Kamis, 08 Oktober 2009

Pendidikan yang Beragam:

Dari Perspektif Kultural ke Perspektif Multikultural


Oleh: Asarpin





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Benarkah perbedaan itu berkat dan membawa rahmat? Kalau ya, mengapa begitu sering kita menyaksikan pertikaian hanya karena kita beda agama, beda budaya, beda suku, beda bahasa dan beda warna kulit? Dan agama, yang selama ini kita klaim sebagai pembawa rahmat di muka bumi, ternyata tak berbuat banyak, bahkan tak jarang menimbulkan akibat sebaliknya. Lalu apakah agama masih pantas dianggap sebagai pembawa rahmat dan kedamaian?

Jika memang Tuhan menciptakan perbedaan agar manusia saling mengenal, menyapa dan hidup berdampingan dengan kekeluargaan, pantaskah kita sebagai manusia mengingkari keragaman yang diciptakan oleh Tuhan itu? Kalau ada di antara kita merasa terganggu dengan pluralitas dan kemajemukan agama, bahasa, suku, adat, warna kulit, apakah ini artinya kita mengingkari kehendak Tuhan?
Kita tak pernah siap untuk beda: beda pikiran, beda penampilan, beda segalanya. Jika ada sesuatu yang beda dari kebanyakan, tak jarang kita memberi cap gila. Padahal perbedaan adalah inheren dalam kehidupan manusia. Keunikan dan keragaman, potensi alamai kita yang terhebat, sudah semestinya kita akui kembali, kita hargai kembali, dan kita berdayakan kembali. Jangan jadikan hidup melulu seragam dengan acuan standar tanpa tahu nikmatnya perbedaan.
Ada sebuah dongeng Afrika yang bertajuk Hati Seekor Elang, yang diceritakan kembali oleh Dawna Markova, Ph.D.

Pada suatu hari, ketika mengembara ke mana-mana, seorang perempuan dan anak lelakinya tiba di sebuah peternakan unggas. Anak laki-laki itu begitu ingin tahu. Ia menekankan wajahnya ke pagar kawat berkarat yang membentengi ratusan ayam.

“Ibu, ada seekor ayam yang kelihatan aneh dalam kandang ini. Ia tidak seperti ayam lainnya”.

Ketika perempuan itu memandangi burung yang ditunjukkan oleh anaknya, seorang laki-laki berpakaian kotor mendekati mereka.

“Apa yang kamu lakukan pada ayam-ayamku?” ia menggeram.

“Cuma melihat saja. Tetapi, maukah anda memberi tahu saya tentang burung ganjil yang berimpit-impit di sudut sana? Ia tampak sangat berbeda dengan ayam-ayam lainnya. Sesungguhnya, saya pikir, ayam itu mungkin adalah elang yang masih muda”.

“Tidak mungkin”, jawab sang petani. “Aku sudah memilikinya sejak ia baru menetas. Ia bertingkah dan makan seperti seekor ayam, karena itu ia adalah seekor ayam”.

“Bolehkah kami masuk ke kandang ini untuk melihatnya lebih dekat lagi?”

“Lakukan saja apa maumu,”, gerutu laki-laki itu.

Perempuan itu dan anaknya harus membungkuk agar bisa melewati pintu kandang. Ia berlutut dan menggendong burung itu.

“Kamu adalah seekor elang, bukan ayam. Kami bisa terbang. Kamu bisa terbang bebas!”

Ia mengangkat burung itu di atas kepalanya dan membubungkannya ke udara.

Burung itu mengepakkan sayapnya sekali, dua kali, namun jatuh tepat di paruhnya ke lantai, kemudian mulai mengais lumpur. Petani itu, menyaksikan dari sudut pagar lainnya, mendengus. “Sudah kubilang. Burung itu adalah sesekor ayam, hanya ayam biasa. Kamu ini buang-buang waktu saja!”

Perempuan itu berniat ingin membeli burung itu untuk anaknya. Dan si petani tidak keberatan. Maka terjadilah transaksi. Burung itu di bawah oleh perempuan itu dan anaknya di sebuah tebing yang luas. Aanaknya mengangkat burung muda itu setinggi tangannya dan berkata: “Kamu punya hati seekor ekor. Saya tahu kamu punya. Kamu baik-baik saja dan makhluk yang sangat indah. Burung seperti kamu mestinya bebas. Bentangkan sayapmu, ikuti hatimu, dan terbanglah. Terbang, burung elangku, terbang!”

Elang tersebut meluncur dengan lancar membuat sebuah lingkaran besar di atas mereka berdua, di atas pertanian dan lembah.

Perempuan itu dan putranya tak pernah lagi melihat elang itu. Mereka tidak pernah tahu arah yang dituju hati sang elang. Yang mereka ketahui adalah bahwa elang itu tidak akan pernah kembali ke kandang ayam.

B. Mengenal Perbedaan

Kesalahan paling umum yang kita buat sebagai orang tua dan guru adalah berpikir bahwa seseorang tak dapat membuat perbedaan. Malah kita singkirkan cara berpikir berbeda. Kita selalu mengejar yang sama, seragam. Ini adalah tragedi.
Jarang sekali kita melakukan apa yang dilakukan anak kecil tentang ayam yang dianggapnya elang itu. Pendidikan yang baik sejatinya membantu siswa menemukan elang dalam dirinya. Anak-anak bukanlah ayam-ayam dan tidak perlu menjalani kehidupannya seakan-akan mereka adalah ayam.
“Alam mencintai keragaman”, tulis Dawna Markova. “Keragaman intelektual merupakan suatu kondisi alami dan anugerah bagi spesies kita. Dalam bahasa agama, keragaman adalah rahmat.
Perbedaan tak mungkin terelakkan. Kita tak bisa menolak keragaman karena ia niscaya dalam kehidupan kita. Semua yang berbeda menjadi bagian dari kita, maka anak-anak akan berhenti menghakimi, mengisolasi, dan mengasari mereka yang tidak sesuai dengan norma-norma yang terstandardisasi sejauh mereka mengenal dengan baik potensi perbedaan. Kondisi keragaman merupakan sumber daya sekaligus tantangan yang mau tidak mau harus dihadapi dengan cara-cara mengenal potensinya yang akan membawa berkat.
Saya teringat semboyan A. Mukti Ali—bapak Perbandingan Agama di Indonesia” tentang “setuju dalam perbedaan”. Karena tak mungkin perbedaan ditolak, maka pilihannya adalah menyetujui bahwa perbedaan itu ada dan niscaya. Kita semua memiliki aspek diri yang berbeda dari standar. Inilah yang justru menjadikan kita manusia. Tatkala kita dapat menerima dan mengintegrasikan perbedaan-perbedaan dengan tepat, maka alam dan Tuhan akan mendatangkan rahmat bagi kita. Kita berusaha mengubah seluruh perbedaan seakan-akan perbedaan itu sesuatu yang harus diperbaiki, diakali, diisolasi dan dihancurkan sepenuhnya. Hasilnya adalah hilangnya getaran, vitalitas dan energi kehidupan. Saat kehilangan perasaan akan keunikan dan perbedaan kita, kita menjadi komponen lain di dalam roda dan kehilangan setiap pemahaman mengenai tujuan hidup.
Sejak kecil anak-anak kita telah kehilangan kapasitas dan potensi mereka untuk berbeda. Seluruh sistem dan norma kehidupan dibuat se-standar mungkin. Bahkan mirip baju tentara, seluruh pakaian fisik dan batin kita seragam. Mirip paduan suara, jadilah kita kehilangan kreasi dan kemampuan untuk mengenal keragaman ciri-ciri.
Dalam pendidikan, kita mengukur pembelajaran melalui tes-tes yang tersatandardisasi, menggolongkan mereka sebagai ini dan itu, mengisolasi siapa pun yang berbeda, seakan-akan mereka adalah penyakit. Sungguh, inilah hasil pendidikan penyeragaman warisan Orde Baru yang sampai kini belum terkikis, bahkan kian tebal dan banal!
Untuk menghadapi realitas perbedaan sebagai keniscayaan itu, dimana batas-batas kultural bangsa dan negara sudah semakin menyempit, yang kita butuhkan kini adalah semangat keterbukaan menerima perbedaan, mengakui sebagaimana kita mengakui dan memelihara tubuh kita sebagai anugerah dari yang ilahi. Kini yang kita butuhkan adalah cara pandang yang sejuk dengan kepekaan terhadap pluralitas bagi berlangsungnya proses dialog multikultural. Kesadaran multikultural dalam percaturan global sudah semestinya mengakar dalam diri tiap individu, tak hanya bagi kalangan agama, tapi juga bagi semua realitas kehidupan.
Aku beda maka aku ada. Maka, seiring dengan itu, kita dituntut untuk kembali menghayati makna dan substansi falsafah negara kita yang, Bhineka tunggal ika adalah sebuah dasar, pondasi bagaimana hidup di tengah-tengah perbedaan yang dilandasi oleh pengakuan dan perlindungan.







BAB II
PENDIDIKAN KULTURAL KE PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

A. Perspektif Kultural

1. Cultural Studies

Pendidikan kultual sering dihubungkan dengan munculnya studi cultural studies. Lalu sejak itu muncul kajian di beberapa perguruan tinggi tentang keharusan menggunakan pendekatan cultural studies dalam pendidikan. Dan sudah bisa diduga: cultural studies menjadi mode tak cuma dikalangan sastra, teologi, tapi juga para dosen dan guru.
Cary Nelson pernah menyusun isi studi kultural tanpa terjebak dalam upaya mencari definisi. Pertama, studi kultural bukanlah semata-mata studi sastra. Artinya, studi kultural memperluas kajian mengenai bahasa tertentu seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, Arab dan bahasa Indonesia serta bahasa-bahasa lain melalui pendekatan semiotik. Kedua, studi kultural tidak sebatas pada studi mengenai budaya popular (popular culture) tapi produk budaya secara luas, termasuk bagaima produk budaya ditentukan, didefinisikan dan dicitrakan. Ketiga, studi kultural tidak meninggalkan studi budaya tingkat tinggi (high culture), tapi tidak berhenti kepada pemahaman akan adanya otonomi dari produksi kebudayaan yang idak mengakui adanya sejarah. Studi kultural tidak identik dengan semiotika atau semiologi, yaitu studi tentang tanda.
Dalam membicarakan perspektif cultural studies, mau tak mau orang menyinggung nama-nama seperti Richard Hoggart, Raymond Williams, E.P. Thompson, Stuart Hall hingga Chris Barker lewat bukunya yang sudah diterjemahkan: Cultural Studies: Teori dan Praktek. Istilah cultural studies di Indonesia sempat menjadi “mode” yang memukau sebagian kaum intelektual. Menurut mereka, cultural studies adalah kajian yang diskursif dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah ini amatlah beragam. Secara sederhana, cultural studies sering disamakan dengan “kajian budaya” yang mengupas persoalan-persoalan identitas dan ras, sastra, kolonialisasi, kapitalisme, budaya “massa” dan budaya “adiluhung”, dari yang semula hanya gerakan kultural berubah menjadi gerakan politis.
Sampai saat ini, di Indonesia memang belum banyak—untuk tidak menyebut tidak ada—buku yang secara khusus mengupas masalah cultural studies secara komprehensif dan mendalam. Sejauh ini yang ada cuma tulisan-tulisan pendek berupa artikel diberbagai koran, jurnal maupun di situs (seperti situs www.kunci.or.id yang diprakarsai oleh beberapa intelektual muda di Yogyakarta) yang berupa serpihan-serpihan yang kurang memberikan gambaran utuh tentang keragaman varian cultural studies (baik sebagai pengetahuan diskursif maupun sebagai metode yang eklektis atau sebagai diskurus kultural maupun politik).
Karena itu, hadirnya buku terjemahan karya Chris Barker—professor kajian budaya dan komunikasi di University of Wollongeng, Australia—Cultural Studies: Teori dan Praktik—diharapkan bisa mengisi kekosongan itu. Chris Barker menghamparkan ragam persoalan kajian budaya dan mendedah masalah-masalah yang berkaitan dengan representasi media, wacana, praktik pemaknaan, artikulasi, pembacaan, heteroginitas, pluralitas, dan sejenisnya.
Berbagai isu kebudayaan, seperti kritik sastra, estetika dan runtuhnya batas-batas kebudayaan, formasi sosial, ideologi, hingga metodologi, tak luput dibincangkan. Istilah-istilah kunci ini merupakan kerangka dasar untuk menyelami substansi yang dihadirkan, baik kajian budaya sebagai das sein maupun das sollen.
Pengarang buku ini memasukkan cukup banyak teoritikus yang selama ini bahkan tidak pernah menyatakan diri berkarya dalam wilayah cultural studies, seperti Tony Bennet, Paul Gilroy, Lawrence Grossberg, Stuart Hall, Meaghan Morris, dan Paul Willis. Meski demikian menurut Chris Barker, mungkin mereka akan setuju jika karya-karya mereka disebut sebagai cultural studies, seperti halnya karya-karya Michel Foucault, Jagues Derrida, Roland Barthes, Edward Said, Homi Bhabha, Gayatri Spivak, hingga Raymond Williams, tidak akan menyebut karya mereka dengan istilah cultural studies.
Chris Barker menampik temuan para etnolog yang mereduksi budaya hanya sekedar entitas tunggal yang stagnan dan kaku. Ia juga membongkar kelemahan-kelemahan kajian budaya dari generasi pendahulunya yang masih terjebak dalam lipatan kolonial penjajah untuk memproduksi pengetahuan tentang “the native” (orang lokal/asli) agar lebih memahami sekaligus mampu mengontrolnya. Ia juga membeberkan berbagai fenomena relasi kebudayaan, modal, dan kekuasaan dengan memberikan penekanan pada suatu versi pendekatan pascastrukturalis, khususnya pada cultural studies yang menempatkan bahasa sebagai pusat wacana.
Sebagaimana watak kajian pascastrukturalis, budaya diproduksi untuk mencapai apa yang biasa disebut dengan kenikmatan bahasa ((jousance de langue). Bahasa ditempatkan dalam medan wacana dan permukiman bagi kemanusian (the house of being) sebagai jawaban terhadap krisis kultural.
Dalam cultural studies, bahasa tidak melulu sebagai alat komunikasi--dalam arti alat mengirim pesan, maksud, atau ide--seperti dalam pengetahuan budaya konvensional. Kajian budaya sebagai suatu permainan bahasa menunjukkan bahwa ada perbedaan antara kajian tentang kebudayaan (the study of culture) dengan kajian budaya (cultural studies) sebagai sebuah formasi diskursif (sekumpulan atau formasi gagasan), citra, bentuk atau gestur. Dengan menekankan permainan bahasa, seperti budaya plesetan (yang di Indonesia bisa ditemukan dalam permainan Dagadu ala Yogyakarta) dan selera humor (sense of humor), cultural studies adalah kritik diskursif sekaligus wacana subversif.
Sementara teoritikus strukturalisme seperti Perdinan De Saussure belum mampu ke luar dari dikotomi dan sistem perbedaan yang terstruktur dalam bahasa, Chris Barker sudah jauh meninggalkan dualitas kajian budaya. Bila Saussure menganggap bahasa terpisah antara aturan atau konvensi-konvensi yang mengatur bahasa (langue) dan ujaran-ujaran yang dipakai sehari-hari (parole), Chris mempertautkan keduanya. Bila Saussure, dan kaum strukturalisme pada umumnya, lebih tertarik pada struktur-struktur bahasa daripada pemakaian aktualnya (h. 90), kaum pascatrukturalisme melihat bahasa sebagai diakronis dan sinkronis atau parole dan langue sebagai entitas yang tak terpisah.
Teoritikus cultural studies menekankan kajian bahasa bukan sebagai medium yang netral tempat dibentuknya makna dan pengetahuan objektif dan indevenden yang ada di luar bahasa. Proses produksi makna bahasa inilah yang oleh Chris dinamakan sebagai praktik-praktik pemaknaan (signifying practices) yang diproduksi secara simbolik dan metaforis. Dengan merujuk beragam sistem pemaknaan dari para empu cultural studies di atas, Chris Barker mendialogkan kembali elemen-elemen linguistik, seperti signifier dan signified (Saussure), myth today dan ideology (Barthes), tektualitas dan intertektualitas, sign, difference (Derrida), disciplinary, surveillance, power/knowledge (Foucault), the speaking subject (Spivak).
. Cultural studies menawarkan berbagai persepektif budaya melalui pendekatan dekontrukstif dengan pembongkaran makna melalui tafsir hermeneutis, memberi ruang pada pluralitas-lokalitas, sampai pada membedah politik representasi, media massa dan budaya konsumtivisme. Tapi menurut Chris, cultural studies bukan sekedar wacana tentang pluralisme dan berhenti pada tataran abstraksi dan steril dari persoalan-persoalan kemanusian, melainkan mengusung suara-suara mereka yang terbungkam, terpinggirkan, tak tersuarakan (the subaltern), baik dari segi kelas sosial, ras, maupun gender, untuk ditransformasikan ke dalam politik emansipatoris.
Namun kritik yang sering dialamatkan pada cultural studies di Indonesia biasanya pada kecenderungannya yang masih belum bisa keluar sepenuhnya dari relasi kekuasaan yang melilitnya, apalagi untuk mengangkat suara-suara “yang lain” yang terbungkam. Bila mengacu pada Pierre Bourdieu, kekuasaan bekerja bukan hanya lewat kelas dalam arti hubungan yang tidak adil dengan means of production di dunia ekonomi, tetapi lewat produksi modal simbolis, habitus orang, praktik-praktik yang terbadankan yang kadang mengandung trace of structural violence atau jejak kekerasan struktural yang melekat dalam hubungan sosial sehari-hari.
Dalam kerjanya, cultural studies berbeda dengan antropologi. Sebagai praktik intelektual, cultural studies bahkan membedakan dirinya dengan arus "pemikiran utama", seperti kritik sastra, sejarah seni, atau antropologi melalui fokus terhadap teks yang diciptakan oleh kelompok pinggiran, minoritas, juga tentang komik, seni rakyat, plesetan, media alternatif, dan bentuk-bentuk ekspresi tandingan yang ada di luar jalur hegemonik. Cultural studies mencoba memberi suara pada perlawanan sehari-hari "kaum (di) subordinat (kan)" terhadap diskursus dominan. Namun, usaha ini belum juga mampu keluar dari hubungan kekuasaan yang melilit cultural studies di Indonesia untuk mengangkat suara mereka yang terpasung.

2. Pendidikan sebagai Totalitas Kultural

Melihat kenyataan dunia pendidikan saat ini, terutama dari sisi seorang siswa atau mahasiswa, tampaknya ada sesuatu yang hilang, yakni kesadaran akan penghayatan pendidikan sebagai proses bagi pembentukan kepribadian manusia. Penghayatan yang beradasarkan kesadaran bahwa yang disebut pendidikan adalah bagian dari totalitas kultur; totalitas antara guru dan orang tua, totalitas antara guru dan siswa, antara guru, siswa, orang tua, dengan masyarakat. Kesadaran yang begini akan memberikan implikasi lain kepada mitos pendidikan yang ada saat ini; bahwa guru dan pendidikan seakan menjadi segala-galanya.
Bila kita perhatikan, setiap kali para pakar pendidikan membicarakan persoalan pendidikan, setiap kali pula sering terlihat berputar-putar pada persoalan ketidakmampuan sistem pendidikan kita menghasilkan tamatan yang siap pakai di masyarakat. Kita sering mendengar para pakar pendidikan dan orang tua siswa mengeluh ketika melihat siswa tamatan sekolah menengah maupun mahasiswa tamatan perguruan tinggi seringkali terlihat kikuk dan tidak terampil pada waktu mereka mulai bekerja dan terjun di masyarakat.
Keluhan atau tanggapan yang nyaris seusia dunia pendidikan itu sendiri mungkin benar bila sekolah-sekolah atau perguruan tinggi melulu kita bayangkan sebagai dunia yang mengajarkan berbagai ketrampilan teknis dan praktis; dan masyarakat juga kita bayangkan sebagai sebuah mesin pabrik besar yang selalu lapar dan membutuhkan sekrup, roda, rantai, engkol, minyak pelumas, yang semua itu bekerja untuk menggerakkan lembaga pendidikan.
Dalam kenyataannya, sebuah sekolah atau perguruan tinggi tidak semata-mata mengajarkan berbagai ketrampilan teknis dan praktis. Bahkan keterampilan teknis dan praktis yang akan membentuk manusia-manusia siap pakai itu sendiri ternyata juga menciptakan manusia yang jadi pelayan Mesin yang hanya pandai mendaur-ulang tanpa mengetahui mengapa sesuatu benda itu bisa di daur-ulang. Alih-alih melahirkan manusia yang akan menjadi warga masyarakat, dunia pendidikan yang sekadar mengejar keterampilan teknis dan agar bisa masuk ke dunia industri itu, justru melahirkan manusia robot.
Demikian pula tuntutan terhadap dunia pendidikan yang seringkali terlalu berlebihan hingga mendekati mitos pendidikan yang melulu menekankan peran guru dan lembaga sekolah sebagai manusia dan lembaga yang tahu segala-galanya. Begitu berlebihan hingga seorang guru—yang digugu dan ditiru itu—mendapat tempat terhormat yang tidak dapat diganggu gugat kekuasannya, terutama sebagai pemegang dan penguasa ilmu pengetahuan.
Begitu percaya kita pada mitos guru yang berkuasa segala-galanya di sekolah itu, hingga orang tua kita menyerahkan sepenuh-penuhnya untuk membentuk kesempurnaan kita. Karena guru dibayangkan manusia sempurna, maka hasil pendidikan kita pun kita bayangkan—bahkan kita tuntut—sempurna juga.
Jarang sekali kita menempatkan seorang guru sebagai perantara atau jaringan yang hanya berperan menyampikan informasi ilmu pengetahuan. Guru bukan dewa ilmu pengetahuan yang maha kuasa di kelas dan karena itu semua perilaku dan pengetahuan yang disampaikannya layak ditiru mentah-mentah.
Mitos sekolah juga kerapkali kita bayangkan sebagai pabrik besar yang memproduksi apa saja yang masuk. Maka sekolah adalah sebuah pabrik kepintaran yang dibayangkan sempurna. Lima sampai tujuh jam seorang siswa duduk di sekolah dengan harapan bahwa mereka akan diproses oleh pabrik itu menjadi suatu produk pintar yang bisa terjun sempurna di masyarakat.
Seorang siswa atau mahasiswa yang akan mampu memahami berbagai keterkaitan dan berbagai kemungkinan perubahan dan perkembangan dalam masyarakat tidak lahir dari sistem pendidikan terampil dan teknis atau dari mitos kebesaran guru dan sekolah.
Bila kita menerima dasar pandangan yang melihat pendidikan sebagai bagian dari totalitas kultural—bahkan kehidupan—kita tahu bahwa mitos yang ada tentang guru dan sekolah seperti dikemukakan di atas adalah mitos yang tidak hanya meleset, tetapi lebih-lebih juga tidak fair dan berlebihan dalam menempatkan guru dan sekolah. Dan mitos semacam itu kenyataannya sudah tidak relevan lagi karena dinamika masyarakat dan sekolah sudah jauh berubah.

B. Multikultural(isme)

Multikulturalisme merupakan wacana bagi para akademisi maupun praktisi dalam berbagai bidang kehidupan di Indonesia dewasa ini. Berbagai seminar telah diadakan untuk membahas masalah multikulturalisme. Di berbagai negara yang mempunyai keragaman etnik dan budaya, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Indonesia, masalah multikulturalisme merupakan kenyataan sosial yang mau tak mau mesti dihadapi.
Pendidikan multikultural di Indonesia, secara teoritis mungkin masih baru. Namun jika kita menyimak falsafah negara dan semboyan negara kita, pancasila dan bhineka tungal ika, maka multikulturalisme telah tumbuh sejak lama di Indonesia. Multikulturalisme di Indonesia bukan sesuatu yang abstrak, tapi pengembangan suatu praksis dari pola tingkah laku yang telah terwujud melalui pendidikan.
Para pendiri republik ini menyadari betul realitas kemajemukan Indonesia, sehingga dasar-dasar bernegara pun menunjukkan semangat merangkul keragaman tanpa meleburnya menjadi keseragaman. Semboyan bangsa kita begitu tegas. Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan yang siap menyongsong keharmonisan hidup berdampingan dalam bingkai perbedaan.
Tapi dalam kenyataan sehari-hari, semboyan yang tegas dan menawarkan cara hidup damai dalam nikmat perbedaan itu, ternyata masih jauh dari ideal. Begitu mudah bangsa kita marah. Begitu mudah kita terpancing untuk berkelahi hanya karena suku kita berbeda.
Apakah multikulturalisme memang bisa memberikan harapan di tengah perbedaan global saat ini? Menyimak kajian tentang multikulturalisme selama ini, tampak tak memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan kehidupan umat beragama. Basis berteologi dengan acuan pada nilai-nilai kultural lokal yang dibingkai semangat multikultural itu tampaknya tidak relevan dan hanya berpotensi mengaburkan analisis relasi kuasa yang ada. Kehendak untuk membangun struktur-struktur lokal dalam bingkai pluralitas dalam masyarakat multikultural secara tidak langsung, ternyata melanjutkan praktek-praktek lama yang tidak membumi.
Mengingat ketergantungan pada relasi kuasa begitu penting, maka tak mengherankan jika klaim wacana teologi lokal dan teologi pribumi terdengar seperti tong kosong. Istilah lokalitas yang dilanjutkan dengan pemberdayaan dan partisipasi tak lebih dari sikap menyembunyikan implikasi politik yang menindas. Istilah itu pada gilirannya mengalami pengebirian, terutama ketika menghubungkan ‘kelokalan’ dengan liberalisme ekonomi. Akibat dari praksis wacana teologi semacam itu, ia tetap membiarkan berlangsungnya oligarki dan kediktatoran dengan nama berbeda.
Tawaran untuk mengembalikan nilai teologi yang arif pada persoalan lokal terdengar sangat ‘menggoda’ sekaligus menjanjikan. Imaji bahasanya sangat kuat dan menyentuh, dan klaimnya untuk pemberdayaan, demokratisasi, partisipasi meluncurkan energi dan meliberalkan masyarakat sipil—seperti bisa kita lihat dalam agenda-agenda pembangunan Bappenas dan Menkokesra pada pemerintahan SBY-- adalah hal-hal yang menciptakan mimpi dan ilusi. Penempelan nilai-nilai lokal dalam kebijakan pembangunan terkesan melingkar-lingkar, selalu kembali ke satu faktor tunggal, yakni liberalisasi ekonomi. Penggunaan istilah lokalitas dan partisipasi bisa dilihat sebagai ilustrasi ‘bujuk rayu pembangunan’ untuk mengeruk potensi kekayaan alam negeri ini. Dan ini sudah terbukti, privatisasi atas sejumlah BUMN-BUMD di beberapa daerah tak lain adalah bentuk penjajahan baru yang lebih canggih dan lentur.
Beberapa dekade lalu, intelektual kita disibukkan oleh kajian teologi pembebasan yang merupakan imbas dari gerakan teologi Kristen Amerika Latin. Namun, belakangan wacana itu meredub seiring dengan banyaknya tawaran ‘baru’ di ranah teologi. Dalam pengamatan sepintas, para intelektual kita ternyata tidak sungguh-sungguh memikirkan masalah-masalah yang ada sampai tuntas. Mereka mencangkuli satu lahan pertanian, lalu meninggalkannya untuk menggarap lahan lain, bahkan sebelum sempat menyebar benih. Akhirnya, mereka tak mampu berpikir mendalam, mengakar. Kebiasaan yang mereka pegang teguh adalah tidak pernah mendalami suatu gagasan sampai tuntas ke dasarnya, atau berpikir dengan ketat dan teliti. Jadilah para intelektual kita ini orang-orang yang berpikir instan, dangkal, superfisial dan impulsif.
Di sinilah bentuk kelatahan bermula, dari sikap berpikir yang instan dan pragmatis. Apa yang mereka anggap sebagai sesuatu yang ‘baru’ langsung ditangkap, dan yang lama kemudian ditinggalkan. Teologi pembebasan yang sempat diwacana-publikan di Indonesia akhirnya layu sebelum berkembang dan nyaris tak dapat tempat di tengah-tengah kesibukan mengadopsi wacana baru. Pesona metode dekonstruktif dan hermeneutis, pluralisme dan multikulturalisme, belakangan ini, adalah hal-hal yang bagi mereka akan menciptakan mimpi.
Teologi yang baru itu justru akan memunculkan sebuah bahaya baru: ‘kalau di dunia Barat metode ini sering dikritik sebagai ilmu yang terpukau berat dengan kebudayaan lain yang eksotik, di Indonesia keterpukauan terbalik, memberi pemujaan yang berlebihan pada teoretikus impor pascakolonial sebagai ikon. Nama-nama empu kritikus keren seperti Baudrillard, Habermas, Foucault atau Derrida masuk dalam sebuah dunia ekonomi budaya pop, layaknya kegandrungan remaja ABG yang ngefans berat dengan grup rok alternatif yang menjadi idola mereka’.
Begitu juga dengan gaung multikulturalisme yang dilahap mentah-mentah oleh para intelektual Indonesia. Mereka menganggap multikulturalisme sebagai wacana alternatif untuk merayakan pluralitas pemikiran dan keyakinan, yang berbeda dengan gagasan-gagasan pluralisme sebelumnya. Orang seperti Moeslim Abdurrahman begitu gelisah dengan maraknya wacana multikulturalisme di Indonesia. Apakah artikulasi perbedaan yang diwacanakan multikulturalisme memang lebih penting ketimbang pembebasan?
Tatkala kita temukan orang yang lapar secara masif, orang kehilangan pekerjaan yang menambah alienasi sosial yang semakin banyak, apakah mungkin bisa kita pahami dari perspektif hubungan antaragama, atau dari segi perspektif multikulturalisme yang alami? Bagaimana menumbuhkan kesadaran kritis, lebih dari sekedar kesadaran agama yang menghidupkan sikap keterbukaan yang romantis tanpa peka terhadap mata-rantai kekuasaan yang eksploitatif?
Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali teologi sebagai ilmu pembebasan di Indonesia. Sebuah teologi yang radikal dalam menentang segala bentuk patologi sosial dan ketidakadilan. Yang menjadi persoalan sekarang adalah, bagaimana teologi ini seharusnya memosisikan diri dalam menyikapi ketidakadilan dan penindasan, sehingga tidak menjadi penindas baru? Inilah agenda yang harus dituntaskan oleh kita, para politikus dan intelektual di tanah air.
Jika belakangan studi tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural di Indonesia tampak semarak di permukaan, dan sepintas memberikan alternatif di tengah kebuntuan sejumlah pendekatan dalam studi agama, hal ini tidak terlepas dari kejadian-kejadian yang mencoba menyelewengkan semangat bhineka tunggal ika dan pancasila.
Munculnya multikulturalisme tak terlepas dengan pergeseran isu global yang semakin plural. Peristiwa 11 September yang tak hanya melukai perasaan orang Amerika, tapi juga dunia, acapkali dijadikan titik berangkat untuk merumuskan perdamaian global. Sejumlah riset dilakukan terkait relasi Islam dengan fundamentalisme. Belakangan yang gencar adalah hubungan Islam dengan terorisme internasional.
Dari sejumlah definisi tentang multikulturalisme, ada kesan yang kabur dan tampaknya lebih baik tak usah didefinisikan. Mencari batasan yang bisa memuaskan semua pihak adalah hal yang tak mungkin. Kalau pun ini diperlukan, sungguh terkesan tak tahu malu. Barangkali yang kini diperlukan bukan definisi, tapi penjelasan secara lebih terinci dengan contoh-contoh yang lebih dekat ke akar persoalan.
Ada dua kata kunci yang terkandung dalam istilah pendidikan multikultural, yaitu pendidikan dan multikultural. Kedua kata ini mencakup pembahasan yang sangat luas. Walaupun kata pendidikan sudah sangat akrab dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sekarang ini, tetapi hakikat atau maknanya masih menimbulkan perdebatan. Keragaman pemaknaan pendidikan tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat umum, tetapi juga terjadi di kalangan ahli pendidikan. Masing-masing ahli memiliki definisi pendidikan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Menurut Darmaningtyas, pendidikan merupakan hak setiap manusia di dunia. Di Idonesia hak tersebut dicantumkan dalam UUD 1945 Pasal 31 yang berbunyi pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara. Pendidikan diperlukan manusia agar secara fungsional manusia diharapkan mampu memiliki kecerdasan (intelligence, spiritual, emotional) untuk menjalani kehidupannya dengan bertanggungjawab, baik secara pribadi, sosial, maupun profesional.
Di samping itu, pendidikan yang berwawasan masa depan adalah pendidikan yang dilakukan dengan sadar dan sistematis untuk mencapai tarap hidup atau kemajuan yang lebih baik. Koentjaraningrat mendefinisikan pendidikan sebagai usaha untuk mengalihkan adat-istiadat dan seluruh kebudayaan dari generasi lama ke generasi baru.
Menurut Andrias Harefa, yang mengutip pendapat Nurcholish Madjid, pengertian pendidikan itu dinyatakan dalam kata-kata ”tarbiyah”, yang makna kebahasaannya ialah ”meningkatkan” atau ”membuat sesuatu lebih tinggi” atau lebih baik.
Sedangkan perspektif yang berbeda lagi diberikan oleh tokoh pendidikan pembebasan asal Brasil, Paulo Freire. Menurut Freire, pendidikan merupakan jalan menuju pembebasan yang akan membantu terbentuknya sikap-sikap kritis, mengangkat kesadaran naif rakyat yang telah menenggelamkannya dalam proses sejarah dan membuatnya mudah termakan irasionalitas.
Jika definisi pendidikan saja terdapat banyak perbedaan, terlebih lagi definisi pendidikan multikultural. Bahkan definisi pendidikan multikultural tidak lebih jelas dibandingkan dengan pencarian definisi pendidikan secara umum karena istilah pendidikan multikultural belum terlalu akrab digunakan.
Secara sederhana, pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya ditujukan kepada para siswa untuk memahami dan bersikap toleran terhadap keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur dan ras. Dengan kata lain, pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Sementara itu menurut M. Amin Abdullah, pendidikan multikultural secara garis besar adalah pendidikan yang berupaya untuk memahami perbedaan yang ada pada sesama umat manusia, serta bagaimana agar perbedaan itu diterima sebagai hal yang alamiah dan tidak menimbulkan tindakan diskriminatif, sebagai buah dari pola perilaku dan sikap hidup yang mencerminkan iri hati, dengki dan buruk sangka.
Menurut H.A.R. Tilaar, para pakar pendidikan mengidentifikasi tigas lapis diskursus yang berkaitan dalam pendidikan multikultural, yaitu:
1. Masalah kebudayaan. Dalam hal ini terkait masalah-masalah mengenai identitas budaya suatu kelompok masyarakat atau suku.
2. Kebiasaan-kebiasaan, tradisi, pola-pola kelakuan yang hidup di dalam suatu masyarakat.
3. Kegiatan atau kemajuan tertentu dari kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang merupakan identitas yang melekat pada kelompok tersebut.
Dalam sumber lain dikatakan bahwa pendidikan multikultural paling tidak dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu sebagai sebuah ide atau konsep, sebagai gerakan pembaruan pendidikan, dan sebagai sebuah proses. Pendidikan multikultural sebagai sebuah ide diartikan bahwa bagi semua siswa–dengan tanpa melihat gender, kelas sosial, etnik, ras, dan karakteristik budaya – harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah.
Dari definisi ini disadari bahwa realitas yang beragam yang ada dalam konteks sekolah dan masyarakat memerlukan perhatian dari guru, karena pertama, kondisi ini berimplikasi pada tuntutan agar siswa harus belajar berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang yang berlatar belakang budaya berbeda. Dalam konteks ini, pendidikan multikultural adalah suatu proses yang membantu individu mengembangkan cara menerima, mengevaluasi, dan masuk ke dalam sistem budaya yang berbeda dari yang mereka miliki.
Kedua, kondisi ini juga memerlukan pertimbangan dari orang-orang yang memiliki pengaruh yang kuat atas sekolah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Orang-orang ini mencakup seluruh unsur masyarakat yang mempengaruhi prioritas dan arah pendidikan di seluruh negara dan wilayah. Juga mencakup elemen sosial dan budaya yang mempengaruhi bagaimana guru mengajar dan apa yang mereka ajarkan; bagaimana siswa belajar dan apa yang mereka pelajari.
Berdasarkan sejumlah definisi tentang pendidikan multikultural di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi budaya yang ada pada suatu negara yang menekankan tuntutan persamaan hak bagi setiap siswa di sekolah. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap siswa yang berbeda kultur. Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial, dan agama.
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, misalnya, melihat pendidikan multikultural sebagai gagasan yang mencoba mengapresiasi perbedaan budaya dan keragaman kultural, dengan tujuan menjadikan keragaman tersebut sebagai bagian dari keniscayaan berbangsa dan bernegara yang herus mendapat perlindungan yang setara. Pendidikan multikultural merupakan sebuah ide, gagasan, yang mendapat perhatian pertama kali di Amerika dan negara-negara Eropa Barat dari kalangan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil.












BAB II
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

A. Sejarah Multikulturalisme

Pendidikan multikultural telah lahir sekitar 30 tahun yang silam, yaitu sesudah perang dunia II dengan lahirnya banyak negara dan berkembangnya prinsip-prinsip demokasi. Perbincangan mengenai multikulturalisme sudah terdengar sejak dekade 1960-an dan 1970-an, yang di Barat dikenal dengan nama Multicultural Based Education. Beberapa pakar pendidikan berusaha mendefinisikan apa itu pendidikan multikultural, namun definisi yang diberikan ternyata tidak memperjelas permasalahan, apalagi memberikan jalan keluar bagi kemelut yang dihadapi bangsa akibat kemajemukan.
Di Indonesia sendiri, sejak Kebangkitan Nasional telah menunjukkan upaya membangun masyarakat dan bangsa Indonesia berdasarkan kesetaraan multikultural. Falsafah negara Indonesia adalah bukti bahwa bangsa Indonesia telah menunjukkan ke arah pendidikan multikultural. Pandangan multikulturalisme juga tergambar dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Lambang negara Bhineka Tunggal Ika juga menunjukkan ke arah multikulturalisme.
Belajar dari kegagalan politik penguasa dalam mengelola masyarakat multikultural, paradigma etis pendidikan multikultural sudah saatnya menjadi sumber kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan multikultural adalah sebentuk perspektif edukatif yang menekankan penghargaan terhadap keragaman. Suatu assessmen teologis mengenai agama lain, kultur lain, dan etnik lain, dan penempatannya secara layak dalam wilayah tatanan publik yang beragam dalam bingkai kesatuan.
Gagasan multikultural bukan hanya merupakan suatu yang abstrak tapi pengembangan suatu pola tingkah laku yang hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan. Selain itu, multikulturalisme tidak akan berhenti pada pengakuan akan identitas suatu kelompok masyarakat atau suatu suku tetapi juga ditujukan kepada terwujudnya integrasi nasional melalui budaya yang beranekaragam.
Kemudian, seiring dengan desakan untuk melakukan dialog antarbudaya dan antaragama, lahirlah konsep pendidikan multikultural di Indonesia. Beberapa ahli pendidikan berusaha mengeksplorasi apa itu pendidikan multikultural di berbagai media massa, jurnal, buletin dan majalah sejak sepuluh tahun terakhir. Kini telah lahir buku-buku seputar kajian tentang pendidikan multikultural di Indonesia.
Pendidikan multikultural lahir tidak terlepas dari semaraknya kajian mengenai pluralisme agama dan dialog antaragama di Indonesia beberapa tahun sebelumnya. Di lapangan teologi dan filsafat, lahir teologi multikultural, filsafat multikultural, Islam inklusif, Islam pluralis, Islam peradaban. Sementara di lapangan pendidikan lahir pendidikan multikultural.
Pluralitas dan multikulturalitas menekankan semangat perjumpaan, pertemuan antar beragam budaya. Dialog bukan pertentangan, melainkan saling berbagi dan mengisi. Dialog membawa pada pandangan dunia keagamaan dan kultural yang tidak parsial atau ideologi sipil yang tidak diskriminatif.
Sekali lagi, dialog antarbudaya adalah jiwa universal yang melampaui pertempuran agama-agama, konfrontasi pandangan ilmiah dengan kehidupan agama dan spiritual, alienasi dunia etnik yang destruktif, fragmentasi dan disintegrasi kehidupan batin individu, frustrasi kebudayaan-kebudayaan sekuler. Ini dalam upaya membuka ruang dan waktu publik di mana pluralitas pandangan dunia, perspektif, dan ideologi dapat maju bersama-sama dengan spirit perdamaian, rekonsiliasi, pengampunan, nirkekerasan dan berkeadaban.
Kemajemukan umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan sejak lama. Manusia pada dasarnya diciptakan berbangsa-bangsa, bersuku-suku, beragam kultur, bahasa, warna kulit, agar satu sama lain saling mengenal dan menghargai. Perbedaan antara manusia dalam bahasa, budaya dan warna kulit mesti diterima sebagai kenyataan yang positif, yang merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah.
Kemajemukan sosial-budaya akan tetap merupakan gejala menonjol amat penting yang harus selalu diperhitungkan. Kondisi sosial dan budaya yang majemuk selalu memerlukan adanya sebuah titik temu dalam nilai kesamaan dari semua kelompok yang ada. Salah satu titik temu dalam nilai kesamaan dari kelompok budaya yang berbeda-beda adalah melalui pendidikan multikultural.
Dalam konteks ini, spirit untuk memikirkan suatu konsep pendidikan yang mengayomi keragaman dan menekankan kesetaraan, keadilan dan persamaan kemanusian dianggap mendesak. Maka lahirlah konsep pendidikan multikultural di Barat.
Pendidikan multikultural, karena itu, lahir berdasarkan kebutuhan masyarakat global yang semakin majemuk dan hidup dalam bingkai kemajemukan yang tidak jarang mengalami gesekan, benturan atau konflik antarbudaya. Pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang inter-kulturalisme setelah Perang Dunia II.
Kemunculan gagasan dan kesadaran interkulturalisme itu, selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat peningkatan migrasi dari negara-negara yang baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Pada awalnya pendidikan multikultural dipandang dalam perspektif sebagai suatu proses yang masih terus berjalan. Namun proses itu ditandai oleh upaya berikut:
(a) mengenal realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami individu yang secara kultural berbeda dan dalam interaksi manusia yang kompleks
(b) cerminan pentingnya memperhatikan budaya, ras, perbedaan seks dan gender, etnis, agama, status sosial, dan ekonomi dalam proses pendidikan.
Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut sistem demokrasi Amerika Serikat, Kanada, Indonesia, dan lain-lain, bukan hal baru lagi. Ketiga bangsa ini telah melaksanakannya secara praksis, khususnya dalam dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial, deskriminasi karena berbeda bahasa, warna kulit dan budaya dengan integritas nasional.
Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman kultural, etnik dan bahasa suatu bangsa. Di Indonesia, sebagai contoh, muncul serangkaian konsep tentang pendidikan Islam yang toleran dan pluralis, mulai dari gagasan Islam Islam inklusif sampai dengan gagasan Islam Pluralis yang merupakan cikal-bakal lahirnya konsep pendidikan Islam multikultural.
Paham multikulturalisme, secara etimologis, digunakan secara semarak pada tahun 1950-an, yang mula-mula di negara Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah "multiculturalism" merupakan deviasi dari kata "multicultural". Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat "multicultural dan multi-lingual".
Di berbagai negara, penggunaan istilah pendidikan multikultural sering dikaitkan dengan pendidikan pluralis, pendidikan inklusif, yang secara historis kelahirannya hampir bersamaan dengan isu Islam inklusif dan Islam pluralis Di Indonesia, Ngainun Naim dan Achmad Sauqi menggunakan istilah pendidikan pluralis-multikultural. Sementara M. Ainul Yaqin dan Zakiyuddin Baidhawy menggunakan istilah pendidikan berwawasan multikultural.
Pendidikan multikultural lahir sebagai tanggapan terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok suku, agama dan bahasa. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa. Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Banks menjelaskan dari sisi yang lain, bahwa sejarah pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan dan tidak terpisahkan:
1. Content integration: mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
2. The Knowledge Construction Process: membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).
3. An Equity Paedagogy: Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.
4. Prejudice Reduction: Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
5. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu;
1. Peserta didik dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.
2. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.
3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda.
4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.
Menurut H.A.R. Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai perang dunia kedua. Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mengenai fokus pendidikan multikultural, H.A.R. Tilaar mengungkapkan bahwa di dalam program pendidikan multikultural, fokusnya tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau yang dominan. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti perbedaan budaya serta pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.

B. Tujuan Pendidikan Multikultural
Sementara itu, tujuan pendidikan multikultural dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu tujuan yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan pembelajaran. Tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan aspek sikap adalah untuk mengembangkan kesadaran dan kepekaan kultural, toleransi kultural, penghargaan terhadap identitas kultural, sikap responsif terhadap budaya, keterampilan untuk menghindari dan meresolusi konflik. Tujuan pendidikan multikultural adalah memperoleh pengetahuan tentang bahasa dan budaya orang lain, dan kemampuan untuk menganalisis dan menerjemahkan perilaku kultural dan kesadaran berdasarkan perspektif kultural. Sedangkan tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan pembelajaran adalah untuk memperbaiki prasangka etnis, stereotip (prasangka gender atau jenis kelamin), dan kesalahpahaman tentang kelompok suku, agama, dalam buku teks dan media pembelajaran. Dengan kata lain, memberikan berbagai strategi untuk mengarahkan perbedaan di depan orang, memberikan alat-alat konseptual untuk komunikasi antar budaya; mengembangkan keterampilan interpersonal; memberikan teknik-teknik evaluasi; membantu klarifikasi nilai; dan menjelaskan dinamika kultural.
Dilihat dari prinsip pendidikan multikulturalisme, yaitu untuk mengurangi praktik driskriminasi di tempat-tempat publik, di rumah, di tempat-tempat kerja, dan di lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah, perguruan tinggi, maka tujuan ini begitu mendalam.
Munculnya gagasan pendidikan multikultural di Indonesia terkait keberadaan masyarakat dengan individu-individu yang beragam latar belakang bahasa dan kebangsaan, suku, agama, gender, dan kelas sosial. Keragaman latar belakang individu dalam masyarakat Indonesia memiliki dampak pada keragaman latar belakang peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan.
Peserta didik di berbagai lembaga pendidikan diasumsikan juga terdiri dari peserta didik yang memiliki beragam latar belakang bahasa, etnik, dan budaya. Asumsi ini dibangun berdasarkan pada data bahwa di Indonesia terdapat tidak kurang 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa lokal, 13.000 pulau, dan 5 agama resmi. Paling tidak keragaman latar belakang siswa di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia terdapat pada paham keagamaan, afiliasi politik, tingkat sosial ekonomi, adat istiadat, jenis kelamin, dan asal daerahnya (perkotaan atau perdesaan).
Di Indonesia, pendidikan multikultural bukan hal yang baru. Indonesia yang mayoritas Menganut Islam, merupakan kenyataan yang sulit diingkari bahwa bangsa kita terdiri dari sejumlah besar kelompok etnis, budaya, bahasa, agama, suku, dan lain-lain, sehingga Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Tetapi pada pihak lain, realitas multikultural tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekontruksi kembali kebudayaan nasional Indonesia yang dapat menjadi integrating force yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Prinsip Indonesia sebagai negara bhinneka tunggal ika mencerminkan semangat multikultural yang bhineka, tapi kebhinekaan itu tetap terintegrasi dalam keikaan, kesatuan. Oleh karena itu, agar tidak terkesan serampangan, sudah saatnya para pakar merancang agenda pendidikan multikultural secara lebih mendalam, programatis, terintegrasi, berkesinambungan, dan bahkan perlu percepatan (akselerasi). Salah satu strategi penting dalam mengakselerasikan pendidikan multikultural itu, adalah menyelenggarakan segera melalui seluruh lembaga pendidikan, baik formal maupun informal.
Pendidikan multikultural bisa ditarik lebih jauh dengan menghubungkan landasan normatif Islam, terutama bagaimana Tuhan menciptakan manusia yang beragam, berpasang-pasangan, berbeda bahasa dan warna kulit, agama, suku dan budaya, dengan maksud tentu agar manusia mengetahui dan hidup berdampingan.
Dalam al Qur’an terdapat pengakuan atas hak yang dewasa ini sudah diakui sebagai hak asasi, yakni hak kultural atau hak budaya. Namun menekankan landasan normatif Islam tentang perbedaan, sebagaimana menekankan bagaimana al-Qur’an memandang perbedaan, tidaklah mudah. Tiap orang punya kepentingan sendiri untuk menafsirkan al-Qur’an yang berhubungan dengan perbedaan. Si A bisa saja menganggap surat Ar-Rum menekankan kerukunan, toleransi, tapi si B atau si C justru menolaknya.
Memang, dalam salam surat Ar-Rum terdapat kalimat ”di antara tanda-tanda kekuasaan Tuhan ialah, Ia menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasa dan warna kulit. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”. Tapi apakah ini berhubungan dengan sikap al-Qur’an terhadap perbedaan?
Dalam perspektif pendidikan Islam, secara normatif pendidikan multikultural dapat dikatakan bukan merupakan sesuatu yang sama sekali asing. Kita bisa menjejerkan ayat dalam al-Qur’an yang sudah dikenal luas yang menyangkut tentang Islam sebagai rahmat yang mencakup alam semesta beserta isinya. Dalam al-Qur’an Surat Al-Anbiyaa’: 107 ”Dan tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam”.
Cukup banyak ayat al-Qur’an yang menyinggung masalah perbedaan agama dan keharusan mengakui adanya perbedaan masing-masing agama. Pandangan Islam yang terkait dengan kebebasan menganut perbedaan agama didasarkan kepada al-Qur’an surat Al Kafiruun: Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.
Aspek normatif dapat dilihat pada ayat-ayat sebagai dasar umum hubungan antara agama yang berisi pujian atas ahli kitab yang bersifat jujur. Pendidikan multikultural berusaha mengembangkan pemahaman umat Islam dan apresiasi antaretnis dan antaragama yang dimulai dari latar belakang etnik dan agamanya sendiri dan baru kemudian diperluas kepada etnis dan agama lainnya. Melalui pendekatan proses diharapkan dapat membuat kelompok sosial yang berbeda latar belakang sosial dan kultural akan berusaha mengembangkan pemahaman dan rasa hormat terhadap keragaman budaya, memperkecil prasangka kesukuan, mengurangi klaim bahwa adat dan tradisinya yang paling benar dan yang lain salah, atau kurang benar, memperkecil prasangka buruk para peserta didik terhadap perbedaan budaya atau kultur.
Upaya para pendukung paham menghargai keragaman budaya dengan menampilkan ayat-ayat al Qur’an sebagai langkah legitimasi memang cukup berdasar. Namun, hal serupa juga bisa dilakukan oleh mereka yang menentang pendidikan multikultural. Masalah pengakuan dan penolakan ini terhitung masalah yang cukup menarik dikaji, karena menyangkut cara pandang seseorang dalam menafsirkan dan memahami ayat-ayat suci al Quran.
Pendidikan multikultural memiliki relevansi untuk masyarakat yang majemuk secara etnis, budaya, bahasa, agama, seperti Indonesia. Apalagi jika dikaitkan dengan kesimpulan Muhammad Wahyuni Nafis tentang pelajaran agama di lembaga-lembaga pendidikan formal kita, terkesan lebih banyak mengarah ke semangat misionaris dan dakwah yang menegaskan truth claim. Akibatnya, para pemeluk agama tergiring untuk mengatakan "hanya agama saya yang benar, yang lain kafir. Tidak aneh kemudian bila di sebuah SD di kawasan selatan Jakarta terjadi "tawuran" siswa antarpemeluk agama setelah mereka belajar agama di kelas.
Pendidikan multikultural sebagai konsep memiliki kelebihan pada tataran hubungan manusia yang harmonis, mencegah konflik etnik pada sebuah masyarakat yang berbudaya majemuk. Pendidikan multikultural tampaknya cukup efektif untuk meningkatkan kesadaran peserta didik terhadap persamaan derajat, sikap demokratis, toleransi dan rasionalitas antar budaya. Dengan rancangan kurikulum pendidikan multikultural yang baik, maka kekuatan purbasangka dan diskriminasi kultural dapat ditekan secara maksimal.
Paradigma pendidikan multikultural berkembang seiring dengan hak dan keunikan siswa individual yang belajar bersama dengan yang lain dalam suasana saling menghormati, toleransi, berpengertian, sesuai dengan taraf perkembangannya dan kebutuhan yang terkait. Azyumardi Azra mendukung gagasan pendidikan multikultural di Indonesia karena memang Indonesia negara multikultural, sebagaimana ditunjukkan dalam falsafah dan lambang negara Indonesia.
Pendidikan multikultural diharapkan dapat menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti atau politik pengakuan terhadap kebudayaan kelompok minoritas. Karena itu peran Departemen Pendidikan Nasional RI dalam mengadopsi pendidikan multikulturalisme, untuk dipikirkan bagaimana diberlakukan dalam pendidikan sekolah dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Apakah multikulturalisme sebaiknya masuk dalam kurikulum sekolah dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kulikuler atau menjadi bagian kurikulum sebagai mata pelajaran terpisah, berdiri sendiri (separated) atau sebaliknya terpadu atau terintegrasi.
Pada dasarnya semua institusi sosial baik itu orang tua, sekolah, organisasi keagamaan dan sebagainya, bertanggungj awab menjadikan anak-anak memahami multikultural, akan tetapi sekolah memegang peranan kunci. Oleh karena itu hanya melalui program pendidikan multikultural yang dikonsepsi dengan baik dan dilaksanakan secara kontinu dapat tercipta sebuah masyarakat yang paham terhadap keberagaman budaya, yang begitu dibutuhkan bagi masa kini dan masa depan bangsa Indonesia dan dunia.
Sekolah memiliki potensi untuk melakukannya, sekalipun sekolah tidak bisa menjamin teratasinya ketegangan dan konflik. Mengatasi ketegangan dan konflik bukanlah urusan sekolah. Pendidikan mengurus harapan, cita-cita, masa depan sebuah masyarakat dan individu yang terlibat didalamnya.
Selain menekankan pendidikan kesetaraan antargolongan dan antarkultur, dalam pendidikan multikultural ada prinsip-prinsip lain yang juga jadi bahan pertimbangan, yaitu kompetensi. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mempersiapkan para murid untuk menghadapi kehidupan. Karena itu pendidikan tidak hanya mempersiapkan para siswa untuk suatu profesi atau jabatan, tapi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam kehidupan, apapun masalah itu. Berdasarkan prinsip ini, para sisiwa harus dipersiapkan untuk menghadapi tiga tutujuan kehidupan: untuk dapat hidup, untuk mengembangkan kehidupan yang bermakna, dan untuk turut memuliakan kehidupan.
Multikulturalisme, kata Chris Barker, memiliki strategi yang menganggap semua kelompok etnis memiliki status yang setara, dengan hak untuk melestarikan warisan budayanya masing-masing. Multikulturalisme hendak merayakan perbedaan, yaitu dengan dimasukkannya pendidikan agama multi-keyakinan, penampilan ritual-ritual, sebagai bagian dari kebijakan pendidikan.
Lawrence A. Blum merumuskan nilai-nilai yang diperlukan bagi terciptanya sebuah masyarakat yang multikultural, yakni nilai-nilai antirasisme, multikulturalisme dan komunitas antarras. Blum merumuskan multikulturalisme sebagai sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah penghormatan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain dengan cara melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.
Pendidikan multikultural dimaksudkan untuk menghasilkan manusia cerdas dan menghargai perbedaan budaya, ras, suku, warna kulit, yang dalam konteks Indonesia sekarang, menurut H.A.R. Tilaar, harus memenuhi kualitas-kualitas tertentu dengan berbagai kompetensi.
Tujuan pendidikan multikultural secara subtantif tampaknya tidak jauh beda dari tujuan pendidikan dalam Islam yang dirumuskan oleh ISESCO (Islamic Scientific, Educational, Social and Cultural Organization). Menurut keterangan Langgulung, organisasi ini merumuskan tujuan pendidikan bagi individu untuk membentuk insan saleh yang memiliki akhlak mulia yang di antaranya meliputi: harga diri, pri-kemanusiaan, kesucian, kasih sayang, kecintaan, kekuatan jasmani dan rohani, menguasai diri, dinamis, tanggung jawab, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang munkar, jujur, ikhlas, memiliki rasa keindahan dan keseimbangan hidup.
Di samping untuk merespon tuntutan masyarakat demokratis, pendidikan multikultural juga ditujukan untuk merespon globalisasi. Globalisasi adalah pengempaan dunia menjadi satu ruang dan intensifikasi kesadaran tentang dunia sebagai satu kesatuan. Dengan begitu maka globalisasi itu melahirkan kultur global yang meliputi dunia pada level internasional.
Dalam merespon globalisasi itu perlu disadari bahwa ia bukan proses yang bersifat satu arah. Globalisasi adalah proses yang bersifat dua arah, sehingga juga berarti lokalisasi, dalam pengertian melokalnya hal-hal yang datang dari luar. Karena itu, menurut Peter J. Nas, globalisasi mempunyai tiga perspektif, global, nasional dan lokal. Untuk dapat meresponnya dengan tepat, lanjutnya, globalisasi terkait dengan hakikat dan makna sains, teknologi dan seni-budaya sebagai reaksi dan elaborasi terhadap dua gejala sosiologis yang sedang terjadi sekarang ini, yakni berkembangnya sistem dunia dan modernisasi.
Dalam menghadapi kenyataan globalisasi yang kian nyata di hari ini, terdapat beragam pilihan. Di antaranya: membiarkan diri terseret oleh proses globalisasi, atau memanfaatkan globalisasi untuk pembangunan bangsa (umat) dan negara. Pilihan yang rasional tentunya adalah yang kedua. Apabila demikian maka setiap orang mesti siap menjadi bagian dari masyarakat dunia dan memasuki sistem dunia dengan sadar dan ikhlas. Disamping itu juga harus didefinisikan dengan jelas jenis modernitas yang kita pilih dan akan kita jalani.
Pilihan rasional itu di antaranya dapat dilaksanakan dengan pendidikan multikultural untuk memberi respon terhadap globalisasi, baik yang menjangkau wilayah politik, ekonomi maupun budaya. Sekedar sebagai contoh dapat disebutkan bahwa globalisasi politik yang merongrong konsep negara bangsa dapat direspon dengan pendidikan nasionalisme baru; dan globalisasi budaya pop yang disebarluaskan melalui teknologi informasi, dapat direspon dengan pendidikan keberagamaan baru dan pure culture untuk menghindari gaya hidup hedonistik.
Kemudian berhubungan dengan pilihan dalam menghadapi kenyataan globalisasi di atas perlu disebutkan bahwa ada kelompok dalam Islam yang mengambil pilihan ketiga, yakni menolak globalisasi. Pilihan ini jelas tidak mungkin untuk dilakukan dan kalau dipaksakan bisa dipastikan akan mengalami kegagalan. Hal itu karena globalisasi telah menghasilkan sistem dunia yang berlaku di semua kawasan sehingga dunia ini menjadi satu geogovernance, satu tata pemerintahan. Sistem dunia itu tidak memungkinkan sistem yang lain, betapapun kuat ideologinya, untuk berkembang. Inilah kenyataan yang ditunjukkan oleh runtuhnya komunisme Uni Soviet hampir satu setengah dekade yang lalu.
Pilihan kelompok itu disamping tidak strategis, juga didasarkan pada tradisi sebagai resistensi (perlawanan) terhadap keseragaman budaya. Pendidikan multikultural bertujuan untuk menjadi keragaman sebagai rahmat, keragaman sebagai keniscayaan sosial yang tidak bisa diingkari. Para penggagas pendidikan multikultural mengembangkan tradisi ideologi, sekarang populer disebut gerakan multikulturalisme, yang menekankan penafsiran kembali ideologi dominan seperti nasionalisme dan kebangsaan yang ramah, toleran, dan pengakuan keragaman.
Sementara itu M. Ainul Yaqin merumuskan tujuan pendidikan multikultural sebagai satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur dan ras. Dan yang terpenting, pendidikan multikultural tidak hanya bertujuan supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya di sekolah, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berperilaku humanis, pluralis dan demokratis.

C. Prinsip-prinsip Kunci Pendidikan Multikultural
Dalam pendidikan multikultural, terkandung prinsip keadilan sosial (social justice), demokrasi, dan hak asasi manusia. Pendidikan multikultural menekankan prinsip kesetaraan setiap orang di hadapan hukum. Pendidikan multikultural tidak membeda-bedakan siswa karena berbeda agama, suku, etnis, bahasa dan golongan. Pendidikan multikultural berprinsip anti-diskriminasi, anti-subordinasi, antikekerasan.
Menurut Hamim Ilyas, salah satu prinsip pendidikan multikultural secara umum yaitu prinsip yang didasarkan pada pedagogi kesetaraan (equity pedagogy) yang berpangkal pada kesetaraan martabat manusia (dignity of man).
Sementara menurut H.A.R. Tilaar, ada empat nilai inti (prinsip dasar) dari pendidikan multikultural, yaitu a) apresiatif terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat; b) pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia; c) pengembangan tanggungjawab masyarakat dunia; d) pengembangan tanggungjawab manusia terhadap planet bumi.
Para pakar pendidikan multikultural sebagian besar bersepakat bahwa prinsip pendidikan multikultural terletak pada semangat menjunjung nilai-nilai pluralitas, demokrasi, kesetaraan, keadilan dan penghargaan. Prinsip-prinsip itu berkembang lebih jauh hingga pada pengakuan akan hak asasi manusia, mengakui hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa dan kelompok bangsa untuk hidup berdasarkan kebudayaannya sendiri. Namun seiring dengan itu, mampu menghargai kebudayaan orang lain.
Dengan demikian maka pedagogi kesetaraan mengakui kesetaraan individu, antarindividu, antarbudaya, antarbangsa, antaragama dan antarentitas-entitas yang lain; dan tidak mengakui perbedaan-perbedaan arifisial yang telah dibuat oleh manusia dalam sejarah kehidupannya.
Bertitik tolak dari uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa prinsip-prinsip pendidikan multikultural adalah menganut prinsip universal, yaitu prinsip yang berlaku umum bagi semua manusia dan agama, seperti perdamaian, anti-kekerasan, persaudaraan, kerukunan dan menghargai perbedaan keyakinan, perbedaan warna kulit, bahasa, dan lain-lain. Semua manusia pada dasarnya sama, karena itu memiliki hak dan tanggungjawab yang juga sama. Apapun keyakinan dan etniknya.









BAB III
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A. Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam

Prinsip-prinsip pendidikan multikultural mencakup dimensi yang cukup luas, termasuk prinsip memberikan peluang sama pada seluruh anak bangsa tanpa membedakan perlakuan karena perbedaan etnik, budaya dan agama yang memberikan penghargaan terhadap keragaman, dan yang memberikan hak-hak yang sama bagi etnik minoritas dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan, identitas nasional dan citra bangsa di mata dunia internasional.
Selain itu, prinsip pendidikan multikultural menekankan proses pengembangan seluruh potensi manusia serta menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, dan aliran agama sebagai keniscayaan. Dengan demikian, prinsip pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan manusia yang setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari manapun dia datang dan berbuadaya apapun dia. Dengan demikian, pendidikan multikultural juga bisa dijadikan solusi (pemecahan atau jalan keluar) terhadap banyaknya konflik horizontal yang nyaris memecahkan bangsa Indonesia dewasa ini.
Dalam pendidikan multikultural terkait masalah-masalah yang juga menjadi pembicaraan dalam Islam, yaitu tentang keadilan sosial (social justice), demokrasi dan hak asasi manusia. Tidak mengherankan apabila pendidikan multikultural di Indonesia berkaitan dengan isu-isu politik, sosial, kultural, moral, edukasional dan agama.
H. A.R. Tilaar mengatakan bahwa para pakar pendidikan mengidentifikasikan tiga lapisan diskurusus yang berkaitan dengan prinsip pendidikan multikultural di Indonesia:
1. Masalah kebudayaan, hal ini berkait dengan masalah identitas budaya suatu kelompok masyarakat atau suku. Bagaimanakah hubungan antara kebudayaan dengan kekuasaan dalam masyarakat sehubungan dengan konsep kesetaraan di masyarakat. Apakah kelompok-kelompok dalam masyarakat mempunyai kedudukan dan hak yang sama dalam kesempatan mengekspresikan identitasnya di masyarakat luas.
2. Masalah kebiasaan-kebiasaan, tradisi; hal ini terkait dengan berbagai macam pola-pola kelakuan yang hidup di dalam suatu masyarakat.
3. Masalah kegiatan atau kemajuan tertentu (achievement) dari kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang mana hal itu merupakan suatu identitas yang melekat pada kelompok tersebut.
Biasanya dalam diskusi pendidikan multikultural di Indonesia para pakar hanya membatasi kepada lapisan yang pertama, yaitu masalah budaya dalam arti yang luas. Namun, dalam praksis pendidikan, pengertian masalah budaya saja belum cukup karena yang lebih penting ialah bagaimana praktik-praktik kebudayaan dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat setiap hari. Selanjutnya, apakah ada prestasi atau sifat-sifat tertentu dari suatu kelompok masyarakat yang menonjol yang sekiranya dapat dijadikan contoh dalam hidup bermasyarakat tanpa adanya prasangka-prasangka yang negatif.
Dari ketiga konsep pendidikan multikultural yang tersebut di atas menyangkut beberapa persoalan mendasar, yaitu:
1. Perlu adanya prinsip dan konsep yang jelas mengenai kebudayaan. Misalnya, apakah yang dimaksud dengan kebudayaan nasional?. Apakah kebudayaan nasional Indonesia merupakan campuran dari berbagai budaya suku yang ada dalam masyarakat Indonesia? Masalah ini telah muncul sejak polemik kebudayaan tahun 1935 dan mungkin permasalahannya akan terus-menerus menjadi wacana yang tidak pernah akan selesai;
2. Bagaimana prinsip dan peranan pendidikan dalam membentuk identitas budaya dan identitas bangsa Indonesia? Hal ini juga merupakan suatu wacana yang terus menerus akan muncul dalam proses pendidikan dan proses kehidupan bangsa Indonesia yang berbudaya;
3. Bagaimanakah hakikat pluralisme yang berarti pengakuan terhadap kelompok-kelompok minoritas di masyarakat? Hal ini memang merupakan hal yang ruwet yang tidak jarang dapat menimbulkan kontraksi dalam kehidupan masyarakat. Ketegangan-ketegangan horizontal yang terjadi akhir-akhir ini dalam masyarakat Indonesia merupakan suatu pergolakan dalam mencari jawaban terhadap hakikat pluralisme;
4. Bagaimana hak orang tua dalam menentukan pendidikan anaknya? Pertanyaan ini juga akan muncul dalam masyarakat yang pluralis yang tidak jarang menimbulkan pergesekan-pergesekan di masyarakat; dan
5. Nilai-nilai manakah yang akan dipertimbangkan (shared values) dalam masyarakat majemuk. Hal yang ini berkaitan dengan masalah yang pertama yaitu mengenai konsep kebudayaan.
Dari kelima permasalahan yang dikemukakan di atas menunjukan betapa rumit dan banyaknya masalah yang ditimbulkan dalam pendidikan multikultural di Indonesia. Masalah-masalah yang muncul dari pendidikan multikultural di Indonesia secara umum ada dua hal, yaitu: Pertama, pendidikan multikultural merupakan suatu proses. Artinya, konsep pendidikan multikultural yang baru dimulai dalam dunia pendidikan khususnya di Indonesia memerlukan proses perumusan, refleksi dan tindakan di lapangan sesuai dengan perkembangan konsep-konsep yang fundamental mengenai pendidikan dan hak-hak asasi manusia.
Kedua, pendidikan multikultural merupakan suatu yang multifaset. Oleh sebab itu meminta suatu pendekatan lintas disiplin (border crossing) dari para pakar dan praktisi pendidikan untuk semakin memperhalus dan mempertajam konsep pendidikan multikultural yang dibutuhkan oleh masyarakat yang dalam hal ini masyarakat Indonesia.
Konsep dasar dari pendidikan multikultural itu memiliki empat nilai inti yang disepakati, yaitu:
1. Apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat
2. Pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia
3. Pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia
4. Pengembangan tanggung jawab manusia dan terhadap planet bumi.
Berdasarkan nilai-nilai inti di atas, maka dapat dirumuskan enam tujuan yang berkaitan dengan nilai-nilai inti tersebut, yaitu: Pertama, mengembangkan perspektif sejarah yang beragam dari kelompok-kelompok masayrakat. Kedua, memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat. Ketiga, memperkuat kompetensi intelektual dan budaya-budaya yang hidup di masyarakat. Keempat, “membasmi” rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka. Kelima, mengembangkan kesadaran atas kepemilikkan planet bumi, dan Keenam, mengembangkan keterampilan aksi sosial.
Prinsip di atas merupakan suatu konsep dasar yang terintegrasi dan meliputi tujuan-tujuan yang sangat komprehensif. Oleh sebab itu, diperlukan penjabaran dari konsep tersebut di dalam berbagai jenis kegiatan, yaitu: Pertama, reformasi kurikulum, yaitu diperlukan suatu teori kurikulum baru yang sesuai dengan analisis histories yang termasuk di dalamnya analisis buku-buku pelajaran yang tidak sesuai dengan pluralisme budaya.
Kedua, mengajarkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Juga dalam hal ini diperluas aksi-aksi budaya atau aksi sosial untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan ras, baik di dalam budaya-budaya tingkat tinggi maupun di dalam budaya populer dengan melihat struktur demokrasi masyarakat.
Ketiga, mengembangkan kompetensi multikultural, yaitu pengembangann identitas etnis dan sub-etnis melalui kegiatan kebudayaan, demikian pula memberantas berbagai jenis prasangka yang buruk dan menjaukan nilai-nilai negatif dari suatu kelompok etnis.
Keempat, melaksanakan pedagogik kesetaraan yang dilaksanakan di sekolah dengan pengajaran yang tidak menyinggung perasaan atau tradisi dalam suatu kelompok tertentu. Demikian pula praktek-praktek dalam budaya sekolah yang tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki.
Reformasi pendidikan multikultural yang berkaitan dengan berbagai kegiatan seperti reformasi kurikulum, mengajarkan keadilan sosial, kompetensi multikultural, dan pedagogik kesetaraan sebagaimana yang telah diterangkan di atas.
Berdasarkan sejumlah prinsip pendidikan multikultural itu, dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip tersebut selaras dengan Islam. Dikatakan seleras karena agama Islam menekankan kesetaraan, kesamaan hak, persaudaraan, tidak diskriminatif, kemanusian, dan menghargai keragaman sebagai sebuah keniscayaan (sunnatullah).
Sementara itu, prinsip-prinsip pendidikan multikultural tersebut bila dilihat dari perspektif Islam, maka tidaklah bertentangan. Agama Islam menekankan hidup berdampingan dalam perbedaan dengan cara saling menghargai, menghormati dan toleransi. Pandangan Islam yang terkait dengan kebebasan menganut agama didasarkan kepada al-Qur’an surat al-Baqarah: 256: “Tidak ada paksaan untuk (menganut) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dengan jalan yang sesat”.
Selain itu, masih ada lagi ayat Al-Qur’an yang menekankan saling menghargai perbedaan kultural. Mengenai pengakuan al-Qur’an, tetera dalam surat al-Maidah ayat 69: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabiin, dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Kemudian surat al-Maidah ayat 82: “Sesungguhnya kami dapati orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman, ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka terdapat para pendeta dan para rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri”. .
Sementara itu, dalam surat Huud ayat 118-119, Allah juga menekankan makna perbedaan sebagai sunnatullah. Allah berfirman: “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi meeka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan, untuk itulah Allah menciptakan mereka”.
“Karena mereka berbeda maka Allah menciptakan mereka”, kata Muhammad Imarah. Dan ini disinyalir oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang artinya: “Para nabi adalah bersaudara, dari ibu-ibu yang berbeda. Agama mereka satu dan ibu mereka berbeda-beda”.
Dalam Hadits terdapat banyak tauladan Nabi Muhammad untuk umat Islam yang mampu menghargai keragaman. Khotimatul Husna mengarang buku berjudul 40 Hadits Shahih, Pedoman Membangun Toleransi. Dalam buku ini terdapat empat puluh sabda Nabi Muhammad s.a.w. terkait pendidikan multikultural, yaitu menghormati hak agama lain, menghormati agama lain, menghormati budaya, ras, suku, golongan.
Nabi mencontohkan bagaimana berprilaku dengan kaum non-Muslim dalam berperang, dan jelas di situ tidak ada perintah memusuhi, malah ditekankan untuk menghormati. Islam menghormati hak-hak non-Muslim. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Shahih al-Bukhari hadits nomor 2824: ”Diriwayatkan dari Musa Ibnu Ismail, dari Amir Ibnu Maimun, dari Amir, ia berwasiat tentang kafir dzimmi: ”Hendaknya ditunaikan kesepakatan perjanjian dengan mereka, tak memerangi mereka dari arah belakang, dan tidak juga membebani mareka di luar kemampuan mereka”.
Islam mengajarkan untuk tidak menganiayya musuh. Bahkan Islam mengajarkan untuk menghormati hak orang kafir dalam peperangan, dan tidak boleh dibantai secara keji. Dalam hadits lain, terdapat sabda Nabi untuk menghroamti perbedaan agama karena perbedaan agama adalah sunnatullah.
Sementara itu, Nabi Muhammad bersabda: “Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus radhiallahuanhu dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik (ihsan) atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh (dalam qishah atau perang, -pent) maka berbuat baiklah dalam cara membunuh, dan bila kalian menyembelih, maka berbuat baiklah dalam cara menyembelih, hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan parangnya dan menyenangkan sembelihannya".
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengatakan: “Seutama iman adalah sabar dan toleransi". Selanjutnya, dari Aisyah Radliyallahu 'anha, dia menceritakan : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memanggilku sementara anak-anak Habasyah bermain tombak di masjid pada hari raya, beliau menawariku : "Wahai Humairo! Apakah engkau suka melihat permainan mereka?" Jawabku : Ya!. Maka beliau menyuruhku berdiri di belakangnya, lalu beliau menundukkan kedua pundaknya supaya aku dapat melihat mereka, akupun meletakkan daguku di atas pundak beliau dan menyandarkan wajahku pada pipi beliau, lalu akupun melihat dari atas kedua pundak beliau, sementara itu beliau mengatakan : "Bermainlah wahai bani Arfadah !" Kemudian selang setelah itu beliau bertanya : "Wahai Aisyah ! Engkau sudah puas ?" Kataku : "Belum" Supaya aku melihat kedudukanku disisi beliau, hingga akupun puas. Kata beliau : "Cukup?" Jawabku : "Ya". Beliau berkata : "Kalau begitu pergilah!". Aisyah berkata : "Lalu Umar muncul, maka orang-orang dan anak-anak tadi berhamburan meninggalkan mereka (Habasyah), Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Saya melihat para syaithan manusia dan jin lari dari Umar". Aisyah mengatakan : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu bersabda: “Supaya orang Yahudi tahu bahwa pada agama kita ada keleluasaan, aku diutus dengan Al-Hanifiyah (agama yang lurus) As-Samhah (yang mudah)". Nabi bersabda, yang artinya: “Para Malaikat mengerumuni roh seorang lelaki dari umat sebelum kalian. Mereka bertanya : 'Apakah engkau pernah berbuat kebajikan ?' Ia menjawab : 'Dulu aku menyuruh para pegawaiku untuk memberi tangguh orang yang kesulitan (dalam membayar hutang, -pent) dan mema'afkan orang yang mudah' Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : 'Ma'afkanlah dia".
Berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits di atas, dapat dikatakan bahwa Islam sangat menghargai perbedaan, menghormati kemajemukan budaya dalam kehidupan manusia. Kita dapat lihat, dalam kerangka kesatuan manusia, Allah menciptakan beragam suku bangsa. Dalam kerangka kesatuan sebuah bangsa, Allah menciptakan beragam suku dan kabilah. Dalam kerangka kesatuan sebuah bahasa, Allah menciptakan berbagai macam dialek dan sub-dialek.

B. Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Islam
Sampai batas tertentu, respons para pakar pendidikan Islam terhadap kecenderungan multikulturalisme memang masih positif. Islam dipahami sebagai wilayah sakral, metafisik, abadi, dan mengandung kebenaran mutlak. Bahkan, pada saat agama terlibat dengan urusan ’duniawi’ sekalipun, hal ini tetap demi penunaian kewajiban untuk kepentingan ’samawi.’ Berbagai agama, tentu saja, berbeda-beda dalam perkara cara dan berbagai aspek, namun agama-agama tersebut hampir seluruhnya memiliki sifat-sifat demikian itu.
Karena Islam agama yang suci dan mutlak, maka sulit bagi agama-agama lain untuk mentoleransi atau hidup berdampingan dengan tradisi kultural yang dianggap bersifat duniawi dan relativistik. Oleh karena itu, persentuhan agama dan budaya lebih banyak memunculkan masalah ketimbang berkah. Apalagi, misalnya dalam konteks Islam, kemudian dikembangkan konsep bid’ah yang sama sekali tidak memberikan ruang akomodasi bagi penyerapan budaya non-agama.
Dapatkah Islam mengembangkan multikulturalisme, sementara pada saat yang sama kurang mengembangkan apresiasi terhadap budaya, termasuk yang berperspektif lokal? Rasanya sulit menjawabnya secara afirmatif, jika gagasan multikultural masih dianggap asing dalam pendidikan Islam. Karena itu, tugas para pendidik saat ini adalah mengenalkan semangat pendidikan multikultural kepada peserta didik
Sebenarnya, cita-cita agung multikultural tidak bertentangan dengan agama; namun demikian basis teoretisnya tetap problematik. Nilai-nilai multikultural dianggap ekstra-religius yang ditolak oleh para teolog Muslim, sehingga sulit untuk mengeksplorasi tema tersebut.
Dalam upaya membangun hubungan sinergi antara multikultural dan pendidikan, minimal diperlukan dua hal, yaitu :
Pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif. Penafsiran ulang itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama bukan saja bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu di garda depan untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam masyarakat-masyarakat beragama.
Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini, umat beragama memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama, seperti kultur Barat modern. Kita tak mungkin menghindar dari ide-ide dan teori-teori sekuler. Itu berarti, menyentuh istilah-istilah dengan gagasan non-religius itu merupakan tugas paling menantang yang dihadapi kaum Muslim pada zaman modern ini.
Kini umat beragama dihadapkan pada dua persoalan: problem lokal dan problem-problem universal, yakni problem kemanusiaan secara keseluruhan. Problem-problem seperti perdamaian, hak-hak asasi manusia, hak-hak perempuan, telah menjadi problem global, dan harus diselesaikan pada level praksis. Pendidikan multikultural adalah jawaban atas problem-problem global saat ini. Sebab, seperti dikatakan Choirul Mahfud, pendidikan multikultural mengandung empat signifikansi.
Pertama, pendidikan multikultural sebagai sarana alternatif pemecahan konflik sosial. Kedua, pendidikan multikultural sebagai pembina agar sistem tidak tercerabut dari akar budayanya. Ketiga, Pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum pendidikan nasional. Keempat, pendidikan multikultural menciptakan masyarakat multikultural.
Sepanjang sejarah sejak masa-masa awal pembentukan negara Indonesia, telah tercipta semacam ketegangan antara doktrin teologis Islam dengan relitas dan perkembangan sosial. Tetapi dalam aplikasi praktis, para pemikir Islam mencoba mengakomodasi kenyataan sosial budaya sebagai kenyataan yang tidak terelakkan. Keragaman budaya di Indonesia ditempatkan sebagai rahmat dan bukan laknat.
Tatkala doktrin pokok al-Qur’an tentang fiqh, misalnya dirumuskan secara terinci, ketika itu pulalah para ahli fiqh berusaha mempertimbangkan faktor sosial budaya. Karena itulah antara lain tercipta perbedaan-perbedaan tafsir, betapapun kecilnya, misalnya diantara imam-imam madzhab. Imam Syafi’i, misalnya mengembangkan apa yang disebut “qawl al-qadim” ketika di Irak dan “qawl al-jadid” ketika ia pindah ke Mesir.
Jadi sejak awal perkembangan Islam sebagai konsepsi realitas telah menerima akomodasi sosio-kultural. Akomodasi ini semakin terlihat ketika wilayah Islam berkembang sedemikian rupa sehingga ia menjadi agama yang mendunia. Pada kasus-kasus tertentu, akomodasi itu tercipta sedemikian rupa, sehingga memunculkan keragaman aliran Islam.
Umat Islam di Indonesia memiliki penduduk Islam terbesar di dunia yang mampu hidup rukun dalam pelbagai latar belakang etnik, suku, bangsa dan agama berkumpul dan hidup bersama berdasarkan bhineka tunggal ika. Tentu saja, keadaan ini menimbulkan tantangan-tantangan tersendiri yang perlu dijawab oleh para pendidik, guru, dosen, cendikiawan muslim, dengan mengembangkan basis pendidikan multikultural yang lebih membumi.
Ada beberapa permasalahan yang terkait dengan pendidikan multikultural, di antaranya dapat diklasifikasikan di bawah ini:
a) Inklusivisme
Sikap inklusif sebenarnya telah dipraktekkan oleh para adib ketika menyusun “adab” mereka. Dalam menentukannya selain menggunakan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber paling otoritatif, mereka juga masih menggunakan sumber-sumber dari kebudayaan lain.
Selain para adib (udaba’) , para ilmuwan dan filosof Muslim juga telah mengembangkan sikap inklusif yang serupa dalam karya mereka. Mereka menunjukkan sikap lapang dada dan percaya diri yang luar biasa terhadap pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, dan tak nampak sedikitpun rasa minder dalam diri mereka. Sikap inklusif ini dapat dilihat dari tokoh-tokoh filosof Muslim dalam berfilsafat dan juga dalam mencari guru.
b) Humanisme/egalitariaan
Yang dimaksud humanisme disini adalah cara pandang yang memperlakukan manusia karena kemanusiaannya, tidak karena sebab yang lain di luar itu, seperti ras, kasta, warna kulit, kedudukan, kekayaan dan bahkan agama. Dengan demikian termasuk di dalam humanisme ini adalah sifat egaliter, yang menilai semua manusia sama derajatnya. Sejarah kebudayaan Islam sarat dengan contoh-contoh sifat humanis ini. Nabi kita sendiri disinyalir pernah menyatakan dengan tegas, bahwa “tidak ada kelebihan seorang Arab daripada ‘ajam (non-Arab)”.
Contoh lain yang berkenaan dengan humanisme adalah : pembelaan oleh Jalal al-Din Rumi kepada muridnya yang beragama Kristen, dan juga dapat kita lihat dari kitab al-Akhlaq wa al-Siyar, karangan Ibn Hazm (w.1066), yang intinya pandangan Ibn Hazm terlihat jelas ketika, misalnya, ia mengritik seseorang yang terlalu bangga dengan keturunannya.
c) Toleransi
Toleransi umat Islam barangkali dapat dilihat dari beberapa contoh di bawah ini : Pada Masa awal Islam, Para penguasa Muslim dalam waktu yang relatif singkat telah menaklukkan beberapa wilayah sekitarnya seperti; Mesir, Siria, dan Persia. Ketika para penguasa Muslim menaklukkan daerah tersebut, di sana telah ada dan berkembang dengan pesat beberapa pusat ilmu pengetahuan. Dan setelah daerah tersebut dikuasai Islam, kegiatan keilmuan masih berjalan dengan baik tanpa ada campur tangan dari penguasa Muslim.
Di samping itu komunitas non-Muslim seperti Kristen, Yahudi, dan bahkan Zoroaster dapat hidup dan menjalankan ibadah mereka masing-masing dengan relatif bebas di bawah kekuasaan para penguasa Muslim. Sikap lain yang ditunjukkan adalah diperkenankannya kaum non-Muslim untuk hadir dan mengikuti kajian-kajian ilmiah yang diselenggarakan orang-orang Muslim, baik sarjananya maupun penguasanya.
d) Demokrasi
Menurut Muhammad Imarah, salah satu sifat yang tidak boleh ditinggalkan dalam demokrasi adalah kebebasan individu untuk mengemukakan pendapatnya, dengan kata lain harus ada kebebasan berfikir. Kebabasan inilah yang telah dilaksanakan oleh masyarakat di kota-kota besar Islam, terutama pada masa kejayaan Islam.
Pada kesempatan yang lain, ia memberikan gambaran mengenai pandangan Islam tentang multikulturalisme, yang mana dia menjelaskan bahwa kenekaragaman itu sendiri ada dalam tubuh Islam (masyarakat Islam), disamping kenekaragaman yang terjadi di luar Islam. Dalam bukunya Pendidikan Multikultural, Choirul Mahfud mengutip Bikhu Pareh tentang lima jenis aliran multikultural. Pertama, multikulturalisme isolasionis yang mengacu kepada masyarakat di mana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan berinteraksi satu sama lain. Kedua, multikulturalisme akomodatif, yakni masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, yang membuat penyesuaian dan penampungan bagi kebutuhan kultural kaum minoritas.
Ketiga, multikulturalisme otonomis, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan dengan budaya dominan. Keempat, multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyaakat plural di mana kelompok-kelompok tidak terlalu peduli dengan kehidupan kultural otonom. Kelima, multikulturalisme kosmopolitan, yakni paham yang berusaha menghapus batas-batas kultural yang ada untuk menciptakan individu tidak lagi terikat pada budaya tertentu. tulisannya yang berjudul “Islam dan Multikulturalisme”, Rizal membahas multikulturalisme dalam dua arah pembicaraan, yaitu : multikulturalisme dari komunitas Muslim (Multikulturalisme Internal) dan komunitas agama-agama lain (Multikulturalisme Eksternal).
a) Multikulturalisme Internal
Multikultuiralisme Internal adalah keanekaragaman internal dikalangan umat Islam, ini menunjukkan bahwa kebudayaan Islam itu majemuk secara internal. Dalam hal ini, kebudayaan Islam serupa dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya kecuali kebudayaan yang paling primitif. Kemajemukan internal ini mencakup antara lain : Bidang pengelompokan sosial; Bidang fiqh; Bidang teologi, Bidang tasawuf dan dimasa modern seperti politik kepartaian.
Dilihat dari sudut multikulturalisme internal ini, pluralisme identitas kultural keagamaan dalam masyarakat Muslim bukan hanya merupakan fakta yang sulit dipungkiri. Lebih dari itu, multikulturalisme juga menjadi semangat, sikap, dan pendekatan. Dalam hal ini, setiap identitas kultural terus berinteraksi dengan dengan identitas kultural yang lain di dalam tubuh umat. Melalui interaksi itu, setiap identitas mendefinisikan identitasnya dalam kaitannya dengan identitas yang lain dan karenanya, secara sadar atau tidak, suatu identitas dipengaruhi identitas yang lain. Multikulturalisme internal ini, dengan demikian, mengisyaratkan kesediaan berdialog dan menerima kritik.
b) Multikulturalisme Eksternal
Multikultural eksternal ditandai dengan pluralitas komunal-keagamaan, merupakan fakta yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat Muslim. Dimasa lalu, imperium-imperium Islam, walaupun ada penisbatan dan pelabelan Islam pada namanya, selalu bercirikan multikultural dalam pengertian keanekaragaman komunitas keagamaan. Imperium besar seperti Usmani di Turki meupun imperium yang lebih kecil seperti Ternate dan Tedore di wilayah Timur Nusantara selalu mencakup lebih dari dua komunitas kultural-keagamaan.
Dilihat dari sudut multikulturalisme eksternal ini, pluralisme keagamaan bukan hanya merupakan fakta yang tidak dapat dihindari. Lebih dari itu, multikulturalisme juga menjadi semangat, sikap, dan pendekatan terhadap keanekaragaman budaya dan agama. Sebagai bagian dari kondisi yang majemuk, umat Islam terus berinteraksi dengan umat dari agama-agama lain. Melalui proses interaksi ini, umat Islam memperkaya dan diperkaya tradisi keagamaan lain, dan umat agama lain memperkaya dan diperkaya tradisi keagamaan Islam.
Sejarah kemunculan pendidikan Islam menunjukkan bahwa ufuk intelektual dan moral pendidikan Islam menjadi luas dan agung dengan atau setelah membuka diri terhadap masukan dan pengaruh dari kebudayaan dan peradaban lain.

C. Kelebihan dan Kelemahan Pendidikan Multikultural
1. Kelebihan
Bagaimana pun kontroversinya konsep pendidikan multikultural dilihat dari perspektif pendidikan Islam, ia adalah sebuah konsep yang menawarkan pendekatan memiliki kelebihan dibandingkan dengan model pendidikan lain karena menawarkan kesatuan kemanusian. Setiap manusia adalah sama dan harus mendapat pendidikan yang layak.
Pendidikan multikultural tidak membeda-bedakan agama, suku, ras, golongan, etnis, dan sebagainya. Apa yang menjadi tekanan konsep pendidikan multikultural adalah ajaran tentang menghargai kemanusian secara adil dan manusiawi. Pendidikan tidak boleh memihak kelompok siswa dengan agama tertentu. Pendidikan multikultural berupa menjawab tantangan mengenai prasangka, ketidakadilan etnis dan pilih kasih dalam dunia pendidikan, seraya menekankan sisi manusia dan kemanuain, dialog dan keterbukaan dalam menerima keragaman.
Konsep pendidikan multikultural semacam itu sesuai dengan landasan normatif Islam yang tidak membeda-bedakan umat manusia kecuali dilihat dari taqwanya. Islam menjunjung tinggi persaudaraan antar-umat manusia, keterbukaan bergaul dengan agama lain dan menekankan kesamaan hak dan kewajiban setiap orang dalam bernegara dan bermasyarakat.
2. Kelemahan
Sebagaimana sudah menjadi sunnatullah, tabiat manusia memang bersifat nisbi dan relatif. Karena itu kelemahan juga senantiasa mengiringi setiap sifat dan pendapat manusia. Demikian pula mengenai konsep pendidikan multikultural sebagai rumusan manusia, khususnya ajaran tentang paham persamaan setiap agama, setiap etnis, dan kelompok. Kelemahan itu dapat dikategorikan ke dalam uraikan berikut:
Pertama, kelemahan pendidikan multikultural adalah bahwa konsep pendidikan ini belum terumuskan dengan baik dan sistematis dan koheren. Metode inklusif dalam pendidikan dan penghargaan terhadap perbedaan serta keragaman belum terlihat jelas dalam tataran praktek sehingga tampak belum memenuhi syarat-syarat akademis yang logis, koheren dan sistematis sebagai konsep pendidikan baru yang berdiri sendiri terlepas dari model pendidikan lain.
Kedua, pendidikan multikultural kebanyakan merupakan komentator dari diskusi mengenai pluralisme agama di Indonesia, sehingga dalam konsep dan pengembangannya tampak lebih relevan dan signifikan bagi studi agama-agama, hubungan antar agama. Hanya saja penekanan terhadap istilah pendidikan dalam pendidikan multikultural maka dianggap sebagai salah satu bentuk baru pengembangan pendidikan. Buku-buku tentang pendidikan multikultural hampir tak ada yang menampilkan uraian yang utuh. Bahkan di beberapa bab yang dikemukakan sebelumnya, tampak sekali bahwa pendidikan multikultural dilihat dari sejarahnya bermula dari Barat kemudian masuk ke dunia Timur (Islam).
Ketiga, konsep pendidikan multikultural selama ini tak memberikan kontribusi signifikan bagi perkembangan kehidupan umat beragama. Basis pendidikan multikultural dengan acuan pada nilai-nilai kultural lokal tidak relevan dan hanya berpotensi mengaburkan analisis relasi kekuasaan yang ada. Kehendak untuk membangun struktur-struktur lokal dalam bingkai pluralitas dalam masyarakat multikultural secara tidak langsung melanjutkan bentuk-bentuk kajian yang kurang membumi. Begitu juga dengan kehadiran pengetahuan multikulturalisme yang tampaknya merupakan kelanjutan dari wacana pluralisme agama, inklusifitas beragama dan kerukunan hidup beragama yang selama ini banyak dibahas di Indonesia.
Sayangnya, multikulturalisme sebagai wacana alternatif untuk merayakan pluralitas pemikiran dan keyakinan yang berbeda dengan gagasan-gagasan pluralisme dan inklusifisme, masih terlampau baru. Semaraknya wacana pendidikan multikultural di Indonesia beberapa tahun terakhir mengandung pertanyaan yang belum terjawab dengan baik, seperti apakah artikulasi perbedaan yang diwacanakan pendidikan multikultural lebih penting ketimbang pendidikan pembebasan.
Ketika di Indonesia masih banyak ditemukan orang yang lapar secara massif, orang kehilangan pekerjaan yang menambah alienasi sosial yang semakin banyak, apakah mungkin bisa dipahami dari perspektif hubungan antaragama di sekolah, atau dari segi perspektif pendidikan multikultural yang alami? Saat ini yang urgen adalah bagaimana menumbuhkan pendidikan yang kritis, lebih dari sekedar pendidikan multikultural yang menghidupkan sikap keterbukaan yang romantis tanpa peka terhadap mata-rantai kekuasaan yang eksploitatif, justru lebih signifikan dan relevan bagi dunia pendidikan saat ini.


(Catatan: Sumber kutipan tulisan ini sengaja tidak ditampolkan di sini semata keterbatasan ruang. Mohon maaf, PIN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar