Rabu, 15 Juli 2009

Goenawan Mohamad:

Tentang Puisi dan Pemikiran


Waktu tak juga mati. Para penyair mengira bahwa waktu akan jadi beku di dalam ruang ketika ia dibaca sebagai unit matematis. Kini orang semakin tahu, waktu justru efektif dilecut modernitas. Ia mungkin jadi abstrak, tapi tak kosong....Waktu adalah ongkos, begitulah kini orang makin sering berkata, setengah mengeluh, tapi pasti...Tapi waktu yang seperni inikah yang memebebaskan kita?
--GOENAWAN MOHAMAD, Tuhan & Hal-Hal yang Tak Selesai, 2007)




Pada suatu senja saya membaca buku Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001, dengan perasaan kecewa. Saya nyaris tak menemukan apa-apa yang mesti saya catat setelah selesai membaca buku itu. Akhirnya buku itu saya tinggalkan, dan saya mengambil buku Kata, Waktu. Kendati tak pernah rampung, dan seperti umumnya saya membaca buku kumpulan esai Goenawan, saya bisa memulai dari mana saja.

Dari segi gaya, bentuk surat adalah esai-esai Goenawan yang paling menyentuh hati dan pikiran saya. Surat kepada Pram, surat tentang anak yang tidak lulus ujian atau anak yang mati karena didera kemiskinan, surat tentang kedua putra yang ditingalkan Munir, begitu menggugah bawah-sadar saya selaku pembaca.

Di situ Goenawan tak cuma membuai saya dengan keindahan bahasa dan gaya, tapi juga menntut kita untuk merenung, bingung, sampai akhirnya saya diajak berpikir dengan jernih dan sungguh-sungguh. Saya dibiarkan menentukan sikap sendiri, pilihan sendiri, dan tak jarang tanpa peta dan arah. Maka jadilah saya terlunta-lunta dalam kebingungan, ketidakpastian, dan kebimbangan. Segala yang telah saya teguhkan kebenarannya, oleh Goenawan dipertanyakan.

Sementara, esai-esai terbaik Goenawan, dalam arti yang menawarkan kejernihan pikiran yang paling menggoda dahaga pencarian saya, adalah esai yang bicara dengan intim tentang masalah agama dan ketuhanan. Goenawan membuat saya ragu berkali-kali, baik terhadap agama, iman, Tuhan, juga hal-hal yang remeh-temeh tapi punya konsekuensi yang luas.

Agama, Iman, dan Tuhan yang Tak Selesai

Tahun 1968 Goenawan menulis esai Puisi Kitab Suci, yang gagasan di dalamnya tampak masih signifikan di hari ini. "Seandainya Kitab-kitab Suci hanyalah buku-buku hukum yang tanpa puisi", tulisnya, maka "manusia akan hidup dengan rohani yang kerontang. Bhagawat Gita, Injil, Quran. Di tengah-tengah pengalaman masa kita kini, salah satu kebutuhan kita adalah menghidupkan kembali puisi yang terdapat di dalamnya…yaitu pembaruan sikap, untuk lebih mampu menerima Kitab Suci bukan sekedar sebagai sebuh KUHP…Sebab Tuhan memang bersabda, dengan bahasa manusia, dalam puisi. Dan puisi, dengan pelambang-perlambangnya, dengan iramanya, dengan seluruh semangatnya, tidaklah mendikte…"

Barang kali lantaran karena saat ini kita hidup dengan kepelbagaian dan kemungkinan yang hampir tak mungkin lagi bersikap total dan mutlak-mutlakan, maka tafsiran Goenawan atas Kitab Suci begitu penting untuk tidak diabaikan. Karena berbagai agama kini masih terus dipeluk umat manusia, dengan gairah yang kadang terasa pathos.

Setelah sempat diramalkan akan punah seiring dengan munculnya kokok ayam positivisme dan empirisme, serta desing-bising suara mesin teknologi yang konon dianggap telah menciutkan jarak antarmanusia, kini ”agama” malah tampil secara memukau di ruang-ruang publik di desa sampai kota-kota besar. Bukan berarti bahwa masuknya agama ke ruang publik tanpa persoalan, namun justru karena itu Goenawan mengajak kita untuk memikirkan dengan dada lapang dan terbuka.

Apa yang dulu dianggap candu dan agak nyinyir di mata Karl Marx, dan harus disingkirkan karena kerap kali melantunkan nyanyian nina bobok, kini justru meluap-luap hingga yang terdengar bukan lagi kesejukan dan kedamaian, tapi letupan kemarahan yang mengerikan. Karena itu, apa yang kita harapkan tampil ke publik bukan lagi subjek yang otonom dan universal, iman yang mati, tapi iman yang hidup dan mau berdialog terus-menerus. Dalam konteks ini, Goenawan pernah menyebut semacam ”iman dalam praksis eksotopi”—yang dipinjamnya dari Bakhtin. Dengan kata lain, iman bukan sebagai sama, tapi iman dalam nikmat perbedaan.

Segala yang universal dan subjek yang otonom telah aus, kini telah diganti dengan subjek yang dinyatakan cair dan selalu dalam proses tak selesai. Sebuah kepercayaan tanpa kepercayaan, yang tidak meletakkan ”kepastian subyek”, melainkan ”subyek dalam proses”, kata Julia Kristeva yang pernah dikutip Goenawan.

Di hari ini banyak yang bicara tentang dunia pasca-Pencerahan, dan dunia yang kita diami di hari ini ”bak sebuah bazar, di mana bukan satu, melainkan berbagai eksperimen iman, aneka agama, dan masing-masing tampak bagaikan ’satu intan dua cahaya’”, tulis Goenawan. Karena kita hidup abad ke-21, di mana ”manusia tak akan lagi melahirkan sebuah bintang” sejak Adimanusia lahir dari sang pencinta Tuhan yang menari. Dan kita cuma mencari janji, bukan pasti. Dan Tuhan pun—seraya mengutip tafsiran Goenawan atas Amir Hamzah—disebut ”sebuah nama sementara dari yang-tak-sementara”.

Pada mulanya bukan Kata, tapi tafsir. Namun tafsir manusia atas Kitab Suci tak lagi statis, beku, mati, melainkan sebuah tafsir yang hidup, yang berkelana mencari terus-menerus ke tepi-tepi seraya menampik keakhiran. Tuhan bukan lagi sebagai menunjukkan kepastian ini dan itu, sebagaimana ilmu pasti, melainkan sebuah pencarian yang belum sudah. Dengan pandangan ini, maka setiap orang dituntut terus mencari aneka kemungkinan, aneka pandangan dan tafsiran, seraya mempertanyakan rumusan dan konsep yang terlanjur dibakukan dan dianggap tamat. Bukan seperti film yang akhirnya bertuliskan the and, tapi bisa jadi and, and, and....

Bila kita simak kembali pemikiran abad ke-20 lalu, maka sangat mudah kita berjumpa dengan pemikir yang beranggapan bahwa makna tentang Tuhan tidak ada atau tidak harus ada, karena menurut para pemikir, pengertian kita tentang ada terlalu terbatas untuk ditetapkan pada Tuhan. Ada juga yang bergerak lebih jauh dengan menegaskan bahwa Tuhan tiada, atau kalau pun ada, ”Tuhan telah mati” (Nietzsche) dan Copjec menyesalkan itu kata Goenawan. Dulu al-Hallaj menyerukan ”Akulah Kebenaran” (ana l’ Haqq), karena keberadaan Tuhan bukan sejenis dengan realitas seperti yang biasa kita alami. Bukan Tuhan konsep”, kata Marion. ”Tuhan tidak mati”, kata Goenawan, ”tapi Ia mati sebagai berhala. Ia tak boleh menengok kembali”.

Pascal—ahli matematika terkemuka yang religius itu—dalam kata-katanya Donald B. Calne (2004) yang mengutip Pascal’s Penses (1962), malah menjatuhkan pilihan pada Tuhan Katolik. Padahal sebelumnya ia sempat mengatakan:

Tuhan ada atau tidak ada, tak ada pilihan tengah bagi manusia. Sebab nalar manusia tak berdaya memandunya untuk memilih. Seperti permainan melempar sekeping koin dari matauang yang sama dengan akibat yang tak terpermanai tengah berlangsung; di mana satu sisi mesti menang. Sebagai manusia kita harus bertaruh. Tak ada pilihan lain. Tidak bertaruh bahwa Tuhan ada, berarti bertaruh bahwa Tuhan tidak ada. Mana yang akan kita pilih?

Lain Pascal lain pula Iwan Simatupang yang dengan intim masuk ke pertanyaan ontologi: ”Sejauh mati berarti tak ada, tiada, yang sendiri berarti ada; yaitu adanya tiada itu....bahwa kita tak tahu pasti apakah tidur dan mimpi kita bukan merupakan keadan bangun kita yang sesungguhnya, dan apakah yang hingga kini kita anggap sebagai keadaan bangun itu bukan keadaan kita yang sedang tidur dan bermimpi sesungguhnya”, tulisnya dalam Ziarah.

Albert Camus, si jenius yang kata-katanya sering membuai-menghayutkan lantaran begitu stilis, kata Bertrand Poirot-Delpech dalam pengantar Mite Sisifus, justru mencibir para filsuf lama yang berwatak idealis dan berkutat di awang-awang dan tetap saja menyibukkan diri dengan masalah tentang Tuhan dan Ada, seraya menutup mata terhadap bahaya-bahaya nyata disekitarnya dan menganggap sepi hipotesis yang mengatakan bahwa ciptaan merupakan hasil dari suatu kebetulan.

Persoalan yang serupa telah dieksplorasi habis-habisan oleh Heidegger mengenai uraian tentang waktu dan ada. Heidegger yang lebih dahulu bicara ”kuasa/pengetahuan”, kata Goenawan suatu kali, tidak bicara tentang Ada sebagai semacam Tuhan yang impersonal, sebagaimana dituduhkan Levinas, atau mengarahkan telunjukknya pada Ada dalam arti Tuhan, Ada Transenden. Tetapi Ada dalam pengertian manusia, ada dalam dirinya sendiri, karena menurut Heidegger, Tuhan, jika Ia ada, akan menjadi ada di antara ada-ada yang lain.

Kaum Heideggerian seperti Brunner, Bultmann, Tillich, Van Buren, Robinson, Bloch, memang telah menarik lebih jauh pandangan Ada eksistensial dari Heidegger ke dalam wilayah ketuhanan. Heidegger tidak sendirian ketika mengkritik anggapan terhadap Tuhan menurut filsafat dan menyarankan untuk segera ditinggalkan, bahkan jauh sebelum Heidegger dan Camus, Budha telah melakukannya. Dan Budha muncul setelah suatu gerakan filosofis yang berlangsung ratusan tahun, kata Nietzsche, konsep Tuhan telah hilang. Namun mengapa kini Tuhan malah ramai didiskusikan kembali?

Dalam situasi dunia yang dikejutkan oleh kehadiran gerakan postmodernisme yang disebut Bambang Sugiharto dalam buku Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat sebagai “mendekatnya filsafat ke puisi, metafora, dan simbol” ini, ternyata membawa berkah bagi para penulis yang masih terus menemu Tuhan di malam kelam. ”Sebagai seorang penulis puisi, saya pribadi serasa mendapatkan pembelaan di sini”, kata Goenawan dalam pengantar buku Bambang tersebut. ”Dan kami sedang menunggu apakah Franz Magnis Suseno, sebagai guru filsafat, akan menulis risalah yang bukan dengan cara berpikir filosofis yang logis argumentatif melainkan dengan cara metaforis dan main-main”, tulisnya.

Romo Franz Magnis Suseno memang menulis risalah yang diterbitkan sebagai buku bertajuk Menalar Tuhan (Kanisius, 2006), yang agaknya tak bakal memuaskan dahaga puitik dan estetik Goenawan. Sebab, kendati masih menyinggung pemahaman Tuhan secara analogi atau silogisme, metafora dan simbol, Romo Magnis di buku ini masih asyik membincangkan penalaran tentang Tuhan yang dirayakan Habermas. Uraian filosofisnya yang logis dan argumentatif justru sangat menonjol. Mungkin karena itu Goenawan harus menulis buku sendiri dengan pendekatan puisi atau khas pandangan puisi, yang baru-baru ini diterbitkan dengan lema agak impresif tapi murung: Tuhan & Hal-Hal yang Tak Selesai (Jakarta: KataKita, 2007).

Ada yang khas tentang pandangan ketuhanan Goenawan di sini: kritiknya sering tak berterus terang dan lebih dekat pada pasemon metafisik, namun bukan metafisika. Mungkin agak dekat dengan metafisika labirin. Sebuah pasemon yang bisu, skeptis, lembut dan diam. Bukan bahana keras kepala. Karena Goenawan sendiri seorang penyair liris yang memilih pengucapan kehening-beningan dengan alusi-alusi yang nyaris tergelincir kepada parodi. Filsafat, agama, psikologi, antropologi adalah puisi liris. Pandangan tentang alam semesta pun pandangan khas puisi pasemon yang liris.

Kendati demikian, dalam esai-esainya tak jarang menggema suara lantang khas Goenawan. Dan pandangan saya tentang Tuhan selama ini seakan ditunjukkannya dengan jelas sebagai genre tanpa genre dan Tuhan bukan sebagai konsep matematis. Lewat Marion. Goenawan akhir-akhir ini begitu fasih mendekonstruksi Tuhan sebagai konsep yang satu. Dengan agak ketus dan murung, Goenawan menampik apa yang disebut “berhala konsep”: di mana konsep tentang Tuhan seakan menggantikan Tuhan itu sendiri. Betapa besar nganga di antara keduanya, tapi betapa tipis jaraknya ketika masuk ke dalam benak kita, atau menjadi tenun hening jiwa, tatkala mengadahkan tangan memohon ampun pada Tuhan yang entah.

Apa boleh buat, kebanyakan kita memang tidak beriman dengan rasa syukur. Tidak menuntut konsep. Seperti puisi Kitab Suci. Karena dalam puisi, bahasa bisa jadi memang sebuah berhala—atau bahala—karena itu sering terasa nikmat sekaligus khidmat. ”Bahasa, juga bahasa yang dipilih Tuhan, dibentuk oleh bolong dan keinginan”, tulis Goenawan. Karena itu, ”gambaran verbal tentang Tuhan, juga kutipan Sabda-Nya, mau tak mau berangkat dari dunia kata-kata yang terikat, meskipun bergerak untuk menyambut yang tak terpermanai”, tulisanya dalam Tuhan & Hal-Hal yang Tak Selesai tatal 14.

Mengapa di zaman yang dianggap sebagian pemikir sebagai postsekuler ini, bicara tentang Tuhan masih saja mengasyikkan? Adakah ini bertanda kebangkitan kembali agama dan Tuhan setelah Nietzsche menggebuknya dengan palu dan mengusung jenazah Tuhan ke dalam keranda? Sosok agama dan Tuhan semacam apa gerangan yang kini bisa kita rayakan sebagai nikmat dalam perbedaan?

Goenawan tentu punya alasan mengapa Tuhan belum selesai dibincangkan. Sebab kita hidup di masa ”ketika Tuhan tak bisa ditolak dan agama bertambah penting dalam hidup orang banyak, memberikan kekuatan, menerangi jalan, tapi juga membingungkan dan menakutkan”, tulisnya.


***I


Pertemuan saya dengan Goenawan sudah cukup lama melalui sejumlah esai dan puisinya, walau baru kini saya tuliskan. Hampir semua buku yang pernah diterbitkan Goenawan saya miliki—walau beberapa esai sudah diterbitkan dalam buku sebelumnya dan diterbitkan kembali dalam buku selanjutnya tetap saya beli, entah mengapa. Mungkin lantaran karena gagasan Goenawan tentang agama, iman, dan Tuhan begitu berharga bagi keislaman dan keindonesian—untuk meminjam dua istilah yang banyak digunakan Cak Nur semasa hidupnya.

Buku-buku Goenawan yang bicara tentang Tuhan, selain esai-esai pendek dalam buku seri Catatan Pinggir, adalah buku Setelah Revolusi tak ada lagi dan Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai.

Saya pernah tertegun ketika membaca esai Goenawan berjudul “Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini". Esai ini mengandung harapan pada kedewasaan sikap umat beragama dengan menggugat pandangan prohibisionisme melalui detotalisasi paham keagamaan demi terwujudnya demokratisasi agama. Kendati belum terlampau kuat, esai ini sudah menunjukkan posisi Goenawan sebagai penyair pasemon, skeptis, bisu dan diam.

Kemudian saya bertemu dengan esai bertajuk "Kemungkinan-kemungkinan Kesusastraan". Dalam esai ini saya membayangkan Goenawan sebagai sosok yang memerankan "kadi pembela" yang gigih terhadap cerpen Langit Makin Mendung dari dakwaan hakim pengadilan dan penguasa politik sebagai sesat itu. Pada esai ini saya menemukan gagasan Goenawan yang lebih kritis dan sesekali menohok kepercayaan yang selama ini saya peluk teguh.

Semangat melakukan detotalisasi—bahkan juga dekonstruksi—melalui puisi dan bahasa yang avonturir sudah terasa sejak dalam esai ini. Goenawan juga menampik argumen para kritikus sastra yang menolak cerpen tersebut, yang sebagian besar para pemuka Islam, karena menurutnya: Kipanjikusmin dalam cerpen Langit Makin Mendung tidaklah menghina Tuhan. Kipanjikusmin "tidak menghadapi Tuhan sebagai bentukNya, sebab Ia tak bisa dibentuk dengan batasan apa pun. Pribadi yang tunggal dan utuh selalu terlepas dari segala difinisi”.

Argumen-argumen polemis yang serupa muncul dalam esai stilis berjudul "Tuhan dan Dunia Ketiga" yang agaknya dekat sekali dengan kepercayaan pada model the God of small things itu. Lalu esai bertitimangsa "Ekstream" (esai yang anehnya masih memandang agama yang moderat sebagai corak keberagamaan masa depan), serta esai "Sabda" (ziarah ke Karbala dengan menghayati ketragisan keluarga kalif kempat kita sebagai sabda dan peristiwa, praxis atau pengalaman).

Ketika si anak muda dalam esai Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang masih menaruh minat dan perhatian pada sebuah sintesa pemikiran, agaknya sejak itu pula ia mulai menyadari bahwa sintesa kebudayaan ternyata mengandung ilusi juga. Tatkala ia berharap banyak pada kata yang ada definisinya, di kemudian hari ia menyadari betapa rapuh pandangan kata yang ada definisinya itu. Munculnya wacana postmodernisme sejak 1990-an di sini, justru kian menguatkan pandangan Goenawan bahwa kini bukan zaman dialektika, juga bukan ”trialektika” yang heroistik itu. Nama dan definisi tak penting-penting amat. Bahkan makna pun sudah aus.

Goenawan penyair kreatif, apa saja yang disentuhnya menuntut kita berpikir sekaligus terbuai oleh bahasanya yang menggaya. Barang kali tak berlebihan bila setelah Pramoedya Ananta Toer dipromosikan untuk meraih Nobel, Goenawan Mohamad adalah orang Indonesia yang harus mendapat giliran Nobel Sastra juga. Jika Pram kini telah tiada, Goenawan masih terus menulis dengan kualitas yang masih terjaga dan terus menggapai puncak-puncak literer dengan kepiawaian menghadirkan bahasa pengucapan yang khas.

Saya kira kesimpulan Nirwan Ahmad Arsuka dalam pengantar Kata, Waktu (2001) masih belum bergeser: di Indonesia hanya ada dua pengarang terdepan, setidaknya dari segi karya yang telah dihasilkan, yang menulis dengan kualitas yang relatif terjaga dan nyaris tanpa interupsi: Pramoedya Ananta Toer dan Goenawan Mohamad. Kita bisa juga memaklumi jika di Indonesia, kata Nirwan, ada dua jenis esai: esai pada umumnya, dan esai catatan pinggir.

Esai-esai catatan pinggir di majalah Tempo yang ide-idenya banyak ditakik dari pemikiran mancanegara lewat berbagai jurnal dan situs terkemuka itu, kini telah terbit sebagai buku yang telah memasuki jilid ketujuh. Catatan Pinggir bagaikan ”ensiklopedi berbagi disiplin”, kalau boleh mencuri salah satu judul buku Al-Kwarizmi (780-850 M).

Maka, jika ada seorang cendekiawan Indonesia yang tidak pernah membaca Catatan Pinggir, sungguh tidak gaul. Sebab, bila mengikuti pemikiran Goenawan yang dekat dengan bahasa mistik ketimbang teologi, kita akan segera bertemu gagasan yang segar dan hidup tentang beragam tema pemikiran. Dalam esai "Pembebasan, Agama Ageming Aji…", Goenawan masih melihat agama sebagai yang dipercaya bisa memberi harkat namun harus dilihat dari pas tidaknya baju zirah yang kita pakai sehingga kita bisa menghargai perbedaan dalam memilih tata keimanan. Lalu ada esai panjang yang terbit di Ulumul Quran berjudul "Mencoba Berbicara tentang Iman"—esai yang membuat saya berdecak kagum lantaran uraiannya begitu stilis dan tafsirnya begitu matang. Esai ini sudah menyinggung soal "praksis eksotopi" yang kelak dibahas secara lebih kokoh dalam buku Eksotopi: Tentang Kerkuasaan, Tubuh, dan Identitas. Di sini Goenawan memandang iman sebagai proses pencarian terus-menerus yang tak selesai. Di sini Goenawan bukan pengikut Nietzsche sehingga ia tidak menganggap “iman sebagai penjara”.

Demikian pula ketika Goenawan memberikan kata pengantar buku Nurcholish Madjid (Cak Nur): Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Ketika masuk ke dalam bahasan tentang Ke-Maha-Esa-an Tuhan dalam surat al-Ikhlas yang dijadikan sandaran Cak Nur, Goenawan mewanti-wanti agar pendapatnya tidak disalahpahami oleh pikiran yang sempit, terutama ketika mengatakan: “Kata esa dalam ‘Yang Maha Esa’ berarti juga yang singular, unik, tak bisa dipersamakan, yang secara mutlak tak ada yang menyamai dan secara mutlak pula tidak bisa diacu oleh kategori apa pun karena setiap kategori mendasarkan dirinya pada kesamaan”.

Di sini Goenawan tidak atau belum mengatakan bahwa Tuhan yang dibayangkan sebagai satu adalah Tuhan yang menipu atau mengganggu. Malah tafsirnya atas Tuhan yang maha esa sebagai yang singular dan unik itu, dan yang dipeluk teguh mayoritas muslim itu, justru mengingatkan pandangan “theologi negatif”, yang juga disinggung Goenawan. Dalam teologi negatif, katanya, mustahil menemukan padanan Tuhan yang tepat, baik terhadap manusia maupun alam semesta, sebab setiap ikhtiar membuat analogi antara Tuhan dan diri kita akan sesat. Lalu, kalau bukan dengan analogi, dengan apakah kita memahami Tuhan?

Dalam theologi negatif bahkan secara imajinatif pun tidak ada yang menyerupai-Nya. Karena itulah, dalam pandangan ini, pemberhalaan ditampik karena akan dianggap suatu pemahaman tentang Tuhan, yang kemudian pemahaman itu akan dianggap sudah merupakan representasi Tuhan yang final. Apakah memang demikian?

Ada banyak pertanyaan yang sesungguhnya menarik diajukan pada Goenawan. Namun baiklah kita periksa pandangannya yang lain. Masih banyak esainya yang bicara soal agama, iman dan Tuhan, terutama dalam catatan pinggirnya yang sangat luas dengan rujukan mulai dari para pemikir yang telah tiada sampai dengan mereka yang masih ”muda”. Nyaris semua pemikir ternama di dunia dan juga pemikir lokal yang baru muncul, pernah disinggung Goenawan, bahkan menjadi teman dialognya yang intim, seperti al-Hallaj, Nietzsche, Camus, Heidegger, Borges, Tagore, Gandhi, Tillich, Foucault, Said, Syekh Siti Jenar, E.F. Schumacher, Umberto Eco, Derrida, Arkoun, Octavio Paz, Asrul Sani, Ulil Abshar, sampai dengan Ahmad Sahal dan Hasif Amini—sekadar menyebut beberapa nama.

***

Dalam esai Goenawan yang terbit di Bentara/Kompas: Tentang Atheisme dan Tuhan yang Tak Harus Ada, seakan menegaskan kembali mengapa ia menganggap masih penting di hari-hari ini untuk membicarakan Tuhan. Mungkin karena Tuhan sebagai hal yang mungkin tidak tapi sekaligus yang mungkin ya. Atau mungkin seperti kata Goenawan sendiri: karena Tuhan tak hentinya diseru, hampir tanpa jeda dalam tiap kurun. Dan ”agama” tidak mati, malah menunjukkan wajah yang serba meruwah dalam setiap ruang kehidupan, dari yang paling intim personal sampai pada urusan publik.

Paham theisme maupun atheisme dalam tilikan Goenawan, masih membuat orang banyak salah sangka. Terutama ketika mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan pasti, seperti satu dalam filsafat matematis yang dianut kaum modernis. Para pengikuti atheisme bahkan lebih parah lagi. Dengan meminjam gagasan Marion dan Heidegger serta estetika dalam lukisan Matisse, Goenawan membongkar anggapan tentang tuhan kaum atheis seraya menegaskan bahwa Tuhan bukan seperti pengalaman yang dapat diringkas dan diringkus jadi konsep: seperti ”berhala konsep”. Namun dari sini Goenawan jadi sangat kritis terhadap Marion ketika mencontohkan Gottheid yang hendak digayuh Eckhart itu, yang akhirnya tak bebas dari sejarah dan bahasa, bahkan merosot jadi berhala juga.

Goenawan lalu menjadi sangat khas postmodernis ketika menganut ”dari tafsir ke tafsir” yang tak selesai dari Derrida. Lalu dengan gigih menempatkan filsafat sebagai yang telah mendekat ke arah puisi, metafora, simbol, yang menuntut pencarian terus-menerus tentang bahasa dan gramatika. Atau ”hidup dengan keterbatasan karena bahasa”. Mengapa bahasa? Kalau boleh menggunakan jawaban Pramoedya Ananta Toer dalam esainya yang bertitimangsa Masalah Tuhan Dalam Kesusastraan (1953), walau pun bukan pada konteksnya, karena setiap istilah bergeser-geser pengertiannya—juga pengertian tentang Tuhan—sepanjang waktu dan keadaan untuk mendapatkan kematangannya sendiri”.

Dengan bahasa, seperti bahasa, maka dunia terikat oleh ruang dan waktu. Bahasa berubah disebabkan oleh waktu dan ruang yang berubah. Maka pandangan manusia pun beubah. Kini segalanya menjadi relatif. Sebagaimana bahasa tak mungkin menjangkau Tuhan, atau Tuhan tak punya makna yang hadir, maka bisa terjadi Gempa Kata tulis Sutardji Calzoum Bachri: kata atau bahasa mengalami gempa, retak bertumbangan, runtuh, simbol dan metafora bisa porak poranda, koyak moyak, kamus bahasa sudah tak berguna karena makna telah hapus, dan lagi pula mustahil nyelamatkan korban lewat kata-bahasa, karena terjemahan pun tak kuasa menyelamatkan kata dari puing keruntuhan.

Demikianlah bunyi salah satu puisi baru Sutardji. Saya kira Tardji bukan bicara dalam konteks yang pas, karena ia sendiri bicara tentang kata dan bahasa dalam konteks kata kamusan. Sementara Goenawan saya yakin tak menempatkan pada mulanya adalah kata kamusan. Apa yang disebut kata atau bahasa, bisa jadi memang sebuah titian kecil menuju keragaman pemaknaan bukan dengan prosa, tapi lewat puisi yang tak terikat oleh ruang dan waktu. Dan ini sejalan dengan apa yang pernah digagas Amin al-Khuli dan Nasr Hamid Abu Zayd dalam Metode Tafsir Sastra walau tak terlampau menggugah. Amin al-Khuli mengusulkan untuk menafsirkan Quran dengan puisi. Mengapa puisi? Karena puisi bisa sedikit menjamin kita untuk tak terjebak pada akidah tunggal. Puisi akan menjanjikan pada pembaca untuk senantiasa melakukan penafsiran dan tidak melakukan tindak gegabah di dalam membuat klaim; menjaga si penerjemah untuk tak menjadi orang alim hanya secara taklid semata.

Tapi mungkinkah saya percaya pada Islam tanpa taklid? Di sini saya mesti masuk sejenak ke dalam takwil atau tafsir metaforis. Saya teringat pada sisi lain al-Ghazali yang pernah memperlihatkan gagasan yang sangat berani dalam mengemukakan eksistensi Tuhan dan mempertanyakan pandangan-pandangan lama tentang Yang Maha Dasar itu. Dalam karyanya, Miskat al-Anwar atau terjemahan Indonesia: Miskat Cahaya-Cahaya. Al-Ghazali memang masih memandang eksistensi Tuhan sebagai cahaya-cahaya kebenaran, dan melalui pantulan cahaya-cahaya itu katanya, keberadaan Tuhan tak dapat disanggah. Ini jelas pandangan analogis sekaligus metaforis, walau sangat beda dengan Nietzsche yang mengatakan: “Akulah Sang Bayang-Bayang Keabadian” dalam Demikian Sabda Zarahustra yang terkenal itu.

Sebuah takwil adalah sebuah pilihan yang sadar berdasarkan keterbatasan bahasa dan kepentingan masing-masing orang yang menggunakan tafsir. Karena tafsir hakikatnya terbatas, maka bahasa agama pun terbatas dan masing-masing pribadi bisa jadi akan punya penafsiran dan bahasanya sendiri dalam mengungangkapkan indahnya pertemuan dengan Tuhan. Dan setiap mufasir, seperti diakui Goenawan sendiri, tak sepenuhnya bisa melepaskan diri dari pelbagai unsur dalam dirinya dan bahkan masyarakatnya. Konteks sosio-budaya dan jenis pengetahuan seseorang akan ikut menentukan. Inilah yang pernah dikupas dengan sangat menarik oleh Amin al-Khuli dalam esai tentang tafsir yang hampir tidak mungkin dapat menghindar dari watak, sifat, pengetahuan, atau warna si penafsir. Tujuan seorang penafsir tak pernah tunggal dan seragam. Keberagaman muncul seiring dengan keragaman pengetahuan manusia. Maka, apa yang disebut dengan memparafrasekan, selalu meniscayakan penyepuhan di sana dan pewarnaan di sini, entah dengan warna putih, merah, kuning, abu-abu dan...

Jika dalam menakwilkan Quran terdapat warna teologis, warna fikih, warna sosiologis, warna antropologis, warna filsafat, dan warna si penafsir sendiri, maka seorang penyair mau tak mau akan membawa-bawa warna puisi dalam tafsirnya terhadap Kitab Suci. Sebab dalam Quran sendiri, Tuhan membahas secara khusus tentang kisah-kisah atau cerita yang menyinggung puisi dan penyair. Kalau penyair tida diperbolehkan menafsirkan Kitab Suci, apakah bukannya justru menentang kehendak Tuhan sendiri?

Shahnon Ahmad pernah menelusuri ayat per ayat dalam Quran dan menemukan sebanyak 227 kali penyair disinggung Tuhan. Hal ini tak berlebihan, mengingat Kalam ini turun ke dunia tepat setelah masyarakat Arab mengenal cita rasa sastra? Ketika Kitab Suci ini dilisankan Tuhan kepada Muhammad melalui perantara Jibril, dan disampaikan Muhammad kepada sahabat dan masyarakat Arab, maka saat itu telah muncul orang-orang Arab yang sastrawan atau pujangga.

Fazrur Rahman memang menolak Quran untuk didekati dengan puisi, dengan alasan yang menurut saya kurang meyakinkan. Rahman khawatir jika pendekatan puisi diterapkan untuk membaca Quran, karena susunan ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah akan tereduksi. Seorang mufasir yang menggunakan metode puisi dalam membaca Kitab Suci memang tidak harus mengotak-atik soal Makiyah dan Madaniyah lagi, sudah terlalu banyak buku-buku tafsir yang membahasnya. Lebih baik menyelam kedalaman kemaknaan dan stilistika.

Dalam Quran memang terdapat banyak muatan puisi dan prosa. Kisah nabi Adam dan Hawa, kisah nabi Musa, Isa, Yusuf, Sulaiman, Daud, dan cerita kaum Ad dan Thamud, cerita Ashabul Kahfi, Ashabul Fil, Isra’-Mi’raj, merupakan kisah-kisah dalam bentuk prosa dan puisi.

Bila dibandingkan sebagai kitab hukum, kitab ekonomi, kitab politik atau peradaban, Quran sangat pantas menyandang titel sebagai kitab sastra sepanjang masa. Mengungkap semesta metafora ayat-ayat mutasyabihat dalam Quran bisa menyuguhkan kemelimpah-ruahan makna yang selama ini masih tersembunyi. Soal benar dan tidakbenar, soal tepat atau tidaktepat, biarlah Tuhan yang menentukannya kelak, kita sebagai manusia hanya bisa melakukan kemungkinan salah dan kemungkinan benar.

Tetapi, yang penting diingat juga, setajam apa pun tafsir puisi atas Injil atau Taurat misalnya, ia lebih sebagai upaya menggugah jiwa dan bukan untuk mengeluarkan hukum. Hasil tafsirnya lebih menganjurkan kepada ikhtiar dan ijtihad, bukan untuk mengambil keputusan yang padu dan bulat. Memberikan inspirasi terhadap pikiran dan jiwa, bukan untuk mengeluarkan hukum syariat. Tafsir puisi atas kitab suci lebih sebagai gambaran puitis daripada peristiwa historis.

Dengan mengakui ini, maka apa yang penting dalam zaman ini adalah kerendahan hati serta mau berdialog. Setiap tafsir akan dituntut kesetaraan yang sadar-diri, bukan meraup nilai berlebih-lebihan atau terlampau taat asas. Soal iman dan taukhid bukan sesuatu yang dirumuskan sekali sesudah itu dianggap selesai sekali untuk selamanya. Pemaknaan kata Tuhan sendiri menuntut kita untuk mencarinya tanpa henti kecuali sudah mati.

Para penganut theisme yang mempercayai “Tuhan yang Maha Esa” atau Tuhan yang satu itu, dan yang juga dianut sebagaian besar para teolog yang percaya pada teori revalasi (teori wahyu) atau teori monotheisme, bukan tanpa kritik. Sebagaimana ditunjukkan dengan kritis oleh Goenawan dalam telisik mengenai 99 tatal atau percikan penghayatan tentang Tuhan dan hal-hal yang mungkin tak selesai. Pernyataan bahwa ”Tuhan satu” adalah taukhid yang tak berhubungan dengan Tuhan, karena dalam kalimat itu menyatakan Tuhan dengan makna yang hadir. Lagi pula pakai bilangan satu lagi, yang dalam matematika jelas satu itu logis dan pasti. Padahal tafsir tentang Tuhan, kata Goenawan, bukan untuk menghadirkan Tuhan konsep, Tuhan sebagai satu yang logis.

Ketika Tuhan mengatakan dalam Quran: ”Ke arah manapun kau berpaling, ada wajah Tuhan”, itulah pesan Tuhan yang dalam tatal ke-60 buku Tuhan & Hal-Hal yang Tak Selesai ditafsirkan Goenawan sebagai ”Tuhan yang berbeda, bukan sebagai sama, bukan sebagai satu, karena satu itu palsu, seperti sapu lidi, meskipun padat dan pejal, ia bukan satu, tapi berbeda”. Seperti pesan dalam buku Tao Ching yang dikutip Goenawan dalam tatal 61, Tuhan ”tak bernama, itulah Bunda semua hal-ikhwal”. Dengan mengatakan ”Allah itu esa”—yang padanannya adalah eka atau satu—maka menurut al-Hallaj, kita telah menambahkan sesuatu pada taukhid. Memandang Tuhan dengan cara itu justru menganggap Tuhan hanyalah ketergantungan belaka. Padahal bagaimana pun, ketergantungan bukanlah sifat Tuhan. EsensiNya bisa jadi singular, sementara kata adalah sifat esensi, bukan esensi itu sendiri.

Apa yang dikatakan al-Hallaj puluhan abad lampau itu, bisa kita telusuri dalam pemaknaan taukhid yang dikemukakan Nietzsche dalam Anti-Krist. Nietzsche menohok konsep taukhid dalam kepercayaan Kristen dan beberapa pemikiran para filsuf (termasuk Kant). Bagi Nietzsche, satu Tuhan yang bisa menyembuhkan sakit dan dapat menjadi pelindung umat, kalau pun ia benar-benar eksis, tetap layak diabaikan. Pandangan bahwa Tuhan satu tak lain adalah bentuk dari ”silogisme pendeta”, kata Nietzsche, atau ”silogisme Rasul”—kalau boleh meminjam istilah Hassan Hanafi dalam buku Dari Akidah ke Revolusi ketika ia menyinggung buku Aqiyisat al-Rasul (Kias-kias yang dilakukan para Rasul).

Mengganggap bahwa Tuhan adalah satu secara konseptual dapat terjerumus ke dalam syirik. Nietzsche mengkritik paham taukhid bilangan dengan meyebutnya sebagai ”takdir Tuhan”, ”Tuhan sebagai satpam yang berjaga di pintu rumah”, serta ”Tuhan sebagai kalender dan pelayan domestik”. Konsep tentang Tuhan ”melingkupi kata ’kami’ sebagai pengganti subyek-subyek”, kata al-Hallaj kemudian, bukan kata ”saya” yang tunggal: ibarat anak busur, Tuhan melintasi subyek-subyek, menerjang dan menjungkirbalikkannya.

Menyatakan suatu bilangan satu meniscayakan adanya kondisi yang terbatas. Subyek nyata dari taukhid justru bergerak dalam pusparagam subyek-subyek karena Tuhan berada tidak dalam subyek, bukan pula dalam makna obyek yang jelas, bukan pula dalam hal pengganti keduanya. Puncak dari keadaan pronominal (tak bernama atau tak berbilang) taukhid tidaklah menyertakan sang subyek-subyek. Konsep-konsep. Tuhan tak pantas dikaitkan dengan nama dan Tuhan tak pantas dikaitkan dengan bilangan.

Goenawan, walau tidak eksplisit, tidak hendak menegaskan bahwa Tuhan adalah nol, walau satu sudah disebutnya menipu. Dan ini sangat dekat dengan sebuah ”taukhid hibrid” yang menolak penunggalan, kesatuan, serta tak menuntut sebagai sosok yang hadir secara kasat mata. Tidak ada yang solid, juga iman, juga Tuhan. Namun, Goenawan juga mengingatkan kita: Tuhan bukan pernyataan taukhid.

Dan sejak dahulu para pemikir diam ketika Tuhan adalah Tuhan. Nietzsche, kita tahu, ia memilih jalan ”menegasikan” Tuhan, karena kita dapat mengetahui lebih banyak tentang apa yang bukan Tuhan ketimbang tentang apa adalah Ia. Maka pilihan yang paling bijak dari semua kebijaksanaan adalah mengatakan “Tuhan telah mati”. Dan pasca-kematian itu, Ia akan hidup dan lebih hidup dari hidup itu sendiri. Maka Nietzsche pun menghampiri Tuhan yang menari.

Karena saya sudah menyinggung soal ”Tuhan yang hidup” segala, maka izinkan saya menurunkan pemetaan Octavio Paz mengenai atheisme di Amerika Latin dalam esai From Alternating Curren yang diterbitkan dalam buku analekta Latin-American Literature Today (1977). Gagasan Paz tentang atheisme dipuji Mangunwijaya sebagai esai sangat bagus tentang atheisme dari seorang penyair dan esais. Paz mengatakan bahwa atheisme itu bersifat mondial dan memiliki cabang. Ada atheisme yang percaya pada Tuhan yang hidup. Tetapi bagi Paz, atheisme ini menganggap seolah-olah Tuhan tidak pernah ada. Pada atheisme jenis ini Paz mengatakan: inilah atheisme tulen dan kebanyakan orang Amerika Latin yang Katolik, justru berada dalam golongan ini.

Sementara golongan lain, adalah atheisme semu. Disebut semua karena atheisme jenis ini percaya bahwa Tuhan tidak pernah mati, sebab Ia tak pernah ada. Namun sangat disayangkan bahwa golongan pemuja atheisme ini justru meyakini sejenis ”Tuhan-tuhan baru”: nalar atau rasio, gagasan tentang kemajuan, dan sejarah yang tamat. Golongan ini masih terbagi dua golongan lagi; yaitu yang ditunjukkan dalam tokoh yang gila namun jenius dalam karya Nietzsche, dan mereka yang menjadikan atheisme sebagai laku-iman. Kedua cabang ini sama-sama mengekspresikan Tuhan secara religius, sabar, tawakal, dan rendah hati, namun guyah.


***

Dalam konteks filsafat, Goenawan percaya pada ”sejarah sebagai proses”. Hal ini ditegaskan dalam Catatan Pinggir bertajuk Tokoh (1/2/1999). Di sini pandangan pasca-strukturalisme tampaknya telah menemukan tempatnya yang kuat dalam pemikiran Goenawan. Dan ia sendiri menggugat sejarah dengan cara bertanya, sebuah pertanyaan yang disukai oleh kaum postmodernisme katanya, adalah: ”di mana ada subyek yang kukuh dan solid, ketika tubuh dan jiwa ternyata tidak bisa menentukan dirinya sendiri?”

Karena itu, sejarah bagi Goenawan mirip seperti sebuah pasemon dalam ”metafisika labirin”—sebuah genre sastra fantasi yang menggantikan metafisika lama yang dianut Thomas Aquinas dan Ibn Rushd. Dalam telisik tentang Jorge Luis Borges—tokoh yang juga memukau Goenawan jauh sebelum karya Labirin Impian (1999) diterjemahkan Hasif Amini—ia mengatakan: apa yang dinamakan filsafat dan hasil pemikiran umumnya, mungkin saja sebagai ”suatu cabang dari sastra fantasi”. Dan ”seperti para ahli metafisika labirin, yang penting adalah berlomba-lomba mengejar kedahsyatan”, juga ”seperti sebuah gairah dalam permainan yang tak selesai”.

Tahun 1988 Goenawan juga menyebut sebuah dongeng dari Borges tentang misteri angka 2-0 dari suatu pertandingan bola yang mengasyikkan dan menyuguhkan suspens diam-diam yang tak terduga. Sampai-sampai Goenawan bilang: dalam dongeng Borges tentang kota Babilion itu, ”tak ada hukum dan tak ada rumus yang berlaku umum” seperti ketika kita memasuki ”lorong panjang yang gelap”. Namun di sinilah paradoksnya, seperti kata Borges: apa yang kita alami adalah sebuah khaos yang ”sekali-sekali berbaur masuk kosmos”. Sebuah tafsir yang tak berakhir dengan ”labirin berujung tunggal” (mencuri istilah Nirwan Ahmad Arsuka secara terbalik). Melainkan pasemon metafisik labirin yang menawarkan sebuah kelana dalam proses yang tidak mengenal ketamatan.

Dengan kata lain, sebuah sikap yang—mengutip kata-kata Goenawan sendiri—“suatu kecenderungan untuk selalu menyangsikan kepercayaan” karena yang namanya ”kepercayaan” selama ini senantiasa dianggap selesai. Menyangsikan, bukan menolak. Karena Goenawan masih mengusulkan bentuk ’kepercayaan di luar segala hal-ikhwal”. Ragu memungkinkan orang untuk mencari. Keyakinan yang hidup bukan sebuah patokan yang telah disiapkan, melainkan sebuah kelana dalam proses.

Jika Borges dan Goenawan terpesona oleh misteri angka 2 : 0, Ayu Utami—yang akan saya bicara lebih panjang di tempat lain—justru melakukan pencarian lewat 1 : 0 dengan menempatkan nol sebagai bilangan Fu: bilangan mistik. Namun antara Ayu dan Goenawan sama saja; sama-sama ber-laku-kritis terhadap monotheisme yang dipeluk teguh kaum sejarawan agama.

Dalam setiap pencarian, bisa saja saya mengalami ketidakpastian dan terus-terusan dirundung keraguan. Bahkan mungkin keraguan yang paling murung. Mungkin pemikiran Goenawan dekat dengan sejumlah pandangan filsafat yang mengarah pada apa yang disebut oleh Unamano dan Michel A. Weinstein dalam pengantar buku Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusia Francisco Jose Moreno sebagai agonic doubt (keraguan yang menyengsarakan) daripada hanya sekedar mengarah kepada keragu-raguan metode Cartesian.

Dengan kesangsian, kemurungan, Goenawan telah meletakkan sikap puitis ke dalam filsafat dan menunjukkan bahwa ”filsafat pada akhirnya adalah puisi”. Inilah suatu ikhtiar Goenawan untuk terus mencari pegangan dalam kebimbangan. Sebuah skeptik yang berbau-prosa Nietzschean. ”Kegairahan pikiran, kebebasannya melalui kekuatan dan kekuatan superior, dibuktikan dengan skeptisisme” sebab ”keyakinan adalah penjara”, tulis Nietzsche dalam Anti-Krist.

Karena itu, ketika bicara soal iman pun, Goenawan kerap kali membubuhkan laku-kritik dengan menekankan sebuah proses pencarian yang belum sudah. Tuhan yang tak harus ada karena pemahaman kita tentang Tuhan bersifat kemungkinan. Dan tiap-tiap tafsir sudah tentu meniscayakan keragaman sekaligus keterbatasan, ibarat sebuah ”riak gelombang tafsir yang tak pernah selesai”, untuk memakai istilah GM sendiri dalam esai Labirin.

***

Tafsir pluralis yang disuguhkan Goenawan memang terasa khidmat dan nikmat. Gaya epigramnya yang khas dalam mengkritik pendapat orang lain yang dianggap berlainan atau berseberangan dengan pahamnya, kadang memang mengajak kita untuk menyimpulkan bahwa Goenawan tak lapang dada dan cenderung bersikap tidakadil. Ikhtiar dan kerendahan hati serta kewaspadaan dalam menerima kepelbagaian, termasuk dengan kaum ”fundamentalisme”, terasa tidak mau kompromi. Ketika merasa ada ”berbenturan” paham dengan kaum fundamentalis, Goenawan cenderung ketus dan generalis.

Sikap pluralis dan iman dalam proses kadang masih menjebak Goenawan untuk mengambil kesimpulan yang mendesakkan ijtihadnya sendiri kepada kaum yang berbeda atau berselisih pandangan. Dalam catatan pinggir bertajuk Ahmadinejad (21/5/2006) misalnya, Goenawan mengatakan: ”Ada satu ciri kaum fundamentalis, dari agama apa pun: mereka memusuhi hidup. Hidup adalah sejenis hukuman, karena fana dan diubah waktu. Bagi mereka, waktu yang berubah adalah jalan kemerosotan...Setiap kalimat dalam Kitab Suci harus dipatok sebagai sesuatu yang mandek”.

Goenawan sepertinya ingin membenturkan kembali gagasan fundamentalis dengan gagasan liberal. Seakan-akan pandangan liberal selalu berada dalam wilayah yang selalu membawa misi kesejukan, kedamaian, kasih dan tiada menyebarkan prasangka. Padahal, seperti sering ditegaskan Karen Amstrong—kendati beberapa pandangannya terlampau memuji-ria dan berlebihan—orang yang berada pada posisi liberal masih sering mengedepankan waham, mengdepankan intoleransi, konflik, permusuhan, seperti dalam pandangan sejarah Eropa atau di Barat abad ke-20 lalu.

Di atas semua itu, pandangan puitis Goenawan terhadap masalah ketuhanan tetap pandangan yang memiliki pijakan dan argumen yang sah. Tak seorang penyair pun yang begitu getol dan nyaris tak pernah berhenti melakukan tafsir terhadap Kitab Suci, agama dan Tuhan. Membaca esai-esai Goenawan yang liris sekaligus kritis, selalu ada risiko untuk terjebak pada kesimpulan deduktif dan induktif model penulisan skripsi di perguruan tinggi. Upaya untuk menyadari ini, tak gambang. Bahkan untuk sekedar bersemboyan dan, dan, dan pun ternyata tak mudah. Sebab, seperti kata Goenawan: pada setiap masa tampaknya selalu ada saat yang tak mudah untuk berbicara, tapi tidak gampang untuk diam. Kita tidak tahu pasti bagaimana persisnya kata-kata akan diberi harga, dan apakah sebuah isyarat akan sampai. Di luar pintu, pada saat seperti ini, hanya ada mendung, atau hujan, atau kebisuan; mungkin ketidakacuhan. Semuanya teka-teki.

Proses pemikiran Goenawan sangat unik dan tak jarang menunjukkan kepada kita bahwa tak ada pikiran yang bisa bertahan dari hantaman waktu. Bisa saja orang meramalkan bahwa waktu akan mati, Namur kenyataannya justru waktu tak juga mati. “Para penyair mengira bahwa waktu akan jadi beku di dalam ruang”, tulis Goenawan, “terutama “ketika ia dibaca sebagai unit matematis”. Namun “kini orang makin tahu, waktu justru efektif dilecut modernitas”. Tetapi, bukan waktu semacam ini yang terasa membebaskan hidup, membuat hidup jadi lapang. Melainkan arus waktu yang tak selesai.

Maka, tiap-tiap pendapat dan gagasan akan terus diuji dalam tiap-tiap zaman. Karena itu ia tak percaya dengan puisi ruang dan ”kedalaman”. Karena itu cuma ilusi geometris. Sementara waktu memberikan pengalaman kreatif yang tak didapatkan dalam ruang. Dengan mengambil judul Kata, Waktu, maka hal-ikhwal yang menjadi perhatian Goenawan tak selesai dan relatif. Hari ini ia mengatakan sesuatu yang tegas, besok atau minggu depan bisa jadi akan direvisinya. Tak ada waktu-diam, melainkan waktu-berjalan. Namun jangan salah: dalam sajak-sajak Goenawan justru dominan sekali tentang seutas waktu yang bisu.

Pandangan ini tak harus dianggap sebuah kelemahan, sebab apa yang disebut dengan mempertahankan konsistensi, sekarang sudah usang karena dunia kini tengah merayakan serba inkonsisten dan serba-relatif. Sajak-sajak Goenawan sendiri tak pernah konsistensi namun selalu menampilkan sebuah laik-larik koheren yang menarik. “Ideologi” kepenyairannya tampak mendurhaka pada kesetian terhadap Kata.

Sajak Waktu yang Membisu

Pemikiran Goenawan yang skeptis, murung, dan sepintas menjelma sebuah pasemon metafisik. Namun bukan dalam arti aliran filsafat, melainkan puisi. Bagaimana pun, pemikiran Goenawan banyak dipengaruhi oleh sikapnya sebagai seorang penyair. Goenawan terhitung penyair liris terbaik milik Indonesia yang telah menciptakan puluhan—mungkin juga ratusan-epigonnya di Indonesia.

Corak sajak Goenawan adalah bisu. Ini kesimpulan Emha Ainun Nadjib yang saya setujui. Goenawan bahkan tak jarang merayakan keheningan, dan bahkan ”kebisuan” abadi. Seperti para dewa yang bosan hidup di pedalaman mencari kedalaman, Goenawan kadang kala merayakan gemuruh di langit yang tak nampak di mata kecuali hanya terdengar sayup-sayupnya di kejauhan. Goenawan sendiri punya istilah yang menarik, yang dipinjamnya dari Holderlin, tentang bagaimana hidup tak cuma memberi kita kesadaran akan ruang dan kedalaman, tapi kita membutuhkan sejenis "Dewa Waktu yang membisu".

Sudah banyak kritikus yang mencoba menantang wawasan puisi kebisuan Goenawan dengan menghasilkan esai yang stilis dan kritis. Kritikus A. Teeuw mungkin yang terdepan dalam membela puisi-puisi Goenawan sampai dengan memberi penghargaan, lalu ada Harry Aveling, Dami N. Toda, Sapardi Djoko Damono, Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Arif Bagus Prasetyo. Selain kritikus ini, masih banyak esai dan kritik sastra yang menggeluti puisi-puisi Goenawan. Belum lagi dalam bentuk skripsi dan tesis di perguruan tinggi.

Sebagian besar tanggapan pembaca terhadap sajak-sajak Goenawan nyaris sama: Goenawan penyair terbaik, kuat, matang, menantang, dan kata-kata dalam sajak-sajaknya tampak mengandung larik-larik koheren yang meningatkan kita pada puisi-puisi penyair Jerman, Rilke. Goenawan sendiri dalam pengantar buku Hartojo Andangdjaja, Dari Sunyi ke Bunyi (1991), pernah bilang begini: ”Tidak mengherankan bila mereka yang tidak memiliki daya untuk menjadi koheren—satu hal yang diperlukan dalam menulis puisi—pada akhirnya akan dapat diketahui dalam tulisannya yang lain”.

Setelah Chairil Anwar, penyair yang menulis puisi liris keintiman dan intensitas yang tinggi, terkadang gemar berdialog batin dengan sifat yang murung dan getir dalam merayakan sebuah ironi dan sulawan, adalah Sitor Situmorang dan Goenawan. Bisa jadi kini puisi-puisi lirik Goenawan yang terdepan di antara puisi-puisi Sitor, Rendra, Abdul Hadi WM, Danarto, yang juga bergelut dengan puisi-puisi liris yang nyaris melumat batin si penyairnya sendiri.

Antara Goenawan dan Sutardji terdapat banyak perbedaan, tapi juga punya kedekatan; keduanya bisu dan sama-sama ”emoh politik”. Sama-sama berada dalam ”menara gading” (walau belum ada sajak menara gading yang sesungguhnya). Keduanya kini nyaris menjadi pemuka dalam jagad kepenyairan Indonesia. Keduanya sama-sama-sama intim dan serius bergulat dengan hakikat mencari pengucapan berikut upaya menghadirkan eksperimen terus-menerus dengan wawasan puitik yang paling getol, entah lewat kredo maupun lewat esai-esai yang secara tidak langsung menampilkan pembelaan atas ancaman kematian puisi.

Goenawan sering kali menampilkan kosakata bahasa Indonesia yang belum banyak digunakan, sinonim dan berbagai logat yang ditakik dari berbagai mulut dan khazanah. Di mata sebagian besar orang, bahasa Goenawan dianggap gelap. Tetapi, penyair paling gaya dalam menghadirkan puisi sebagai “darah-daging” dan kerap kali membela puisi dari penjajahan ilmu pasti, adalah Goenawan. Sementara Sutardji terus menghadirkan puisi yang puitik dan anti-lirik dengan kekuatan kata yang telah dibebaskan dari beban-berat makna. Kendati puisi-puisi Sutardji sesudah O Amuk Kapak (1981) yang terangkum dalam Atau Ngit Cari Agar terkesan bulat, padu, koheren, tertib, dan beralih ke puisi kalimat dengan menampilkan maksud atau amanat-amanat yang tak lagi tersembunyi dan gelap, gaya puisinya tetap berbeda secara mencolok dengan gaya lirik atau puisi-prosa.

Satu hal yang terus dipertahankan Goenawan yang saya rasakan sehabis membasa puisi-puisinya adalah, sifatnya yang skeptis terhadap apa yang disebut orisinalitas. Sementara bagi Sutardji, penyair harus menemukan bahasanya sendiri yang berbeda dengan yang lain, karena yang tak menemukan bahasa dan pengucapannya sendiri tak bakal disebut penyair. Bahkan secara tegas Sutardji percaya adanya kebaruan (novelty), karena tanpa kebaruan tak ada yang namanya kebudayaan.

Bukan maksud saya untuk membandingkan Goenawan dengan Sutardji dari persepktif perbandingan nilai di sini, apalagi mempertandingkan mana di antara keduanya yang baik dan jelek, karena Gonawan sendiri sangat apresiatif terhadap puisi-puisi Tardji. Bukan maksud saya ingin menyimpulkan secara bulat apa yang saya katakan di atas, karena perbedaan antara gaya bahasa puisi dan prosa itu sendiri sejak zaman Sutan Takdir Alisjahbana mempertentangkan puisi baru dan puisi lama hingga kini tetap tak pernah jelas batasnya.

Apa yang saya maksudkan mungkin bisa dikatakan sebagai puisi lirik dan puisi non-lirik, akan tetapi tak begitu jelas juga batasan keduanya. Kendati juga tak terlampau sulit untuk membedakan. Pembaca cukup jeli bisa membedakan mana puisi yang puisi, mana puisi yang prosa, kendati sulit untuk disimpulkan seperti ini dan itu. Dua gaya puisi tak bisa dikatakan yang satu lebih baik dari yang satunya lagi. Saya tak pernah percaya bahwa puisi liris mutunya lebih rendah dari puisi puitik. Tak seorang pun berhak mengklaim kesimpulan semacam ini, karena masing-masing memiliki hukum diksi penciptaannya sendiri. Setiap puisi yang di jalani penyairnya dengan intim dan penuh pergulatan dan pencarian terus-menerus, apa pun gaya dan bentunya, punya peluang sebagai puisi yang baik dan kuat.

Oleh karena itu, daipada mempersoalkan kenyataan itu, jauh lebih menarik membandingkan dua gaya puisi bukan sebagai perbandingan nilai, karena kebesaran dan kekuatan keduanya akan tampak bukan dari genre dan gayanya, tapi pada keintiman penyairnya menyelam hakikat kata sampai berjerih dan merintih—baik yang sudah terkatakan mau pun di luar yang terkatakan. Keduanya bisa unjuk kebolehan sekaligus pamer prioritas urutannya. Tak mungkin puisi liris selalu minus pergulatan sosial-politik, demikian pula puisi puitik. Namun antara puisi Goenawan dan Sutardji sering dianggap menara gading dan oleh karena itu wajar jika Goenawan dan para kritikus sastra di Komunitas Utan Kayu banyak memuji sajak-sajak Sutardji.

Dari 134 sajak Goenawan yang dimuat dalam buku analekta Sajak-Sajak lengkap 1961-2001 (Metafor, 2001) setidaknya ada 25 sajak yang menyinggung soal Tuhan yang berhububngan dengan tafsiran atas waktu. Sebagian besar sajak dalam analekta ini banyak berurusan dengan waktu psikologis, dan hal ini telah ditunjukkan dengan baik oleh A. Teeuw dan Arif Bagus Prasetyo dalam ulasan sebelumnya. Sajak-sajaknya mengungkai bahasa pengucapan yang tenang namun intens. Ungkapan-ungkapan tentang Tuhan misalnya, memunculkan beberapa istilah yang unik; seperti berikanlah suara-Mu, bacalah dengan nama Tuhanmu, Engkaulah arah singgah Tuhan, Ya, Maha Dasar, tak ada lagi yang bisa keluar, Tuhan, kerajaan apa yang terhantar, Tuhan kerajaanmu jadi kerajaan kami, Tuhan, ini kali bukan berita lagi, Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?

Goenawan memang tidak menghadirkan sajak yang orisinal dan bukan sebagai pembaru di lapangan sajak, namun jelas penyair ini tak bisa diabaikan. Sang penyair kita tahu, tak pernah percaya bahwa kata-kata dalam puisi bukan sebuah warisan, walau ia sendiri pernah bilang puisi “bukan sebagai pemberian turun-temurun”, melainkan hasil pencarian sendiri dengan bergulat menyelam hakikat sampai berkeringat.

Walau pilihan Goenawan jatuh pada puisi lirik yang mainstream di dunia, sang penyair tak memiliki tradisi puisi dunia, kecuali tradisinya adalah Chairil Anwar—sebagaimana ia nyatakan dalam esai Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang. Tapi antara puisi Chairil dengan Goenawan tampaknya sudah jauh berbeda, bahkan sajak-sajak Goenawan lebih dekat dengan puisi-puisi Sitor Situmorang.

Goenawan bergulat dengan hakikat tanpa dibayang-bayangi oleh masa lalunya. Dan ini tampak secara mencolok bila kita tengok pernyataan kepenyairannya dalam esai biografi yang tersohor itu. Dalam puisi-puisinya, ada kecendeungan untuk menohok sains dan filsafat, kendati beberapa sajaknya dekat dengan eksistensialis, metafisika. Selain itu, sajak-sajaknya sangat romantis ketika bicara tentang ”kesadaran” manusia berikut segala pergulatan batinnya.

Sajak-sajak Goenawan sampai pada tahun 1980-an, sebagian besar menggunakan pengucapan liris yang eksistensialis. Namun lirik Goenawan lebih menekankan pengalaman batin yang dilukiskan melalui kata-kata, atau juga benda-benda, sementara eksistensialis sebagai genre filsafat justru mengkhotbahkan pengalaman batin itu menjadi sebuah ajaran atau falsafah hidup. Jika filsafat eksistensialis dimulai dengan pertanyaan siapakah manusia, dari mana ia berasal dan kemana ia akan pergi. Maka puisi lirik dimulai dengan “sepi ini semula, bersiap kecewa” hingga “rindu rupa rindu rasa”, dan “angkara jiwa di tengah samudera” (metik larik-larik puisi Goenawan sendiri).

Jika fiksafat eksistensialis masih kerap kali memikirkan, merenungkan, puisi lirik mencoba melukiskan dan mengungkapkannya dengan suasana nada-nada melalui metafora. Maka tak aneh bila kita banyak berjumpa dengan renungan eksistensialis dalam sajak-sajak Goenawan. Namun yang eksistensialis itu sendiri tak lain adalah genre puisi liris.

Sejak awal kepenyairan Goenawan tampak bahwa ia bukan seorang humanis dan pandangannya tentang Tuhan tidak dipengaruhi oleh humanisme. Bila kita tengok dalam puisi-puisinya, tak ada pendewaan manusia dan kecenderungan untuk merayakan keterlibatan sosial. Puisi-puisinya sangat sadar-diri pada keterbatasan ruang dan waktu manusiawi. Jika kita mengikuti perdebatan antara Jean Paul Sartre dan Levi-Strauss, maka Goenawan jelas dekat dengan yang terakhir dan menampik Humanisme dengan huruf besar yang ditekankan Sartre itu.

Lirik-liriknya tak berusaha membangun sebuah pandangan dunia yang bulat dan padu. Bahkan sajak-sajaknya tidak menampilkan sebuah pengertian, atau mengaktifkan pikiran, melainkan mengutamakan imaji, intuisi, suasana. Caranya mengekspresikan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan dalam sajak, kerap kali mengingatkan kita pada kecenderungan aliran puisi metafisika. Mungkin lebih pas disebut pasemon metafisik tadi, atau metafisika labirin.

Sapardi Djoko Damono dalam epilog buku Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 telah memaparkan kecenderungan lirik Goenawan yang banyak menghadirkan suasana alam, lukisan, pemandangan, ilustrasi, gambar, yang begitu dekat dengan dunia sehari-hari atau dunia penghayatan (juga dunia pengkhianatan), yang begitu tipis jaraknya dengan lirik—sebuah cara pengucapan pribadi yang jernih yang menawarkan penghayatan dan kepekaan perasaan.

Goenawan begitu intim ketika mengekspresikan sebuah kosmos sebagai rumah tangga manusia. Sang penyair tak terlampau tertarik pada pengertian, tapi gemar pada hayatan, renungan, pertanyaan, baik tentang manusia, alam, dan Tuhan. Karena memang apa yang dihayati adalah milik si lirikus-nya. Goenawan memilih keheningan, kesepian, kehilangan, keterasingan, dan bahkan mengungkai pasifisme-pasifisme yang tak sudi dibagi, karena semua itu merupakan sebuah penghayatan pribadi baginya. Sebab ”pribadi bukanlah suatu hal yang dengan mudah diberi label dan sepenuhnya dapat dikonseptualisasikan”, tulisnya dalam esai Mencoba Berbicara Tentang Iman.

Goenawan melakukan refleksi sekaligus refleksi-diri yang menghasilkan imaji yang jernih dan kuat, baik ketika bicara soal keresahan batinnya maupun tentang berbagai persoalan ketuhanan dan kemanusiaan. Sang penyair bahkan melakukan orientasi sekaligus re-orientasi terhadap apa yang lama terpendam dan nyaris lapuk dalam laci kenangan kemudian diproyeksikannya kembali ke dalam puisi sunyi. Ia telah memperlihatkan kematangan pengucapan lirisnya, terutama yang kita rasakan dalam keresahan dan pengekangan diri, baik pada bentuk ucapan maupun pada sikap hidup aku-liriknya yang kian menjauh dari hiruk-pikuk politik.

Kematangan itu terlihat pada pilihan kata dan ungkapan perbandingan yang pekat dengan kehidupan yang secara matang sering kali dipertimbangkan untuk datang. Aku lirik bahkan tak segan-segan mencemooh diri dengan cara menerima ironi, absurditas, ambiguitas, dan paradoks dalam hidup sebagai sesuatu yang “wajar”. ”Mari hidup dengan ironi”, katanya suatu kali dalam catatan pinggir.

Peristiwa hujan juga banyak saya temukan dalam puisinya, sebagaimana juga saya temukan dalam puisi Sapardi Djoko Damono. Peristiwa ini menunjukkan pergulatan batin Goenawan yang penuh rahasia dan juga keresahan si aku dalam mengungkapkan maknanya atau pencarian yang tak kunjung diperolehnya. Mungkin saja pencarian itu tertuju kepada Tuhan, atau kepada dirinya sendiri. Siapa aku? Siapa manusia?

Kecendrungan menggunakan metafora hujan dalam sajak merupakan sebuah pertanyaan yang bisa menjadi jembatan penghubung dalam proses pencarian makrifat yang mencemaskan atau meresahkan, yang sering kali berujung pada labirin tak berpangkal dan berujung, sehingga sang lirikus tampaknya mengalami semacam apa yang disebut Sapardi sebagai krisis kepercayaan pada hujan itu sendiri.

Peristiwa hujan, gerimis, senja, embun, begitu banyak kita temukan dalam puisinya, dan ini menunjukkan pergulatan hidup yang setengah tersembunyi, dan mungkin juga keresahan yang akut dalam mengungkapkan makna pencarian yang tak kunjung dapat ia temukan. Metafor hujan merupakan sebuah pertanyaan yang bisa menjadi jembatan dalam proses pencarian yang membosankan. Hujan jatuh rimis tidak lain adalah ungkapan lain dari kesunyian yang dominan dalam 134 sajak Goenawan di buku Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001.

Saya kira Goenawan pernah membaca ungkapan Octavio Paz ini: “kita berasal dari sunyi dan kepada sunyi kita kembali” karena kita temukan kata-katanya seperti “sungai yang tak banyak riak” tapi air diam menghayutkan lantaran sang penyairnya bukan kembali “kepada kata yang tak lagi tinggal sebagai kata” apalagi “jembatan antara terik dan hening” atau “sesuatu bukan apa-apa/bukan apa-apa adalah sesuatu” (Octavio Paz), melainkan kepada berbagai tegangan dan sulawan. Negasi kepada kata sebagai alat berarti kembali kepada kata sebagai alat. Kembali kepada ironi, mari hidup dengan ironi si kembar siam, kata (untuk meminjam ungkapan Budi Darma).

Bagi Goenawan, sebuah puisi adalah sebuah tindakan imaji, di mana segala hal seakan hadir dengan nyata. Makin lama kita menghayati puisinya, makin sulit membedakan antara fiksi dan realitas. Dan pembedaan ini tak banyak gunanya. Tidak setiap puisi pada dasarnya mengajak pembacanya untuk menyelam realitas atau hal-ikhwal yang gaib melalui tindakan komunikasi—apalagi komunikasi dengan pengeras suara atau dengan kata-kata yang membahana. Puisi lirik yang baik justru berusaha melakukan komunikasi lewat bahasa kesyuhadaan, kebisuan, dan kediam-dirian yang ”sunyi abadi”.

Barang kali karena Tuhan lebih menyukai mereka yang menemui-Nya dengan sunyi, maka sajak-sajak Goenawan tampak masuk ke dalam kesunyian yang bagaikan ”sajak bisu abadi, dalam kristal kata, dalam pesona” katanya dalam puisi Di Muka Jendela. Atau Aku lirik mencoba ”menemu malam”, seperti kata Chairil dan Nietzsche, karena pada malam aku lirik justru menemukan penghayatan diri yang intens. Pada malam juga, sang penyair seakan tengah melakukan doa-diam, menulis dalam-diam, yang memang terasa intim ketimbang saat siang yang gaduh.

”Kesunyian abadi” dalam sebuah waktu dan ruang dalam sajak-sajak Goenawan terasa begitu mendalam dan kuat, terutama dalam sajak-sajak yang ditulis tahun 1960-an. Sajak-sajak yang bertahun 1963-1965 (tahun polemik keras antara sastrawan penganut realisme sosialis dengan sastrawan penganut humanisme universal yang sudah saatnya dikubur ini) tampak secara total menjauh dari pengucapan ”politik”. Menengok dari judul-judul sajak-sajaknya pada peride ini tampak Goenawan benar-benar masuk ke dalam kebisuan dan kesunyian yang murung dan pasif, yang mengingatkan kita pada Cseslaw Milosz—pengarang buku esai Yang Terpasung—yang menarik diri secara total dengan politik di Rusia dengan menerbitkan buku kumpulan sajaknya bertajuk Sajak Waktu Yang Beku.

Goenawan memang pernah mengutip selarik sajak Milosz tentang kebisuan dalam Catatan Pinggir bertajuk Milosz dan Ketman (15/11/1980). ”Aku bicara padamu dengan/kebisuan sebungkah mega atau pohonan”, kata Milosz yang dikutip Goenawan. Banyak kesamaan sikap antara kedua penyair ini. Ketika banyak orang bicara soal garis partai atau politik sebagai panglima, keduanya bicara soal seutas waktu kebisuan. Namun asosiasi politik dalam sajak dan esai-esai Goenawan seakan tak bisa membedakan antara hakikat politik dengan partai politik, antara nilai politik dengan slogan.

Namun, di sini pula saya menangkap bagaimana puisi-puisinya menggunakan bahasa yang sering hanya berupa monolog batin atau percakapan sendiri dalam hati (silent soliloquy). Dalam sajak-sajak lirik Goenawan, tindakan yang tidak komunikatif dihadirkan dengan bahasa sunyi kebisuan. Inilah yang disebut Goenawan dalam catatan pinggir bertajuk Kebisuan (11/12/1976) sebagai sebuah puisi “kediam-dirian yang hening, ibarat seutas tali kebisuan, di mana bunyi bahasa hanyalah simpul-simpulnya”. Sambil mengutip Ivan Illich, Goenawan mengatakan: komunikasi dengan cara kebisuan adalah sebuah “kefasihan dari diam” (the eloquency of silence).

Kalau kita percaya bahwa kata-kata adalah bagian dari keberdiam-dirian, demikian kata Illich yang disitir Goenawan, maka yang terasa nikmat dan terdengar elok bukan lagi bahana atau suara keluar, tapi keheningan batin. Inilah bentuk komunikasi dengan diam. Dan komunikasi jenis ini mengajak kita untuk senantiasa melakukan refleksi atau refleksi diri yang akan menghasilkan gambaran yang jernih, tenang dan jernih.

Dengan masuk ke dalam keheningan, konon bisa merangsang kita untuk melakukan orientasi dan reorientasi terhadap apa yang lama terpendam dan nyaris lapuk dalam laci kenangan, kemudian akan di proyeksikan atau ditransformasi kembali, terus-menerus dan berkesinambungan. Dari sini kita akan menemukan kedalaman, kematangan. Kedalaman itu akan tampak pada apa yang oleh seorang kritikus dinamakan sebagai pilihan kata dan ungkapan perbandingan (simile), yang dekat dengan kehidupan, yang secara matang dipertimbangkan, dipertaruhkan oleh sang penyair.

Goenawan melukiskan kebisuan yang khas pandangan si aku-lirik. Dalam sajak Di Muka Jendela yang dikutip di muka, seakan menjadi pandangan kepenyairan Goenawan yang tak tergoyahkan sampai dengan sajak Pastoral yang ditulis beberapa tahun lalu. Si aku lirik terus-terusan menghayati kediam-dirian yang hening-bening dengan harapan melahirkan sejenis kristalisasi dari kata dengan kehening-kebeningan yang merupakan turunan sekaligus tenunan-hening jiwa-sukma sang penyair.

Saya pun teringat ungkapan Delta dalam sebuah esai Czeslaw Milosz yang berkarya dengan ”bertumpu pada penaku—aku maju menuruni jurang—dari keraguan abadi”. Frase puitik ini, atau suatu unit ritme kalimat dari “sajak bisu abadi dalam kristal kata” yang—sambil mengutip Octavio Paz yang dekat dengan Goenawan—ternyata bisa diekspresikan lebih jauh ke dalam kristalisasi segi fisik dan semantik kata, yang sering tak dapat disampaikan dengan cara lain apapun karena dalam sajak, arti mustahil diceraikan dengan bunyi, dan bunyi mustahil dipisahkan dari sunyi.

Di sini kita sampai pada analogi puisi dan musik, yang juga jadi pendirian Goenawan. Sebuah musik mengandung sebuah ritme yang tak jarang juga menampilkan gerak komposisi kata-kata yang sama dengan sajak. Namun bukan sembarang musik yang jadi perhatian Goenawan, melainkan musik jazz—yang bagi kaum sosialis mungkin akan dianggap musik borjuis. Analogi antara puisi dan jazz telah dibahas Arif Bagus Prasetya dengan baik, namun izinkan saya menyinggung sedikit mengapa jazz yang dekat dengan puisi Goenawan. Jazz belum terlampau membumi di sini, dibandingkan misalnya di Eropa. Sebagian besar penyair liris Eropa dekat dengan bahasa jazz karena musik ini mengandung elan vital yang membebaskan jiwa-jiwa pujangga.

Belakangan banyak penyair liris ikut-ikutan mengagumi jazz namun sama sekali tak memahami hakikat genre ini. Goenawan sendiri pernah menyinggung tentang kedalaman lagu Salena Jones dalam esai Jazz (10/12/2006) sebagai yang terasa pas untuk kota seperti Jakarta—walau katanya di kota ini jazz masih sebuah benda asing. Jazz memikat karena hampir ”tak ada ortodoksi yang dapat mengendalikan nada-nadanya”. Jazz terasa pas karena di dalamnya menyimpan sejumlah puisi: ”Jeritnya, paraunya, risaunya, khaosnya, elannya, gairahnya, juga ketidakpastiannya”, tulis Goenawan.

Pertemuan antara sunyi dan bunyi atau pertemuan antara puisi liris dan jazz, membawa bahasa sajak Goenawan cenderung mengandung musik, bahkan puisi dan musik adalah satu genre. Nietzsche sendiri bahkan pernah bilang: aktor, pemimik, penari, musisi, penyair lirik, secara fundamental mirip instink-instinknya dan pada dasarnya satu, hanya secara bertahap menjadi terspesialisasi dan terpisah satu sama lain, bahkan sampai berlawanan. ”Penyair lirik adalah yang paling lama bersatu dengan musisi, aktor dengan penari”, tulis Nietzsche dalam Senjakala Berhala.

Walau sunyi jauh lebih dominan dalam sajak Goenawan ketimbang gairah kemabukan yang membahana, namun seperti halnya dengan Delta dalam kenangan Mlosz, apa pun yang disentuhnya akan berubah menjadi sebuah adegan gerak, ritme, warna, dan musik. Karena itu, analogi antara puisi dan musik sepenuhnya berlaku pekat-padat sejak Nietzsche sampai Goenawan.

Bahana dan diam, puisi dan musik, nada dan tanpa-nada, telah menjadi klasik di tangan penyair Eropa sejak abad ke-19 akhir abad ke-20, namun dalam sajak Goenawan hidup terus melalui persentuhan dengan beragam khazanah lokal (khazanah pewayangan dan berbagai mitologi Jawa). Mungkin hanya Goenawan di antara penyair lirik di sini yang paling sering melontarkan gagasan tentang apa itu puisi dengan sejumlah pandangan yang mengalami proses evolusi yang terus mencari di antara labirin-labirin tak berpangkal dan tak berujung.

Banyak sekali pilihan kata yang digunakan Goenawan untuk mengungkapkan puisi dengan komunikasi yang sunyi, atau meminjam sebuah judul buku John Cage, komunikasi dengan Silence. Dan apa yang dilakukan Goenawan dalam seratus tiga puluh empat sajaknya, sejenis pencarian suatu struktur bunyi-sunyi bawah-sadar Freudian, dengan elemen-elemen bawah-sadar yang bisu, dengan unit-unit kata yang tampak konkrit, yang di Barat sering diidentifikasi dengan sejenis musik Fuga dan Sonata, kata Octavio Paz dalam tinjauannya atas Levi-Strauss. Atau, sebuah “elemen-elemen yang tak terpikirkan; seperti pikiran yang memikirkan dirinya sendiri”, kata Paz pula.

Sungguh tidak mudah menghadirkan kata-kata sunyi dan bisu, karena itu, sebagian besar penyair kita justru lebih tertarik pada elemen bunyi yang gaduh. Kebisuan dan keberdiam-dirian tak cuma penting dalam sajak, bahkan dalam teater puisi, kebisuan dan monolog batin merupakan taruhan sendiri bagi seorang seniman. Tidak berlebihan jika Stanislavski dalam Persiapan Seorang Aktor terjemahan stilis oleh Asrul Sani, menyinggung panjang-lebar soal bicara pada diri sendiri dalam hati. Banyak hal yang tidak terjadi dalam kehidupan sehari-hari namun sering di atas panggung, seperti ketika kita tergugah begitu rupa pada sesuatu, hingga kita kita tak dapat mendiamkannya; atau jika kia lagi bergulat denan sebuah pikiran yang sulit yang tak dapat kita cerna, semuanya bisa terjadi di atas panggung.

Maka pesan Stanislavski adalah: ”Jika aku bekesempatan untuk mengadakan hubungan batin dengan perasaanku sendiri dalam keadaan hening, maka aku betul-betul menikmatinya”. Namun cepat-cepat pula Stanislavski mengingatkan betapa tak mudah menciptakan monolog batin di atas panggung. Keadaan hening adalah ”keadaan yang tak asing bagiku di luar panggung, dan aku merasa akrab dengannya. Tapi jika aku diharuskan mengucapkan soliloqui yang panjang yang berbunga-bunga, maka aku tidak tahu apa yang harus kulakukan”.

Kembali pada tabiat puisi-puisi Goenawan. Di sini kita bisa melihat bagaimana realitas dalam puisi-puisi Goenawan coba direnggut melalui kedalaman dan keharuan gerak kata-kata dari sunyi pertama, yang seperti Adam pertama kali turun ke bumi menemukan keksongan di sebuah ngarai yang menjulang. ”Akulah Adam dengan mulut yang sepi/Putra Surgawi/yang damai, terlalu damai/ketika bumi padaku melambai” (sajak Expatriate).

Sajak itu menarik dibandingkan dengan bunyi sajak ”Mari” Sutardji ini: ”mari kembali/pada Adam/sepi pertama/dan duduk memandang/diri kita/yang telah kita punahkan/ada dan tiada”. Atau bandingkan dengan Sitor Situmorang dalam sajak Telah Lama bilang: ”Kefanaan ini telah lama dikandungnya/Tiada indah yang dibiarkan tetap di mata/Juga tubuhmu yang kupeluk nyata/Sekali akan bertukar jadi hanya kenangan rasa/Tetapi sebelum itu dan kita tiba/Pada perbatasan antara ada dan tiada...”

Kembali ke Adam dengan mulut yang sepi” atau ”sepi pertama” dan ”ada dan tiada” bukan hal gampang. Di sini saya teringat pendapat Goenawan dalam esai tentang H.B. Jassin: bahwa puisi tak cuma kata, tak cuma kalimat, melainkan juga elemen-elemen ketidak-sadaran, suasana afektif nada-nada, yang menyuguhkan kepada kita tentang komunikasi dalam kebisuan dan yang (mesti) ada ketika puisi diciptakan. Ungkapan-ungkapan dalam esai ”H.B. Jassin: Di mana Berakhirnya Mata Seorang Penyair?” bisa jadi berlebihan mengingat betapa sulit saya rasakan apa yang dimaksudkan Goenawan pada esai itu dalam sajak-sajaknya sendiri. Sudah umum jika penyair tak menepati janjinya dalam esainya ketika menulis sajak. Sutardji benar ketika mengatakan bahwa penyair sering bertopeng di balik kebebasan dan cenderung tidak mempedulikan pertanggungjawaban dari apa yang jadi kredonya.

***

Beberapa gaya dan bahasa pengucapan prosa liris Goenawan bisa kita telusuri dengan berbagai pengucapan penyair lainnya. Beberapa orang menganggap sajak-sajak Goenawan dekat dengan sajak Emily Dickinson yang beberapa sajaknya memang diterjemahkan Goenawan. Bahkan ada yang pernah bilang secara lisan kepada saya, sajak-sajak Goenawan dekat dengan sajak-sajak Ellen Disyanake yang memang cenderung liris.

Kedekatan pengucapan antara satu penyair dengan penyair lain tak penting. Saya setuju dengan Sutardji bahwa sudah lumrah jika ada sajak seseorang dekat dengan pengucapan sajak orang lain. Apalagi jika wawasan postmodernisme diseret ke sini, jelas bahwa alusi, parodi, rekonstruksi, apropriasi, pastiche, bukan sesuatu yang haram. Namun bisa jadi juga ini menjadi dalih dan dalil untuk menunjukkan ketidakmampuan sang penyair menulis sajak otentik.

Membaca puisi-puisi lirik Goenawan membutuhkan sebuah penghayatan yang intens sekaligus mendalam, yang tak cukup hanya sekali. Karena dalam larik-lariknya yang koheren sering muncul gelora yang asing, aneh, dengan kata yang kadang terasa bukan milik kita. Sajak-sajak seakan ditulis bukan zaman kita, tapi zaman entah.

Sikap kepenyairan Goenawan tampak masih tetap diam, soliter, tidak komunikatif, dan enggan berbagi makna kesunyian dan kemenjadian, baik tentang individu maupun tentang kami. Gramatika dalam sajak-sajaknya, komunikasi yang berlangsung, sering kali menampilkan monolog batin. Dan tepat bahwa sajak-sajak Goenawan menunjukkan pada kita sebuah pasemon, keraguan, pesimis, dan kadang terlampau murung, baik atas kemampuan dirinya menyatakan diri sebagai makhluk otonom dan merdeka di tengah segala distraksi dan huru-hara politik Orde Lama, maupun atas otonomi puisi itu sendiri yang mesti dipertahankan. Kerapian larik dan liriknya tak berarti bahwa sajak-sajak Goenawan gampang dicerna, malah beberapa sajaknya sangat elusif. Kadang-kadang Goenawan tak ingin berbagi kepada pembaca, tapi bukan sebuah nonsensical syllabbe (kata-kata tanpa arti) seperti yang disebutkan dalam ulasan tentang teater Pastoral di Tempo.

Sajak diam dan sajak kebisuan Goenawan bukan hadir sekonyong-konyong. Bila kita telusuri dalam teks-teks sufi, maka akan kita dapatkan kekhusukan diri justru dengan doa-diam. Dalam sajak-sajak sufi Persia, diam merupakan satu maqam menuju kehadirat Tuhan. Murthada Muthahhari dan Thabathaba’i dalam buku tipis berjudul Light Within Me—yang saya kutip dari terjemahan dan terbitan Pustaka Hidayah—membagi dua puluh empat jalan spiritual dan memasukkan ”Diam” pada urutan ke-13.

Sambil menyitir pendapat Imam Ja’far Ash-Shadiq, kedua ulama Syi’ah ini mengatakan: ”para pengikut (syi’ah) kami adalah bisu. Diam adalah cara kekasih-kekasih Allah, karena Allah memang menyukai diam. Diam adalah gaya hidup para nabi dan kebiasaan orang-orang terpilih. Diam adalah sebagian dari hikmah dan tanda bagi setiap keutamaan”.

Jelas bahwa Goenawan seorang penggaya, stilis, dan sajak-sajaknya mengungkai gerak komposisi harmoni musik duka kata. Bahkan ada beberapa sajaknya yang tampak kehilangan bahasa pengucapan yang terlampau berprosa dan banyak mengandung keterangan, terutama sajak-sajak yang terlampau sulit dibedakan dengan esai dari Catatan Pinggir. Tidak semua sajak tentang anggur dan rembulan yang termasuk sajak terbaik, bahkan sajak-sajak yang menghadirkan kritik sosial serta tematik kemiskinan dan kelaparan, di samping religiusitas dan ketuhanan, termasuk sajak yang menggoda imaji saya.

Tentu tak seperti yang dibayangkan banyak orang bahwa puisi kritik sosial adalah memindahkan begitu saja realitas yang telah diangkat wartawan di media. Untuk sekedar contoh, apakah sajak Internasionale dan Sajak Tentang Lapar tak mengandung kritik sosial? Kedua sajak ini dengan cerdik menghadirkan sunyi dan lapar atau puisi dan kemiskinan, dengan melodis dan stilisasi yang kuat.

Goenawan sendiri terang-terangan menyebut kedua puisi ini sebagai “wakil sunyi dan lapar”. Tak betul jika di masa Demokrasi Terpimpin Goenawan tidak menulis puisi tentang kemiskinan, karena dua puisi ini sudah jelas contohnya. Memang, kritik saya pada Goenawan bukan pada ada tidaknya tema realisme dalam sajak-sajaknya, karena itu tak terlampau penting bagi saya, tetapi posisinya dalam soal besar sejarah yang agak ironis.

Sudah khas Goenawan jika dalam sajak-sajak awalnya banyak mengambil jalan tidak berpihak antara sunyi dan lapar, terik dan hening. Sampai dekade 1980-an, sikap Goenawan dalam sajak—bukan dalam esai—masih percaya pada silogisme. Tanpa riskan ia mengulang silogisme yang pernah dilontarkan Arief Budiman di tahun 1960-an dalam mengkritik Sitor Situmorang tentang hubungan sastra dan politik melalui kias yang geli: “kucing mengabdi kepada manusia. Anjing yang hendak mengabdi kepada manusia harus mengabdi kepada kucing”. Kesimpulan Goenawan terhadap analogi ini cukup tegas: ”pada dasarnya ada kesejajaran seni dan dan politik. Hubungan keduanya sama; yakni pengabdian”. Kias sahidiah. Silogisme yang gemar ”berperang” dengan yang tak sepaham (mencuri Nietzsche).

Gairah Seksual yang Primitif

Setelah 1980-an, Goenawan mulai banyak mengangkat gairah seksual yang paling primitif, yang ditakik dari berbagai mitologi Jawa. Merebaknya wacana gender dan feminisme sejak 1980-an, ikut menyulut perhatian Goenawan karena sampai pada tahun 197o-an jarang sekali kita temukan tema seks dalam sajaknya. Goenawan pernah menulis pendiriannya tentang seks yang kemudian diterbitkan menjadi buku Seks, Sastra, Kita (1980) Tahun 2006 dalam catatan pinggir bertajuk Seks, Goenawan kembali menegaskan pandangan atau selera puitiknya tentang seks dalam karya sastra. Saya kira dua esai ini sulit dilepaskan jika kita ingin mendalami sajak-sajak bertema seksual.

Dalam Seks, Sastra, Kita, Goenawan tampak mengambil ”jalan tengah” antara seks yang diteriakkan dan diam atau antara yang pelukisan dengan tanpa pelukisan. Selanjutnya dalam Seks, Goenawan menempatkan erotika yang menampilkan stilisasi melalui ”gairah dalam ritme dan komposisi” atau ”arus liris alam” dengan ”menerima berahi sebagai bagian degup hidup yang punya misterinya sendiri; antara gelap dan lepas, antara gairah dan gumun”, tulisnya.

Tentang cinta, Goenawan melukiskannya dengan sangat cerdik dalam sajak Dongeng Sebelum Tidur, yang agaknya merupakan variasi dari mitologi Jawa tentang kerajaan Anglingdarma yang terkenal itu. Goenawan mengatakan: “cecak itu, cintaku, berbicara tentang kita. Yaitu nonsens”. Di sini tampak bahwa cinta di mata Goenawan adalah nonsens. Kalau hanya nonsens, di mana sens? Bagi saya, kata-kata itu bukan lagi milik Marleau Ponty, atau sebuah sajak pastiche, karena ini telah menjadi milik Goenawan sendiri. Sajak ini ingin menegaskan ikhwal perasaan dua manusia yang sedang jatuh cinta namun sesungguhnya tak pernah ada, atau sengaja diadakan oleh sang laki-laki. Karena itu, kesetian pun dipersepsi sebagai sesuatu yang nonsens juga: “Mengapa harus seorang cinta kesetian lebih dari kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?” tanya Goenawan sambil menggugat arti kesetian. Mungkin lantaran sering terjadi salah kaprah dalam memandang cinta, di sini Goenawan berusaha menggugat cinta antara baginda raja dan permaisuri yang dilukiskan bukan sebagai kesetian cinta, tapi penaklukan laki-laki atas perempuan.

Oleh karena itu, cinta bukan darah-daging bagi kaum Hawa, tapi hasrat seksual kaum Adam. Apakah Goenawan menolak cinta demi memihak perempuan? Tak mudah menjawabnya, karena di beberapa tempat Goenawan tampak masih mengidealkan cinta dan tak melihat ada relasi yang bermasalah di dalamnya. Tapi, bila kita kaitkan dengan gagasan Goenawan dalam esai-esainya yang banyak bicara soal pandangan Nietzsche—setelah Albert Camus memang Nietzsche menjadi “guru” Goenawan—maka jelas bahwa Goenawan memihak perempuan dengan cara menampik cinta yang dianggap sebagi bagian naluri intrinsik purba manusia.

Simone de Beauvoir—feminis yang beberapa kali juga disebut Goenawan dalam esainya—pernah mengulas secara kritis soal cinta dalam satu bab The Second Sex—terbit pertama kali di Prancis tahun 1949. Untuk menguatkan pandangannya tentang hakikat cinta, Simone de Beauvoir mengutip karya Nietzsche tentang kaum Gay secara langsung, sebagaimana kita lihat dalam kutipan berikut:

Suatu kata cinta sesungguhnya menerangkan dua hal yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Apa yang perempuan pahami dari cinta adalah cukup tegas: cinta tak cuma kesetian, cinta adalah penyerahan total akan tubuh dan jiwa, tanpa pamrih, tanpa harapan mendapatkan imbalan apa pun. Sifat mutlak dari cintanya itulah yang membuatnya menjadi kesetian…sementara bagi laki-laki, jika ia mencintai seorang perempuan, apa yang ia inginkan hanyalah cinta dari perempuan…

Kutipan di atas bisa kita sandingkan dengan secarik pertanyaan yang bernuansa gugatan dalam puisi Goenawan bertajuk Dongeng Sebelum Tidur tadi: “Mengapa harus seorang mencintai kesetian lebih dari kehidupan dan sebagainya?” Dari pertanyaan ini tampaknya tak hanya cinta yang nonsens, tapi kesetian itu sendiri sebuah nonsens. Atau hanya jaring perangkap bagi laki-laki yang menginginkan cinta perempuan.

Bila kita teruskan pandangan Simone de Beauvoir, maka akan kita dapatkan pandangan yang menggugat laki-laki karena hanya sebagian populasi perempuan yang termasuk dalam masyarakat yang masih kuno dan mempertahankan sesuatu yang antik yang dapat bertahan hidup; dan percintaan modern dapat dipahami hanya jika dipandang dari masa lalu yang cenderung berlangsung sepihak. Perempuan jarang bisa membangun hubungan yang bebas dan setara dengan pasangannya; perempuan selama ini biasa membangun ikatan yang karena laki-laki tak punya keinginan/kehendak untuk mengangkatnya. “Perempuan menunjukkan pada laki-laki sikap cinta, perempuan yang jatuh cinta”, tulis Simone de Beauvoir pada The Second Sex buku kedua.

Agaknya tak cuma Simon de Beauvoir yang telah memulai gugatan atas cinta. Jauh sebelumnya, Kartini telah mempertanyakan dalam sebuah suratnya dalam Habis Gelap Terbitlah Terang: “Cinta, apakah yang kami ketahui tentang perkara cinta?” tanya Kartini sambil melanjutkan: “Bagaimana mungkin kami akan sayang pada suami dan suami sayang kepada kami, jika sebelumnya tak pernah kami kenal, apalagi bercinta”. Di mata Kartini, tak mungkin ada keadilan dalam cinta. Karena itu ia pun kembali menegaskan: “Aku sama sekali tak bisa menaruh cinta, karena cinta harus menaruh rasa hormat, dan aku tak dapat menghormati lelaki muda Jawa”, tandasnya.

Sambil mengutip definisi cinta dari Nietzsche, Beauvoir memang beralasan mengapa menolak cinta, karena kata cinta memiliki arti yang sama sekali berbeda bagi kedua jenis kelamin, dan ini menyebabkan kesalahpahaman serius yang memisahkan perempuan dan laki-laki. Apa yang perempuan pahami dari cinta adalah cinta tidak hanya soal kesetian, tapi penyerahan total akan tubuh dan jiwa, tanpa pamrih, tanpa harapan mendapatkan imbalan.

Bagi Nietzsche, sejarah mutakhir bukan sekedar zaman laki-laki dan perempuan yang sering dimanipulasi sebagai simetris itu, tapi zaman kehadiran “malaikat”—yang seakan menegaskan tesis Walter Benjamin kemudian yang membuat para petualang dan flaneur berhamburan dari kota Paris ketika "malaikat sejarah" gentayangan. Sebuah pandangan yang tentu pernah diapresiasi Goenawan dalam esai: Tentang Flaneur dan Pelacur.

Bagi Beauvoir, percintaan sama halnya dengan pernikahan yang digugatnya, karena kedua soal ini sama artinya dengan mempertahankan dominasi laki-laki. Alasannya jelas: percintaan dan pernikahan memang ingin dipertahankan kaum lelaki untuk menanamkan hegemoni”. Beauvoir, sebagaimana juga Nietzsche, justru menaruh perhatian pada kaum Gay atau individu yang justru tidak digambarkan sebagai sosok yang bahagia, tapi pribadi yang merdeka.

Dari persepktif feminisme, bercinta sama dengan menyerahkan diri perempuan secara total untuk ditindas laki-laki. Hal ini terjadi karena dunia memang dihuni sekaligus dikendalikan laki-laki. Di sini saya teringat sebuah sajak Goenawan bertajuk Di Kebun Jepun: “Tapi kau telah membedakanku dari yang lain, sementara kita tak bisa membedakan daun-daun ini dari yang lain”. Lagi-lagi suara Simone de Beauvoir yang melihat perempuan diperlakukan sebagai “yang Lain” menggema kembali dalam sajak ini.

Jika kita tak mampu membedakan daun-daun jatuh di depan kita dengan daun-daun yang lain, mengapa kita dengan lancang membedakan laki-laki dan perempuan? Kira-kira ini yang ingin dikatakan Goenawan dalam sajak itu. Sebuah gugatan yang kritis sekaligus menemukan subjek pembacanya yang juga ditantang untuk bersikap kritis. Frase-frase puitik dengan kehadiran kristalisasi kata seputar dekonstruksi atas cinta, sungguh menggoda imaji saya.

Sebuah imaji yang secara bening, elok, dan tenang, tampak juga dalam puisi-puisi yang bicara soal seks yang transendensi itu. Dari proses pembacaan terhadap ratusan puisi Goenawan, ada beberapa puisi yang mengekspresikan imaji seks secara metaforik: sajak Pada Album Miguel de Covarobias, Menjelang Pembakaran Sita, Persetubuhan Kunthi (variasi atas Serat Centhini pada tarian SulistiyoTirtokusumo), dan Sang Minotaur.

Dalam sajak Pada Album Miguel de Covarobias, larik-larik berikut nuansa alunan nadanya hadir bagaikan persetubuhan dengan bisikan, ajakan, tapi bukan rayuan. Sebuah persetubuhan imajinal. “Kuinginkan tubuhmu/dari zaman/yang tak punya tanda/kecuali warna sepia/Pundakmu/yang bebas,/akan kurampas/dari sia-sia”. Di sini seks tak dilukiskan sebagai semata hubungan badan antara dua kelamin, tapi ditampilkan sebagai imaji seks yang nyaris tansendensi, sebuah rasa hayatan yang melampaui kecenderungan seks yang ilustratif , karena sang penyair tampaknya lebur dalam imajinasi atau metafora.

Bahkan, bila larik-lariknya diikuti, seks dalam imaji Goenawan nyaris mendekati semangat erotomania: “Aku kuletakkan sintalmu/pada tubir meja:/telanjang/yang meminta/kekar kemaluan purba,/dan zat hutan/yang jauh,/dengan surya/yang datang dengan sederhana/Akan kubiarkan waktu/mencambukmu,/lepas./Tak ada lagi yang tersisa/dalam pigura”.

Sulit dibayangkan bentuk persetubuhan liar yang terkadang dramatik semacam itu, kecuali memang sang penyairnya bukan sekedar menyair, tapi menembus kata-kata. Goenawan memang dikenal penyair papan atas yang belakangan ini sering menampilkan seks dramatik dan intim, hingga kata-katanya melompat-masuk ke dalam ludah yang tak memiliki harapan untuk penjelasan atau menjelaskan.

Imaji seks dengan kehadiran aura transendensi—tapi bukan transendensi murni—begitu kuat dalam sajak Goenawan. Sang penyair sendiri memang pernah merumuskan pendiriannya secara eksplisit dalam Seks, Sastra, Kita (1980: 4-13) bahwa seks yang dilenyapkan sama buruknya dengan seks yang diteriakkan. Di sini kita teringat ungkapan ”setengah tersembunyi” dan ”setengah tampil”. Seks dengan demikian, kata Goenawan pula, tidak harus dihakimi sebagai sesuatu yang terkutuk, namun tidak juga selalu diaksentuasikan sebagai pernyataan protes.

Puisi-puisi Goenawan yang bertema seks sendiri, telah jauh melampaui pendiriannya dalam esai tersebut. Goenawan dalam sajak Pada Album Miguel de Covarobias yang telah disinggung di muka, secara stilis dan puitis menyuguhkan pada pembaca ”adegan” persetubuhan dengan hening dan bisikan: “Mari”, “kuinginkan tubuhmu”, adalah ungkapan yang menjadi antitesa dari ajakan yang berterus terang semacam kata-kata ini: “marilah kita mulai” dan “akan kubiarkan waktu, mencambukmu, lepas”, atau karena “kematian pun akan masuk kembali, kembali, kembali…”.

Tampak bahwa imajinasi seks yang metafisis dalam sajak Goenawan, tak dapat dikatakan sebagai sebuah seks yang transendensi murni, melainkan ambivalensi dan ambiguitas. Dalam aliran puisi metafisika, faktor persatuan atau persetubuhan jasmani antara manusia dan Tuhan yang dipadukan oleh gairah cinta dan seks, tidak lagi berbeda dengan perstubuhan rohani. Puisi aliran metafisik justru memainkan peranan penting yang tak bisa diabaikan. Dalam gairah cinta dan orgasme yang bertahan lama, seperti orgasme Kunthi dalam sajak Persetubuhan Kunthi di bawah ini, justru mampu menimbulkan denyar-denyar yang mengarahkan pembacaan saya ke dalam imaji transendensi yang profan.

Persetubuhan Kunthi
Variasi atas Serat Cenhini pada tarian SulistiyoTirtokusumo

Semakin ke tengah tubuhmu
yang telanjang
dan berenang
pada celah teratai merah.

Ketika desau angin berpusar
ikan pun
ikut menggeletar

Dari pinggir yang rapat
membaur ganggang.
Antara lumut lebat
dan tubir batu
ada lempang kayu apu
yang timbul tenggelam
meraih
arus dan buih.

Sampai badai dan gempa seperti menempuhmu
dan kau teriakkan
jerit yang merdu itu
sesaat sebelum kulit langit
kembali, jadi biru
(bait 1-20)

Sajak yang diilhami oleh salah satu mitos seks dalam teks Mahabrata itu bagaikan kritik imitasi, parodi, atau main-main dengan ”fakta” lewat bahasa kesunyian. Kata-katanya mengandung irama gerak-tubuh, tapi bukan sekadar ekspresi badan. Mungkin sejenis apa yang disebut Marleu Ponty dalam terjemahan M.A.W. Brouwer sebagai ”irama daging” dari sebuah seks yang transendensi sekaligus isi eksistensi. ”Yang disebut seks ialah salah satu modus dari eksistensi” di mana ”eksistensi menyatakan seks dan seks menyatakan eksistensi”. Akan tetapi, muncul paradoks di sini karena seksualitas pada akhirnya tak bisa direduksi menjadi eksistensi, demikian pula eksistensi tak bisa direduksi menjadi seksualitas. Seks yang secara wujud tertangkap dalam pengalaman Goenawan tak direduksi ke dalam intensionalitas kesadaran model yang dimaui Marleu Ponty.

Betapa jauh sebenarnya Goenawan telah meninggalkan pandangannya tentang seks dalam esai Seks, Sastra, Kita. Dalam sajak-sajak seks-nya, erotika dihayati sebagai suatu cara mengada paling primitif. Takdir Alisjahbana benar ketika mengatakan dalam esai Lagu Cinta Berahi bahwa hasil puisi zaman pre-Indonesia mengenai tema percintaan primitif telah mencapai derajat yang setinggi-tinginya dan perasaan semesra-mesranya.

Goenawan seperti hendak menegaskan bahwa riwayat seks seseorang ialah kunci untuk pengertian hidupnya yang paling hakiki. Hal ini tak mengherankan mengingat puisi-puisi seks Goenawan muncul bersamaan dengan merebaknya gerakan post-strukturalisme di Indonesia sejak 1990-an. Secara lebih kuat, Goenawan mengekspresikan seks yang sebagai perlambang pengalaman melalui imaji yang terkadang berterus-terang dan ungkapan yang keras namun sangat puitis menampilkan drama persenggamaan primitif dengan menafsirkan kembali tradisi lama dalam kesusastraan Jawa.

Sajak-sajak bertema seks kaya dengan metafor yang segar. Hubungan antara pandangannya tentang Tuhan dan seks seakan melampaui genre puisi metafisika yang menawan, yang mengingatkan kita pada dongeng-dongeng fantastik Jorge Luis Borges dan juga John Donne. Saya ambil pandangan John Donne melalui tafsiran Budi Darma dalam novel Olenka, mengenai hubungan persetubuhan manusia, alam, dengan pemujaan kepada Tuhan.

Ketika John Donne mengatakan dalam salah satu sajaknya: ”marilah kita miliki satu dunia, masing-masing satu, dan hanya satu”, maka seruan ini tidak lain adalah undangan John Donne kepada istrinya untuk mengandaikan tubuhnya dengan tubuh istrinya sebagai menumpang-tindihkan bola-dunia, yang merupakan pernyataan pemujaan terhadap Tuhan. Keintiman mendekati Tuhan sebagaimana pasangan manusia yang sedang mengalami puncak orgasme derngan mendesak lapar dan erangan kenikmatan, mirip sebuah refleks penyerahan diri total di kalangan kaum sufi melalui bersatunya diri dengan Yang Maha Kasih.

Goenawan pernah melukiskan rintihan yang pedih dalam sebuah sajak berjudul Surat-Surat tentang Lapar begini: ”Cinta pedih rembulan gunung/kesetian penghuni malam-malam hari/mendesak lapar dan erang sunyi”. Di sini saya terpaksa mengambil kesimpulan klasik: puisi yang baik tak lain adalah mistik. Ungkapan yang dahsyat, puitik, dan estetis, adalah mistik dalam arti yang sesungguhnya. Dan puisi-puisi seks Goenawan menampilkan aura mistik yang tak terpermanai.

Pesona pilihan katanya membuat saya merasa ambyar, luluh dalam rasa tak berdaya untuk mengikuti puncak-puncak orgasme yang walau tak bertahan lama, namun diam-diam saya diajaknya larut dalam pesona. Dalam sepuluh tahun terakhir, saya belum menemukan puisi liris bertema seksualitas dengan keintiman penghayatan yang melampaui sajak dramatik Persetubuhan Kunthi. Sajak-sajak seks Goenawan hanya bisa dibandingkan dengan puisi-puisi seks Sutardji, yang masing-masing menggunakan gaya berbeda tapi sama-sama intim dan kuat dalam mengekspresikan puncak-puncak orgasme.

Dalam sajak Persetubuhan Kunthi, Goenawan mengungkai pemaknaan tubuh lewat pencitraan seorang lelaki yang mungkin sedang dirundung kesepian: “Laki-laki itu diam sebelum menghilang/ke sebuah asal/yang tak pernah diacuhkan:/sebuah khayal/di ujung hutan/di ornamen embun/yang setengah tersembunyi”. Setengah tersembunyi? Ah, ini sebuah lawa malam, ambang yang kerap kali merundung banyak orang. Hidup dalam situasi setengah tersembunyi itulah sebuah puisi, itulah seks; ia sering tak berterus terang, setengah ada dan tak ada, antara muncul dan menyumput.

Dunia ambang dekat sekali dengan dunia kehilangan, yang adalah sesuatu yang nikmat juga dalam puisi, yang harus diterima dengan sadar diri, bukan kembali “ke sebuah asal” atau kembali “ke mula”: kuhapus semua hikmah, inilah apiku, tak tersisa satu pun tanda, darahkulah tanda itu, dan ini mulaku atau manusia adalah cermin-cermin berjalan, ketika garam telah berenang ke seberang, sebelum menemukan yang dicari (untuk memakai secarik sajak Adonis). Dan Goenawan sendiri bilang: kenyataan ini “yang tak pernah kau miliki, Kunthi, tak akan kau miliki” karena ini hanya selebaran rahasia.

Sajak dengan dunia antara semacam ini justru menampilkan sajak terbaik Goenawan mengenai pencarian, cinta dan pengkhianatan. Akan lebih lengkap jika kita kaitkan dengan sajak Goenawan berjudul Menjelang Pembakaran Sita dengan pilihan kata serupa:“Lewat baluwarti, ia bisa bersebar, seperti kelopak kembang kertas yang jatuh ke kolam” dan terdengar lembut suara; ting.

Mari bandingkan sajak itu dengan sajak Adonis—penyair Arab-muslim terkemuka kelahiran Siria yang kini bewarganegara Prancis—bertajuk Inilah Namaku, dimuat dalam buku kumpulan sajak Perubahan-Perubahan Sang Pencinta (terjemahan Ahmad Mulyadi, Grasindo, Jakarta 2005): “cinta telah lupakan belati malam” atau “cintaku sebuah luka”: tubuhku mawar mekar di atas luka/terpetik semata sebagai kematian/darahku ranting pasrah gugur daun, ia telah tenang…ini adalah “sebuah kitab, yang telah kuhapus dengan segala tanyaku, apa kulihat? Kulihat helaian kertas yang dikata orang, telah tetirah di dalamnya berbagai peradaban, kenalkah kau api menangis tercabar? kulihat seratus adalah dua”.

Atau sajak Sang Minotaur—yang sempat dikaitkan Zen Hae dalam sebuh cerpennya dengan puisi awanama “Mahmuda Tongga”, tentang Ceu Tarmi dan Salamah, penulis otomatis dan plagiarisme—seperti satu kesatuan dari sajak Persetubuhan Kunthi dan Menjelang Pembakaran Sita. Jika enam sajak Goenawan yang bicara soal seks digabung, maka sajak ini bisa menjelma sebuah prosa liris mikro yang pantas bersanding dengan sajak-sajak terbaik dunia.

***

Setelah buku Sajak-Sajak Lengkap 1961-200, Goenawan masih terus menulis sajak liris. Bahkan puisi-puisi terbarunya menghadirkan ekspresi yang lain lagi, tetapi masih menampilkan kecenderungan ”kristal kata” dengan stilisasi yang kuat. Senyampang dengan sebuah prosa liris, yang menakik pengalaman hidup yang tampak berlarah-larah, atau lukisan dengan kombinasi berbagai warna lirik yang menyusun sketsanya sendiri.

Sajak-sajak Goenawan belakangan begitu bening dan puitis. Goenawan mulai membaurkan puisi-prosa melalui unsur kata dan nada yang dominan, dengan kehadiran dialog-dialog batin tanpa diksi-diksi yang mengejutkan sebagaimana sebelumnya. Tetapi justru di sini Goenawan menunjukkan pencapaian terbaik. Jika puisi-puisi lamanya masih terkesan seirama dengan perubahan-perubahan sajak-sajak dunia—kendati Goenawan bicara soal sub-kultur atau lokalitas Jawa—lantaran terlampau memburu frase-frase puitik yang pastiche, maka sajak-sajak Goenawan yang terbit di jurnal Kalam dan koran nasional belakangan ini sangat kuat menampilkan gaya khas Goenawan.

Salah satu sajak terindah Goenawan yang terbit setelah buku Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001, adalah sajak Pastoral. Sajak ini liris-puitis yang diilhami dari hasil lawatannya ke Ubud Bali ketika menatap sungai mengalir begitu bening. Sajak ini menampilkan pengucapan yang hening terbening, bagai bunyi air menyisir bebatuan yang tak pernah dijamaah kaki manusia dan binatang, yang mengingatkan saya pada sajak-sajak perjalanan Sitor Situmorang ke lembah Silindung dengan hamparan sungai mengalir pelan di atas bongkahan batu, yang bening, bagaikan air yang baru keluar dai sumber mata air kecemerlangan.

Sitor dan Goenawan sama-sama pernah menegaskan tentang elemen kebisuan dalam sajak. Sitor bahkan dalam esai Penyair dalam Penilaian Jaman (1978) pernah menekankan pengertian kebisuan sebagai “unsur vital dari setiap sajak. Pesan, komunikasi atau pengaruh batin yang ingin diwujudkan melalui puisi berwadah kebisuan. Lubuk hati dan rasa adalah dasar yang ingin dicapai dengan kata-kata puisi, dengan sarana bahasa. Kepekaan akan puisi adalah kepekaan akan kebisuan...”. Bandingkan petikan sajak Pastoral Goenawan dengan salah satu puisi tak berjudul Sitor di bawah ini:


15 meter dari jalan ke Batuan,
ada pematang pada tebing,
dan seseorang hingar menggusah burung,
seseorang turun ke kali dan menyanyi,
seseorang mencicipi alir,
mengikuti bunyi
kercap dingin
liang hutan,
arus yang menyisir batu
batu yang, seperti pundak kerbau, menahanmu.
Pada pukul 7:15, jernih sungai menelanjangimu

Terkadang aku ingin
kita hilang seperti kadal
di ilalang

seperti kilau--
(Goenawan Mohamad)


***

Jalan setapak di sela-sela bukit.
Sungai mengalir terdengar.
Ketika menoleh ke arah datangnya suara,
Lembah Silndung terhampar di depan mata.
Tak cukup kata-kata melukiskan keharuan,
ketika mencapai lereng bukit...Di depan terhampar
dataran, panjang sepuluh atau dua belas mil,
lebar tiga mil, bentang sawah tak putus-putus.
Sungai lebar nan indah,
dengan sungai-sungai penyumbang
airnya dari ujung ke ujung. Seorang pengisi kendi air
berada di setiap penjuru,
menambah suasana terasa indah.
(Sitor Situmorang)


Kutipan sajak Pastoral Goenawan di atas berasal dari jurnal Kalam 2003 dan “sajak” Sitor yang dimuat bukan dalam buku sajak tapi buku biografi Sitor Situmorang Seorang Satrawan 45 Penyairr Danau Toba (1982). Kedua sajak ini sangat dekat. Puisi Sitor di atas muncul bersamaan dengan mitos asal-usul kehidupan dalam tradisi Batak Toba; tentang tiga lapisan bumi (banua ginjang, banua tonga, banua toru) dan kampung delapan serta empat penjuru mata angin, Raja Mulajadi Na Bolon dan putrinya yang turun dari langit ke bumi, tepat di atas permukaan air hingga terdengar suara mengelucak ditimpa badai dan gelombang. Kejadian berlangsung di sekitar lembah Silindung, Sumatera Utara.

Saya tak tahu apakah Goenawan pernah membaca kisah Sitor yang menawan ini, karena alunan liris dan suasana alam dengan air dan sungainya yang mengalir lirih dalam sajaknya, sangat mirip. Ada beberapa kemiripan sajak-sajak Goenawan dengan sajak-sajak Sitor yang lain, seperti Sajak Pulau Samosir dan Jalan Batu ke Danau (dimuat dalam antologi Dalam Sajak, 1955) serta sajak-sajak Sitor tentang Bali, hanya saja perbedaannya jelas: jika Sitor masih terus menampilkan tema lama tentang rumah dan pulang, pada Goenawan sudah hilang karena ia sudah menerima kehilangan dengan lapang?

Sajak Pastoral telah diangkat dalam teater dan dipentaskan hampir bersamaan dengan King Witch, yang merupakan kolaborasi antara Goenawan-Tony Prabowo-Yudi Ahmad Tajudin. Di sini tampak bahwa gairah dengan ritme dan komposisi dalam sajak bertemu dengan komposisi musik yang pas. Sajak Pastoral yang bemetamorfosis menjadi naskah teater dan dipentaskan di Jakarta itu, akhirnya merupakan karya komposisi musik untuk dua soprano dan kuartet gesek. Karya komposisi terkenal kita, Tony Prabowo, yang selama sepuluh tahun terakhir ini memang kian lengket dengan Goenawan. Tony Prabowo terilhami sajak Pastoral yang memuat 12 bagian dengan kecenderungan pengucapan prosa liris. Kolaborasi Tony-GM ini sudah berlangsung yang ke-13 kali sejak dimulai dari puisi Asmaradana.

Agaknya, jalur promosi pengenalan sajak Goenawan luar biasa. Ia menggait sejumlah orang ternama, termasuk Ubiet—sang soprano terkemuka kita pula—dan sebelumnya, Slamet Kirnanto lewat tari Panji Sepuh yang juga nampilkan tarian dari teks puisi Goenawan, untuk mengenalkan pada khalayak bahwa puisi pendek sekali pun bisa diangkat ke atas panggung. Ada kecenderungan Goenawan untuk mengenalkan dunia teater Indonesia yang puitis, “teater air” atau “teater wayang air”, sehingga teater yang dulunya dekat sekali dengan drama, karena memang dramatik, nyaris mati oleh permainan imaji dan frase puitis sajak Goenawan yang ditambah dengan iringan musik kebisuan semacam dentang harpa, mirip soneta, ditambah dengan soprano dan kuartet yang bagaikan musik liturgi gereja abad tengah.

Tapi sayang, cara penteateran puisi semacam ini minus apresiasi. Seakan-akan tak memiliki persoalan signifikan. Dan pementasan teater yang diangkat dari puisi-puisi Goenawan selama ini, tampaknya sepi dari antusias publik dan hanya terdengar sayup-sayup tanggapan kritikus atas kehadiran teater liris tersebut. Hanya majalah Tempo sendiri yang intens mengikuti pemberitaan pementasan.

Tak ada kritik, tak ada tanggapan, apalagi polemik. Maka jadilah model reinkarnasi dari puisi ke teater itu berlangsung terus, seolah menjadi model yang mesti dirayakan, padahal ada konsekuensi-konsekuensi yang luput dibincangkan serius karena absennya kritik. Konsekuensi itu berisiko menempatkan musik Tony Prabowo hanya menjadi tunggangan puisi Goenawan. Tetapi bisa juga keduanya untuk saling memberi dan saling berpromosi. Dengan kata lain, sama-sama “diuntungkan”. “Memusikkan puisi” sekaligus “menteaterkan puisi” agaknya kelanjutan dari pengenalan puisi ke publik lewat musik sebagaimana selama ini terjadi pada puisi-puisi Taufik Ismail yang dinyanyikan oleh kelompok musik Bimbo, atau puisi Yudhistira ANM Massardi dan Emha Ainun Nadjib oleh Franky Sahilatua, namun dengan cara sedikit berbeda.

Goenawan memang sering menganalogikan puisi dan musik, khususnya puisi dan jazz. Bahasa pengucapan puisinya yang liris dan cenderung memprosakan sajaknya atau prosa yang disusun dalam bentuk susunan baris-baris cerita naratif, seperti sajak Soneta Dua Dentang, Di Sungai, Firman Ke-12, Mezbah, semuanya di Kalam No. 20/2003, memang sangat musikal. Sajak-sajak ini luar biasa puitis dan melodis, dengan imaji-imaji air di sungai kebening-beningan. Ada lagi sajak Don Quixote yang terbit di Kompas (23/11/2007) yang juga prosais namun tak terlampau mengejar kebeningan. Dengan intim Geonawan melukiskan tafsiran Sayid Hamid terhadap Don Quixote dengan kata-kata “seperti sebuah titik” dan disusul kata berikutnya “seperti melankoli”.

Dalam sajak Don Quixote ini, kata “seperti” muncul sebanyak delapan kali: seperti somnabulis terakhir, seperti menyimpan tangis, seperti sabit tua, seperti katamu, seperti lantai sehabis dipel, seperti berdoa, seperti sebuah titik, seperti melankoli. Dalam sajak Pastoral tadi, muncul kata “seperti kilau”, dalam sajak Mezbeh, tertera “Seperti karma mayat”. Di tengah kehadiran kata-kata formulatif ini, sang penyair seakan membangun frase dan pasifisme-pasifismenya sendiri, melalui penegasan kata adalah berturut-turut, sebagaimana dalam sajak Don Quixote yang saya identifikasi berikut ini: fantasi adalah hijau hujan, kesunyian adalah mawar yang merambat, waktu adalah gurau, Dulcinea adalah cinta yang gagu, imajinasi adalah kabut pagi.

Di sini Goenawan seakan dengan sadar merayakan apa yang disebut tesis “kebudayaan estetik” yang dicemooh oleh Lukacs sebagai yang “hanya memementingkan teknik yang dielap mengkilat, psikologi yang dibuat rumit dengan cerdik, ungkapan yang pintar jenaka dan suasana hati yang seperti kabut pagi” itu. Dan puisi-puisi Goenawan yang banyak mengandung kata “seperti” dan “adalah”, serta suasana hati yang melankolis atau mengalun bagaikan gelombang aliran air di parit atau sungai malam hari yang hening-bening, seakan tak memuaskan dahaga estetisnya tanpa kehadiran kata “sunyi”, “kesepian”, “melankoli”, “gagu”, “gua”, yang mau tak mau membuat saya harus mengutip kredo literer Balzac yang terkenal dan sudah tentu sangat disukai Goenawan: merenggut kata-kata dari kesunyian, merenggut gagasan-gagasan dari kehampaan!

Kata-kata formulatif dan simile-simile yang intim, serta silogisme “x”, “xin”, “hati”, yang agak gelap, absurd, namun mengandung ambiguitas, muncul melalui rangkaian kata-diksi yang telah mengalami proses pengendapan yang padat, yang bukan lagi sekadar keranjingan untuk memenuhi garis kalimat atau sebagai pelengkap memasak kata, perbandingan dan analogi yang lucu, sehingga terkesan mubazir atau acak-acakan, tetapi telah menjadi semacam satu-kesatuan organis yang hidup dalam bangunan arsitektur sajaknya. Simile-simile itu bahkan telah menjadi ruh bagi sajaknya, mantera dan doa bagi kata dan diksinya.

Mungkin saja tanpa membubuhkan kata “seperti” dan “adalah” itu, maka permainan bunyi dari huruf hidup di awal-di tengah-di ujung baris sajaknya akan terasa ada sesuatu yang ganjil atau hilang dalam keutuhan sebuah sajak. Umar Junus pernah menulis ciri-ciri sajak semacam ini sebagai kecenderungan “pemenggalan” atau “perhentian sejenak” kata dan kalimat, yang telah memegang peranan penting sebagai pembentuk ambiguitas dan keindahan dalam sajak liris sejak sesudah Amir Hamzah dan Chairil Anwar.

Dalam sajak Don Quixote, pemenggalan itu dihadirkan melalui cerita yang menyajikan melodi yang liris yang melantunkan bunyi vokal atau huruf hidup serta kehadiran kata yang berujung i, seperti lelaki, fantasi, tinggi, peri, pipi, puri, mimpi, sendiri, polisi, padri, sunyi, suri, mati, kaki, tali, dan u: sayu, gagu…

Penyair yang lebih muda, yang juga sangat piawai memainkan simile-simile dalam sajak-sajaknya dapat kita lihat pada sajak-sajak Dina Oktaviani dalam kumpulan Biografi Kehilangan (Insist, 2006), yang berjarak tipis dari lirik-lirik Goenawan yang menampilkan komunikasi dengan apa yang oleh Carlos Fuentes dinamakan sebagai “menulis dalam diam”.

Struktur bangunan puisi Goenawan mirip garis dan goresan titik yang memanjang dalam seni lukis dengan kombinasi berbagai warna. Kombinasi warna dan permainan komposisi, gerak, alur, telah menjadi taruhan tersendiri dalam puisi lirik mutakhir. Dalam puisi Don Quixote misalnya, Goenawan menampilkan permainan warna dengan menampilkan kombinasi warna biru, merah dan hitam. Goenawan melukiskan tokoh Don Quixote ke dalam sebuah permainan (hanya) gerak dan kata-kata yang gagu, pasif, penuh kabut dan sunyi, bagaikan “Peri Kesepian mengangkat tubuh rapuh”, tulisnya.

Kombinasi warna dalam puisinya seakan menghadirkan cerita melankoli yang sesungguhnya, yang mungkin diniatkan untuk menghadirkan seni lukis dalam bentuk kata-kata. Dalam hal ini Goenawan mampu menghayati pasifisme-pasifisme dan aforisme-aforisme Don Quixote: sebuah mahakarya Cervantes yang banyak memberikan inspirasi dikalangan seniman dan sastrawan dunia itu.

Kita tahu, buku Don Quixote Cervantes adalah mahakarya dunia yang mengandung tokoh-tokoh aneh, dengan gelak dan liar, penuh kabut dan misteri, dan tak jarang melahirkan kontroversi seputar orisinalitasnya, yang dalam kenangan Carlos Fuentes dilukiskan sebagai buku sastra yang memberi jalan mereka yang tak berumah, atau jalan sunyi dari buku yang tak hendak menyuruh pembaca piknik ke dalam realitas, tetapi masuk ke dalam tindakan imajinasi; di mana segalanya seperti hadir dengan nyata. Setiap karakter dalam Don Quixote versi Cervantes adalah sebuah “entitas psikologis yang aktif, sekaligus arketipe yang didengungkannya, juga figur yang merupakan sumbernya, yang tak terbayangkan, yang kadang tak terpikirkan”, kenang Carlos Fuentes. Dan realitas—kalau memang berangkat dari realitas—hanya tinggal “selapis tipis awan penanda”—minjam frase Roland Barthes dalam terjemahan Goenawan—dan hampir tak berurusan dengan arti atau makna ini dan itu.

Mengapa Don Quixote karya Cervantes? Goenawan punya jawaban di tempat lain: sebab “kita hidup dengan warisan Cervantes yang majenun atau sebuah tragedi tentang kemajenunan yang mengharukan”. Seperti dalam kisah Qais dan Layla di Timur Tengah, yang majenun adalah yang menggetarkan, dan karena itu ia hidup. Percikan permenungan terhadap mahakarya Don Quixote yang menampilkan bahala tentang kegilaan itu, membuat Goenawan yakin bahwa setiap penyair pada dasarnya ingin menghadirkan puisinya sebagai yang tak waras, yang ganjil, karena dengan itu ia akan dicatat dan mendapat tempat di hati pembaca.

Vaclav Havel di Ceko-Slovakia mungkin akan geli mendengarnya, mengingat hampir setiap halaman bukunya yang diterjemahkan ke Indonesia beberapa tahun lalu, Menata Negeri Dari Kehancuran, banyak menggunakan kiasan Don Quixote sebagai bentuk cemooh dan penolakan. Havel sengat percaya pada kata, sekaligus berhati-hati terhadap kata. Goenawan sendiri pernah mengatakan: puisi tak Cuma kata, tapi juga elemen ketaksadaran, suasana nada-nada. Kata bukanlah baja struktur yang cocok untuk memikul beban-berat sejarah. Tetapi, struktur baja sendiri itu pun dapat dibongkar, kemudian dipasang lagi hingga elemen-elemen struktur baja itu dapat dipakai berulang kali dengan cara pengelasan. Dan dalam pengelasan itu, ia bisa menimbulkan tegangan residu. Demikian pula pada kata. Oleh karena itu, baik kata maupun baja, mempunyai sifat elastis. Kata juga bisa susut, sebagaimana baja bisa menuai. Kata juga bisa usang, sebagaimana struktur baja. Tanpa pemeliharaan kata dan baja oleh penyair atau insinyur (ingat kata ”insinyur jiwa” dari seorang penganut marxis), maka kata dan baja dapat aus.

Oleh karena itu, dalam puisi, kata dan makna pada akhirnya tak sepenuhnya normal dan selalu hadir di sini dan di sana, ini dan itu, atau yang berbicara sekarang, tapi juga pada kau dan mereka yang berada di tempat lain, di waktu yang berbeda. Ini kata-kata Goenawan yang diperolehnya dari Derrida, kata-kata yang mengingatkan aku pada pendirian Sutardji Calzoum Bachri tahun 1970-an agar pembaca mencari makna puisinya di tempat lain, bukan dalam puisi yang sedang kita baca saja.

Esai-esai Goenawan seakan menggabungkan keayalan Hamlet dan kebimbangan Pasternak: antara totalitas dan detotalitas. Ada kalanya Goenawan menampik detail dan merayakan totalitas, tapi di lain tempat ia dengan keras menohok totalitas dengan merayakan kebuncahan sekaligus keterbelahan. Di lain tempat, tersirat keinginan untuk menunjukkan bahwa bentuk (yang statis) tak terpisah dari kandungannya (yang dinamis).

Keinginan untuk memikirkan kontingensi bahasa membuat Goenawan masuk ke dalam sastra melalui dialog yang intim dan pertanyaan yang sering dibiarkan berlorong. Tekanan pada keindahan bahasa menghasilkan refleksi tentang keindahan sebagai yang tak bisa total, karena yang total tak menyapa keberbagaian. Dengan kata lain, Goenawan seakan mengkontraskan selesai dengan tak selesai, berhenti dan proses, ekspresi dan diam, dialog dan monolog, keabadian dan waktu, bahasa ruang dan bahasa waktu.

Jelaslah, kegemaran Goenawan pada sifat akhir-terbuka (open-ended), eksotopi, dan hal-hal yang tak selesai, akan mengingatkan kita pada Bakhtin. Pengaruh Bakhtin cukup dominan membentuk rajutan puisi dan pemikiran Goenawan. Jika Bakhtin berjerih memikirkan novel, Goenawan dengan intim mendiskusikan puisi. Mengapa puisi? Karena puisi, kata Goenawan, hampir analog dengan hidup, yang bukan seutas garis dalam peta atau ruang, sebagaimana kita persepsi selama ini, melainkan setuas waktu, bahkan seutas tali kebisuan.

Sambil mengutip pandangan Holderlin, Goenawan seakan menegaskan bahwa tabiat puisi lirik yang mempesonanya ibarat “dewa waktu yang membisu”, seperti kata yang keluar dari hati yang tak teraba gerak-geriknya. Begitu tenang, hening, sunyi, gagu, dan kehidupan mengalir di situ.

Di sini saya teringat sebuah tafsir tentang waktu yang dipersepsi sebagai “waktu diam seribu basa, hingga kita sering tak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Kata, Waktu. Demikianlah bunyi salah satu judul buku analekta esai Goenawan, yang di dalamnya banyak melukiskan pendiriannya tentang puisi bukan dalam puisi, tapi dalam esai-esai yang menyerupai puisi—bahkan puisi itu sendiri.

Hal ini senada dengan napas sajak Meditasi yang menampilkan kebisuan atau keheningan, sambil membayangkan Muhammad menerima wahyu di gua Hira yang sunyi dengan cara bersemadi untuk mengundang datang wahyu masuk ke dalam dirinya. Kalau pun Muhammad memohon kehadirat ilahi, ia melakukannya dengan doa-diam. Sebuah rasa luluh-larut, terkadang ambyar dalam sepi diri sendiri, tapi sekaligus intim. Dengan membayangkan meditasi sang Nabi dalam momen yang sepi dan waswas itu, Goenawan mampu mengekspresikan sebuah tafsir puisi atas Kitab Suci—puisi liris yang hening-bening tentunya, bukan mantra yang memaksa yang gaib dengan bahasa yang membahana.

Kitab Suci memang tak pernah lahir tanpa keheningan puisi. Karena itu, Muhammad dan Mohamad memilih jalan meditasi dengan doa-diam karena di situ terasa “khidmat, bagai mendengar bunyi sayap capung yang hinggap di ranting kemuning dan arus parit yang mengalir dari hulu”, kata Goenawan sendiri di tempat lain. Dan apa yang terdengar dalam suasana nada-nada hening-bening semacam itu, cuma bisikan senyap dari makna sunyi-mencari. Sebuah kesunyian yang tak ingin berbagi, mungkin, atau kesendirian yang ekstream, barang kali. “Rahasiamu sendiri tak sudi dibagi, pada seorang pun, sebab itu hanya akan lenyap jika kau katakan: jika dadamu sendiri tak kuasa sembunyikan, bagaimana yang lain dapat menyimpannya?” tanya Abu Tamam—penyair Arab suatu kali di abad ke-9, yang saya kutip dari disertasi Adonis yang telah dibukukan.

Ada yang ganjil bagi saya tentang pasemon metafisik Goenawan adalah kata-kata ini: ”kenapa selama ini orang praktis terlupa akan burung gereja, daun asam, harum tanah: benda-benda nyata yang, meskipun sepele, memberi getar pada hidup dengan tanpa cingcong? Tidakkah ini juga sederet rahmat, sebuah bahan yang sah untuk percakapan, untuk pemikiran, untuk puisi—seperti kenyataan cinta dan mati?”

Kata-kata yang menggemaskan dari esai 11 Maret itu memang sering kali diulang-ulang Goenawan. Dengan alasan itulah Goenawan menampik komunis dan paham totalitarianisme. Karena: ”Saya ingin menulis tentang burung dan angin, saya ingin menerima apa saja yang wajar di dekat ambang saya, saya ingin hati dan pikiran yang merdeka, agar bisa tulus”.

Tak cuma garis politik indoktrinasi yang dicibirnya, bahkan Goenawan sendiri menegaskan kemerdekaan ”sebuh pikiran yang tak ditakut-takuti oleh cap ’berdosa’ atas nama Tuhan ataupun kewaspadaan”. Di sini Goenawan menggunakan bahasa pasemon metafisik sambil merayakan hal-hal yang selama ini tak banyak dihiraukan dari alam. Dari sejumlah sajaknya, hanya sedikit sekali yang tidak bicara soal harum tanah, daun pohon, bulu burung gereja, sayap kupu-kupu, keindahan sayap burung gelatik dan kedasih. Tapi Goenawan masih sempat-sempatnya menohok dan menunjukan rasa bersalah yang pongah.

”Revolusi, Sosialisme Indonesia, Dunia Baru”, tulisnya. ”Dan entah mengapa, tiba-tiba saya sadar dan berujar: tak pernah saya terkesima akan hal yang sesungguhnya dahsyat tapi tersisih: warna bulu burung yang menakjubkan itu, sepasang mata yang seperti merjan jernih itu, sayap-sayap yang serba sanggup itu. Ternyata selama ini saya tak punya waktu buat tetek-bengek itu. Kami hanya menyimak dan memakai hal besar agar dunia jadi lebih adil di masa depan. Ada yang salah agaknya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar