Rabu, 25 Februari 2009

Seabad Sjahrir

Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang


Orang mengenalnya sebagai negarawan. Ia lahir 5 maret 1909, dan wafat dalam usia 57 tahun dalam keadaan terpasung. Kini kita hanya bisa merekam jejaknya, mengenang apa yang telah diwariskannya kepada kita. Setidaknya, ada dua buku kumpulan karangan Sjahrir yang telah diterbitkan: Perjuangan Kita, Renungan dan Perjuangan.

Sjahrir telah menunjukkan sikap intelektual yang matang, di samping sebagai elite yang menaruh minat pada filsafat dan sastra. Sjahrir tidak menempatkan sastra sebagai kemewahan, karena jika sastra adalah suatu kemewahan, umurnya sudah sangat tua, sekitar 40.000 tahun, bahkan lebih. Leluhur kita pastilah telah menggunakan sebagian besar harkat mereka dalam kegiatan yang sangat diperlukan untuk bertahan hidup, lantas mengapa mereka masih menyisihkan waktu dan sumberdaya untuk sastra?

Sjahrir menampik semboyan seni untuk seni dan menggeser kolektivitas menjadi individualitas, ketergantungan pada masa lalu menjadi masa baru. Persis dalam garis kesusastraan baru yang dinamis inilah Sjahrir berada dalam tarikan napas yang sama dengan Sutan Takdir untuk menjadikan revolusi kebudayaan dengan menumbangkan kebudayaan lama sampai ke akar-akarnya dan memunculkan kebudayaan yang benar-benar baru.

Namun, baik Takdir maupun Sjahrir, keduanya tengah menjalankan suatu revolusi dalam cangkir kopi. Barat adalah kiblat bagi perjuangan keras untuk mengembangkan kebudayaan yang maju dan baru, dan ajakan untuk memetik hikmah serba-dari Barat ternyata mendapat gaung yang keras. Bagi Sjahrir, Barat-lah tempat segalanya bercokol. ”Kita hanya bisa menyelami makna ilmu pengetahuan Barat dalam hubungannya dengan masyarakat yang telah melahirkan dan menumbuhkannya”, tulisnya dalam Renungan dan Perjuangan (1990).

Lebih jauh Sjahrir mengingatkan: ”Kita akan belajar melihat rasionalisme serta cara berpikir dengan disiplin ketat itu, sebagai sesuatu yang penting untuk dapat mengurai-uraikan, menganalisis dan mempertahankan suatu masyarakat yang lebih kaya akan keragaman itu”. Sebagaimana alasan Takdir saat membela Barat yang didebat oleh Sanusi Pane, Adinegoro, Dr. M. Amir, Sutomo, dll, Sjahrir menganggap ”belum ada orang intelektual yang menulis dalam arti yang sebenarnya di negeri kita ini” karena itu orang Indonesia harus belajar ke Barat. Di negeri ini tidak ada kesusastraan Indonesia yang bermutu. Tak ada kesusastraan roman, padahal kata Sjahrir, roman banyak mengungkapkan pandangan hidup dan vitalitas.

Jika Takdir memuja Faust seraya menampik Arjuna, mengidealkan Paul seraya menampik Muhammad, maka tak ada yang beda dengan Sjahrir. Simak bunyi suratnya bertanggal 31 Desember 1936 ini: ”Barat bagiku berarti kehidupan yang menggelora, kehidupan yang mendesak maju, kehidupan dinamis; itulah Faust, sifat yang kusukai, dan aku yakin bahwa hanya Barat—yaitu dalam pengertian dinamis ini—yang bisa melepaskan Timur dari perbudakannya”.

Sjahrir kian jauh dari mistisisme Timur dan dekat dengan perjuangan ilmuwan menantang alam, bahkan ”perjuangan melawan alam itulah sebenarnya perjuangan manusia: menaklukkan dan menguasai alam dengan kemauannya”. Sungguh, aku merinding mendengarnya. Sungguh, aku ngeri membayangkan bagaimana hutan-hutan digunduli, sawah dan ladang dilumuri berbagai zat adiktif demi menyongsong abad industri dan teknologi dengan alasan demi kemajuan. ”Aku sekarang merasa tertarik pada studi tentang positivisme”, tulisnya. ”Perasaan adalah sesuatu yang positif, dan kepuasaan yang timbul karenanya adalah sebuah keseimbangan. Musik harmoni akan tercapai jika tuntutan-tuntutan intelek diberdayakan secara objektif. Aku tahu benar intelek mempunyai tuntutan-tuntutan terhadap kehidupan alam dan bisa mempengaruhinya, bahkan sedikit banyak bisa menguasainya”.

”Apa boleh buat”, tulis Sjahrir di surat yang sama,”bahkan kapitalisme pun terpaksa kuterima bersama-sama dengan itu, sebagai sesuatu yang lebih baik daripada ’kearifan dan religi ketimuran’ yang dipuji-puji itu. Jika seorang yang sebelumnya dikenal kritis terhadap kapitalisme namun akhirnya harus mengatakan bahwa ”kapitalisme pun terpaksa kuterima” ini bertanda bahwa Sjahrir tidak main-main dengan sikapnya terhadap ilmu pengetahuan Barat.

Di sini Sjahrir telah menjadi ”kanan” dan meninggalkan PSI yang ”kiri”. Sjahrir menuduh ’kearifan religi ketimuran’ sebagai yang ”telah membuat kita tidak menyadari bahwa kita sudah tenggelam ke tingkat yang serendah-rendahnya”. Lalu ”apa yang kita kagumi dan sukai di Barat, ialah vitalitas yang tidak terhancurkan, cinta dan hasrat pada kehidupan, pada penyempurnaan kehidupan. Itulah sebabnya maka tiap orang muda, laki-laki maupun perempuan, yang penuh kegairahan hidup di Timur ini, sebaiknya belajar ke Barat, sebab hanya dari Barat dia bisa belajar merasakan dirinya sebagai suatu pusat tenaga yang sanggup dan sedia mengubah dunia”.

Tentu saja, seperti halnya Sutan Takdir, Sutan Sjahrir sadar betul apa yang akan dikatakan orang dengan sikapnya terhadap Barat itu. Bung Karno—walau tidak secara eksplisit menyindir Sjahrir—menyebut intelektual seperti Sjahrir ”terlampau kenyang tjekokan kolonial”. Karena itu, pada bagian suratnya yang selanjutnya, Sjahrir mulai bergeser dan tak lagi memuja secara buta apa saja dari Barat. ”Sama sekali bukan berarti bahwa aku mengidealisir Barat seperti keadaannya sekarang ini. Aku pun tahu segala kerapuhan dan kebusukannya sebagai dunia dan peradaban kapitalis. Tapi biarpun begitu aku kira aku masih sanggup menghargai semuanya itu, dibandingkan dengan apa yang biasanya disebut orang ’ketimuran’. Menghargainya karena tenaga lentingnya, militansinya, rasionalitasnya. Hanya rasionalitas yang sanggup menguasai dunia ini”.

Apakah Sjahrir akhirnya tetap sebagai pembeo Barat dan durhaka terhadap Timur? Agaknya saya perlu mengutip pertanyaan bernada gugatan yang diajukan Sjahrir sendiri, yang sudah sering dikutip itu, untuk melihat lebih jernih bagaimana Sjahrir menafsirkan perdebatan tentang Timur dan Barat kemudian. ”Mengapa kita mesti memilih antara Barat yang kapitalis dan Timur yang menghamba? Kita tidak perlu menginginkan yang satu atau yang lain: kita bisa menolak kedua-duanya, sebab kedua-duanya sesungguhnya harus dan sedang menjadi masa silam”.

Apa pun yang ditunjukkan Sjahrir, ia menjelaskan kepada kita mengenai keprihatinan bangsa yang tak mampu menguasai dunia materi, sains dan teknologi dan senantiasa menjadi sapi-perah bagi penjajah. Sjahrir acapkali menekankan pentingnya kajian sejenis oksidentalis: upaya penjelajahan secara ilmiah-objektif terhadap sains dan sastra Barat. Kepercayaannya yang berlebih-lebihan pada sains Barat memang terasa janggal sekarang. Penemuan-penemuan mutakhir di bidang fisika dan munculnya gerakan feminisme telah meruntuhkan asumsi-asumsi positivisme. Kini realitas ternyata tak pernah bersifat objektif, tapi hasil konstruksi pengamat. Sains tak lagi pasti, malah mesti mempertimbangkan prinsip ketidakpastian, chaos, acak, non-liner dan terpecah bagai remah-remah kaca.

Kita tentu sepakat dengan Sjahrir dalam memperjuangkan manusia dan kemanusian Indonesia yang tergilas kemiskinan dan penjajahan. Namun sikap Sjahrir justru menjelaskan beberapa hal kepada kita. Pertama, ia mengarahkan penanya ke arah pemuja pesona nilai positivistik yang katanya menghargai manusia dan kemanusian, rasionalitas, ilmiah dan dijamin objektif. Kenyataan yang terjadi ternyata tak persis seperti yang diharapkan Sjahrir, bahkan sebaliknya.

Kedua, Sjahrir adalah pengagum vitalitas dan rasionalitas yang nyaris berevolusi menjadi pemuja pasar dan siang hari seraya menampik terik yang ganas, padahal sebelumnya ia dikenal tokoh beraliran kiri. Ketiga, dan ini paradoks yang menarik, Sjahrir menampik orang-orang yang berhasrat menjadi martir dan menyihir jutaan orang untuk mengorbankan hidup. Dan inferensitas ini masih jarang disadari sebagai hambatan terbesar terhadap semangatnya dalam pencarian kewaspadaan.

Kita tahu, ketololan sejarah perang dunia pertama dan kedua justru terletak pada penampilan terhormat kepada syuhada dalam menganugerahkan kepada mereka ketakjuban terhadap tesis “perjuangan membutuhkan pengorbanan”. Inilah sebuah epileptik untuk membikin kagum massa paria, lebih mengedepankan aksi ketimbang kontemplasi, mencibir intelek sambil melambungkan institusi, merayakan gerakan dan menjunjung karnaval siang bolong yang kemeriahan.

Barangkali itulah musuh Sjahrir yang paling berbahaya ketimbang sebuah dusta, karena sikap tidak menyadari yang mereka sendiri menyadari, sikap ingin melihat sesuatu yang mereka melihatnya, ingin ingkar pada batas penghabisan di mana mereka tak mau mengingkari.

“Aku kira sesat jalan kalau kita terlalu banyak memberikan tekanan pada kesedian berkorban dan kemartiran itu”, tulisnya. Sebab sikap yang demikian itu tak ubahnya dengan epidemi para pencari kematian, sebuah kias sahidiah, dan silogisme militeristik yang gemar berperang. Dan Sjahrir, kita tahu, bukan militer yang gemar berperang, melainkan diplomat dan negosiator yang manis.