Kamis, 08 Oktober 2009

Puisi Doa sebagai Tes bagi Otentisitas

Asarpin
Pembaca Sastra


Puisi pada dasarnya mengandung doa. Bahkan ada puisi doa. Jika kita bersua dengan puisi sejenis doa, maka jangan pernah menganggapnya remeh. Tak hanya puisi mantra yang baik, tapi puisi doa pun bisa sangat baik. Tapi soalnya adalah: tak banyak sajak doa yang baik di Indonesia. Padahal sajak berisi doa bisa digunakan untuk dipakai berdoa kepada Tuhan ketimbang doa-doa syariat yang selama ini sudah akrab digunakan.

Sajak doa punya kelebihan sebagaimana sajak mantra: ia bisa menjadi ujian apakah seorang penyair mampu menghadirkan pengalaman yang otentik atau tidak. Bahkan ia bisa menjadi tantangan apakah seorang penyair bisa menulis puisi dengan baik atau buruk. Dalam bahasanya Ignas Kleden, sebuah sajak yang berisikan doa bisa menjadi tes yang kuat tentang otentisitas bahasa penyair, yaitu apakah hasrat yang diucapkan sang penyair cukup mencerminkan pergolakan yang berlangsung dalam perasaan dan dalam jiwa, dan entah terjemahan perasaan tersebut mencapai suatu tahapan sofistifikasi afektif yang sedemikian rupa, sehingga dapat menjadi representasi perasaan banyak orang lain yang tak sanggup mereka ucapkan sendiri secara memadai.

Dengan pengucapan lain, sajak doa adalah tantangan bagi si penyair dalam rangka menghadirkan dan mengolah sublimasi makna sebuah sajak. Kalau tidak maka sajak yang muncul bisa terasa banal atau terkesan dipaksakan untuk jadi doa. Sebagai contoh, mari kita bandingkan pengalaman sajak-sajak doa Tardji dengan sajak-sajak doa lain. Tardji pernah menulis dua buah sajak berjudul doa, yaitu sajak Doa (1977) dan sajak Doa (2005).

Sajak Doa (1977) cukup pendek dan sepertinya menyimpang dari imaji doa dan dekat dekat mantra. ”O Bapak Kapak/beri aku leherleher panjang/biar kutetak/biar mengalir darah resah/ke sanggup laut/Mampus! Sementara sajak Doa (2005) dimulai dengan bertanya: ”sanggupkah Nuh melaut/digejolak samudera perih ini/apa tongkat Musa mampu/menyibak lautan bencana ini/bukan domba bukan ternak/ini sungguh para ismail bayi ismail renta/ismail kanak ismail pemuda/dibantai/ya Tuhankuatkan selamatkan bangsakudari derita beberapa Nabi”.

Sangat jelas pergeseran sajak Sutardji. Puisi doa-diam dan doa-bahana di atas mengekspresikan suatu dunia dengan kedalaman kemaknaan yang disampaikan dengan bahasa yang terang. Jika dahulu Sutardji sangat buncah dan membahana lewat pengucapan mantera, kini lebih banyak menampilkan doa-bahana yang berisi sejumlah kesaksian. Menarik membandingkan kedua sajak doa Tardji itu dengan sejumlah sajak penyair lain untuk menguak otentisitasnya lebih jauh.

Perhatian otentisitas pengalaman Muhammad Iqbal lewat fragmen sajak Doa yang mirip elegi dari terjemahan Abdul Hadi WM ini:”Kau yang menyerupai roh semesta ini/Adalah jiwa kami, namun Kau senantiasa lari dari kami/Melalui seruling kehidupan Kau tiupkan lagu/Hidup ini akan iri pada mati jika mati demi Kau/Sekali lahi hibur hati kami yang sedih ini/Tinggallah dalam hati kami sekali lagi/ Dengar seruan-Mu melalui jiwa kami/Teguhkan cinta kami yang lemah ini/Terlalu sering kami ini menangisi Takdir/Kau Maha Mulia sedang kami begitu hina/Dari tangan hampa ini jangan sembunyikan wajah-Mu/Beri kami karunia Cinta Salman dan Bilal/Beri kami lagi kefitrian air yang cerlang/Jadikan kembali kami pemikul ayat-ayat-Mu/Agar musuh dapat kami kalahkan seperti dulu”.

Sajak di atas sebenarnya cukup panjang, bahkan sangat panjang. Namun dari fragmen itu, tampak bahwa Iqbal memiliki pertalian dengan ghazal-ghazal Persia. Bahkan dalam salah satu puisinya, Iqbal sendiri pernah berujar: ”Walau bahasa Hindia semanis madu/Bahasa Parsi lebih nikmat bagi lidahku/Jiwaku tertawan oleh keindahan lagunya/Penaku jadi ranting semak terbakar di dalamnya/Karena cita sajakku luhur tak terkira/Bahasa Parsi lebih cocok menyatakannya/Pembaca!/Jika pahit jangan salahkan cawannya/Namun periksalah rasa anggurnya” (sajak Masnawi).

Sementara sajak tentang doa yang ditulis Tardji tahun 1977 dengan sajak doa 2005 keduanya punya kedekatan dengan sajak Iqbal. Sajak 1977 membahana dan tak segan-segan menampilkan kata mampus dalam doa. Sementara sajak Doa (2005) melantunkan amanat-amanat yang membuai menghanyutkan, yang berbeda dengan sajak Doa 1977 yang pelit makna. Namun lantunan itu bukan dengan suara, malah dengan kebisuan.

Kedua sajak itu selalu menggoda saya untuk membandingkannya dengan sajak Doa Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Sajak doa-diam tersebut mengungkai pencarian ketuhanan dengan sunyi diri, yang bermula dengan pertanyaan yang mengandung keraguan. Namun makin dalam rasa hayatan luka eksistensial dihadirkan, pada akhirnya Tardji tampak menunjukkan keberingasan yang membahana dengan kata-kata yang hemat saya tak terlampau mengejutkan.

Munculnya kata ”Mampus!” dalam sajak di atas justru merusak kehening-beningan dalam sebuah pencarian. Namun dalam sajak doa sesudahnya, kata-kata yang digunakan justru menarik karena penuh takzim dengan kejutan yang tak lagi terasa beringas melainkan doa yang hening: ”ya Tuhan/kuatkan selamatkan bangsaku/dari derita beberapa Nabi”.

Sajak Tardji ini menarik disandingkan dengan sajak Doa Chairil Anwar. Kedua penyair ini memang sangat arogan namun sangat religius. Chairil berusaha menampilkan keintiman dengan hayatan yang dalam dengan tidak menjadikan sajaknya sebagai doa dalam arti sesunggungnya. Kedua sajak doa dari dua penyair memiliki kedekatan rasa hayatan yang perih melalui penggalian kedalaman doa hingga tak lagi tampak sebagai doa syariat. Sanusi Pane dan Chairil Anwar mendulang kerinduan mistik yang begitu kuat, mesra dan intim dengan memanggil-manggil Kekasih hingga kata-katanya terasa bergaung dan mengalunkan gema eksistensialis yang bergelora.

Perhatikan untaian sajak doa Amir Hamzah ini: ”Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?/dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,/setelah menghalaukan panas terik,/angin malam mengembus lemah, menyejuk/ badan , melambung rasa,/menayang fikir, membawa angan ke bawah kursimu./Hatiku terang menerima katamu, bagai memasang lilinnya./Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam menyirak kelopak./Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu,/Penuhi dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!“.

Bandingkan dengan sajak Doa Sanusi Pane ini: O, Kekasihku,/turunkan cintamu memeluk daku/Sudah bertahun aku menanti,/sudah bertahun aku mencari/O, Kekasihku,/turunkan rahmatmu kedalam taman hatiku/Bunga kupelihara dalam musim berganti/bunga kupelihara dengan cinta berahi”. Lalu bandingkan juga dengan keintiman sajak Doa Chairil yang terkenal ini: ”Tuhanku/Dalam termangu/Aku masih menyebut namaMu/Biar susah sungguh/Mengingat Kau penuh seluruh/cayaMu panas suci/tinggal kerdip lilin di kelam sunyi/Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk/Tuhanku/aku mengembara di negeri asing/Tuhanku/di pintuMu aku mengetuk/aku tidak bisa berpaling”.

Ketiga sajak doa itu begitu intim, karib, tapi Chairil teasa lebih otentik sampai-sampai ”aku tidak bisa berpaling”. Bahasa Indonesia di tangan ketiga penyair besar itu terasa liris, syahdu, dan bernyanyi. Jelas ada perbedaan antara sajak-sajak Sutardji dengan sajak Amir Hamzah, Sanusi Pane dan Chairil dalam hal kedalaman makna dan keotentikan pengalaman. Tapi semuanya termasuk sajak kuat yang otentik. Sajak yang jelas-jelas bakal lulus dalam hal tes otentisitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar