Rabu, 04 Februari 2009

Teks dan Tafsir

Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang


Dari hari ke hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun, kita mengalami perubahan cara memandang apa yang disebut teks dan tafsir, entah itu teks puisi atau teks Kitab Suci. Bahkan apa yang dinamakan realitas dan sejarah di hari-hari telah mengalami sebuah proses yang tak selesai. Demikian pula apa yang kita namakan syair, ternyata tak lebih sebagai takwil. Sementara pemahaman kita terhadap pengarang, teks, dan pembaca, kerap kali berputar-putar tak tentu tuju.
Demikian pula tentang penakwilan atas realitas, sejarah, serta teks-teks yang dianggap mapan atau kitab suci itu, terus berjalan seperti keong kelaparan. Takwil yang kita gunakan untuk memahami teks dan realitas yang telah mengalami perubahan dahsyat ini, anehnya masih berupa takwil monologis yang ditulis puluhan abad dari generasi kita.
Kini telah muncul keinginan yang kuat untuk menghadirkan takwil puisi atas kitab suci atau tafsir simbolik bersamaan dengan genre sastra fantastik, atau sastra yang bersifat “nomadisme tekstual” khususnya, seperti yang sering dianap melekat dalam karya-karya Borges. Tafsir puisi terhadap karya besar seperti Quran, kini dianggap sebagai kewajiban pertama yang harus dilakukan oleh para peneliti kini, karena Kitab Suci ini berhak mendapatkan perlakuan demikian, sekali pun tak harus menjadikannya sebagai sumber hukum syariat, atau petunjuk, dengan memanfaatkan apa yang dikandung dan dimuatnya. Amin al-Khuli dan Adonis telah memulainya, H.B. Jassin mencoba menerjemahkannya.
Puisi, selain sebagai teks, juga sebagai tafsir yang bisa digunakan untuk membaca Kitab Suci. Hal ini bahkan telah menjadi tuntutan yang mendesak yang harus dilakukan para pengkaji, sekalipun hati mereka tidak terpaut oleh akidah apapun yang terkandung dalam Quran, atau jiwanya memeluk keyakinan yang berbeda dari keyakinan yang dipeluk kaum muslimin yang menganggap buku tersebut sebagai Kitab Suci asli dari Tuhan mereka.
Tafsir atau takwil kita andaikan sebagai tamasya ke relung teks, karena setiap muawil menuntut untuk bertandang atau berkelana ke dalam hutan rimbun bernama teks. Memparafrasekan sebuah teks bisa jadi sebagai tindakan yang sering mendulang jauh untuk membawanya pulang. Apa yang dibaca sering kali melahirkan hasil pembacaan (yang bisa disebut bacaan baru, atau teks kedua, ketiga, atau teks epifenomenon itu). Karena tindakan membaca atau merekreasi adalah juga tindakan menakwilkan, maka hasil pembacaan disebut sebagai takwil—atau elaborasi yang dihasilkan dari pertemuan dengan teks.
Apa yang disebut teks dalam bahasa Indonesia dengan kata texere dalam bahasa Latin sering tak persis sama, karena dalam bahasa Latin—sebagaimana dalam Kamus Latin-Indonesia karangan P.Th.I Verhoeven dan Marcus Carvallo—hampir berarti tindakan menafsirkan itu sendiri; yakni “menenun, menganyam, menyusun, menceritakan, membangun”. Namun, Iwan Simatupang pernah mengatakan bahwa: roman sebagai teks pada dasarnya sama dengan penafsiran.
Karena itu, sebuah teks bukanlah sebuah piknik. Karena dalam hal teks, ada dua soal yang dapat dibedakan: pernyataan yang diajukan dan bahasa yang digunakan. Jika pernyataan adalah X, maka bahasa adalah Y. Keduanya dapat dibedakan. Segala Y mengganggu perumusan X dan secara intern segala Y merupakan kontradiksi dengan dirinya sendiri. Kedua kendala itu tumpang-tindih, yang sering menjadi sumber kesalahan pemahaman dan mengganggu komunikasi. Teks senantiasa mengandaikan kontradiksi pada dirinya sendiri. Sebagai contoh: sebuah metafor dapat membantu melahirkan karya kreatif, tetapi dapat pula mengacaukan organisasi konseptual teks yang bersangkutan, sebagaimana pernah dikemukakan Jo Verhaar (1997).
Teks adalah milik atau hak paten si pengarang. Sang Pengarang memiliki otonomi, teks juga memiliki otoritas. Dalam interaksi antara otonomi pengarang-otonomi teks-dan otonomi pembaca ini, maka wewenangnya sering tumpang-tindih. Otonomi pengarang mungkin akan dihidupkan atau malah dimatikan oleh pembaca, teks akan terus dipacu atau dihentikan, akan dikembangkan atau dikelokkan, dibawa pulang atau ditinggalkan, akan melahirkan teks baru atau tidak, tergantung paham pembaca atau kehendak pembaca dengan seperangkat tafsirnya.
Di sini otoritas teks tak akan berhenti di dalam keranjang takakura bernama sebuah teori, karena setiap teks selalu terbuka untuk penerimaan pembaca. Teks bisa mengembang lebih jauh di tangan “pembaca-sebagai-penulis”—sebagaimana pernah disinggung Hasif Amini seraya mengutip selarik pandangan Virginia Wolf bahwa: bukan hanya pembaca yang dapat mengomentari teks, tetapi teks juga akan mengomentari pembaca. Sebuah dialog sekaligus sebuah kelana dalam proses, kelahiran kembali, terus-menerus dalam persilangan waktu.
Namun, di sini pula segurat pertanyaan mengemuka: benarkah si pembaca senantiasa mampu menjalankan titah re-kreatif teks? Pembaca yang mana? Sudah sering kita menyaksikan kegagalan re-kreatif dalam membaca teks—apakah itu teks puisi, prosa, atau secarik ayat dalam kitab suci—sebagaimana sering ditunjukkan Dami N. Toda dalam kasus pembacaan (penakwilan) prosa alit Iwan Simatupang dan puisi mantera Sutardji Calzoum Bachri di awal kemunculannya.
Dari segi otonomi penulis dan pembaca, otoritas tahap penciptaan pengarang punya otoritas kreatif, sedangkan tahap penerimaan pembaca memiliki otonomi re-kreatif dan responsif. Di sini keberadaan pengarang atau maksud pengarang yang mutlak di dalam otoritas penciptaan menjadikan posisi teks memiliki otoritas penuh secara individual di dalam harkat nilai kebudayaan.
Keberadaan teks tak bisa dipisahkan dari seleksi kreatif pengarang yang sekali tercipta tetap tercipta dan tercetak jelas untuk selamanya. Ini berbeda dengan perlakuan Roland Barthes yang menganggap pengarang telah mati dan teks dapat diperlakukan sewenang-wenang, atau rekreatif Ignas Kleden dalam pengantar Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (2004) dan Goenawan Mohamad dalam esai “Syair dan Tafsir” yang dimuat dalam buku Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas (2002).
Bagaimakah sikap kita dalam menempatkan otoritas pengarang-otoritas teks-otoritas pembaca? Saya tak punya jawaban tegas di sini, namun saya teringat tentang esai resensi saya atas buku Dami N. Toda di harian Lampung Post. Di situ saya menulis, dan agaknya perlu saya kemukakan di sini sebagai bentuk pilihan sadar saya terhadap posisi pengarang-teks-pembaca yang sedang saya bicarakan.
Dalam esai itu saya mengatakan bahwa: dalam menyikapi ”segitiga” posisi pengarang-teks-dan penafsir, terdapat beberapa alternatif yang pernah diusulkan dalam buku-buku teks dan teori sastra mutakhir, mulai dari yang paling ekstream meletakkan otoritas pengarang habis-habisan lalu model hermeneutik yang mementingkan rekonstruksi maksud pengarang dan perilaku mengembangkan petunjuk dan norma-norma memaknakan teks dari sang pengarang, atau sebaliknya yang ditawarkan teoritikus psikoanalisis yang menempatkan aktvitas pembaca sebagai yang memiliki otonomi yang merdeka, atau para penganjur kearifan sintesis atau dialektis.
Iwan Simatupang menolak tafsir yang merupakan ekses yang dibawa ilmu sejarah untuk menyeperkan tampang manusia atau memudarkan keaslian dan kepribadian manusia. Ketika bicara tentang posisi pembaca, apa yang penting menurut Iwan dalam esai “Tentang Kritik Puisi yang Empiris” (1957) “bukanlah apa yang hendak diungkapkan oleh sang penyairnya, melainkan apakah yang diungkapkan oleh puisi itu sendiri”.
Saat membicarakan posisi teks (puisi), Iwan sependapat dengan Marleau Ponty bahwa: puisi adalah sebuah “mesin bahasa yang otonom”. Apa yang kita cari dalam sebuah puisi bukan maksud pengarang, walau mengetahui maksud pengarang bukan pantangan tapi ia tak dapat dijadikan pegangan. “Sebuah puisi adalah suatu tokoh (Gestalt) yang otonom”, kata Iwan Simatupang di tahun 1957. Agar setiap orang yang ingin melakukan kritik atas sesuatu hasil puisi, kata Iwan, maka lakukanlah itu sebagai seorang insinyur berhadapan dengan suatu alat mesin yang sebelumnya tidak dikenalnya; bila ia ingin tahu mesin apakah yang sedang dihadapinya itu, apa namanya, apa faedahnya, dan setrusnya, maka seharusnya ia mulai dengan menganalisai bagian-bagiannya, satu per satu. Sesudah itu, saran Iwan, ia perlu menyelidiki pertautan ke seluruh bagian hingga yang tinggal hanya satu organ saja; yakni mesin X yang sedang dihadapinya itu. Setelah itu ia perlu mengaji bagaimana kerja dan prestasinya. Barulah si insyinyur itu dapat menggunakannya; mengadakan bandingan apakah mesin X itu dibandingkan dengan mesin a,b,c, dan seterusnya hingga dapat dikatakan: lebih efisien, lebih berfaedah, lebih bagus, lebih indah..
Pendapat Iwan itu kemudian menemukan formulasinya di tangan Arief Budiman dan Goenawan Mohamad yang kelak dikenal dengan model “kritik ganzheit”. Ketika masih bicara soal teks dan tafsir, Goenawan baru-baru ini masih berada dalam posisinya semula tentang kritik model ganzheit/gestalt dan pemihakan secara gamblang atas teori dekonstruksi yang ditawarkan Derrida seraya menampik kritikan Umber Eco terhadap mereka yang disebutnya Para Pengikut Tabir. Goenawan mempersoalkan tawaran Eco agar penafsir dapat mempertimbangkan koherensi sebuah teks dan bukannya bertindak sewenang-wenang. Ini pandangan yang pernah juga ditegaskan Goenawan dalam pengantar buku esai Hartojo Andangdjaja, Dari Sunyi ke Bunyi.
Kegaduhan soal tafsir itu, sayup-sayup terdengar sampai dengan lahirnya polemik yang terjadi di lapangan eksplikasi terhadap teks yang disebut Kitab Suci, yang membentuk kubu yang ekstream dengan model over-reading atau overinterpretabilitas yang ingin meraup nilai lebih dengan model di seberangnya, yaitu model under-reading—yang terlampau memaksakan teks di bawah teori hingga teks sering kali ditolak, misteri dipecahkan, dan kebenaran dianggap berwajah tunggal. Di lain pihak terdapat juga para penganjur jalan tengah dengan memetik nilai positif dari masing-masing model seraya membuang jauh-jauh paham postmodernisme yang menolak sintesa.
Eco keberatan terhadap pembaca yang menekankan semangat para pengikut tabir dengan alasan bahwa sebuah tafsir tentang suatu bagian dari sebuah teks dapat diterima jikalau tafsir tersebut didukung oleh suatu bagian lain dari teks yang sama. Goenawan menampik melalui teori ganzheit dan post-strukturalisme ala Derrida dengan mencontohkan ketidakkoherenan puisi “Malam Lebaran” Sitor Situmorang dan ketidakjelasan maksud teks puisi yang sangat pendek itu, karena pendapat pengarang nyaris dimatikan.
Ignas Kleden menawarkan pemecahan melalui teori lingkaran hermeneutik dimana katanya: bagian dan keseluruhan sebuah teks akan selalu mengandaikan secara terus-menerus dalam suatu lingkaran yang mengulang. Semacam “titik primordial” dalam tafsiran al-Hallaj, barangkali, atau “lingkaran waktu primordial” dalam tafsiran Octavio Paz .Mungkin.
Pandangan Ignas Kleden tersebut pernah disahut Afrizal Malna dalam polemik di harian Kompas yang menyebut kacamata teori Ignas sebagai“Vampir Kebudayaan dan Tabrakan Wacana” (Kompas, 3/8/1997) dan ditimpal Ignas dengan “Otonomi Semantik dan Intervensi Pengarang” (10/8) dan disanggah balik oleh Afrizal dengan “Menara Epistemologi Tanpa Telinga” (31/8) disambut Ignas lagi dengan “Wacana tentang Wacana: Menilai Kembali Penialaian” (21/9) dan ditemani oleh Nirwan Dewanto yang menyoal ihwal kurang relevan dalam polemik itu dengan kepala karangan bertajuk “Komunikasi atau Konfrontasi?” (14/9) dan Budi Darma serta Dami N. Toda.
“Mereka yang percaya pada ‘kematian pengarang’ dan menghamba pada kebebasan teori resepsi estetik berbasis teori linguistik—apakah itu bernama strukturalisme, semiotik, hermenutik, pascastrukturalisme berikut dekonstruksinya—adalah para pembunuh yang tidak manusiawi”, kata saya dalam esai resensi tentang buku Apkah Sastra? Penafsiran yang terlampau menekankan kehendak pembaca atau kehendak meraup lebih dari apa yang sudah ada, saya namakan “sebagai eksplanasi yang mengambil alih, melencengkan, membawa pulang, menjadikannya milik sendiri”. Dalam memparafrasekan Kitab Suci, misalnya, pisau bedah jenis ini oleh para ulama sering disindir sebagai bentuk kesombongan, semauanya, seenaknya, karena itu harus ditolak.
Sutardji pernah menyinggung posisi para penyair dalam ceramahnya yang kemudian diterbitkan jadi esai Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair oleh harian Republika (09 September 2007). Tardji dengan radikal membalikkan pandangan umum tentang kutukan Tuhan terhadap penyair dalam Quran surat Asy-Syu’ara (Surat Penyair): 224-227 menjadi kabar yang hidup dan menggembirakan. Dengan cara ini mungkin Tardji ingin mengjer kebaruan takwil, yang berbeda sepenuhnya dengan muawil lain. Tuhan memang memberikan suart khusus untuk penyair, yaitu Surat Penyair, yang oleh Tardji dikatakan bahwa dalam surat ini Quran mendefinisikan profesi penyair dengan tegas: ‘Mereka mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya’. Memang, pada kenyataannya penyair yang serius selalu mengembarakan perasaannya, feeling dzaug-nya, pada lembah-lembah dasar dari duka suka kemanusiaan dan selalu konsentrasi pada penciptaan karya puisi dan bukan pada realisasinya atau pada upaya mengerjakan mimpinya itu—puisinya—agar menjadi kenyataan”.
Apa yang dilakukan Tardji dengan “kapak tafsir” semacam itu, mengingatkan saya pada kata-kata emas Amin al-Khuli bahwa: “awal dari lahirnya kebaruan adalah dengan meniadakan yang lama habis-habisan”. Dalam konteks kebaruan atau pembaruan, berlaku juga kata-kata Amin al-Khuli dalam bahasa Arab: awwal al-tajdid qatl al-qadim fahman— awal pembaruan adalah membunuh pemahaman lama.
Pandangan ini kemudian diadopsi Adonis yang mengakui bahwa kata-kata dalam sajaknya bukan warisan. Bagi Adonis, pangkal penolakan kebanyakan ulama Islam terhadap takwil yang menghadirkan kebaruan adalah QS Ali Imran (3): 7, yang sering ditafsirkan sebagai larangan Tuhan untuk menduga-duga, dan takwil sering disinonomkan dengan dugaan. Bagi kebanyakan mufasil Islam, menafsirkan sebuah ayat, misalnya, dengan makna yang bukan dimaksudkan oleh Allah akan mudah tergelincir pada kesesatan. Adonis berbalik bertanya: siapa manusia yang tahu persis apa yang dimaui Tuhan?
Dalam konteks teks dan pembaca, Tardji secara eksplisit mengatakan: Profesi penyair adalah menciptakan sajak, dan bukan mengerjakan sajak atau merealisasikan sendiri puisinya menjadi kenyataan. Tugas terakhir ini dibebankan pada pembacanya. Pada para pembacalah terjadi realisasi dari puisi itu berupa perasaaan-perasaan, empati, simpati dan sebagainya dan berikutnya realisasi psikologis ini mungkin berkembang menjadi realisasi kongkrit di dunia nyata berupa tindakan-tindakan yang terinspirasi dari sajak tersebut.
Tardji mendulang takwilnya seperti sedang mengapak kayu, yang mengingatkan saya dengan sepak terjang Nietzsche yang berfilsafat dengan palu. Keduanya bukan sekadar mufasir, melainkan muawil dan melangkah lebih jauh melalui cara yang mengingatkan kembali sebuah prinsip kerja dalam sastra yang tak pernah berhenti dengan memungut petuah batu nisan Abu Kasim tanpa menghadirkan kreativitas dan orisinalitas.
Sebagaimana pernah disinggung Tardji dalam esai lain, aktivitas membaca mengandung aktivitas menafsirkan. Dan ini berarti membawa serta aktivitas menerjemahkan, menyadur, melencengkan atau bahkan membikinnya salah cetak, memelesetkan, membikin kembali dan seterusnya. Disiplin kerja kreatif semacam ini jika dikenakan pada Quran, maka ini adalah sebuah resistensi terhadap register kitab suci yang terlampau menakut-nakuti pembaca sekaligus sebuah perlawanan terhadap mereka yang telah mengumumkan tesis ”pengarang telah mati” di lapangan sastra maupun keagamaan.
Kenyataan ini mengandung kontradiksi dan sulawan dalam dirinya, mengingat di satu sisi Tardji memihak semangat over-interpretabilitas. Dengan mengedepankan pemerian yang ”lebih” dalam membaca Quran, Tardji seakan mengabaikan kedudukan dan keabsahan under-reading. Tardji menampik watak under-reading itu karena terlampau memaksakan teks ke dalam bangunan teori. Inilah yang dulu pernah disinggung Goenawan—juga Adonis—dalam konteks pembicaraan teater sebagai penafsir yang ”terbiasa bergerak pada dataran yang dibentuk oleh naskah-naskah yang ’selesai-sebelum-teater’ atau teori mendahului pembacaan atas teks.
Kedua model elaborasi itu punya nilai plus dan minus dan ambigu dalam dirinya masing-masing: model under-reading terlampau tunduk, taat asas, sangat hati-hati, hingga kemungkinan penyelewengan dapat segera dikunci. Namun, seperti tukang sulap di mana seluruh jawaban sudah ada, persis dan serupa. Sang penafsir terkungkung di bawah kaki para pendahulu dan tak lagi mampu melahirkan wawasan estetik dan kejutan kreatif kreatif.
Sementara model over-reading terlalu gagah, sombong, merasa diri sebagai pemilik teks dan sang pencipta teks dan sering dituduh sebagai para “penafsir yang cenderung menyingkap apa yang mereka lihat di balik tabir”, kata Eco. Dalam gagasan Asrul Sani pernah ramai disebut sebagai “menguak tabir”, seperti dalam esai dan filmnya berjudul “Tiga Menguak Tabir”. Di sini sang penafsir memang bebas mendayung di atas angin. Ia bisa bersama puiting beliung dalam menciptakan peluang bagi temuan-temuan baru yang segar, hidup, yang sebelumnya tak terduga, tak terpikirkan, menjadi mungkin dalam hal membangun pantai kesadaran kemaknaan.
Dalam menyikapi tarik-menarik antara kedua model di atas, saya sepakat dengan Pram untuk segera mengembalikannya pada pencarian tentang gramatika karena, seperti pernah ditegaskannya dalam esai Masalah Tuhan Dalam Kesusastraan (1953): “setiap istilah bergeser-geser pengertiannya—juga pengertian tentang Tuhan—sepanjang waktu dan keadaan untuk menapatkan kemasakannya sendiri”. Berhadapan dengan Tuhan, kitab suci, dan takwil di zaman yang terus bergolak ini, kini dituntut sebuah “keberanian yang berpangkal pada kejujuran” kata Pram.
Dalam bahasa mutakhir, kata-kata itu bisa diterjemahkan sebagai bentuk kesetaraan yang eksplisit. Sebuah bentuk keseimbangan yang penuh kejujuran, yang oleh George Steiner dan ditafsirkankan ulang oleh Laksmi Pamuntjak (2006) disebut sebagai unsur keempat dan terakhir dalam lingkaran heremeneutik, yakni: (1) tafsir dimulai dengan trust—kepercayaan bahwa ada sesuatu yang berharga di dalam teks karena itu ia layak diterjemahkan: (2) sebuah sikap murah hati yang radikal: (3) ikhtiar yang tak pernah final, ia akan dikhianati dan karena itu setiap tafsir dituntut (4) keseimbangan dan kesetaraan secara eksplisit.
Namun, di sini pula masalah akan segera muncul: jika kita mengembalikan tafsir pada pencarian gramatika atau bahasa, simbol atau metafora, seorang Sutardji Calzoum Bachri justru memandang kata dan bahasa bukan segala-galanya, bahkan kata dan bahasa telah mengalami gempa: kata dan bahasa retak bertumbangan, runtuh, simbol dan metafora sudah porak poranda, koyak moyak, kamus bahasa tak berguna karena makna telah hapus, dalam banyak tenda, para korban keruntuhan bahasa menjerit tanpa kata dan negara asing pun tak sanggup bantu karena ini persoalan kita sendiri dan lagi pula mustahil nyelamatkan korban lewat kata-bahasa, karena teori asing dan terjemahan pun tak kuasa menyelamatkan kata dari puing reruntuhan. Apakah Tardji sedang main-mai? Sebuah tafsir dalam permainan? Dengan hasrat “main-main, sadar diri, diam”—minjam kepala karangan Hasif Amini—justru bisa melahirkan serba kemungkinan sekaligus ketidakmungkinan. Bermain dengan fantasi infantil atau imajinasi liar, dengan ilusi, dengan alusi, dengan dengan atau dan, dapat melahirkan kosa kata yang bernas lagi nakal.
Dengan permainan bunyi, Tardji menabak wawasan puitis dengan melakukan pembalikan secara total mengenai "ayat penyair" dalam Quran seraya menegaskan arti penting peran dan tugas para penyair. Pertanggungjawab penyair bukan pada puisinya, tapi di luarnya; yaitu ihwal sosial dan politik. Sebagai si penafsir, Tardji bisa melayani kepentingannya sendiri guna memicu masa depan sekaligus menimbulkan perasaan kekinian yang akut.
Pandangan Tuhan yang tak bersimpati pada penyair jahiliah punya asbabun nuzul yang cukup panjang yang sebagian tersirat dalam QS Asy-Syuara: 221-226 itu. Dalam Quran surat penyair itu ditegaskan bahwa firman Tuhan bukan puisi, oleh karena itu ia tak dapat ditiru oleh manusia mana pun. Di tangan Tardji, sejarah negatif yang menimpa para penyair dalam kabar suci itu dibalik dengan menghadirkan sejarah positif. Keberanian yang terbit dalam hati yang jujur dalam menghadirkan tafsir yang lajak dan kreatif, memang dibutuhkan dalam masa perubahan saat ini.
Munculnya kesan bahwa takwilnya ingin meraup nilai lebih kandungan teks Kitab Suci hingga sampai dengan mendaki “pohon lotus sampai pada batas terjauh”—makna al-Sidrat al-Muntaha kata Muhammad Asad itu—mau tak mau akan menimbulkan kesan berlebihan, yang dalam bahasa syariat jelas sulit diterima. Namun dengan cara itu juga, ia tetap layak dianggap sebagai semacam penyimpangan kreatif, kesombongan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Coba kita bayangkan, seberapa banyak kritikus sastra yang menafsirkan hutan rimbun pohon penanda dalam puisi-puisi Tardji, ternyata hanya melahirkan pandangan yang artifisial, dangkal, tak berbobot, sumir, karena telah lama dibayang-bayangi dan dibatasi oleh keharusan register kitab suci yang penuh pertimbangan, pengarahan, kontrol, dan sangsi. Namun, para juru tafsir yang disebut kaum kritikus itu masih sempat-sempatnya mencoba merumuskan kesimpulan hasil pembacaannya yang tegas-getas.
Dengan melakukan eksperimen terhadap teks-teks yang dianggap tidak bisa salah, Tardji seakan menyerukan suara al-Hallaj dan Nietzsche melalui kapak takwil: mari kerahkan segala daya nalar dan intuisi untuk menembus kabut awan tinanda-semesta metafora-simbol-ayat-ayat Tuhan dalam kitab suci, bukan cuma menyelam ke dasar jurang yang dangkal, untuk membuatnya hadir bukan di mana ia sebelumnya, tetapi di sini: dalam perasaan kekinian. Langkah yang dilakukan Tardji mengingatkan saya pada Adonis yang pernah menyebutkan bahwa kosakata dalam Quran tidak murni seratus persen dari Arab, tapi beberapa ayat-ayat Quran menggunakan kosakata Persia dan Romawi.
Dengan keberanian semacam itu diharapkan kita mulai terbiasa dengan kemungkinan-kemungkinan yang muncul di sekitar kita, termasuk dengan mengayunkan kapak ke dalam teks-teks yang dianggap mulia untuk menguak makna simbolik yang dikandungnya, untuk kemudian merengkuhnya. Cara semacam ini memang pernah dianggap sebagai kegagahan yang membahayakan, tapi kini malah sepertinya dicari-cari dikalangan muda, karena mungkin dianggap sebagai sahabat dekat bagi akal-budi dan nalar. Apa yang dulu dianggap membahayakan iman, karena wataknya yang getas-keras, kini justru dirayakan sebagai dahaga pencarian bolak-balik di antara lingkaran waktu yang terus berulang.
Dibandingkan dengan keliaran imaji dan sepak terjang Tardji sendiri, takwilnya atas ayat suci Quran itu hanyalah selapis-tipis dari bocoran dahaga estetiknya yang ingin berbagi, tak seperti zaman al-Hallaj dulu yang hasil ijtihad sendiri sering masih dianggap keramat untuk diwasiatkan atau diceritakan. Menyelam maksud kandungan makna kitab suci, serupa dan sebangun dengan menyelam isi dan bentuk puisi Tardji yang amorf, bahkan menyelam nama Sutardji Calzoum Bachri sendiri, yang sangat aikonik, metaforik, penuh permajasan, kamuflase, dan silogisme yang keras.
Laksmi Pamuntjak dalam buku stilis bertajuk Perang, Langit, dan Dua Perempuan (2006) mengatakan bahwa menafsirkan adalah sebuah laku “mendulang dan membawa pulang”. Ia senantiasa memberi kita darah, tubuh, dan nyawa, pada sebuah ikhtiar yang tak pernah sudah meski sudah kita bawa pulang ke rumah dan menjadi milik kita. Takwil di sini, suka tidak suka: ia membutuhkan agresi, tapi bukan berakhir dengan penaklukan. Takwil sejenis ini adalah “tindak pengkhianatan”. Dengan menakwilkan Quran, tanpa sadar kita menyepuhnya, memerasnya, dengan tujuan untuk mengambil sari patinya. Dengan kata lain, menangkap pengertian melalui proses yang “keras”, mendesak dan mengambil alih. Haruskah kita tolak cara semacam ini?
Sebelum menjawab itu, ada baiknya kita lihat apa pendapat Laksmi tentang hasil takwil itu sendiri. Menurutnya, tak jarang seorang muawil lebih tahu dari pengarangnya sendiri. Hasil tafsirnya dianggap lebih bagus dari sumber yang ditafsirkannya. Soalnya adalah: bagaimana jika teks yang ditafsirkan adalah teks sakral ciptaan Tuhan? Tentunya ini tak mudah, karena seringkali “kekerasan” yang terakandung dalam nafsu sang penafsir hanya menyisakan ampas yang sudah habis-kikis, sebagaimana cangkang telur.
Karena menafsir “selalu ada yang pecah, yang hilang, dalam karya yang diterjemahkan, yang menyebabkan begitu banyak upaya untuk menghindarinya, terutama dalam kasus teks-teks yang dianggap sacral”, maka tafsir yang ideal menurut Laksmi—sebagaimana sudah disinggung di atas—adalah tafsir yang menuntut kesetaraan secara terang-terangan.
Quraish Shibab saja dalam Wawasan Al-Quran (1996) mengatakan: "Dorongan keindahan itu anugerah dari Allah. Ia merupakan fitrah bagi manusia. Adalah suatu hal yang mustahil bila Allah menganugerahkan kita potensi untuk menikmati atau mengekspresikan keindahan, kemudian Ia melarangnya".
Pandangan Quraish Shibab itu penting dikemukakan di sini, mengingat sampai kini di negeri kita masih dominan pandangan yang menganggap Tuhan memusuhi penyair atau puisi. Quraish Shibab mengingatkan bahwa seni adalah keindahan, ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan--apa pun kata Quraish Shihab definisi dan jenis keindahan itu. Saya tak tahu dari mana Quraish Shihab mengutip sebuah hadis yang menegaskan: innalaha jamiylun yuhibbul jamala: sesungguhnya Tuhan Mahaindah dan menyenangi keindahan. Bahkan menurut Quraish Shihab, ada hadis Nabi yang mengesankan pentingnya keindahan bagi seseorang hingga orang tidak disalahkan ketika “berlomba” atau “bersaing” menghadirkan keindahan ucapan. Malik Mararah Ar-Rahawi bercerita tentang seseorang yang ingin menyaingi kata-katanya, lalu ia merasa tak senang walau secuil pun. Dan ia bertanya kepada Nabi apakah sikapnya itu menunjukkan kesombongan, dan Nabi menjawab: tidak, karena keangkuhan adalah meremehkan hak dan merendahkan orang lain, bukan pada soal keindahan.
“Mengabaikan sisi-sisi keindahan yang terdapat di jagad raya ini, , berarti mengabaikan salah satu dari bukti keesaan Tuhan, dan mengekspresikannya dapat menjadi upaya membuktikan kebesaranNya, dan ini tidak kalah—kalau enggan berkata lebih kuat—dari upaya membuktikannya dengan akal-pikiran”, tulis Quraish Shihab. Sungguh tak terkira jika Quraish Shihab harus mengutip Immanuel Kant, Syaikh Abdul-Halim Mahmud untuk menegaskan pendapatnya bahwa: “Bukti terkuat tentang Ada (Tuhan) terdapat dalam rasa manusia”, bukan akal. Bahkan seperti kata Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin yang dikutip Quraish Shihab: “Siapa yang tak berkesan hatinya pada saat musim bunga dengan warna-warni kembangnya, atau oleh musik dan getaran nada-nadanya, maka hatinya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati”.
Jika Muhammad Abduh meletakkan tujuan utama dan terpenting dari tafsir adalah apabila tafsir itu mampu mewujudkan hidayah dan rahmat bagi Quran serta menjelaskan hikmah diberlakukannya hukum moral, etiket, dan akidah dengan cara yang dapat menarik jiwa, Amin al-Khuli menegaskan tujuan utama tafsir adalah: memandang “Quran sebagai Buku Agung Berbahasa Arab, dan sebagai karya sastranya yang tinggi” untuk diuji. Semua ini mengharuskan kita menghadapi Quraan dengan kajian kesastraan, mengkajianya secara sastrawi sebagaimana bangsa-bangsa lainnya mengkaji sumber-sumber sastra bahasanya yang bermacam-macam itu. Lebih jauh Amin al-Khuli menegaskan:
Kajian kesastraan terhadap karya besar seperti Quran, bisa jadi sebuah kewajiban pertama yang harus dilakukan oleh para peneliti, karena buku agung ini berhak mendapatkan perlakuan seperti ini, sekali pun tidak harus menjadikannya sebagai sumber petunjuk, atau memanfaatkan apa yang dikandung dan dimuatnya. Bahakn kewajiban itulah yang pertama yang harus dilakukan para pengkaji, sekalipun hati mereka tidak terpaut oleh akidah apapun yang terkandung di dalam buku ini, atau jiwanya memeluk keyakinan yang berbeda dari keyakinan yang dipeluk kaum muslimin yang menganggap buku tersebut sebagai kitab suci mereka. Sebab, Quran merupakan buku seni sastra Arab yang suci, apakah seseorang memandangnya sebagai demikian dalam agama ataupun tidak.
Begitulah, dalam sejarah teks dan tafsir, model penafsiran itu sendiri berwarna-warni, sebagaimana juga tujuan seorang penafsir tak pernah tunggal dan seragam. Keberagaman tafsir muncul seiring dengan keragaman pengetahuan manusia. Maka, apa yang disebut tafsir selalu meniscayakan penyepuhan di sana dan pewarnaan di sini, entah dengan warna putih, merah, hitam, abu-abu, kuning, dan seterusnya.
Jika dalam tafsir terdapat warna teologis, warna fikih, warna sosiologis, warna antropologis, warna filsafat, warna puisi, warna prosa, dan warna si penafsir sendiri, maka tak ada salahnya jika orang menerapkan warna puisi dalam membaca semesta metafora dalam Quran, sejauh memang argumennya cukup meyakinkan.

Bahasa & Bangsa:

Dua Proyek Indonesia Seumur Hidup

Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang



I

Bangsa dan bahasa adalah dua persoalan yang bergemuruh dan menyita perhatian kaum cendikiawan Indonesia sejak alaf pertama abad ke-20 hingga awal abad ke-21. Dalam seratus tahun terakhir, berbagai persoalan muncul, dari hal-hal yang besar hingga persoalan-persoalan kecil. Bebagai polemik lahir, pertentangan idologi mencuat, pertikaian dan pembunuhan telah menyita perhatian orang banyak. Para aktivis dan kaum cendikiawan melakukan berbagai respon dan menawarkan alternatif-alternatif yang menyegarkan, baik dalam konteks kebangsaan maupun kesusastraan.

Dua persoalan ini akan saya lihat secara lebih dekat, bukan sebagai suatu peta perjalanan yang lengkap. Bukan pula suatu kehendak untuk melakukan sebuah inventaris” sebagaimana dimaksudakan Antonio Gramsci dan Edward Said, karena terlampau berat soal itu bila dilekatkan di sini. Mungkin apa yang ingin saya kemukakan tak lebih sebagai refeleksi tak besih dalam kehendak ingin memahami secara subjektif apa yang pernah belangsung dalam soal kebangsaan dan kesusastraan di sini.

Khotban Budi Pekerti

”Setelah menyelidiki berbagai soal perekonomian, kemasyarakatan, kebudayaan, dan sebagainya yang berkenaan dengan hidup kebangsaan kita,maka timbullah hajat dalam hidup saya, untuk menggerakkan hati pemuda-pemuda zaman itu, dengan maksud mendirikan perserikatan yang tulen nasional sifatnya dan dapat kiranya membawa bangsa kita ke arah tingkatan hidup yang layak. Hajat itu tumbuh menjadi hasrata tertulis yang diedarkan berupa surat propaganda. Perserikatan yang dianjurkan itu hendaknya dinamakan Pirukunan Jawi”.

Kata-kata itu berasal dari esai pendek R.M. Soerjopranoto—abang kandung Ki Hadjar Dewantara—berjudul Sekitar Berdirinya Budi Utomo, dimuat kembali dalam buku Dari Kebangunan Nasional Sampai Proklamasi kemerdekaan—Kenang-kenangan Ki hadjar Dewantara, penerbit Endang—Jakarta 1952. Sebelum nama Budi Utomo dikenal, di Pulau Jawa telah beredar keinginan membentuk perserikatan dengan nama Pirukunan Jawi. Ada dua pendorong utama lahirnya Budi Utomo: pertama, keinginan sejumlah pemuda Jawa membentuk Pirukunan Jawi, yang diprakrarsai oleh Soerjopranoto. Kedua, surat Kartini pada bulan Mei 1908 yang mengandung sugesti memerdekakan kaum. Anjuran itu mendapat perhatian luas di kalangan siswa-siswi kedokteran. Menurut Soerjopranoto, tak begitu lama dari beredarnya surat Kartini itu, lahirlah Budi Utomo ”sebagai kristalisasi dari pikiran zaman pada waktu itu”.

Budi Utomo dicetuskan di Batavia seratus tahun lalu. Tak seberapa lama, pemerintah kolonial Belanda mendirikan penerbit bernama Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat), yang kemudian berevolusi menjadi Kanttor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) atau kelak lebih dikenal dengan nama Balai Pustaka. Perlahan tapi pasti, muncul kaum terpelajar pribumi untuk mengisi kekosongan dengan organisasi yang masih dalam lingkaran politik etis: budi. Tak heran jika Budi Utomo dengan mudah bisa diplesetkan: Utamakan Budi, Budi Utama. Dengan kata lain, sebuah khotbah budi pekerti. Bukan puisi. Apalagi seni. Soerjopranoto sendiri menganggap jalannya organisasi Budi Utomo lambat, terlalu berhati-hati, cita-cita nasionalnya belum dapat dilaksanakan, masih tinggal sebagai cita-cita. Budi Utomo ”tetap hidup di meja dan di kamar dan tidak terasa di kalangan rakyat tingkatan bawah”, tulis Soerjopranoto. ”Tetapi bagaimana pun juga”, tulis Soerjopranoto, ”pentingnya B.O ialah terletak dalam pemeloporan cita-cita baru yang sifatnya nasional, yang mengandung arti historis...sebagai tempat persemaian organisasi pertama, sebagai gelanggang latihan berjuang secara teratur”.

Budi Utomo digerakkan oleh Soetomo dan kawan-kawannya, termasuk Soerjopranoto. Budi Utomo harus diakui, lahir untuk mengisi kevakuman, sekaligus sebagai wadah pendidikan kaum elite priyayi Jawa. Organisasi ini lahir di dalam intaian mata-mata kolonial yang tersebar di mana-mana, dan didirikannya percetakan dan penrbit kolonial yang bergerak dalam penerbitan kebudayaan atau kesusastaan itu, punya hubungan tersembunyi untuk meng-counter gerakan kaum terpelajar pribumi yang mulai muncul satu persatu di gelanggang politik dan kebudayaan.

Cukup kena jika Akira Nagazumi kemudian mengenalkan situasi pergerakan kaum pribumi melalui risetnya yang kemudian diterbitkan dengan judul Fajar Nasionalisme Indonesia (The Dawn of Indonesian Nationalism). Awal abad ke-20 memang sering dimetaforakan sebagai abad yang menyingsing. Dan tiap-tiap menyingsing dimulai dari fajar. Matahari berbeda dengan fajar, sebagaimana kata Goenawan Mohamad dalam salah satu catatn pingirnya: setiap terang dimulai dari fajar, dan tiap fajar mempesona dengan cahayanya yang singkat. Beberapa saat kemudian, matahari mulai merekah membawa cahaya yang lebih panjang dan tunggal, sering terlalu cerah hingga membuat kita merasa gerah.

Berbagai organisasi setelah Budi Utomo, bisa dikiaskan sebagai matahari, dengan sinarnya yang nyalang, bukan pelangi yang berwarna-warni. Oleh karena itu, menyimak perjalanan sejarah pergerakan Budi Utomo saat ini, pantaslah jika usianya yang seratus tahun ini menjadi bahan refleksi karena ada dua wacana yang paling bergemuruh yang menyertai kelahiran negeri ini: bangsa dan sastra. Apa itu bangsa? Apa pula sastra? Apa juga Indonesia? Berbagai pertanyaan ini tak kunjung memberikan jawaban yang bulat, karena memang tidak dimaksudkan untuk bulat-bulatan—kendati sebagian orang menggiringnya ke arah kesatu-paduan dan menafsirkannya secara mutlak-mutlakan.

Entah bagaimana mulanya, kini gerakan Budi Utomo menjelma sesuatu yang tak jauh beda dengan lelakun: “kedudukan mulia” atau “bangsawan”. Aneh memang, dari mana kata “bangsawan” itu muncul. Sering kali kata ini mengalami salah cetak dari kata “bangsa”; bangsa yang mulia dan berbudi luhur. Benedict Anderson dalam sebuah esai tentang pergerakan (1983), dengan singkat melacak kata “bangsawan” yang diterjemahkan dari bahasa Inggris: high status, yaitu kebangsawanan, yang berarti juga nasionalistis atau ras. “Saya mengira terjadi kesalahan cetak untuk kata “kebangsawanan” (kedudukan mulia”, kata Anderson.

Bila kita sempat menengok kembali buku-buku sejarah pergerakan Indonesia, begitu kuat imajinasi pembayangan terhadap Budi Utomo sebagai organisasi bumiputera yang, kendati waktu itu belum mengenal nasionalisme, kata para petinggi Orde Baru lalu, tidak lain adalah nasionalisme Indonesia, organisasi kebangsaan Indonesia, pergerakan rakyat Indonesia.

Syahdan, di Jakarta diadakan pertemuan antara Center (CSIS), Militer, dan Taman Siswa, pada 20 Mei 1986. Pertemuan ini dihadiri oleh Wigya Pranarka dan LB. Moerdany, serta beberapa orang petinggi dari ketiga lembaga itu dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Saat itu Benny Moerdany menyampaikan sebuah pernyataan yang isinya menyangkut penegasan kembali eksistensi Budi Utomo sebagai gerakan nasional, gerakan bangsa Indonesia: ‘cita-cita Budi Utomo adalah cita-cita yang berlingkup nasional”.

Sang jenderal mengemukakan sejumlah alasan, yang baiknya saya singkat saja begini: kata “nasional” atau “nasionalisme” pada saat berdirinya Budi Utomo belum dikenal, seandainya sudah dikenal, jelas pergerakan itu bukan hanya diperuntukkan sebagai wadah perjuangan priyayi Jawa saja, tapi pasti pergerakan nasional. Karena itu, tidak salah jika Budi Utomo disebut organisasi Kebangkitan Bangsa yang berskala nasional.

Kisah di atas berasal dari Daniel Dhakidae dalam buku Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003: 682-685), untuk melihat betapa kuat proyeksi yang dilakukan birokrasi pemerintah Orde Baru pada waktu itu dalam mengolah Budi Utomo sebagai organisasi nasionalisme-kebangsaan yang lama kelamaan menjadi nasionalisme-negara yang menjadi sandera sejarah itu. Bukan maksud saya untuk membicarakan panjang lebar mana yang benar mana dan mana yang keliru dalam memposisikan Budi Utomo, tapi ini penting sebab kini kita memasuki usia seratus tahun yang tidak sunyi, tapi menggelegar oleh dua perang dunia, oleh nasionalisme-politik dan nasionalisme-kebudayaan.

Benar bahwa Budi Utomo menyumbang spirit bagi lahirnya organisasi pergerakan berskala nasional di kemudian hari, yang menuntut kemerdekaan dari penjajah. Tapi tak benar bahwa Budi Utomo mengemban tugas memperjuangkan rakyat secara nasional, orang anggota pengurusnya saja semuanya Jawa, dan wilayah yang terlibat selain Jawa, Madura dan Bali (dua wilayah yang terakhir ini bergabung setelah satu tahun dulu Budi Utomo terbentuk).

Seorang kritikus tekemuka pernah melacak sejarah perjuangan para tokoh republik kita antara 1885-1915 sebagai apa yang disebutnya “fajar nasionalisme Indonesia”. Apa pun metafora fajar itu, agaknya belum ada fajar pada tahun 1885 sampai tutup abad ke-19, kecuali mungkin pelita yang dinyalakan satu dua tokoh semacam Mas Marco yang anti-kolonial.

Saya ingin mengutip Armijn Pane dalam esainya di majalah Pujangga Baru No 5 November 1935, yang secara tegas menempatkan posisi Budi Utomo: “kalau kita tilik poela dalam kebangunan Boedi Oetomo dan masyarakat pada waktu itu di Poelau Djawa ini, maka teranglah kepada kita, bahwa jang dipentingkan dari yang dijadikan benar-benar ialah ‘Javansch nationalisme’”. Bahkan yang paling ironis, Budi Utomo itu kata Daniel, justru beranggapan bahwa penjajahan Belanda tidak lain adalah hukum alam bagi para inlander atau pribumi.

Saya sendiri sudah cukup lama termakan proyek yang dikerjakan Orde Baru tentang sejarah, sampai-sampai setiap memperingati Hari Budi Utomo saya iikut merayakan keindonesian dan kebangsaan yang telah diplintir sedemikian rupa untuk kepentingin kekinian. Gagasan Budi Utomo untuk memperluas pengajaran dan pendidikan kaum priyayi Jawa itu, serta gagasan ke-alami-an penjajahan yang menimpa rakyat pribumi, dibaca secara tidak kritis.

A-historis jika Budi Utomo kini masih dianggap sebagai organisasi nasional. Sebelum saya membaca buku Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang (2001), walau beberapa serpihan pemikirannya tentang nasionalisme dan politik kebudayaan pernah saya baca dalam buku Vedi R. Hadiz tentang politik budaya Ben Anderson.

Selama ini kita telah termakan oleh manipulasi sejarah dan tafsir lajak model penguasa Orde Baru mengenai paham Nasionalisme (Orde Baru memang sering menulis nasionalisme dengan N besar) dan kebangsaan dalam konteks “fajar nasionalisme Indonesia” (saya sengaja pakai istilah Nagazumi di sini). Bagaimana mau mengatakan Budi Utomo sebagai organisasi nasional, fajar nasional sekalipun, jika anggota-anggota pendiri Budi Utomo sendiri sangat eksklusif orang-orang Jawa. Maka, dalam konteks pembacaan kembali di sini, saya ingin menegaskan sebuah premis bahwa di kalangan terpelajar atau cendikiawan Indonesia sendiri, sampai dekade terakhir masih dominan menganut waham dan paham nasionalisme-negara.

Pengaruh pandangan Orde Baru yang memaksakan Budi utomo sebagai organisasi bangsa dan nasional Indonesia pertama itu, terus menjangkit para aktivis. Bahkan dikalangan budayawan atau sastrawan sendiri, madah nasionalisme kebudayaan sejak ditembangkan Pujangga Baru yang oleh Keith Foulcher (1991) sebagai “kesusastraan dan nasionalisme” hingga kini, masih diwarnai pembacaan yang bias.

Dulu saya menganut pandangan sejarah sebagaimana yang dikatakan Sartono Kartodirjo dalam pengantar buku suntingan Anthony Reid dan David Marr, Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka (1983) bahwa: “setiap generasi perlu menulis kembali sejarahnya” sebab hal ini “tidak lain karena apa yang ditulis suatu generasi menjadi kurang relevan bagi generasi berikutnya”. Atau “…walaupun pada zaman modern kecenderungan memitologisasikan masa lampau sudah berkurang, mitos-mitos baru diciptakan terutama dalam mengidentifikasikan masa kini dengan memakai perspektif historis. Maka, mau tidak mau, masa kini dapat dibenarkan”.

Pandangan Sartono itu saya sikapi secara mendua: di satu sisi, saya juga penganjur untuk menulis-ulang sejarah karena alasan yang sama dengan Sartono; tapi di sisi yang lain, saya tak hentinya bertanya tentang apa yang selama tiga puluh dua tahun dilakukan Orde Baru tidak lain adalah “menulis kembali sejarahnya” lewat “politik proyeksi”. Menulis ulang sejarah untuk “mengidentifikasi masa kini dengan memakai perspektif historis” sepintas menggoda imaji saya, tapi dikotomi masa kini dengan perspektif historis itu menjadi tidak terlalu jelas, kecuali jika yang dimaksud adalah masa lalu.

Di tangan Orde Baru, pandangan Sartono tersebut ditafsirkan secara terbalik: menulis kembali masa lalu (Budi Utomo) dengan kacamata pembesar sejarah masa kini. Dan hasilnya jelas: Budi Utomo adalah organisasi nasional. Antara menulis kembali sejarah masa kini dengan kacamata masa lalu (jika itu yang dimaksudkan Sartono dengan perspektif historis itu) dan masa lalu dibaca dari sejarah masa kini, hemat saya penuh distorsi. Apakah demikian hakikat penulisan sejarah?

Tujuan didirikannya Budi Utomo sepuluh dekade lalu itu, sepanjang Orde Baru diproyeksikan lewat pembacaan sejarah (realitas masa kini (Orde Baru). Jika ini dibalik, yang kini dibaca melalui yang lalu, kesimpulannya akan tetap sama. Sebab apa yang kini tidak terlepas dari konstruks yang lama. Malapetaka terjadi ketika masa lalu dipahami untuk kepentingan kini. Ini kata-kata Daniel Dhakidae yang saya gunakan untuk maksud menambahkan: malapetaka akan datang juga ketika masa kini dipahami untuk pembenaran masa lalu, jika “masa kini” itu sendiri tetap tidak jelas sosoknya.

Saya kira tawaran Daniel tentang wacana “bangsa” menjadi suatu proyeksi bolak-balik menarik disimak. Seraya merujuk Martin Heidegger, yang lebih awal dari Anderson, paham kesatuan masalalu-kini-mendatang ditafsirkan sebagai “rentetan peristiwa dan keefektifan (peritiwa) yang sambung-menyambung melalui ‘masalalu, ‘masa kini’, dan ‘masadepan’”.

Apa yang dikerjakan Orde Baru yang membayangkan dirinya sebagai “memimpin bangsa” yang sedang menjalankan tugas “berbangsa” yang baik dan berbudi luhur itu. Ini memperlihatkan bahwa pembacaan sejarah pergerakan Budi Utomo melulu dilihat dari sejarah masalalu dari kacamata masakini, dan hasilnya sungguh sangat efektif menggerus dan menghegemoni kaum cendikiawan Indonesia. Proyek pemaksaan tafsir nasionalistis itu—kini bernama NKRI—yang dikerjakan Orde Baru secara sepihak dengan cara berbeda dalam dimensi yang sama itu, selalu berujung pada kesimpulan yang berbeda pula. Dan begitulah seterusnya.

Proyek Bahasa

Pergulatan dalam menentukan identitas politik dan kultural yang muncul sejak awal abad ke-20 itu, mencapai klimaks-nya pada tanggal 28 Oktober 1928, ketika para pemuda kita mencetuskan apa yang kemudian dikenal sebagai tiga proyek Sumpah Pemuda seumur hidup itu: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, yaitu Indonesia. Nama Indonesia temuan Adolf Bastian—etnolog Jerman—pada tahun 1884, yang asing dan nyaris tenggelam sebelum tahun 1920-an itu, dipopulerkan kembali oleh pemuda kita dalam sumpahnya. Inilah kemerdekaan pertama Indonesia, kemerdekaan yang sering disebut kemerdekaan kultural.

Bila kita terpong lebih dekat, ada semacam kebanggaan primordial di masyarakat kita dalam merayakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang konon dianggap bahasa pribumi sendiri, yang bebas dari konstruksi kolonial. Tiap 28 Oktober kita memperingati Sumpah Pemuda, tapi para sastrawan kita ternyata masih banyak yang terhegemoni oleh bahasa Indonesia konstruksi kolonial. Saya curiga; jangan-jangan sastrawan kita yang hidup di tahun 2000-an ini tidak lebih kritis dari para penulis abad ke-19, seperti Mas Marco Kartodikromo, atau Muhammad Yamin tahun 1920-an yang menjadi proyektor lahirnya Sumpah Pemuda itu dan telah menulis puisi Tanah Air (1920), Bahasa, Bangsa (1921), Pusaka Bersama ialah Bahasa (1921), atau para penulis tahun 1930-an seperti Pamoentjak, Wignjadisastra, dan Sutan Takdi Alisjahbana yang terus merespon lahirnya Sumpah Pemuda tersebut.

Apakah Sumpah Pemuda memang sebuah kemerdekaan kultural? Kemerdekaan buat siapa? Bukankah bahasa-bahasa lain justru dijajah oleh bahasa yang telah disumpah sebagai bahasa Indonesia itu? Munculnya sumpah yang terakhir, berbahasa satu bahasa Indonesia itu, tak pernah sepi dari pedebatan di kalangan sastrawankita. Masing-masing punya argumennya yang tak jarang menghegemoni kita.

Belakangan ini sering saya mendengar puji syukur yang dilontarkan sejumlah kritikus bahwa bangsa Indonesia jauh lebih beruntung dan layak bersyukur karena pemuda-pemuda kita mampu mengikrarkan penggunaan bahasa yang berasal dari bumi Indonesia sendiri, dibandingkan misalnya dengan India dan Filipina yang tak mampu sekadar untuk menyatakan kemerdekaan bahasanya dari penjajah.

Bahkan Tony Day dan Keith Foulcher (1998) dan Faruk (2007) dengan tegas menganggap bangsa Indonesia memiliki sebuah “keunikan” sekaligus “kelebihan” tersendiri karena menggunakan bahasa persatuan yang berasal dari Indonesia sendiri, yang kini telah menjadi lingua franca karena digunakan secara luas, tidak hanya masyarakat Indonesia atau negara serumpun seperti Malaysia, Brunei, Singapura, dan juga dituturkan oleh penduduk di Thailand Selatan, Filipina, Kamboja, Vietnam, Sri Lanka, dan Afrika Selatan.

Temuan para orientalis terhadap penggunaan dan penuturan bahasa Melayu yang berasal dari Riau itu memang patut membuat kita berbangga, karena ternyata mereka bisa mengambil hati masyarakat Indonesia, tidak sebagaimana lazimnya yang kita tuduhkan pada para orientalis itu. Namun, apakah betul bahasa Melayu lingua-franca yang kini digunakan masyarakat Indonesia sehari-hari dan telah dikukuhkan oleh lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia itu sepenuhnya “murni” bebas dari pengaruh kolonialisme Belanda?

Dengan pertanyaan itulah saya akan memulai penelusuran terhadap konteks kultural dan politik bahasa Indonesia hingga penggunaan “bahasa Indonesia yang baik dan benar” seperti yang selalu dianjurkan di zaman Orde Baru, yang hingga tahun 2007 masih dikampanyekan oleh stasiun TVRI dalam acara Binar (singkatan dari Bahasa Indonesia yang baik dan benar). Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa nasional sejak Kongres Pemuda 1928 sampai saat ini, telah disepakati sebagai bahasa Melayu lingua-franca, tidak hanya oleh para ahli bahasa dan masyarakat Indonesia, tetapi oleh para peneliti yang saya sebutkan di atas.

Wilayah bahasa, bahasa apa pun, memang selalu menjadi arena kontestasi bagi perebutan pengaruh dan kepentingan. Bahasa dalam sejarahnya mirip belati bermata dua yang bisa menjadi senjata untuk mempertahankan diri sekaligus untuk bunuh diri. Demikian pula dalam bahasa Indonesia. Maka ketika kehendak untuk “menyatukan” berbagai bahasa yang berkembang di masyarakat menjadi bahasa nasional bernama bahasa Indonesia, sudah pasti memiliki konsekuensi yang besar terhadap ragam puspa bahasa yang digunakan masyarakat dari Aceh sampai Papua.

Kendati kemerdekaan bahasa telah diikrarkan para pemuda kita dan gaungnya mampu menggetarkan sendi-sendi kekuasaan kolonial, tetapi Faruk melihat sebagian besar cendikiawan kita masih sering kehilangan kepekaan terhadap mata rantai berlangsungnya operasi kekuasaan penjajahan terhadap bahasa Indonesia. Berlangsungnya kolonialisme selama tiga stengah abad lamanya di bumi Indonesia, hampir mustahil bisa bebas sepenuhnya dari jejak-langkah kolonial, apalagi di sebidang lapangan yang bernama bahasa.

Kita masih bisa membaca jejak-jejaknya dalam buku-buku tentang bahasa dan sastra Indonesia ketika Belanda pernah menganggap bahasa Melayu yang hidup dan tumbuh dalam kelisanan masyarakat Indonesia sehari-hari diberbagai pelosok-pelosok desa dianggap sebagai “Bahasa Melayu Rendah”, “Bahasa Melayu Gado-Gado”, “ Bahasa Melayu Kacau”, dan berbagai citra yang mengancung cemooh lainnya. Maka sejak itu pula disepakati penggunaan bahasa Melayu yang oleh Belanda dianggap “Bahasa Melayu Tinggi” itu.

A.H. Wignjadisastra agaknya yang kembali mempopulekan tiga ejaan dalam bahasa Indonesia itu ketika di tahun 1931 ia menulis di Soera Indonesia dengan membedakan bentuk bahasa Melayu umum dan Melayu khusus, lalu dengan menyebut adanya tiga dialek; dialek Melayu sekolah, melayu pasar, dan Melayu Balai Pustaka. Yang terakhir ini lama-kelamaan dianggap paling standar, paling pas, paling cocok untuk menjadi ”bahasa Indonesia yang baik dan benar”.

Dan, memang begitu kenyataannya. Konstruk kolonial tersebut justru dikukuhkan ke dalam kodifikasi dan standarisasi yang (di)resmi(kan) di sekolah-sekolah dan dalam lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa—sebuah lembaga yang mengingatkan kita pada lembaga filologi kaum orientalisme Barat-Eropa yang menjadi sasaran dikritik Edward W. Said dalam Orientalism (1979).

Lalu apa yang terjadi kemudian? Apa yang bermasalah di situ? Adakah ini signifikan dipersoalkan kembali? Bukankah kini sudah disepakati bersama bahwa “Bahasa Melayu Tinggi” menurut Belanda itu telah menjadi Bahasa Indonesia lingua franca yang baik dan benar? Yang manakah yang layak disebut dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah-akademis yang dinamakan bahasa lingua franca itu? Apakah bahasa hasil sentilan kolonial yang disebut “Bahasa Melayu Tinggi” itu ataukah bahasa yang dulu dan hingga kini masih digunakan secara lisan oleh masyarakat Indonesia?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, istilah lingua franca diartikan sebagai “bahasa yang dipergunakan sebagai alat komunikasi sosial di antara orang-orang yang berlainan bahasanya” (1995: 596). Dengan demikian, bahasa Indonesia yang seharusnya distandarkan dan dibakukan adalah bahasa Melayu yang digunakan masyarakat luas, bukan “bahasa Melayu Tinggi” ala kolonialis dan elite minoritas terdidik pribumi yang bekerja di Balai Pustaka tempo dulu.

“Bahasa Melayu Tinggi” yang berproses menjadi bahasa yang (di)resmi(kan) digunakan negara-negara serumpun itu, termasuk Indonesia, menurut penelitian Faruk dalam buku Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia (2007) tak lain adalah “bahasa Melayu sebagai bahasa imperialis”. Dalam konteks Indonesia, kata Faruk kemudian, apa yang dinamakan bahasa Indonesia tulen itu sesungguhnya “bahasa Indonesia sebagai bahasa ’Nederlandsche’”. Dan dalam banyak karya sastra Indonesia, bahasa yang digunakan kebanyakan “menyerupai pola Nederlandsche Letterkunde” atau sastra Belanda.

Saya teringat Pramoedya Ananta Toer, dalam pengantar buku Antologi Sastra Pra-Indonesia (1982) yang mematahkan anggapan bahwa bahasa Indonesia sekarang ini sebagai lingua franca. Bahasa Indonesia bukan Bahasa Melayu lingua franca, karena bahasa Indonesia sekarang adalah hasil penyeleksian Balai Pustaka yang kemudian dikukuhkan oleh bangsa Indonesia sendiri yang tak mengerti politik bahasa. Bahasa Indonesia sekarang terlampau rapih, santai, disiplin, yang berbeda dengan bahasa Melayu lisan yang terkadang liar dan tak mudah dijinakkan. Bahasa Melayu lingua franca, sebagaimana digunakan Mas Marco, tidak menabukan bahasa daerah non-Melayu, sebagaimana kebijakan Balai Pustaka yang lebih mengenalkan karya sastra yang banyak menyerap bahasa Eropa dan Arab sambil mengabaikan bahasa yang ada di bumi Nusantara sendiri yang bukan Melayu.

Bahkan, di awal 1930-an, sejumlah penulis Indonesia muncul untuk mempertegas sekaligus tak jarang menyanggah, apa itu bahasa Indonesia. Karena memang, dalam Sumpah Pemuda itu, tak dijelaskan secara gamblang, kecuali dalam artikel-artikel Muhammad Yamin sebelum dan sesudah sumpah dibacakan, itu pun tetap tak jelas apa itu bahasa Indonesia. Apalagi sampai dengan perumusan selanjutnya, seperti bahasa Melayu mana yang akan dipakai sebagai bahasa Indonesia, ejaannya bagaimana, seperti apa.

Seiring dengan berbagai pedebatan, bahasa Melayu Riau akhirnya menang dan ejaan van Ophuijen yang ditawarkan Pamoentjak—tokoh yang didik dan bekerja selama bertahun-tahun di Kanttor voor de Volkslectuur–yang kita terima sebagai bahasa Indonesia alias bahasa Melayu versi Balai Pustaka. Dan kita tahu apa arti bahasa Melayu Balai Pustaka dari seorang A.H. Wignjadisastra dalam artikelnya bertajuk Bahasa Indonesia di Soera Indonesia No. 58 tanggal 23 Juli 1931: ”Bahasa Melajoe Balai Poestaka adalah Melajoe jang dikonstruksi oleh Balai Poestaka”, katanya. ”Selain itu, ia berdasarkan pada sistem ejaan van Ophuijen dalam ilmoe bahasa Melajoe” yang diusulkan Pamoentjak itu.

Kebijakan Balai Pustaka dan kemudian dikukuhkan oleh lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, telah memiskinkan bahasa Indonesia dari kosakata non-Melayu. Bahkan kosakata Melayu sendiri mulai jarang dipakai, dan lebih tertarik memasukkan kata-kata Arab. Satu-satunya bahasa daerah yang menalami produksi besar-besaran selain Melayu adalah bahasa Jawa. Bahkan Ben Anderson pernah meneliti apa yang disebutnya sebagai proses ”Jawanisasi” bahasa Indonesia pada zaman Orde Baru.

Peranan bahasa Melayu dalam memudahkan munculnya suatu banyangan kebangsaan modern itu, ternyata mengalami kemerosotan akibat proses ”Jawanisasi” bahasa Indonesia hingga membawa ke permukaan ciri-ciri inegaliter, feodal, serta jarak sosial yang menandai bahasa dan budaya Jawa. Menurut Anderson (1966), seperti juga disampaikan kembali Vedi R. Hadiz (1992), berkembangnya ciri-ciri yang terakhir ini dalam bahasa Indonesia pada maa pasca-revolusi, yang mencemaskan ini, tidak disebabkan adanya stratafikasi sosial yang inheren dalam bahasa Indonesia, tetapi justru karena sifat demokratis-egaliternya—dalam arti suatu masyarakat yang secara tradisional demikian berorientasi pada status dalam pkirannya yang paling mendalam.

Anderson mungkin berlebihan atau terlampau mengagumi kekuatan yang populis-revolusioner, terhadap apa yang disebutnya bahasa ”Melayu Revolusioner (Revolutionary Malay) itu, tapi memang, hanya kosakata Jawa yang berkembang dalam kamus-kamus bahasa, yang nyaris menyaingi bahasa Minang (Sumatera Barat). Sementara bahasa Bali, bahasa Lampung, bahasa Kendari, bahasa Batak, bahasa Minahasa, bahasa Papua, dan bahasa daerah lainnya, nyaris tak pernah kita temukan dalam kamus-kamus bahasa. Padahal banyak sekali kosakata dalam bahasa daerah yang unik dan menarik, yang bisa memperkaya bahasa Indonesia, tapi dilupakan begitu saja. Mungkin karena para penulis yang bisa berbahasa Lampung atau Bali jarang menggunakan idiom-idiom dan kosakata daerahnya, kecuali baru-baru ini. Tapi, setidaknya, kenyataan ini kian menegaskan tesis klasik: siapa yang berkuasa dia yang punya bahasa. Di Lampung saja, karena berkali-kali gubernurnya orang Jawa—bukan maksud saya untuk menanamkan rasialisme di sini—maka yang berkembang adalah bahasa Jawa, sementara bahasa Lampung nyaris tak terdengar orang mempercakapkannya di kota Bandarlampung, apalagi di kota Metro yang sebagian besar berasal dari Jawa Tengah.

Upaya menyusun ulang bahasa Indonesia yang telah disterilkan, distandarkan, dibakukan, dan diselewengkan oleh orientalisme linguistik penjajah itu, nyaris sama beratnya seperti impian membangun kembali bahasa Timur yang telah mati atau (di)hilang(kan) oleh kesadaran orientalisme linguistik Barat-Eropa yang ditunjukkan Edward W. Said secara kritis dalam karya monumentalnya itu. Karena ini berarti, sama dengan menyusun ulang kesadaran ke-Indonesia-an yang sudah mati, hampir mati, dan terlupakan. Karena presisi bahasa, ilmu pengetahuan, imajinasi geografis dan rekonstruktif, justru memuluskan jalan bagi apa yang ditangan Orde Baru justru dikerjakan Tentara Nasional Indonesia (TNI), administrasi negara, birokrasi pemerintahan, dan lembaga bahasa. Egaliter telah diganti dengan otoriter—kalau boleh mengadaptasi istilah Ben Anderson.

Dengan kata lain, vindikasi orientalisme linguistik Belanda di Indonesia tidak hanya merupakan keberhasilan-keberhasilan intelektual atau artistik-estetiknya saja, tapi juga keefektifannya, kegunaannya, dan otoritasnya sebagai—mengutip istilah Ahmad Baso dalam bukunya Islam Pascakolonial (2005)—“polisi-polisi kolinial” yang dibentuk untuk “menertibkan” dan menjaga “keamanan” terhadap apa yang tidak tertib dan liar.

Semangat orientalisme linguistik yang diterapkan oleh para peneliti filologi Belanda terhadap bahasa Melayu, telah melahirkan bahasa Indonesia yang asing dan membuat masyarakat Indonesia merasa teralinasi bertahun-tahun. Penyebabnya tak lain karena bahasa Melayu yang hidup dan digunakan oleh masyarakat kita secara luas di desa-desa telah diselewengkan oleh kaum orientalis Belanda dan diundang-undangkan oleh lembaga bahasa kita sendiri.

Semangat orientalisme linguistik tersebut juga banyak dipakai para kritikus sastra untuk membaca syair-syair karya Hamzah Fansuri di Aceh. Kritikus semacam A. Teeuw (1952), Braginsky (1979, 1993), Drewes dan Brakel (1986), menanggap Syair Perahu. Syair Dagang, Bahr al-Nisa (Lautan Perempuan) karya Hamzah Fansuri itu diragukan sebagai karyanya. Bahkan Abdul Hadi W.M. malah ikut mengatakan bahwa rima dan sturktur ketiga syair Hamzah Fansuri itu sukar untuk dipercaya sebagai karangannya.

Saya pernah mengatakan, dengan memanfaatkan temuan Dami N. Toda dalam Apakah Sastra (2005), bahwa studi kritik sastra kita bercampuraduk dengan teori-teori kritik sastra warisan penjajah yang terlanjur menganggap buku-buku A. Teeuw seperti Tergantung pada Kata (1980), Membaca dan Menilai Sastra (1983), Sastra dan Ilmu Sastra (1984) dan Keberaksaraan dan Kelisanan (1992) sebagai buku bebobot sekaligus buku panduan bagi teoritikus sastra mutakhir di Indonesia.

Semangat orientalisme linguistik Barat telah menancap begitu kuat dalam kesadaran sastrawan dan kritikus sastra kita, hingga membuat mereka terlelap dan melakukan kesepakatan bersama dengan temuan-temuan orientalis, seperti menganggap syair-syair Hamzah Fansuri bukan hasil jerih payah segenap jiwanya. Cara kerja orientalis Belanda di Indonesia dalam merepresentasikan dan meresepsi sastra Indonesia mirip dengan cara kerja Gibb dan Bernard Lewis dalam mengkaji karya pemikir dan filsuf muslim.

Atas dasar apakah para orientalis itu menyimpulkan bahwa ketiga syair Hamzah Fansuri yang disebutkan di atas bukan karangan dia? Apakah karena terlampau bias kacamata Barat sehingga idiom-idiom, diksi, struktur dan ritem-rima sajak Fansuri yang berbeda dan menyimpang dari karya Indonesia pada umumnya, lantas dicap bukan asli? Jika memang ya, bagaimanakah dasar argumentasi mereka sehingga kesimpulan yang diambil memang meyakinkan saya?

Sejak zaman filsuf al-Kindi hingga filsuf Mulla Shadra, tuduhan kaum orientalis terhadap karya Timur tidak orisinal, imitasi, carbon copy (istilah ini paling sering digunakan dosen-dosen di IAIN/UIN dalam tesis dan disertasi mereka tentang pemikiran tokoh sampai kini), saduran, terjemahan, adaptasi, variasi, dan lain sebagainya, sudah sering kita dengar. Namun berbagai prasangka semacam itu—dan prasangka-prasangka lainnya sering menunjukkan sebuah tabiat kaum orientalis yang memang sejak dari sananya lebih tertarik pada upaya pembuktian validitas “kebenaran-kebenaran” basi di hadapan kaum pribumi yang terhegemoni.

Demikian pula yang terjadi pada kaum orientalis Belanda terhadap bahasa Indonesia, mereka telah menciptakan fiksi-faksi ideologis yang menempatkan bahasa Melayu lingua-franca (dalam arti yang digunakan masyarakat luas secara lisan) dalam posisi yang terendah dibandingkan dengan bahasa Melayu versi kaum orientalis Belanda yang bergaya sekolahan Eropa yang renyah dan melodis itu. Ada rasa sedih bahwa bahsa Indonsia sebagai “kekacauan yang nikmat”—meminjam simile Sutan Takdir Alisjahbana di tahun 1930-an—itu, justru membuat para ahli bahasa Melayu dan aktivis sastra kita seperti terlena dan lumpuh layuh dalam menghadapi rancang bangun konstruksi kolonial di lapangan bahasa.

Banyak contoh bisa dijejerkan di sini bagaimana sastrawan dan kritikus sastra kita telah termakan hasutan dan propaganda orientalis linguistik, seperti terjadi ketika maraknya diskusi tentang buku puisi Sutardji Calzoum Bachri di tahun 1970-an yang, selain cemoohan A. Teeuw yang khas, kritik yang dilontarkan Subagio Sastrowardoyo yang menuduh puisi Tardji bukan puisi yang orisinal, melainkan “mirip” dan “dipengaruhi” oleh gaya puisi mantera di Barat.

Ada banyak perlawanan tandingan yang dilakukan sastrawan-sastrawan kita terhadap bahasa Melayu lingua franca hasil perselingkuhan kolonial Belanda dan pemerintah Indonesia itu, tapi sampai pada tahun 1970-an, sebagian besar sastrawan kita tumpul nalarnya, tidak peka penciumannya terhadap bau kolonial dalam tubuh bahasa Indonesia.

Kokohnya pengaruh diskursif orientalisme linguistik dalam bentuk kemerdekaan politik terhadap sastra Indonesia bagi saya tak akan berdaya sebagai diskursif tandingan bila kita masih menempatkan ideologi sastra Indonesia yang sempit ke dalam semangat nasionalisme dan lokalisme swasembada. Dalam keadaan seperti ini, resistensi yang jauh-jauh hari yang telah digerakan kalangan sastrawan peranakan Tionghoa dan Mas Marco Kartodikromom terutama terhadap kecenderungan penjinakan terhadap penggunaan bahasa kaum pribumi, seakan tenggelam oleh hiruk pikuk diskusi sasta modern Indonesia.

Dulu, karya sastra Mas Marco sering diprovokasi Belanda sedemikian rupa hingga masyarakat Indonesia sendiri pun menganggapnya bahasa gado-gado, dalam arti bahasa yang tidak baik dan tidak benar dan tak perlu dipakai. Saya kutipkan satu puisi Mas Marco yang menyempal dan bikin gerah penguasa Belanda kala itu karena kata-katanya tampak ”aneh”. Kutipan berikut ini saya temukan apa adanya dalam esai Kenecisan Indonesia: Politik Pakaian pada Akhir Masa Kolonial 1893-1942 karya Rudolf Mazek:


Bahasa Melayu Gado-gado

En satoe en satoe en satoe dat is een
En batoe n batoe en batoe dat is steen
En roti en roti dat is brood
En mati en mati en mati dat is dood

Bahasa Inggris

And one and one and one is one
And stone and stone and stone is stone
Anda bread and bread and bread is bread
And dead and dead and dead is dead

Bahasa Indonesia

Dan satu dan satu dan satu adalah satu
Dan batu dan batu dan batu adalah batu
Dan roti dan roti dan roti adalah roti
Dan mati dan mati dan mati adalah mati


Pramoedya telah berjasa membuka kesadaan kita bahwa ada bahasa puisi yang melakukan resistensi terhadap kolonialis yang pernah hidup di Indonesia: puisi itu ditulis orang Jawa yang kelak terlunta-lunta di negeri orang, yaitu Mas Marco. Bahasa yang digunakan Mas Marco di atas sangat dekat dengan bahasa Melayu yang hidup dan tumbuh dalam kelisanan masyarakat Indonesia sehari-hari di pelosok-pelosok desa, yang oleh kaum orientalis linguistik Belanda dianggap “bahasa rendah” dan “gado-gado” dan “kacau”, dan berbagai pelabelan lainnya yang sangat nihilistik.

Berbagai resistensi memang pernah muncul di tahun 1970-an, bahkan sampai sekarang, dan esstensi itu cenderung mengambil dua jalur yang cukup saling menopang: resistensi lewat jalan ”bunyi” kata, dan jalur ”sunyi” kata. Sutardji berganti-ganti menggunakan jalan bunyi dan sunyi kata yang mantera, sementara Taufik Ikram Jamil menggunakan kata ”gelombang sunyi” atau silence (kesunyian) saja lagi, sebagaimana tidak kita lihat dalam puisi-puisi seutas tali kebisuan Goenawan Mohamad.

Munculnya puisi-puisi mantera Sutardji yang kemudian dibukukan dalam O Amuk Kapak (1981), saya kira masih dalam kontinuitas pemberontakan Mas Marco tehadap pakem bahasa yang telah distandarkan kolonial itu. Tardji memang sosok yang lekat dengan pemberontakan, dan kehadiran sajak-sajaknya terbukti mampu memecah kebekuan bahasa Indonesia berikut membebaskan kata dari kuda Troya yang dpikulkan padanya, sekaligus menohok sistem ejaan baku yang telah distandarkan berkali-kali itu, sehingga sang penyair benar-benar bebas dan kreatif mempermainkan sekaligus menggunakan kata. Salah satu yang dilakukan Tardji adalah menciptakan bahasa yang liar, yang mengaduk-aduk kata benda menjadi kata sifat atau atau sifat menjadi kata benda. Tengok misalnya salah satu larik puisi Solitude ini :

yang paling mawar
yang paling duri
yang paling sayap
yang palng pisau
yang paling isau
yang paling nancap
yang palng dekap

samping yang paling
Kau !

Dengan ringan Tardji menjadikan kata benda dan kata sifat, atau sebaliknya; kata sifat diubah menjadi kata benda. Di sini saya teringat Pramoedya dalam sebuah esainya yang berjudul Bicara Tentang Bahasa Indonesia di majalah Mimbar Penyiaran DUTA No. 2 Februari 1954 itu, tampaknya telah dipenuhi oleh Tardji. Pramoedya menulis:

"Kita bisa dan mempunyai hak untuk merevolusikan bahasa kita sendiri, baik bersifat asasi maupun aksidental. Juga kita ada kemrdekaan untuk memberikan kemampuan pada bahasa kita sendiri untuk merubah kata-kata benda menjadi kata kata sifat. Kita mempunyai kebebasan penuh untuk melepaskan diri dari buntut bahasa Belanda. Asalkan semua dikerjakan sekonsekwen mungkin dan bukan cuma memanjangkan keluhan impotensi".

Saya kira Pram benar bahwa kebebasan melakukan penyelewengan terhadap bahasa Indonesia yang telah dijahili Belanda itu sebuah keharusan yang mesti dilakukan, bukan sekedar kenenesan atau kelatahan. Jikalau saya mencium bau kolonisasi dalam bahasa Indonesia, mengapa tidak saya perangi dengan menuliskan gaya yang menyimpang dari konstruk kolonial itu ? Kira-kira inilah yang ingin dikatakan Pram, kendati kita masih diberi warning agar berhati-hati jangan sampai cuma berhenti pada keranjingan.

Sejak Pram mengatakan itu, hampir tak ada pemberontakan yang radikal atau munculnya "anarki bahasa" dalam puisi-puisi modern Indonesia sampai tumpasnya Orde Lama. Apa yang dilakukan penyair Pujangga Baru, Surat Kepercayaan Gelanggang, Lekra dan Manifes Kebudayaan, ternyata masih dalam tahap coba-coba dan nyaris tak mencium bau kolonisasi yang massif dalam bahasa Indonesia.

Baru Sutardji yang melakukan pembongkaran terhadap baju zirah kolonial yang berselimut dalam bahasa Indonesia. Puisi-puisi Tardji jauh dari sekedar keisengan atau cuma " memanjangkan keluhan impotensi" atau "mementing-mentingkan yang tak penting" atau demi sebuah defamiliarisasi ke dalam kelisanan Melayu kembali. Dami N. Toda pun mengakui soal ini, terutama dalam konteks penulisan puisi dengan membubuhkan titik-titik dan hurup kecil, yang bukan lagi sekedar iseng atau pergenitan belaka untuk menjalankan petuah licentia poetica.

Tardji berjasa menghidupkan lagi ruh bahasa Melayu lisan yang liar, yang banyak digunakan para pawang dan dukun-dukun di desa-desa di tanah Melayu. Kata-katanya melompat-lompat dan tak jarang menggada kesadaran imaji diam para pembacanya. Tardji adalah pemberontak di seberang Wiji Thukul. Keduanya sama-sama memberontak, hanya saja Thukul memberontak terhadap otoritarianisme politik, Tardji memberontak terhadap konvensi bahasa warisan kolonial dan politik sebagai panglima Orde Lama. Tengok salah satu sajak Tadji, yang tampak tidak lazim pada waktu itu sehingga ada yang menganggapnya cuma kelatahan main-main.

O
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O...

Bahasa Indonesia konstruksi kolonialis nyaris tak tercium oleh puluhan penyair sebelum Tardji. Ejaan yang kreatif dalam pelisanan telah jauh bergeser menjadi ejaan yang stagnan, dan dihidupkan kembali dalam puisi Tardji. Kosakata yang bertebaran di lumbung-lumbung bahari Nusantara yang nyaris mati dan yang muncul sehari-hari justru bahasa yang telah banyak mengalami kodifikasi, cukup dominan dipersoalkan Tardji. Pemberontakan terhadap ejaan model kolonialis dan telah dikukuhkan bangsa sendiri, begitu menyayat dalam sajak Tragedi Winka & Sihka.

Jelaslah bahwa Tardji bukan lagi ”penyair seakan mencium bau kolonisasi dalam sistem ejaan”, sebagaimana kata Ignas Kleden, tapi benar-benar mencium tangan tersembunyi penjajah dalam mempreteli bahasa Indonesia setelah mereka merasa kecolongan dalam Sumpah Pemuda 1928 itu. Hampir tak mungkin jika Tardji cuma seakan mencium bau kolonial dengan puisi dan Kedo Puisi yang mengakapak piranti lunak bernama bahasa Indonesia imperialis.

Bukan sekedar kebetulan jika sebanyak tiga kali Tardji mengulang kata ”penjajahan” dalam Kredo Puisi dengan perulangan tiga kali: (1) Kata-kata harus bebas dai penjajahan pengertian (2) membebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata (3) serta membebaskan kata-kata dari penjajahan gramatika. Dan tengok pula salah satu bunyi Kredo Puisi Tadji berikut ini:

Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor(obscene) serta penjajahan gramatika. Bila kata dibebaskan, kreatifitaspun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.

Tardji sungguh menyadari adanya kaidah bahasa Indonesia imperialis atau menyerupai pola Nederlandsche Letterkunde itu, dan dengan beingas melakkan esistnsi jauh sebelum yang lan-lain. Bahasa Melayu Riau tampak dimatanya telah menjadi Bahasa Indonesia yang serupa dengan bahasa Arab yang mulanya memiliki kekuatan sakralitas pelisanan yang magis dan mengandung aura mistis dan mitis-geometris itu, tetapi masa ke masa terus mengalami proses verbalisme dan akhirnya beku.

Bahasa percakapan sehari-hari masyarakt Melayu terus mengalami persentuhan dengan bahasa lain hingga terpikir oleh seorang penyair berakronim SCB untuk menghadirkan bahasa Indonesia yang hidup, segar, lincah, kreatif, liar. Agaknya kita memang butuh refleksi sejenak untuk melihat perjalanan 80 tahun sumpah pemuda ini, bukan lagi sebagai teks politik, sosial, tapi sebagai puisi kata Tardji. Saya kira tawaran Afrizal Malna dan Sutardji berikut ini menarik untuk disampaikan.

Afizal sempat mengeluhkan bahwa pembaca dan masyarakat Indonesia tidak pernah memesan sastra modern (2000 : 507-517), karena dianggap wilayah yang alienatif. Pemberontakan penyair tak diikuti pemberontakan pembaca. Afrizal mengutip salah satu puisi Rustam Effendi yang ditulis 1926, dua tahun sebelum kelahiran Sumpah Pemuda, dengan pemberontakannya yang khas modernitas: "seloka lama beta buang beta singkiri", kata Rustam Effendi.

Puisi Rustam yang signifikan itu, kata Afrizal, ternyata tak mendapat perhatian nasional sebagaimana terjadi pada Sumpah Pemuda: padahal apa bedanya pemberontakan Rustam dengan pemberontakan para pemuda yang mau mengganti yang lama dengan yang baru itu? Bedanya mungkin, kata Afrizal, terletak pada klaim puisi yang cenderung berlangsung sebagai individualisme, sementara Sumpah Pemuda adalah pemberontakan rame-rame. Sumpah Pemuda bicara dengan klaim "kami", sementara sajak Rustam bicara dengan klaim "aku", sehingga yang terakhir ini terkesan tak memiliki momen bersama. Maka wajar saja jika puisi tak pernah jadi acuan dalam kehidupan sosial-politik. Karena itu, pilihannya kini bagi Tardji adalah: menjadi sumpah pemuda sebagai teks puisi.

Sumpah Pemuda
Kami putra-putri Indonesia dengan ini menyatakan:
Berbangsa satu bangsa Indonesia
Kami putra-putri Indonsia dengan ini menyatakan:
Bertanah air satu tanah air Indonesia
Kami putra-putri Indonesia dengan ini menyatakan:
Berbahasa satu bahasa Indonesia!


Teks sumpah pemuda itu memang sebuah puisi yang mantera. Agaknya saya perlu mengutip salah satu sajak Tardji tebaru, yang ditulis saat reformasi 1998 lalu, sajak berjudul Cari. Sajak ini terang-terangan mengajak kita untuk menghayati kembali Sumpah Pemuda, dan menempatkan teks sumpah itu sebagai puisi mantera, sehingga tak ada lagi dikotomi Sumpah Pemuda dan sastra:

Aku merasa
Serasa bakal datang kata
kata yang segar
kata yang mencipta
bukan kata
sekedar menunjuk
Apa yang sudah ada
bukan sebagaimana kata kuda
menunjuk kuda yang ada di bumi
bukan sebagai kata mawar
menunjuk mawar dan harumnya yang
ada
tapi kata yang mencipta
yang muncul dari ketiadaan
meloncat dari kekosongan
dari balik puing-puing ini
dari balik gosong nyeri
dari balik abu dan tulang-tulang ini

Cepat temukan kata !
sebelum cuaca makin memburuk
sebelum datang lagi El Nino
sebelum datang La Nina
agar tak kembali muncul El Dictator

Wahai bangsaku
Keluarlah engkau
Dari kamus kehancuran ini
Carilah kata
Temukan ucapan
Sebagaimana dulu
Para pemuda menemukan
Kata
Dalam sumpah mereka


Di sini saya teringat esai Tardji bertajuk Kata-kata di buku Isyarat (2007), yang mengungkai pemaknaan antara misteri kata-kata dengan misteri kehidupan. "Mengapa mawar adalah mawar adalah mawar dari satu mawar menjadi tiga dan ketiganya bisa berbeda ?" Tardji menjawab sendiri : "Itulah misteri kata-kata". Di sini muncul lagi “yang tak menemukan kata tak disebut penyair", dan kali ini muncul dalam tubuh puisi yang bersaran kepada para penyair untuk segera menemukan kata, seperti pemuda dalam sumpah 1928 menemukan ucapan, karena selain yang tak menemukan kata tak bakal dianggap penyair, ada kemungkinan bahaya baru akan muncul; entah itu bernama sensor atau realitas politik yang akan terjadi kemudian membuat para penyair tak lagi bisa mencari kedalaman kata kecuali hanya memungut di jalan-jalan raya dalam bentuk slogan.

Nah, teks puisi iTardji itu mengingat saya kembali pada proses pencarian yang dilakukan para penyair sebelumnya untuk menemukan kata yang merdeka. Mengapa penyair harus mencari kata? "Karena profesi para penyair cenderung tidak mengerjakan apa yang dikatakannya, maka ada ruang bagi penyair untuk cenderung bisa tergoda untuk bebas tidak mempedulikan pertangungjawaban terhadap karya-karyanya", kata Tardji dalam orasi budaya dalam rangka Pekan Presiden Penyair di Jakarta yang kemudian diterbitkan dalam esai Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair di harian Republika (9/9/2007). Penyair yang pandai membuat kredo puisi tapi tak bisa mengerjakan kredonya, atau tak menepati janjinya dalam puisi, di mata Tardji justru bertopeng di balik kebebasan dan cenderung tidak mempedulikan pertanggungjawaban. Bukan ”T dari tangungjawab”, tapi tak bisa menjawab kredonya sendiri.

Penyair yang lahir di Rengat, Riau, 24 Juni 1941 lalu itu, kata harian Republika, harian yang banyak mempublikasikan sajak-sajak terbaru Tardji, semasa kecil tumbuh dengan kenakalan yang mencerminkan kreativitas. Dalam film dokumenter sepanjang hampir 20 menit, sejumlah kesan dari kerabat nmaupun sahabatnya, menunjukkan bahwa Sutardji bukan orang yang penurut. Kuliah di Universitas Padjajaran mengambil studi Ilmu Politik, namun justru lebih memilih sastra sebagai bentuk ekspresi kreatifnya. Pada tahun 1974, ia mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan International Writing Program di Iowa City, Amerika. Sepulang dari sana, melalui Singapura, SCB tidak kembali ke Jakarta, melainkan singgah di Tanjung Pinang. Di sanalah awal lahirnya kumpulan puisi yang pertama dan kedua: O dan Amuk.

Puisi Cari itu tak urung mengingatkan aku pada para pemuda mencari bahasa, dan “saya ingin menampilkan teks Sumpah Pemuda sebagai teks puisi”, katanya: karena selama ini teks Sumpah Pemuda itu kerap dilihat sebagai teks sosial politik, padahal teks itu menampilkan mimpi atau imajinasi dengan bahasa ringkas hemat, padat, kuat menyaran makna, dengan irama dan pengulangan kata-kata yang bagaikan mantera adiguna.

Tardji telah membuktikan sendiri, dengan kembali ke Sumpah Pemuda, dengan menempatkan sumpah ini sebagai puisi, maka kreativitas muncul kembali dengan warna puisi yang lain, tapi tak kalah mengejutkan. Bandingkan misalnya repetisi-reetisi dalam teks Sumpah Pemuda di atas dengan puisi-puisi terbaru Tardji berikut ini:

AYO
Adakah yang lebih tobat
dibanding air mata
adakah yang lebih mengucap
dibanding airmata
adakah yang lebih nyata
adakah yang lebih hakekat
dibanding airmata
adakah yang lebih lembut
adakah yang lebih dahsyat
dibanding airmata
para pemuda yang
melimpah di jalan jalan
itulah airmata
samudera puluhan tahun derita
yang dierami ayahbunda mereka
dan diemban ratusan juta
mulut luka yang terpaksa
mengatup diam
kini airmata
lantang menderam
meski muka kalian
takkan dapat selamat
di hadapan arwah sejarah
ayo
masih ada sedikit saat
untuk membasuh
pada dalam dan luas
airmata ini
ayo
jangan bandel
jangan nekat pada hakekat
jangan kalian simbahkan
gas airmata pada lautan airmata
malah tambah merebak
jangan letupkan peluru
logam akan menangis
dan tenggelam
dikedalaman airmata
jangan gunakan pentungan
mana ada hikmah
mampat
karena pentungan
para muda yang raib nyawa
karena tembakan
yang pecah kepala
sebab pentungan
memang tak lagi mungkin
jadi sarjana atau apa saia
namun
mereka telah
nyempurnakan
bakat gemilang
sebagai airmata
yang kini dan kelak
selalu dibilang
bagi perjalanan bangsa

1999


TANAH AIRMATA

Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
(1991)


Gema suara Sumpah Pemuda pekat-ketnal-padat-repetitip dengan nuansa mantera masih begitu kuat dalam sajak-sajak tebaru Tardji. Dengan memahami sumpah 1928 itu sebagai puisi mantera, Tardji menemukan jalan kreatif lagi setelah sebelumnya total kembali ke puisi mantera yang “pimitif”. Bila selama ini ada kesan muncul kembali apa yang disebut semangat chauvanisme, tidak lain karena tiga proyek Indonesia seumur hidup yang dicetuskan dalam sumpah 1928 itu telah mengalami reduksi habis-habisan.

Dari ketiga proyek itu, memang bahasa nyaris mendapat respon tinggi di kalangan sastrawan dan seniman kita. Karena itu, bahasa relatif lebih mengikuti tuntutan-tuntutan yang kreatif. Walau Pram sendiri dalam esai di majalah Mimbar Penyiaran DUTA 1954 itu masih melihat ada upaya peremahan terhadap bahasa. ”Anggapan bahwa masalah bahasa Indonesia ini kecil, adalah anggapan yang primitif, mengingat kedudukan bahasa ini sendri yang bukan saja menjadi bahasa resmi, tapi juga bahasa pergaulan dan bahasa nasional. Bila dulu bahasa dan politik bergandengan tangan menentang penjajahan, kini ia bejalan sendiri-sendiri, tak jarang terpaksa merangkak-rangkak, sedang politik lebih senang membiarkan kawan sejawatnya berganti dengan bahasa asing”, kata Pram.

Tak berarti bahwa Pram menolak penjajahan bahasa asing dalam bahasa Indonesia, tapi justru sebaliknya ia menganjurkan metode pembenahan bahasa Indonesia dengan melihat bahasa asing seperti Jepang. Hanya saja kata Pram, ”di lapangan ini nampak adanya ciri-ciri ketakutan orang menghadapi segala yang berbau Barat atau asing, terutama yang menimbulkan kenangan-kenangan pahit di masa penjajahan. Walau dengan alasan apa pun juga, ketakutan ini tidaklah sehat dan merupakan sebagian dari penyakit-penyakit imptensi kemasyarakan yang merajalela”.

Dan terbukti, perluasan kosakata bahasa Indonesia terjadi secara besar-besaran setelah O(r)de Ba(r)u dengan masuknya kosakata beristilah asing. Namun pada saat yang sama, rezim ini melakukan sterilisasi habis-habisan terhadap bahasa Indonesia lewat penghalusan bahasa. Beruntung muncul dikalangan penyair yang terus melap-lap bahasa Indonesia hingga tetap kreatif. ” Dari tiga untai Sumpah Pemuda itu, hanya yang terakhir yang masih lumayan mengilap, berkat para peminat bahasa Indonesia yang masih setia mengelap-ngelap butir ketiga itu tiap tahun”, tulis Ayu Utami dalam esai Kanon Sastra: Siapa Takut? di Kompas (28/10/2007).

Proyek Bangsa

Di antara tiga proyek yang dihadirkan Sumpah Pemuda itu, justru yang paling memilukan adalah proyek bangsa atau kebangsaan. Gagasan kebangsaan kita dalam perkembangannya telah kehilangan ruh dan jiwanya dari kultur bahasa Melayu. Kalau pernyataan Iwan Simatupang mengandung barang sedikit saja kebenaran saat mengatakan: “kalau ada istilah yang paling banyak bikin manusia malu dan iba terhadap dirinya sendiri, maka istilah ini adalah kebangsaan”, jelaslah bahwa konsep negara-bangsa kita telah jauh bergeser ke model gagasan nasionalisme-negara dan kian menjauh dari gagasan kultural Melayu. Politik yang justru hanya melototkan mata ke arah dalam diri yang sempit dan berbau rasialis.

Gagasan kebangsaan kita telah dikritik habis oleh Ben Anderson dalam buku “Imagined Communities–buku yang banyak bicara tentang asal-usul nasionalisme ini tetap berpengaruh bagi diskusi tentang kebangsaan di hari ini. Anderson tidak hanya mengulas persoalan pengimajinasian “satu” bangsa yang sebenarnya membunuh gagasan “ke-Kita-an” jauh sebelum munculnya pembentukan nation-state, tetapi lebih jauh ia membongkar ideologi yang berselimut dibalik identitas ke-satu-paduan antara nusa-bangsa-bahasa itu. Bangsa sebagai gagasan, kata Anderson, hanya “terbayang” sebagai cita-cita yang tak terdifinisikan. Apakah tanpa gagasan identitas satu bangsa tidak akan bermakna? Anderson secara ekspilisit menyorot persoalan identitas dalam konteks pembentukan “nasionalisme gudang rahasia”, kata Goenawan: “karena di dalamnya terdapat endapan maa lampau yang tebal, tapi ia sendiri juga sebuah konstruksi masa depan, hasil dari yang oleh Renan disebut sebagai ‘melupakan’”.

Dalam penjelasan Ben Anderson lebih jauh: bangsa ini “dibayangkan” karena anggotanya tidak akan pernah mengenal satu sama lain, tetapi dalam benak tiap anggota itu, hidup suatu “bayangan” mengenai keterkaitan antara mereka. Bangsa ini dibayangkan sebagai terbatas, karena pasti ada perbatasan dengan bangsa-bangsa lain, dan sebagai berdaulat, karena negara yang berdaulat adalah lambang kebebasan yang diimpikan tiap bangsa. Bangsa dibayangkan sebagai suatu komunitas karena, lepas dari ketidakadilan dan penindasan yang mungkin secara nyata ada, bangsa selalu dibayangkan sebagai persaudaraan yang horisontal dan mendalam.

Pembentukan paham kebangsaan semacam itu tak Agaknya kita perlu menghidupkan kembali Pramoedya Ananta Toer dan membaca lagi novel Bumi Manusia (2000: 250) soal ilusi model dan kekuasaan. Tidak harus melulu dibaca dalam konteks perang kolonial yang terpisah ketika Pram mengatakan: “Perang kolonial dalam dua puluh lima tahun terakhir belakangan ini, tak lain adalah kehendak modal, kepentingan pasaran buat kelangsungan hidup modal di Eropa sana. Modal telah menjadi begitu kuasanya, maha kuasa. Dia menentukan apa yang harus dilakukan umat manusia dewasa ini”.

Kebutuhan modal serta kepentingan kolonial Belanda lainnya di bumi Nusantara, pada akhirnya tak hanya terjadi pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, tapi kepentingan modal dan kekuasaan kolonial itu ternyata tidak mati. Ia bermetamorfosa dan terus paralel dengan desain nasionalisme politik serta desain nasionalisme kebudayaan hingga sesudah kemerdekaan. Khotbah budipekerti dan kebangkitan nasional yang dilekatkan pada Budi Utomo itu, kini agaknya telah renta. Nasionalisme politik dan puisi yang beroposisi itu, kini agaknya sudah lapuk.

Model etno-nasionalisme Jawa, Batak, Lampung, Bugis, Minang, sudah usang, kendati sampai kini masih terus diproduksi—baik dikalangan elite politik maupun kalangan sastrawan komunitas. Kesatuan sastra-politik masih terus didendangkan sejumlah kritikus, kendati Indonesia sendiri nyaris tak punya karya sastra yang sunguh-sungguh menara gading, dengan capaian literer yang memukau, yang melampaui keterpesonaan kita ada sajak-sajak mantera Tardji.

Bagiku, apa salahnya jika satrawan atau seniman menjadi menara gading, berkontemplasi sungguh-sungguh memikirkan sastra. Lupakan hiruk-pikuk politik-sosial-ekonomi, karena hanya akan mengancam krisis pada seni dan pemikiran. Karya tetralogi Pram juga mahakarya yang pekat-padat menghadirkan proyek bangsa yang kritis, yang tak lagi menjadi sandera sejarah. Selain itu, karya Arus Balik bisa menjadi alternatif terhadap persoalan tanah air dan kebangsaan lewat menghidupkan kembali kejayaan bahari Nusantara: ”ideologi” yang mengarungi laut bukan menjelajah bidang lipatan darat yang militeristik dan melulu berhenti paa nasionalisme NKRI yang sempit itu!

Saya kira tawaran Ayu Utami untuk menjadikan karya tetralogi Pulau Buru Pram sebagai ”kanon sastra” perlu di pertimbang karena Pram bicara sal kebangsaan abad ke-19 dan aal abad ke-20 yang memang memukau itu, dan cocok untuk mengkritik paam kebangsaan Ode Baru. Tapi kini kita hidup di abad ke-21, untuk kembali ke gaya ”mantera primitif” dan Kebangsaan yang humanis dan tak menjadi sandera sejarah itu, sudah dilakukan: apakah kini mesti juga demikian?

Saya kira, kelebihan seorang sastrawan sebagai ”yang berdepan-depan dengan zaman” dan punya intuisi yang futuristik, seperti yang dilakukan Sutardji di lapangan puisi dan Pram di lapangan prosa, mesti jadi agenda penting di masa kini dan mendatang. Kita tak tahu apa yang bakal terjadi 50 tahun atau 100 tahun yang akan datang, oleh karena itu kita bisa berharap banyak dengan kaum sastrawan untuk mengejakan proyek ini.

Abad ke-20 dengan dua perang dunia sudah berlalu. Mengutak-atik jejak kolonial dalam bahasa, dalam hukum, dalam segala bidang terus-terusan, justru akan mengorbankan berbagai proyek yang mungkin jaum lebih signifikan. Bukan berarti bahwa hal itu tak penting, tapi apakah hanya itu urusan para seniman dan sastrawan? Sekarang kita hidup di otonomi daerah, dalam tekanan politik global yang menantang, dalam ketidakpastian arah, dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga, persoalan kebangsaan dan kesusastraan yang berbeda dari sebelumnya, dan ini mesti dikaji secara kritis. Membebankan berbagai persoalan terkini ke pundak sastrawan memang tak adil, seolah-olah hanya meeka yang ada di bumi ini, namun kepada siapa lagi kita berharap banyak kalau bukan pada kaum yang doyan menyoal hal-hal yang tak selesai ini?

Selasa, 03 Februari 2009

Berlin dan harga sebuah Kebebasan

Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang


Kebebasan merupakan persoalan yang, paling tidak, sama tuanya dengan usia manusia itu sendiri. Sejak Nabi Adam turun ke Bumi lalu diikuti para nabi berikutnya, persoalan kebebasan kerap kali muncul dalam wujudnya yang berbeda. Sejak filosof Stoa hingga filosof pascamodernisme, masalah kebebasan telah menyita waktu para filosof profesional untuk merumuskan secara jelas apa makna di balik kata ini.
Pada abad pertengahan, meski telah mencapai analisis yang lebih baik tentang sebagian besar konsep yang tercakup di dalamnya, pada dasarnya tidak membawa lebih dekat pada suatu pemecahan akhir; bahwa sementara sebagian pihak telah dipusingkan oleh persoalan ini. Sebagian yang lain menganggap persoalan yang jalin-menjalin tersebut sekadar suatu kekacauan yang akan diselesaikan oleh suatu pemecahan filosofis yang tunggal dan kokoh.
Pada perkembangan selanjutnya, persoalan kebebasan telah merambah ke wilayah politik dan ekonomi. Pada masa ini kebebasan telah diartikan sebagai determinisme diri (self- determinism), yakni pandangan yang menyatakan bahwa watak dan "struktur" kepribadian manusia, serta emosi, sikap, pilihan, keputusan, dan tindakan- tindakan yang bersumber darinya, benar-benar memainkan peran sepenuhnya dalam apa yang terjadi. Namun, pada dirinya sendiri merupakan dampak dari berbagai sebab, psikis maupun fisik, sosial maupun individual, dan seterusnya, dalam suatu rangkaian yang tak terputuskan.
Menurut penganut paham tersebut, "saya bebas jika saya dapat melakukan apa yang saya inginkan dan memungkinkan memilih salah satu di antara dua jenis tindakan yang akan saya ambil". Atau, semua perilaku manusia adalah bebas ditentukan, tergantung dari sudut pandang mana seseorang memandangnya. Sebab, manusia dewasa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Pilihan-pilihan saya secara kausal telah ditentukan; karena jika tidak demikian, ia akan menjadi suatu kejadian yang acak dan alternatif-alternatif pilihan tersebut akan kehilangan kemungkinan-kemungkinannya, sama halnya dengan mengatakan sesuatu yang tidak bermakna. Pandangan klasik ini bagi sebagian besar filosof tampak menyelesaikan persoalan kehendak bebas. Liberalisme determinisme diri semacam ini oleh William James-bapak psikologi modern abad ke-20-disebut sebagai "determinisme lembek" atau "rawa persembunyian".
BERBAGAI perdebatan panjang soal paham liberalisme di atas dapat ditelusuri dalam karya Isaiah Berlin berjudul Empat Esai Kebebasan (penerbit LP3ES kerja sama dengan Freedom Institute, Jakarta, September 2004).
Isaiah Berlin adalah sejarawan dan filosof Inggris pasca-Hegel dan Marx, lahir di Riga, Latvia, 6 Juni 1909, keturunan Rusia. Buku ini merupakan karyanya yang paling banyak menuai kritik dan melahirkan perdebatan sengit di Inggris dan Eropa sejak diterbitkan pertama kali tahun 1969. Dalam buku ini ia membentangkan begitu banyak perdebatan soal paham kebebasan, mulai dari pandangan sejarawan, filosof, sastrawan, teolog, dan para pengamat politik serta ahli ekonomi.
Empat esai tentang kebebasan dalam buku ini mengulas secara komprehensif empat persoalan besar: Pemikiran Politik Abad ke-20, Keniscayaan Sejarah, Dua Konsep Kebebasan, dan John Stuart Mill dan tujuan-tujuan hidupnya (buku John Stuart Mill, On Liberty, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia).
Bagi Berlin, pengertian dasar dari kebebasan adalah kebebasan dari segala belenggu, dari pemenjaraan, dari perbudakan oleh orang lain. Sementara, pengertian yang lain, yang lebih luas, merupakan perluasan dari pengertian ini. Bagi Berlin, berusaha menjadi bebas berarti berusaha menghilangkan berbagai rintangan; berusaha memperoleh kebebasan personal berarti berusaha mencegah campur tangan, pengisapan, penindasan oleh orang- orang yang melakukannya. Kebebasan, setidaknya dari pengertian politiknya, bersesuaian dengan tidak adanya gangguan atau dominasi dan hegemoni. Akan tetapi, kebebasan semacam itu bukan satu-satunya nilai yang menentukan sebuah laku, atau perilaku. Persoalan jauh lebih kompleks dari hanya dengan satu jawaban semacam itu (hal 64).
Pertanyaannya, nilai macam apa yang terdapat di dalam kebebasan menurut Isaiah Berlin? Apakah nilai kebebasan yang dikemukannya merupakan suatu jawaban terhadap kebutuhan dasar manusia untuk bebas, atau sesuatu yang diandai-andaikan oleh tuntutan yang lain? Selain pertanyaan itu, apakah empat esai kebebasannya merupakan pertanyaan sekaligus jawaban yang murni antropologis dan historis yang membutuhkan jawaban empiris pula atau pertanyaan filosofis, psikologis, dan politis?
Peran apa, kalaupun ada, yang dimainkan oleh bukti- bukti historis, antropologis, serta sosiologis dalam menetapkan premis kebenaran atau kesahihan dalam persoalan-persoalan seperti itu? Atau apakah seperti yang ditujukan lewat suatu analisis filosofis yang meyakinkan kita bahwa pengabaian kebebasan tidaklah bersesuaian dengan menjadi manusia, atau, paling tidak, sepenuhnya manusia-terlepas dari apakah yang kita maksudkan dengan manusia-di mana pun dan kapan pun.
Bagi Berlin, paham kebebasan determinisme dan universalisme yang dipeluk teguh para sejarawan, sastrawan, politikus, dan para pemikir abad ke-20 tak lebih dari usaha memamah biak warisan Pencerahan Eropa yang gagasannya tidak meyakinkan bagi teori-praktik kebebasan. Para sejarawan yang hanya mampu berpikir obyektif, tidak bias, tidak memihak, yang sepintas merupakan kebajikan-kebajikan luhur yang hendak meneguhkan klaim kebenaran dan keyakinan.
Tentu saja, terdapat nilai-nilai moral-sosial yang obyektif, abadi dan universal, yang tak tersentuh oleh perubahan sejarah dan dapat diketahui oleh pikiran setiap manusia rasional. Namun, klaim semacam itu perlu dipertanyakan (hal 31). Hal ini disebabkan kehendak bebas membutuhkan pemecahan konseptual baru yang sejauh ini belum berhasil dilakukan siapa pun. Sementara terminologi tradisional, seperti dari filosof TH Green, Hegel, dan Marx, perlu dilakukan penjarakan, gagasan-gagasan kebebasan mereka sudah terlalu usang untuk kurun ini dan yang akan datang (hal 71-73).
BERLIN berkali-kali melontarkan pandangannya tentang kebebasan yang diiilhami oleh gagasan politik liberal. Berlin adalah aseorang liberal yang berseberangan dengan pandangan komunisme maupun marxisme. Dengan menekankan empat tesis kebebasan, Berlin seakan menawarkan jalan keluar bagi pandangan baru yang menghargai kebebasan individual. Siapa pun yang menghargai kebebasan demi kebebasan itu sendiri, percaya bahwa ia akan bebas untuk memilih, dan tidak untuk ditentukan pilihannya. Hal ini merupakan unsur yang tidak bisa disingkirkan dalam apa yang menjadikan manusia saat ini sebagai manusia.
Bagi Berlin, seseorang adalah tuan bagi dirinya sendiri. Bila aku adalah pemilik akal budi dan kehendak, maka aku mempunyai berbagai tujuan dan berkeinginan untuk mewujudkan tujuan itu. Namun, jika aku dihalang-halangi untuk mencapai kehendakku itu, berarti aku tidak lagi merasa sebagai tuan atas diriku dan kehidupanku. Aku mungkin dihalang-halangi oleh hukum- hukum alam, atau oleh hal-hal yang tak terduga, atau oleh tindakan-tindakan manusia, atau oleh pengaruh, yang sering tak terencanakan, dari kebisaan- kebisaan manusia. Apa yang aku lakukan agar tidak tertindas oleh kekuatan-kekuatan itu? Berlin menawarkan jawaban: aku harus membebaskan diriku, hasrat yang aku tahu tak dapat aku wujudkan. Aku ingin menjadi tuan atas kerajaanku sendiri.
Paham kebebasan Isaiah Berlin adalah pertanyaan yang tak berkesudahan di kalangan kaum liberal sampai hari ini. Apakah paham liberal yang pernah dikutuk Bung Karno dulu kini menjadi alternatif? Sebagian orang akan menjawab ya, namun sebagian lain akan menjawab tidak untuk setiap liberalisme.
Berlin mengajukan suatu syarat tentang hak personalitas tanpa harus pusing-pusing dengan pertanggungjawaban moral-religius. Baginya, seorang manusia tidak diwajibkan kepada siapa pun atas tindakan-tindakannya sejauh hal ini bersesuaian dengan keberadaan masyarakat yang terorganisasi. "Aku menghilangkan semua rintangan yang ada di jalan hidup aku dengan meninggalkan jalan tersebut; aku menarik diri ke dalam sekte aku sendiri, ke dalam rencana ekonomi aku sendiri, ke dalam wilayah kehidupan aku yang terpencil, di mana tidak ada lagi suara-suara dari luar yang perlu didengarkan.
Tindakan semacam itu merupakan suatu bentuk pencarian rasa aman; namun tindakan itu juga pantas disebut pencarian kebebasan atau kemerdekaan pribadi atau nasional, yang individual sekaligus yang banyak. Aku bebas sejauh aku otonom, aku mematuhi hukum, tetapi hukum itu aku temukan dalam diri aku sendiri yang tak terkekang".
Tidak berlebihan bila Berlin kelak dijuluki sebagai juru bicara paling fasih tentang liberalisme abad ke-20 sekaligus pengkritik paling lantang terhadap paham liberalisme Abad Pencerahan; liberalisme yang determinisme atau keyakinan atas universalisme. Berlin memang secara tajam melucuti universalisme Pencerahan dengan tidak membuatnya menolak kebebasan personal. Gagasan liberalisme Berlin bagi Ahmad Sahal adalah, "kebebasan individu tanpa harus mengaitkannya dengan universalisme, menjadi liberal dengan tetap menerima pluralisme, dan tanpa harus terjatuh dalam sikap landak ala Pencerahan". Dengan ungkapan lain, liberalisme ala Berlin adalah liberalisme yang ironi yang tidak berurusan dengan kebenaran absolutisme, seraya tetap berpegang teguh pada komitmen sosial yang membebaskan.

Mi Instan dan Tipudaya Global

Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang


Globalisasi ekonomi sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Sejak sepuluh tahun terakhir, kegiatan hidup sehari-hari masyarakat Indonesia ditandai dengan meningkatnya penawaran aneka jenis komoditi global berupa produk makanan dengan berbagai jenis dan rasa yang menggoda.
Penelitian Lembaga Studi Realino (LSR) tahun 2000 menyebutkan, setiap hari sebanyak seratus juta bungkus mie instan telah dikonsumsi oleh penduduk dunia. Sementara lebih dari sepuluh miliar bungkus mie instan dipasarkan di Indonesia selama kurun waktu tahun 2000.
Mi instan sebagai komoditi utama masyarakat konsumerisme yang kini menjangkit masyarakat Dunia Ketiga, alih-alih menciptakan budaya hidup sehat, malah masyarakat yang “sakit”. Hasil kajian LSR menemukan adanya persinggungan antara identitas politik nasional dengan arus ekonomi global dalam masyarakat yang dibayangkan sebagai Indonesia. Dengan mengacu pada tesisnya Ben Anderson, Imagined Communities (1991), LSR menyebutkan bahwa, mi instan--selain sekadar dijadikan target konsumtif--ternyata ikut menciptakan gaya hidup dan budaya konsumerisme masyarakat Indonesia.
Tulisan ini akan melihat lebih jauh bagaimana kaitan budaya konsumerisme atau budaya pop yang menjelma dalam komoditi mi instan. Penting juga untuk melihat atau mewaspadai sihir politik global dalam rangka merespon tuntutan masyarakat Indonesia akan kebutuhan pangan di masa depan.

Sihir Ekonomi-Politik Global

Mengapa berbagai jenis makanan cepat saji seperti mi instan dianggap sebagai komoditi yang cocok dengan kultur dan selera masyarakat Indonesia? Budaya global yang melahirkan ruang yang serba instan kini tengah digandrungi—tidak hanya oleh generasi muda, tetapi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Dari pelosok desa hingga kota metropolitan, mi instan telah ikut menanamkan diskursus politik budaya konsumerisme.
Komoditi mi instan juga berhasil menciptakan popular culture (budaya pop) masyarakat Indonesia dengan gengsi yang tak terbayangkan. Karena itu, konsumen yang tidak ikut mencicipi produk mi instan dianggap tidak modern atau ketinggalan zaman. Pada akhirnya mereka juga ikut mengukuhkan budaya fashion: ruang ketegangan antara desakan untuk menjadi umum dan sejajar dengan hasrat untuk menjadi khas atau berbeda.
Menurut Georg Simmel (2001), hasrat untuk menjadi umum dan setara inilah yang berinkarnasi dalam perilaku imitasi. Pada saat seseorang melakukan imitasi, bukan saja mereka mentransfer hasrat akan aktivitas kreatif, tapi juga menggeser tanggung awab atas aksi itu dari diri pribadi pada “sesuatu di luar sana”. Pada saat itulah individu melepaskan kecemasan akan penampilannya sebagai pilihan pribadi dan mengalihkannya sebagai bentuk kepatuhan pada “sesuatu di luar sana”. Membangun ruang solidaritas aksi, dengan demikian, hanya mungkin dilakukan dengan kembali meletakkan setiap aksi sebagai pilihan dan tanggungjawab otonom.
Budaya pop juga telah ikut menggilas keragaman komoditi tradisional di Indonesia dengan menampilkan komoditi makanan global. Akibatnya, keragaman produk makanan tradisional yang berlandaskan pada nilai-nilai kekerabatan telah digusur oleh bujuk rayu komoditi padat modal. Politik konsumsi global modern saat ini—sadar atau tidak—ikut memainkan strategi politik penyeragaman. Politik ekonomi konsumsi global penuh dengan janji-janji kenikmatan dengan meningkatkan kadar “gengsi sosial” lewat promosi besar-besaran di media massa. Apa pun dalih mereka, keterkaitan mi instan dengan kecenderungan untuk massalisasi selera rasa produk tersebut secara global sangat mencolok.
Mi instan bermula dari Tiongkok lalu menyebar ke berbagai belahan dunia. Meski Cina merupakan negara penghasil utama Gandum—bahan utama pembuatan mi instan selain tepung terigu—akan tetapi Jepang-lah negara pertama yang menemukan bahan pangan yang kini dikenal dengan mi instan atau mi dalam bentuk kemasan. Dari negara Jepang pula istilah ramen—atau dalam bahasa Inggris, instant noodle-- pertama kali diperkenalkan dan diproduksi besar-besaran.
Menjelang berakhirnya abad ke-20, lembaga riset Fuji mengungkapkan hasil survai tentang “ekspor teknologi dan budaya”. Jepang mengumumkan bahwa orang-orang Jepang percaya dengan temuan terbaik mereka pada abad ke-20 adalah mi instan. Jepang merasa sukses karena kemampuan mereka melihat peluang pasar dan masa depan makanan dunia.
Entah kebetulan atau tidak, munculnya produk mi instan lantaran seringnya negara Jepang mengalami bencana alam, seperti gempa dan tsunami. Makanan yang siap saji untuk kebutuhan bencana alam tak lain adalah makanan yang efisien, cepat, mudah didapat, serta murah harganya. Sejarah membuktikan bahwa mi instan dapat segera tampil di tempat-tempat yang sedang ditimpa bencana alam. Maka tak heran bila peristiwa tsunami yang menimpa negara-negara Asia pada akhir tahun 2004 lalu, mi instan menjadi komoditi utama yang paling banyak diberikan kepada korban tsunami.
Di Indonesia, seperti pernah diberitakan oleh SCTV dalam liputan petang (20/2/2005), volume penjualan mi instan di bawah perusahaan PT Indofood Makmur Tbk memecah rekor pertama dunia pada tahun 2005. Produk Indomie meraih penghargaan “The Largest Pack of Instant Noodles”. Sedangkan Supermie menyabet hadiah “The Biggest Serving Noodles”. Pemberian penghargaan itu mencakup kategori volume penjualan terbesar dan rasa paling banyak.
PT. Indofood juga mencetak rekor menyajikan mi merek Supermie terbanyak di Indonesia. Sedikitnya 30 ribu bungkus mi ukuran normal atau seberat 4,171 kilogram dimasak serentak oleh 350 juru masak. Lalu promosi masakan itu dihidangkan dalam mangkuk Supermie Superbowl berdiameter 2,6 meter dan tinggi 1,3 meter. Para juru masak membagikan mi goreng itu kepada masyarakat secara gratis.
Menurut Taufik Wiraatmadja, diraihnya sertifikat “The Largest Pack of Instant Noodles in the World” kian mengukuhkan Indomie sebagai market leader dunia. Bahkan menurutnya, saat ini PT. Indofood telah menjual produknya ke beberapa negara di seluruh dunia. Maka PT Indofood telah menjelma menjadi perusahaan raksasa mi instan yang nyaris tak tertandingi. Sukses itu diraih lewat cara dan langkah-langkah memperkuat apa yang mereka namakan sebagai brand equity.
Sebelumnya, pada tahun 2003, perusahaan Indofood meraih peningkatan volume penjualan sebesar 9,9 miliar bungkus. Pada tahun 2004, PT. Indofood Sukses Makmur juga berhasil membukukan penjualan bersih senilai Rp17,9 triliun. Namun laba bersih mengalami penurunan 37 persen menjadi Rp 378,1 miliar dari tahun sebelumnya sebesar Rp 603,5 miliar. Direktur Utama & CEO Indofood, Anthony Salim di Jakarta menyampaikan divisi mi instan, tepung terigu dan minyak goreng dan lemak nabati tetap merupakan kontributor utama terhadap penjualan bersih.
Ketiga divisi tersebut menyumbang 85 persen atau Rp 15,3 triliun atas penjualan bersih konsolidasi dengan kontribusi masing-masingnya sebesar 33 persen, 33 persen dan 19 persen. PT. Indofood pernah juga menyabet sejumlah predikat tentang produk makanan dunia, seperti “The Best in Achieving Total Customer Satisfaction”, “The Most Valuable Brand”, dan “Indonesia Best Brand Award”.
PT. Indofood—selain pembuat mi instan terbesar dan pembuatan mangkuk terbesar di dunia—juga berhasil meraih enam kategori makanan. Kategori itu adalah penghargaan mi instan paling inovatif, pencapaian volume penjualan tertinggi yakni 28,4 persen dari total industri. Volume penjualan terbesar yaitu 14,1 persen dari total industri, dengan pilihan paling bervariasi sebanyak 62 rasa.
Walau terjadi perasaingan ketat, namun produk-produk Indofood masih tetap menyihir konsumen dan mengalami peningkatan penjualan dari tahun ke tahun. Inilah sihir politik global yang sukses menjadikan mi instan sebagai menu utama masyarakat konsumerisme.

Tipudaya Global
Berbagai cara dilakukan oleh banyak perusahaan yang bergerak di bidang produksi mi instan. Untuk meraih sukses pemasaran, PT. Indofood—selain memasang iklan hampir diseluruh koran dan stasiun televisi swasta—juga memberikan jaminan khusus kepada para pedagang kecil yang menjul produk mereka. Pada tahun 2003, PT. Indofood memberikan jatah kepada 7.770 pedagang Indomie rebus dan mie tek-tek dari Jabotabek, Serang dan Karawang, untuk mudik Lebaran secara gratis. Ribuan pedagang mi tersebut diberangkat dari Parkir Barat Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, dengan 137 kendaraan bus Hiba Utama.

Ribuan pemudik dilepas oleh Menteri Perhubungan—wwaktu itu masih Agum Gumelar. Selain itu juga dihadiri oleh Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja, Muzni Tambusai, Wakil Kepala Dinas Tenaga Kerja Pemda DKI Rusdi Muchtar dan Direktur Utama PT. Indofood Sukses Makmur, Eva Rianti.
Sebelum diberangkatkan, PT. Indofood menyerahkan hadiah Ongkosh Naik Haji (ONH Plus) bagi dua orang pedagang mie, yaitu Oyo Sunaryo dari Jakarta dan Cicih dari Bogor. Menteri Agum Gumelar sendiri sempat memberikan games dadakan pada pedagang mie dan memberikan hadiah Rp 500 ribu. Mereka tidak dipungut biaya, bahkan PT. Indofood memberikan bingkisan bagi mereka.
Promosi dan bujuk rayu perusahaan mi instan semacam itu nampaknya telah menjadi trend baru bagi perusahaan-perusahaan mi instan. Budaya konsumerisme kian diteguhkan lewat sumbangan gratis dan tayangan iklan-iklan yang menggugah-menghanyutkan. Kebudayaan (atau budaya) mi instan telah menjelma sebagai himpunan nilai, perilaku, kesadaran, dan perwujudan material, masyarakat dewasa ini.
Keunggulan perusahaan-perusahaan mi instan dalam menciptakan citra di hadapan konsumen Indonesia telah membuat mi instan menjadi satu komoditi yang hampir mengalahkan konsumsi beras di Indonesia. Perangkat teknologi dan jaringan distribusi dari pedagang kaki lima sampai supermarket ditambah promosi besar-besaran, mengakibatkan perusahaan mi instan melampaui produk makanan yang diciptakan oleh Amerika Serikat.
Komoditi mi instan tak bisa dilepaskan dengan visi proyek negara-negara multilateral. Kekuatan daya magi di balik selera mi instan yang mereka kampanyekan sepintas memang menggoda. Gambar dan imaji yang mereka tampilkan dalam iklan-iklan di media massa sangat kuat dan menyentuh. Ungkapan-ungkapan yang dipilih telah meluncurkan energi dan menggelapkan mata kita. Pada gilirannya ikut menumbuhkembangkan mimpi-mimpi gombal. Namun apa yang terselubung di balik semua itu bermuara pada satu faktor tunggal, yakni budaya politik ekonomi yang meletakkan pasar sebagai panglima.
Akhirnya, budaya mi instan secara praktek sangat menentukan apa-apa yang bisa dianggap sebagai sistem politik, ekonomi, dan hukum. Tapi secara lebih jelas lagi, politik mi instan telah mengacaukan pengertian budaya lokal sebagai sistem atau seperangkat nilai. Di balik rasa mi instan tesebut menyeruak hasrat untuk menyembunyikan politik tipu daya global.