejala skizofrenia dalam prosa Iwan, menuntut kita untuk menyikapi letupan kata-kata yang muncul dari mulut Tokoh Kita sebagai sebuah konflik terhadap modernisme. Tokoh Kita dalam Merahnya Merah dan Kering tak urung mengingatkan saya pada tokoh “gila” yang cerdas dalam sebuah film yang dibintangi Russel Crowe—yang memerankan John Forbes Nash yang ahli matematika yang mengalami delusi skizofrenia namun akhirnya menyabet hadiah Nobel itu. Berbagai kata yang bermakna kegagahan dan keangkuhan yang muncul dari Tokoh Kita tak ubahnya si penderita skizofrenia yang diguyur aura mistik dan hidup dalam kekeringan dan kekerontangan jiwa di tengah arus modernisme yang mulai melanda Dunia Ketiga.

“Targikku adalah tragik dari sebelum tragik. Tragik rangkap dua”, kata Tokoh Kita dalam Merahnya Merah. Hidup dalam tragik rangkap dua itu bisa saja menyakitkan. Tapi bisa juga menjelma sebuah damba mistik, asal saja ia berhasil melampaui pesoalan fisik yang akan mengantarkan manusia untuk meraih segala haknya dan akan merasa bahagia lebih dari yang lain. “Inilah kami dari kaum fakir, kaum pertapa, para mistikus, yang membuat mereka selalu suka mencari daerah-daerah pelik dari kehidupan dan mempertontonkan rasa kebahagian yang asing bagi manusia-manusia dari kondisi hidup yang biasa”.

Kontras antara manusia normal dan abnormal, antara kaum paria dengan bangsawan, mistikus dengan para ahli hukum, merupakan tema yang didedah Iwan dalam sebagian besar novelnya. Dari sana muncul semacam harapan melalui kehadiran psikologi pembebasan yang akan mengantarkan manusia-manusia gelandangan ke dalam alam batin yang paling sunyi. Merekalah kaum soliter yang paling kesepian. Paling sunyi. Menderita. Tokoh-tokohnya bukanlah pengemis yang meminta belas-kasihan, tapi manusia yang terusir bagaikan Adam terusir dari taman Firdaus.

Tak heran jika berkali-kali Iwan menampilkan pernik-pernik psikologis seputar peradaban dan kegilaan. Membaca delusi-delusi dalam prosana, menuntut kita untuk mengenal secara intim karakter tokoh-tokohnya yang sepintas tampak nonsens itu. Karena prosa, sebagai kekuatan naratif, di tangan Iwan ternyata cukup ampuh untuk menjadi saksi bagi apa yang pernah terjadi dalam suatu zaman. Iwan memang “seniman jalang” yang lahir dai “novel pelacur” yang “mesti diuji keampuahannya dari suatu keadaan tepi-tepi terakhir”—kalau boleh mengutip istilah-istilah Iwan sendiri dalam Ziarah.

Apa yang kita ketahui tentang “suatu keadaan tepi-tepi terakhir” itu muncul secara gamblang dalam esai dengan judul eksentrik: Dan. Esai ini, sejak kalimat pembuka, menegaskan ke mana kesusastraan Iwan mesti di bawa: ke “tepi yang menari-nari di remang kejauhan. Tepi, daerah terakhir sebelum ketamatan” yang merupakan penolakan atas romantika dan segala yang dianggap tamat, yang mesti dihalau dengan “menempatkan diri jauh dari tepi itu. Sedemikian jauh, hingga pudar dari ketamatan”. Dan: menyadarinya sebagai “kesadaan akan peranan sebagai hanya penyambung saja” lagi. Sebuah tepi yang berpijar yang tak sempat terungkap dalam kisah romantik dan heroik saja lagi. Dan inilah novel tanpa moral, novel tak fitri, novel tanpa pahlawan!

Saya membayang kekokohannya pintalan pikiran dan perasaan dilihatnya seperti benang-benang intuitif, “benang hitam dan merah, mengular memanjang di udara berputar-putar, menukik, laju mendatar, menanjak lagi, dan terusnya” (Ziarah). Rajutan berbagai persoalan “ketidakwajaran” bertemu dengan obsesi yang membubung bagai “kupu-kupu yang hanya bisa di cuaca”, namun mampu melengkapi peran narasi untuk menyediakan tempat di bumi bagi sebuah kesetaran secara eksplisit bagi pembaca. Dengan prosa “hitamnya”, saya seperti sedang dituntut untuk memahami apa yang tak terpahami.

Dan, Iwan telah menyuguhkan pengalaman batinnya yang buncah oleh itu konflik-konflik perwatakan tokoh-tokohnya yang mengalami persoalan kejiwaan yang berat, kecemasan yang sangat, tapi mampu menantang kita untuk segera memperbaharui tafsir tentang narasi kegilaan dalam sastra dalam seni. Tokoh-tokoh gelandangan adalah pijaran yang bergetar memasuki lorong-lorong penuh orang-orang gila-cerdas dengan berkelakuan liar dan suka memberontak.

Dengan tokoh-tokohnya yang makmur, Tokoh Kita yang tak biasa, dengan kecerdasan dan kesadaran di atas rata-rata, maka prosa-prosa Iwan berhasil menyelam kesadaran manusia dalam sebuah praktik yang selama ini berlangsung di ruang isolasi Rumah Sakit Jiwa. Saya kira Gabriel Garcia Marquez benar ketika mengatakan: semakin dalam kita menyelami karya sastra, dengan intensitas dan kecintaan yang demikian besar, niscaya kita akan kehilangan cara untuk membedakan fiksi dengan kenyataan.

Apa yang dihadirkan Iwan dalam prosa-prosanya tak lagi bisa dibedakan antara fakta dan fiksi. Dan, Iwan Simatupang telah memberikan satu sumbangan pemikiran tentang soal besar kemanusian—betapa pun kini gagasannya sudah banyak menuai kritik dari gerakan postmodernis—namun diskusi mengenai kesadaran manusia tetap mempesona orang banyak.