Rabu, 15 Juli 2009

Prolog: Tentang Kata, Angka

Oleh: Asarpin



Jika bahan dasar sastra adalah bunyi serta aksara yang membentuk dan menunjuk kata, bahan dasar matematika adalah angka atau notasi yang mengacu bilangan dan operasi matematika.
--NIRWAN AHMAD ARSUKA, "Sains dan Sastra: Keajaiban Nalar dan Imajinasi", Kompas 06 September 2008.



Pada suatu hari Kemal Attaturk dan Hassan Ali berbincang tentang sebuah angka yang hampa, atau nol. Tak lama berselang, Kemal tiba-tiba mengajukan pertanyaan: ”Apa itu nol?”

Hassan Ali tentu tak mau membuang kesempatan. ”Definisi nol yang terbaik adalah sesuatu yang sama dengan diri saya di depan tuan, Pasha.” Tak mau membiarkan banyak jeda, Kemal pun menegaskan: ”Tapi nol itu penting!” Dan Hassan pun menimpal: ”Begitu juga saya, Pasha.”

Anekdot itu berlatar tentang perubahan Turki ke arah demokrasi yang berlangsung pada zaman kekuasaan Mustafa Kemal Attaturk. Saya mengutipnya dari salah satu Catatan Pinggir Goenawan Mohamad. Dengan menampilkan anekdot itu, Goenawan mungkin sedang membidik geliat Turki yang berubah, yang bukan lantaran karena kehendak Kemal semata—walau hal ini sulit juga ditampik—maka Turki akhirnya memutuskan menadi negara sekuler.

Goenawan menafsirkan demokrasi—tak cuma di Turki, saya kira—ibarat angka nol, suwung kata orang Jawa: sesuatu yang kosong yang menuntut untuk diisi (ditafsirkan) dengan angka-angka lain. Demokrasi adalah sebuah pengakuan akan pentingnya nol. Sebab dalam keadaan tak berisi, ternyata terkandung sebuah ikhtiar untuk memberi isi. Tapi dengan nol, manusia menampik ketakaburan.

Demikian tulis Goenawan dalam Catatan Pinggir bertajuk Turki (Tempo 27 Agustus - 02 September 2007). Yang tak ditanyakan Goenawan lebih jauh di situ, adalah: mengapa angka nol? Tidakkah kita justru lebih suka pada angka yang berisi, satu atau lima, misalnya?

Mungkin, dengan nol, ada enigma yang hendak dibentangkan, dan kita dipersilakan untuk menerjemahkan maksudnya. Tentu saja saya tidak sedang bicara tentang teka-teki silang di sini. Saya sedang hendak mengetengahkan persoalan yang mungkin cukup banyak menyita perhatian umat manusia dari masa ke masa, yaitu tentang angka dan kata.

Angka merpakan unsur yang bisa dipakai di dalam suatu karya seni agar memberikan pengaruh yang terasa kuat. Phytagoras bahkan pernah mengatakan: bilangan merupakan satu-satunya dewa yang dapat diuji kebenaran dan keberadaannya.

Sebagian orang lebih suka menggunakan angka untuk menyatakan fenomena hidup dan kehidupan. Tetapi umumnya, kalangan sastrawan lebih suka menggunakan kata. Menurut mereka, kata lebih rasional dan alamiah. Tapi betulkah kata lebih rasional dan ilmiah? Bukankah justru angka yang lebih cocok denan kedua sifat itu?

Dalam kitab suci paling tua, dikatakan: pada mulanya adalah Kata. Sementara orang Yunani bilang: pada mulanya adalah Angka. Bangsa Yunani dikenal sebagai penemu bahasa angka. Sistem per-angka-an Yunani dianggap sebagai cikal-bakal lahirnya konsepsi modern tentang ilmu pengetahuan. Sejak Phytagoras, para filsuf Yunani telah menggagas konsepsi mendasar tentang hukum alam serta mengembangkan kebiasaan untuk mengungkapkan hukum-hukum tersebut dengan istilah-istilah matematis. Desain matematis tidak digagas guna mempermudah proses industri, atau hanya bersifat utilitarian murni saja, tanpa memperhitungkan kegunaan secara praktis, sebagaimana kelak kita temukan dalam sains modern.

Menurut sebagian ilmuwan, sistem per-angka-an Yunani itu buruk sekali. Metode perkalian jadi sangat sulit dan penghitungan yang rumit hanya bisa dilakukan oleh orang yang sangat pandai. Namun kehadiran Archimedes menjadi penting justru karena dialah yang memberi isyarat tentang penggunaan matematika secara modern dengan menciptakan perkakas perang untuk membela Syracuse dari serangan bangsa Romawi. Namun seorang serdadu Romawi berhasil membunuhnya, dan matematika kembali beristirahat dalam menara gadingnya.

Dalam kurun itu, bangsa Yunani mencapai tingkat rasionalitas pencerahan yang tak akan bisa dilampaui oleh zaman kita. Para filsuf Yunani berhasil mencapai perkembangan yang paling mencengangkan mengenai teori seputar penciptaan alam semesta.

Gagasan tentang kemajuan yang dibawakan bangsa Yunani awal tidaklah kalah canggih dan mengejutkan dengan sains modern sekarang ini. Kendati demikian, kemajuan sains dalam pemahaman tentang alam baru mencapai puncaknya pada abad ke-17 dengan tampilnya Galileo, Descartes, Newton dan Leibniz.

Pada era Descartes, hukum alam berusaha dipatahkan hanya dengan mendasarkan diri pada matematika dan logika. Descartes mungkin pernah membaca karya-karya para pemikir Eleatik yang berkiprah di lapangan ilmu pengetahuan dengan menggariskan cita-cita logika, sehingga filsuf rasionalis ini begitu menjunjung tinggi segala yang logis-rasionalis, dan pada saat yang sama mengecam yang tidak logis.

Jika ditelusuri lebih jauh, ada perbedaan mendasar antara matematika zaman modern dengan periode Babilonia. Pada masa Babilonia, matematika dan astronomi tak sepenuhnya meninggalkan sesuatu yang mistik, sementara matematika modern justru mengenyahkan segala yang dianggap takhayul dan irasional. Konsep matematika dan astronomi akhirnya bergeser ke arah yang serba-rasional, dan nyaris tak tegoyahkan selama berabad-abad.

Bangsa Yunani menaruh minat kuat pada penjumlahan angka-angka. Namun dalam perjalanannya, ternyata per-angka-an Yunani masih dekat dengan ”logika tuyul”. Zaman kepercayaan (Ages of Fait) yang dipuja kalangan neo-skolastis, ternyata tidak membuat tuyul dan takhayul lenyap di bumi Yunani.

***

Adalah Johannes Kepler (1571-1630)—ilmuwan perintis sejati dari astronomi ilmiah—yang paling awal dalam mengubah matematika ke arah yang kian tak tergoyahkan dengan hitungan-hitungan angka yang logis. Kepler bertarung mati-matian untuk mengusir yang mistik dalam astrologi Babilonia dan Yunani. Akhirnya, astronomi berhasil mendepak astrologi.

Di lain tempat, matematika menjadi ilmu hitung yang makin lama makin pasti dan sahih. Angka dan bilangan kembali jadi panglima di segala lapangan. Apa saja harus diukur dengan angka. Apa saja mesti ada bilangan. Astronomi memukau para calon ilmuwan muda.

”Astronomi dikejar orang dengan bersemangat pada abad ke-16 dan ke-17 karena manfaatnya di bidang pelayaran”, kata Bertrand Russell dalam artikelnya yang diterjemahkan menjadi Gagasan-Gagasan yang Menyelamatkan Manusia. Sekarang tak cuma di bidang pelayaran astronomi bermanfaat, tapi juga bidang-bidang kemanusiaan.

Selama berabad-abad filsafat matematis yang statis nyaris tak terguyahkan. Sementara konsep matematika Babilonia dianggap ketinggalan zaman, lantaran tak masuk akal. Bertrand Russell sempat menohok matematika dan astronomi Babilonia sebagai yang masih amat kaku, statik, tidak progresif, dan penuh takhayul. Namun Russel lupa bahwa hakikat matematika itu sendiri adalah statik, karena matematika bukanlah eksperimentalisme yang dinamis-progresif.

Russell terlanjur menganggap matematika dan astronomi modern lebih progesif dan lebih ilmiah ketimbang empat ratus tahun sebelum datangnya abad ke-20. Russell pun pernah menegaskan: ”Mulai dari abad ke-17 hingga sekarang, sudah menjadi semakin nyata bahwa jika kita ingin memahami hukum-hukum alam, ilmuwan mesti melepaskan diri dari segala macam bias etis maupun estetis. Kita harus berhenti beranggapan bahwa hal-hal mulia punya sebab-sebab mulia, bahwa hal-hal yang cerdas punya sebab-sebab yang cerdas, dan bahwa ketertiban tidak mungkin ada tanpa polisi alam raya”.

Anjuran Russel tak mempan. Terbukti etika dan estetika masih berada dalam pesona. Walau pun sejak akhir abad ke-16 teori gereja tentang alam semesta mulai digugat, dan puncaknya adalah abad ke-17, di mana pandangan kitab suci tentang bumi dan matahari betul-betul diragukan, tapi penganut ajaran gereja kian bertambah banyak. Gereja memang sempat sempoyongan dalam membendung arus kehadiran sains modern yang menekankan rasionalisme dan empirsme, tapi tak sampai kehilangan penganut.

Menurut Donald B. Calne dalam buku terjemahan bertajuk Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia dan Nirwan Ahmad Arsuka dalam esai Dialog Dua Anak Haram, pada persimpangan abad ke-16 dan ke-17 para pemikir masih berada dalam bayangan filsafat Aristoteles. Mereka dengan tegas membagi ranah langit dan bumi, ranah surgawi dan duniawi, perfeksi dan korupsi, Kenaikan dan Kejatuhan.

Mayoritas pemikir pada masa itu memang belum menemukan alasan untuk mengkritik dasar filsafat Aristoteles. Akan tetapi, telah muncul beberapa pemikir yang menyangsikan pandangan filsuf tersohor Yunani itu. Kopernikus, yang mencetuskan teori yang menggemparkan gereja Katolik dan Protestan, membuat heboh kalangan gereja sejak 1543. Lalu Giordano Bruno menjadi pengikut Kopernikus, dan akhirnya dibakar hingga tewas di tahun 1600. Galileo Galilei dipaksa hadir di hadapan Inkuisisi gereja pada 1616.

Kita bisa melacak napak-tilas peralihan sains tradisional ke sains modern, pertentangan antara gereja dan ilmuwan modern, sampai lahirnya periode romantik akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-19, dimana Sigmund Freud—dan sebelumnya Darwin—tampak mulai meragukan ciri manusia rasional, dan menawarkan yang libinal.

Periode romantik lahir dari kecemasan memandang paham rasionalisme dan empirisme. Periode ini terus berlangsung hingga senjakala abad ke-20. Yang terbaru adalah Kurt Godel, ilmuwan yang meragukan matematika untuk jadi panglima dunia. Setidaknya kita bisa melhat ini pada uraian Nirwan Ahmad Arsuka dalam Ontologi Baru, Algoritme dan Api (Kompas-Bentara, 5 Juli 2002). Kurt Godel adalah anak ajaib dari Wina untuk logika, dan dirinya pernah ditolak sebagai guru besar matematika, tapi akhirnya bergabung dengan Einstein dan von Neumann di School of Mathematics di institut Princeton AS tahun 1933.

Dialah jenius tersohor yang lekat dengan paranoia dan terornya yang menghebohkan di Institute for Advanced Study. Tapi Kurt Godel bukan satu-satunya yang curiga pada matematka abad lalu itu. Bisa jadi kritiknya atas matematika telah dilancarkan para teolog Kristen dan Yahudi sendiri yang mula-mula menyadari ketebatasan desain matematis saat berhadapan dengan kenyataan.

Tapi bukan persoalan itu yang hendak saya tekankan di sini, kendati ada satu pandangan Nirwan Arsuka yang menarik disinggung kembali. Bagi Nirwan, bukan matematika—termasuk aljabar dan kalkulus—sebagai satu-satunya sarana ampuh dan meyakinkan untuk memahami kenyataan, apalagi kenyataan yang kompleks, melainkan cellular automata (otomata seluler). Otomata seluler adalah sebuah perintah program komputer yang terdiri dari satu baris situs, di mana tiap situs membawa sebuah nilai 0 dan 1. Karena itu, konfiguasi sebuah sistem kompleks—kata Nirwan yang terkesima gagasan ”baru” Wolfram—sesungguhnya merupakan sekuensi dari nilai nol atau satu. Alam semesta-lah komputer itu, kata Wolfram (2002).

Bukan Wolfram yang pertamakali mengenalkan gagasan gila itu, seperti kata Mahdi Murthada Armahedi Mahzar (Kompas-Bentara 6/9/2002), melainkan telah lama dikumandangkan Edward Fredklin yang merekonsruksi teori fisika fundamental sebagai fenomena komputasi digital. Yang terakhir ini tidak lain adalah peristiwa komunikasi antarsel-sel otomata yang diprogram alam satu Maha Komputer yang disebut sebagai Liyan (bahasa Lampung: Tiyan) itu. Gagasan mekanika digital Fredklin sebetulnya hanyalah kulminasi dari proses reduksi sibernetik total. Penggagas sibernetika abad ke-20 justru Norbert Wiener—seorang Yahudi kelahiran Amerika.

Setelah berakhirnya perang dunia kedua, sebagian ilmuwan memang beralih dari memproduksi mesin energi menjadi mesin informasi, dari matematika ke algoritme. Komputer telah dipraktekkan para agen-agen CIA untuk memproduksi jaringan informasi raksasa dalam rangka memonitor dunia.

Beberapa tahun lalu muncul sebuah pernyataan yang menggelitik: siapa yang menguasai informasi, maka ia menguasai dunia. Jika Uni Soviet yang menguasai informasi, maka bukan Amerika yang jadi negeri Super Power seperti sekarang ini. Namun karena sebagian besar ilmuwan sendiri—termasuk Bertrand Russell—mencoba merasionalisasi bahwa masa depan dunia lebih terjamin jika Amerika yang menang perang karena alasan demokrasi liberal lebih menjanjikan ketimbang populisme.

***

Saya telah menyimpang terlalu jauh dari tema semula. Saya ingin menarik bentang waktu yang agak jauh tentang keterbatasan kerja matematika terhadap alam, dengan tidak melupakan jasa Blaise Pascal—ahli matematika tersohor dari Prancis itu. Kita tahu, Pascal sempat bikin ciut sejumlah ilmuwan karena pandangannya tentang alam semesta masih memberi ruang bagi campurtangan ilahi yang bersifat arreton. Tesis Pascal yang terkenal di kalangan para saintis adalah: ketika kita temukan sebuah jarak yang tak bisa diungkapkan dengan angka, dan ketika segi tiga siku-siku sisi miringnya tidak dapat diukur dengan cara yang sama dengan sisi-sisi lainnya, maka matematika dan geometri menunjukkan keterbatasan yang akut.

Sejak itu, maka muncul para pemikir yang mengintrodusir bilangan irasional sebagi lawan bilangan rasional. Filsafat yang terlampau menekankan rasionalisme dan sains yang terlanjur menganjurkan keahlian, mendapatkan rivalnya dari kalangan filsuf yang berusaha mengembalikan filsafat dalam kerangka hikmah kebijaksanaan. Bertrand Russell pun ambil bagian dengan menekankan filsafat sebagai kebijaksanaan.

Dalam esainya bertajuk Filsafat Untuk Kaum Awam, Russell sempat menyingung kegamangan ilmuwan dengan mengambil contoh penemuan bom atom. Setelah ilmuwan berhasil membuat bom atom, para ilmuwan sendiri lalu dilanda kecemasan dan tidak tahu mau berbuat apa dengannya. Manusia, karena itu, tak cuma butuh dan cukup dengan keahlian, tapi ada sesuatu yang dirindukan oleh manusia; yaitu ”kebijaksanaan”.

Filsafat, kata Russell, ”Cinta pada kebijaksanaan”. Tapi kita tak mungkin berfilsafat dalam keadaan mati. Primum vivere, deinde philosophari (Hidup dulu, baru berfilsafat), kata Thomas dari Aquinas pada abad ke-13. Dan filsafat dalam pengertian hidup dalam cinta inilah yang semestinya diusahakan oleh umat manusia jika kekuatan baru yang ditemukan oleh para ahli teknik, dan diteruskan untuk digunakan oleh orang-orang biasa, tak dikehendaki menjatuhkan manusia ke dalam bencana yang mengerikan.

Dalam masa tuanya, Russell seperti telah menemukan ”hikmah kebijasanaan” itu. Namun Russell sendiri—lewat warisan karyanya yang bertebaran di rak perpustakaan—tampak masih menjelmakan sosok dwikembar-paradoksial dari seorang rasionalis sekaligus skeptis, yang menggelorakan perang tapi sekaligus cinta-damai, seorang filsuf yang memberi suatu alasan pada filsafat untuk mempertahankan agama dan bukan menyingkirkan, tapi juga sebagai matematikawan yang percaya bahwa ”sesuatu dapat diketahui dalam matematika murni” tapi tentang ”dasar-dasar matematika saya tak mendapat suatu kesimpulan pun” dan ”walau saya cenderung pada empirisme, saya tidak dapat mempercayai bahwa 2 x 2 = 4 diperoleh dari generalisasi yang negatif murni ini”.

Terhadap angka 0 dan 1, Russell agaknya masih condong pada bilangan satu yang logis-rasionalis, dan kurang menaruh pada bilangan nol yang enigmatis dan mistis. Dan kita tak akan menemukan penjelasan yang memuaskan tentang nol dalam karya Russell, walau kemudian kita tahu bahwa bilangan nol yang irasional itu adalah sebuah arreton, kata Ernst Cassirer dalam An Essay on Man. Atau hal yang lebih dekat kepada sesuatu yang tak untuk dipikirkan, dan tidak pula untuk dibicarakan panjang-lebar.

Kita kembali pada jasa Pascal yang telah menguraikan hakikat angka sebagai sesuatu yang nisbi. Bagi Pascal, sebuah bilangan hanya satu ruang dalam tata sistem kosmos yang ada. Bukan segala-galanya. Pascal pun mengkritik aritmetika dan geometri karena kedua soal ini cuma unggul dalam hal-hal yang dapat dibagi-bagi ke dalam unsur-unsur terkecil saja, padahal banyak persoalan yang justru tak dapat dibagi-bagi karena rumitnya dan karena variasinya tak terbatas. Manusia? tanya Pascal. Ada banyak enigma yang tak terkuak dalam diri manusia. Matematika tak pernah akan mampu menjadi instrumen bagi doktrin yang benar tentang manusia. Bahkan hingga terbitnya buku Man, the Unknown Alexis Carrel rahasia tak terhingga tentang manusia belum sepenuhnya terpecahkan.

Pascal pun menggugat gagasan Cartesianisme. Kemudian Tuhan di bawa serta dalam pidato dan bukunya untuk meyakini para ilmuwan bahwa ada sesuatu yang tak mungkin bisa dijebol-tembus oleh dinding keharusan nalar manusia. Hanya ada satu pendekatan terhadap rahasia kodrat manusia, kata Pascal yang masih terkesan agak mutlak-mutlakan, yaitu: Agama. Maka dengarkan firman Allah, jangan ingkari, jika kalian ingin selamat di bumi dan hidup tentram di akhirat nanti!

Namun para ilmuwan hampir tak beranjak dari tempat duduknya mendengar kritik bertubi-tubi yang diajukan Pascal. Terbukti sains melaju kencang di abad ke-19 dan abad ke-20. Kendati tak henti digugat dan dikritik, matematika masih punya pengaruh besar sampai hari ini. Dan konsep mendasar dalam matematika yang banyak mendapat pengikut sampai esai ini ditulis, adalah bilangan. Dikritik atau ditampik, angka dan bilangan aka terus mempesona, sebagaimana kata akan terus jadi alat sekali pun sebagian penyair dengan beringas menolaknya.

***

Saya bukan pembela matematika di sini. Bukan pula anti-sains. Saya percaya, antara seni dan sains sama-sama memiliki ruang dalam diri saya. Saya hanya sedih mengapa para teolog—baik Kristen maupun Islam—yang semula enggan bercumbu dengan rasionalisme apalagi menerapkan pendekatan rasional terhadap Kitab Suci, malah—disadari atau tidak—sering menunjukkan pemikiran yang serupa ilmu pasti. Karen Amstrong, dalam The Battle for God, mengingatkan saya tentang kaum ”fundamentalis” modern yang menafsirkan Kitab Suci se-harafiah dan se-rasional mungkin, yang hampir tak ada bedanya dengan ilmu pasti.

Tapi mengapa saya mesti sedih? Andaikan kita teruskan pengembaraan ke dalam gagasan sains yang berkembang di dunia sejak lama, maka saya pun menyadari sepenuhnya bahwa sejak peradaban ilmu pengetahuan beralih dari Babilonia, Yunani, Arab, ke peradaban sains Eropa dan Barat, maka selama berabad-abad pula kita hanya mengenal dua imperium ilmu pengetahuan di dunia: Eropa dan Amerika! Imperium lain mati, bahkan untuk bermimpi kembali tak berdaya lagi. Islam tak lagi melahirkan ilmuwan, apalagi ilmuwan kelas Nobel.

Selain itu, sejak Renaisance sampai abad ini, ilmuwan penemu teori besar mungkin sudah ditakdirkan berjenis kelamin laki-laki. Periode lahirnya para matematiawan abad ke-20 di Princeton Amerika nyaris tidak terdapat nama perempuan kecuali Mary Cartwright yang tenggelam oleh kebesaran ilmuwan lelaki di lingkungan pergaulan. Bahkan mungkin sudah takdir pula bahwa sejak Renaisance ilmuwan tak akan pernah lahir di Asia lagi, kendati di India sebelumnya pernah punya tradsi filsafat bilangan yang pantasis dan di abad ke-20 pernah muncul matematikawan Ramanujan yang mati dalam usia 33 tahun.

Nalar instrumen ilmuwan Eropa dan Amerika sejak abad ke-16 nyaris tanpa batas menjelajah semesta, waktu, ruang, dan bidang-bidang liputan yang mekanistis, dan sampai kini masih saja disyukuri sebagai suatu pencapaian ilmu pengetahuan yang spektakuler, karena dengan ilmu baru itu berbagai penyakit menular dalam diri manusia bisa dijinakkan.

Harus menunggu Einstein untuk mengoreksi pandangan Newton. Ilmuwan yang lengket dengan penemuan bom atom ini, walau sesungguhnya bukanlah yang pertama kali mempopulerkan itu, kelak ikut memberi peringatan pada sains yang bersifat mekanistik dan patriarkis. Tampilnya jenius plamboyan ini di Princeton era 1930-an masih dalam tahap glamor biasa dikalangan ilmuwan, kendati sejak 1905 ia telah dianggap memporak-porandakan mekanika Newton dengan teori relativitas khususnya.

Sebelum bom atom pertama diledakkan pada perang dunia kedua, nama Einstein bahkan belum menjulang seperti sesudah peristiwa perang dunia yang dahsyat itu. ”Bom memungkinkan teori relatvitas Einstein mendapat nama besar, padahal sebelumnya hanya dipandang sebagai sebuah koreksi kecil atas mekanika Newton yang masih dianggap berlaku”, tulis Sylvia Nasar dalam A Beautiful Mind (1998).

Benar atau tidak kesimpulan itu, Einstein telah berjasa mengenalkan teori cahaya yang tak membutuhkan perantara, karena cahaya itu ada bukan sebagai gelombang tapi partikel-partikel yang dapat bergerak dalam ruang hampa udara. Itulah yang disebut mekanika quanta: kelak namanya sering disebut juga teori tentang fenomena atomik, atau teori quantum, atau lebih dikenal dengan fisika quantum.

Albert Einstein telah dimitoskan dilingkungan sains, dan namanya tak mungkin bisa dikubur. Suatu waktu Einstein menggugat keangkuhan ilmu pengetahuan seraya tak lupa menyebut-nyebut nama Tuhan. Salah satu frase terekenal Einstein adalah: ”Tuhan bermain dadu” dan ”Tuhan itu tidak nyata tetapi tidak jahat”.

Einstein, dalam bukunya Out of MyLater Years (yang saya kutip dari Bung Hatta dalam esai Tanggungjawab Moral Kaum Inteligensia) pernah menuturkan suatu pengalaman akan keterbatasan sains, dan memberi semacam aba-aba bagi mereka yang terlampau tergila-gila pada ilmu pengetahuan:

”Dengan pengalaman yang pahit kita ketahui, bahwa pikiran rasional saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah hidup sosial kita. Penyelidikan yang mendalam dan pekerjaan ilmiah yang bersemangat seringkali membawa pelaksanaan yang sedih bagi hidup manusia. Pada suatu pihak ia menghasilkan pendapatan-pendapatan yang memerdekakan manusia dari pekerjaan badaniah yang berat, membuat penaghidupan lebih mudah dan lebih kaya. Tetapi sebaliknya ia membawa kegelisahan besar ke dalam penghidupan, menjadikan orang budak dari lingkungan teknologinya, dan—lebih mencelakakan lagi dari gejala-gejalanya—membuat alat untuk memusnahkan sesama manusia secara besar-besaran. Inilah, nyatanya, suatu tragedi yang menyedihkan....”

Peringatan Einstein terhadap efek negatif sains dan teknologi mengingatkan kita pada peringatan Pascal melalui kiasan yang khas: ”Tuhan ada atau tiada”, kata Pascal, ”tak ada pilihan, kita harus terus bermain. Sebagai manusia kita mesti bertaruh. Tidak bertaruh bahwa Tuhan ada, berarti bertaruh bahwa Tuhan tidak ada. Mana yang akan kita pilih?”

Terlepas bahwa gagasan Pascal dan Einstein masih terkesan menghibur hati para agamawan, namun kritik keduanya atas sains kelak bisa mengangkat kembali pamor religi di Barat. Garreth Lisi, lewat makalahnya yang berjudul A Very Simple Theory of Everything, dianggap fisikawan yang telah menemukan sebuah solusi elegan untuk menyatukan teori relativitas dan teori partikel yang telah mengganggu para ilmuwan sejak masa Einstein. Tapi bagaimana hasilnya kini tak banyak lagi diketahui.

Kini misteri alam yang tak dapat dipecahkan oleh sains, yang oleh Bertrand Russell mesti dijauhkan dari bias etika dan estetika itu, kembali dihubungkan dengan kebenaran etik-estetik. Banyak kaum muslim yang sengaja mengutip pandangan Pascal dan Einstein untuk menguatkan sikap apologistis dan reaksioner. Seolah-olah dengan mengkritik sains, maka seluruh yang dihasilkan oleh sains tak lagi bermanfaat bagi umat manusia. Padahal kenyataannya, begitu banyak kini kita bergantung pada hasil sains di bidang kesehatan dan pendidikan.

Tetapi, tidak adil juga mengatakan klaim-klaim kaum muslim tentang sains sebagai yang apologistis, karena kenyataannya dunia Arab-muslim memang sempat diramaikan oleh para ilmuwan di bidang astronomi, aritmetika, geometri, fisika, kimia, biologi, kedokteran, dan lain-lain, yang walau belum sehebat temuan ilmuwan Eropa dan Barat, setidaknya secara historis tak bisa diabaikan. Berkat penerjemahan buku-buku para filsuf dan ilmuwan Yunani, maka muncul beberapa ilmuwan muslim yang menorehkan tinta emas di lapangan sains.

Dalam sejarahnya, antara sains dan Islam tidak saling menegasikan. Ada waktu-waktu tertentu di mana keduanya seiring-sejalan, dan tidak saling tikam. Tapi suasana semacam itu kini sudah jarang kita rasakan. Ilmu pengetahuan dan Islam sekarang tak jarang diperlawankan. Saya kira di sinilah sifnifikansi mengangkat kembali pemikiran ilmuwan muslim yang berhaluan pluralis-dialogis, bukan sebagai klaim-klaim sempit.

Kontribusi ilmuwan muslim terhadap sains Abad Pertengahan, terutama yang masih memberi ruang pada daya-daya mistik dan religius, yang dikenal secara luas di kampus-kampus sains Eropa, kini hampir tenggelam. Sumbangan kaum muslim terhadap sains cuma jadi idealisasi dan kebanggan sebagian muslim yang bergerak di bidang islamisasi sains.

Sudah banyak yang membanggakan kiprah kaum muslim Abad Pertengahan terhadap ilmu pengetahuan, di antaranya adalah Seyyed Hosein Nasr dan Mehdi Nakosten. Para dosen di IAIN—yang tidak dididik dengan baik mengenai sains—menganggap apa yang dilakukan ilmuwan muslim masa lalu di bidang sains cuma menerjemahkan astronomi dan matematika Yunani dan bilangan Hindu, dan tak memiliki pemikiran yang orisinal dan baru.

Terlepas anggapan itu sangat tendensius, saya kira apa yang disebut aljabar, algoritme, dan astronomi Al Kwarizmi, masih terus dipelajari hingga kini di belahan dunia. Angka-angka Hindu yang diuraikan Al Kwarizmi pada abad ke-9 dan Biruni pada abad ke-11 sampai kini masih ditafsirkan. Orang muslim memang berhutang banyak terhadap bilangan mistik Hindu dan Yunani, dan Barat telah menerjemahkan karya-karya kaum muslim dan Yunani tentang sains dengan gemilang. Ibrahim ibnu Sinan di Arab sudah menulis tentang tanggapan terhadap Apollonius dan Almagest. Abu Kamil telah melengkapi aljabar Al Kwarizmi. Ibnu Ammur menyusun tabel astronomi. As-Saqani menulis tentang pembagian tiga sudut dan membuat alat-alat astronomi baru yang dibantu oleh al-Kuhfi dan Abul Wafa di Baghdad.

Selain itu, ada Abdul Fath yang memperbaiki dengan teliti Conics Apollonius. Al-Khujandi membuktikan bahwa jumlah dua bilangan kubik tidak dapat menjadi satu bilangan kubik. Abdul Rahman as-Sufi membuat ilustrasi katalogus baru bintang-bintang. Abdul A’lam membuat tabel astronomi baru. Ja’far al-Khazin dan Nasif ibnu Yunus mengerjakan terjemahan baru Book Tent Euclid. Perhatian ilmuwan muslim terhadap geometri Euclidian terus berlanjut, bahkan seorang anak muda menulis novel heboh bau-baru ini, Laskar Pelangi (2005), yang menampilkan tokoh Lintang yang jenius dalam mengajarkan dekomposisi modern dan teknik menghitung luas poligon dengan cara membongkar sisi-sisinya sesuai dalil Geometri Euclidian.

Perkembangan sains di Arab secara mengagumkan dalam biang matematka dan astronomi sampai dengan masa Ibnu Ahmad—ilmuwan Arab yang melakukan studi khusus tentang bilangan amicable. Lalu belanjut sampai Muhammad ibnul Husain, yang menulis sebuah risalah tentang kompas dengan memakai semua bentuk kerucut yang dapat digambarkan. Demikian pula Nasiruddin Tusi dan al-Maghribi, Jabir ibnu Aflah dari Seville yang melanjutkan gagasan di bidang trigonometri. Tabel astronomi ilkhanian dari Nasiruddin Tusi dan Tabel marw disusun oleh Khazimi menjadi sangat populer di dunia Islam. Tabel-tabel astronomi Zijs (dari bahasa Persia, zig atau zih, yaitu kartu) dan jelali zij telah dipraktikkan oleh penyair Omar Khayyam.

Sampai kepada Ibn Sina, al-Ghazali dan Ibn Rushd, para pemikir Islam masih terus berdebat tentang sains dan puisi, atau antara yang rasionalis dan yang spiritualis. Ibn Sina punya teori tentang penciptaan alam semesta sebagai kehendak Tuhan yang tidak kekal karena Tuhan berada dalam proses waktu, bukan di luar waktu. Al-Ghazali bahkan sempat menyanggahnya dengan argumen yang justru paling banyak dikritiknya kemudian: yaitu logika dan nalar murni. Tuhan Maha Kuasa yang dapat mencipta sesuatu dari ketiadaan yang mutlak. Dan Ibn Rushd kian mempertajam argumen filosofis dan rasionalis tentang Tuhan sebagai satu, total, sama, dan logis.

Al-Ghazali memang unik, mengingat orang ini mulanya sangat percaya pada filsafat rasionalis, namun akhirnya justru berpaling dengan tasawuf dengan mengarang buku terkenal tentang sanggahan terhadap para filsuf: Tahafut Al Falasifah. Buku yang sempat dibabat habis oleh para filsuf Islam kemudian, karena konon dianggap membuat stagnasi pemikiran kaum muslim, sudah sejak lama anggapan itu dievaluasi mengingat al-Ghazali sendiri memiliki peranan penting membeberkan ketidakmampuan ilmuwan dan filsuf membuktikan melalui argumen-argumen rasional tentang teori keabadian alam, penciptaan alam semesta, dan Tuhan.


***

Teori-teori aritmetika sempat menjadi perhatian besar orang Arab-muslim periode Renaisance. Matematika Arab sampai sekarang dikenal melalui berbagai derivasinya, dan ”geometri suci” adalah salah satu yang mengalami perkembangan mencengangkan di Barat. Jenis-jenis lainnya ialah aritmetika, yang dianggap merupakan turunan dari India dan didasarkan pada prinsip posisi. Lalu ada aljabar, yang meskipun berasal dari Yunani, Hindu dan sumber-sumber lain di Babilonia, akan tetapi di tangan para pakar muslim diubah dengan menekankan karakteristik baru dan lebih sistematis.

Trigonometri, dengan ramuan utama dari Yunani, oleh bangsa Arab ditangani menurut cara Hindu, dalam perkembangannya mempunyai lebih banyak fungsi dan rumus. Kategori ini menjadi dikenal karena peran ibn-Yunus (meninggal tahun 1008) dan Alhazen. Keduanya berasal dari Mesir dan berjasa dalam mengenalkan sebuah rumus begini: 2cos x cos y = cos (x + y) + cos (x - y).

Rumus penjumlahan tersebut sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan matematika dan trigonometri abad ke-16, sebelum ditemukan algoritme. Beberapa temuan Al-Kwarizmi di bidang matematika masih digunakan para jenius hingga sekarang. Sebelum meninggal, sempat mewariskan sejumlah karya yang gemilang di bidang trigonometri, astronomi, aljabar, algoritme. Karya-karyanya telah dipelajari oleh semua anak manusia yang pernah mengikuti mata pelajaran matematika.

Di kalangan penyair, Omar Khayyam banyak mengekspresikan gagasan geometri ke dalam puisi. Khayyam melanjutkan gagasan pendahulunya dengan menekankan persamaan kuadrat baik untuk solusi aritmatika maupun solusi geometri. Untuk persamaan-persamaan umum pangkat tiga dipercayainya bahwa solusi untuk aritmetika adalah tidak mungkin (kelak pada abad lima belas dibuktikan bahwa pernyataan ini salah), sehingga dia hanya memberi solusi geometri. Gambar kerucut yang dipotong untuk menyelesaikan persamaan pangkat dua sudah pernah dipakai oleh Menaechmus, Archimedes dan Alhazen, namun Omar Khayyam mengambil cara lebih elegan dengan melakukan generalisasi metode guna mencakup persamaan-persamaan pangkat tiga dengan hasil berupa akar bilangan positif. Untuk persamaan dengan pangkat lebih dari tiga, Omar Khayyam tidak dapat memberi gambaran dengan menggunakan metode geometri yang sama. Dianggap bahwa tidak ada dimensi lebih dari tiga: “Apa yang disebut dengan kuadrat dikuadratkan oleh para ahli aljabar, memberi daya tarik dari sisi teoritis.”

Hiperbola digambar bersama-sama dengan parabola pada (sistem) ordinat yang sama, sedangkan absis merupakan titik-titik perpotongan parabola dan hiperbola adalah hasil akar persamaan kuadrat. Dia belum menjelaskan tentang koefisien negatif. Niatnya memecahkan problem berdasarkan parameter a, b, c adalah bilangan positif, negatif atau nol. Namun tidak semua akar dari persamaan kuadrat diketahuinya, karena dia tidak mengetahui akar bilangan negatif.

Meskipun Khayyam menulis juga tentang cara menemukan persamaan pangkat empat, lima, enam atau pangkat lebih tinggi dari binomial, tapi karyanya tak banyak dikenal orang. Dia adalah penyair sekaligus matematikawan. Kombinasi yang aneh dan kini sudah jarang dijumpai.

Sejumlah sajaknya telah dirangkum dalam al-Rubaiyat, yang berisi 75 puisi pendek terdiri dari 4 baris dan biasa disebut quatrain. Omar Khayyam tampaknya telah menutup “jurang” antara ekspresi angka, bilangan dan kata, dengan aljabar geometrikal, sebelum kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes di Barat.

***

Dari sejumlah premis di atas, tampaknya kita sedang memasuki wilayah penuh problem dan misteri. Angka-angka atau bilangan desimal tak jarang mengandung sejumlah enigma tak terpecahkan. Demikian pula kata-kata. Teka-teki yang terdapat dalam angka-angka dan enigma dalam kata-kata, ternyata bisa membawa kita ke dalam enigma kehidupan.

Sambil meniru tafsiran Sutardji Calzoum Bachri, kata-kata ternyata punya misterinya sendiri. Kita tak tahu mengapa ada kata ”kuda” sebagai hewan kuda tapi kata ”daku” bukan kuda yang tajungkang-mundur. Bahkan kita tak kunjung mengerti mengapa kata ”laba” berarti untung sementara kata ”laba-laba” bukan banyak untung, atau ”Ali makan” berarti Ali makan sesuatu, sedangkan ”rumah makan” bukan rumah makan sesuatu. Mengapa mawar adalah mawar adalah mawar dari satu mawar menjadi tiga dan ketiganya bisa berbeda? Demikian pula mengapa 1x1=1, 1x2=2, 1x1=1 bukan 2. Itulah misteri kata-kata dan rahasia angka-angka yang sebagian belum terpecahkan—atau takkan pernah terpecahkan.

Angka dan kata, bilangan satu dan bilangan nol, ternyata telah menyita perhatian kalangan sastrawan di negeri ini. Perbincangan tentang sains dan sastra pun sempat menjadi polemik yang menarik. Harian Kompas telah menyokong lahirnya sejumlah perdebatan tentang sastra dan sains, nyaris tanpa disadari. Sejumlah esai yang muncul di harian Kompas memiliki keterhubungan, kendati lahir sendiri-sendiri tanpa diniatkan. Nirwan Ahmad Arsuka terhitung paling gigih mengenalkan pertemuan sastra dan sains, di samping tentunya Karlina Leksono.

Bentara Budaya Jakarta (BBJ) pernah mengadakan acara diskusi yang membahas tema "Sastra dan Sains" pada 6 April 2001. Pembicara utama adalah Nirwan Ahmad Arsuka yang makalahnya diterbitkan dalam suplemen Bentara berjudul Sains, Sastra, Keraguan. Pembicara lain adalah Dewi Lestari yang dikenal sebagai salah satu anggota kelompok penyanyi Rida-Sita-Dewi, dan sekarang harus melayani berbagai diskusi dan wawancara karena novelnya yang kontroversial, Supernova. Pembicara ketiga adalah C Sri Sutyoko Hermawan, editor penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, yang banyak menekuni perkembangan ilmu evolusi mutakhir. Ia juga pernah menerbitkan resensinya atas Supernova di Kompas edisi Minggu 11 Maret 2001.

Pada tahun 2007, Kompas kembali mengadakan diskusi tentang sains dan sastra, sebagai rangkaian diskusi yang telah berlangsung dua belas kali. Hadir sebagai pembicara Karlina Supelli (pengajar filsafat), Yasraf Amir Piliang (pengajar filsafat), dan Nirwan Ahmad Arsuka (pengamat sastra) dengan moderator Radhar Panca Dahana. Dalam diskusi itu, Karlina mengatakan: "Imajinasi serta rasa keindahanlah yang pertama-tama dan terutama menggerakkan penemuan-penemuan ilmiah serta pemilihan teori. Bukan rasionalitas bermodelkan algoritmik sebagaimana banyak dimunculkan dalam risalah-risalah filsafat sains".

Harian Kompas menurunkan berita panjang lebar dengan judul Imajinasi Penggerak Ilmu: Sastra dan Sains Mengajukan Model Realitas dengan Simbolisasi (Kompas, 4 Agustus 2007). Menurut Karlina, seperti yang dikutip harian Kompas, pikiran dan perasaan serta intuisi sering kali dianggap sebagai hal yang berlawanan. Di Indonesia muncul anggapan bahwa sastrawan tidak perlu berpikir dan ilmuwan tidak punya darah dan belulang manusia. Padahal, ilmuwan perlu mengimajinasikan sebuah gambar kawasan atau obyek yang akan ditelitinya sebelum ia mulai membangun teori lalu mengujinya. Ilmuwan memulai dengan asumsi atau sebuah andaian.

Hal itu bukan berarti nalar ilmiah sama dengan omong kosong. Sains menuntut langkah metodologis yang khas. Ujungnya, hanya teori yang punya daya prediktif yang tinggilah yang akan mampu bertahan. Ketahanan terhadap benturan di ruang-ruang eksperimen dan observasi, justru sangat menentukan kebertahanan sebuah teori. Akan tetapi, mendahului semua langkah empiris itu, teori pertama-tama adalah hasil imajinasi.

Teori-teori besar sekalipun dimulai dari imajinasi dan intuisi. Teori Heliosentris (matahari sebagai pusat orbit) yang dilontarkan Kopernicus tahun 1512 tentu dimulai dengan imajinasi dan intuisi, bukan observasi dengan pergi ke orbit matahari pada tahun itu. Begitu juga dengan teori Einstein.

Kalau kemudian muncul persamaan-persamaan matematika, bukan semata angka dan simbol, melainkan sebagai sebuah bahasa. Matematika merupakan bahasa untuk mengekspresikan sesuatu yang tak bisa ditangkap indera. "Kadang kita malas berpikir, suka menyederhanakan masalah, dan terbius kemudahan serta kedangkalan. Padahal, proses berpikir punya bagian berbeda dan penting, yakni untuk memahami realitas serta makna. Nalar ilmiah tetap diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan," ujar Karlina.

Karlina menggambarkan energi gelap yang tidak teramati yang mengambil porsi lebih dari 70 persen isi alam semesta, sedangkan materi mencapai 30 persen. Dari 30 persen tersebut hanya 4 persen berbentuk materi konvensional yang teramati sebagai bintang, planet, galaksi, meteorit, dan lain-lain. Sisanya ialah materi gelap yang belum terdeteksi. Ilmuwan dan sains berdiri hanya di atas 4 persen tersebut“.

’Saya malah merindukan suatu cara pandang yang tidak memilah pengalaman manusia, suatu epistemologi yang membuat saya tidak lagi perlu menyelundupkan secara diam-diam intuisi serta pilihan-pilihan ’subyektif’ ke bilik belakang sains,’ ujar Karlina. Dalam pengantarnya untuk buku puisi Kekasihku Joko Pinurbo, Karlina Leksono mengutip secarik kalimat Christopher Langton, bahwa: ”Sains di masa mendatang akan semakin puitis”.

Sementara Nirwan Ahmad Arsuka mengatakan, pertemuan antara sastra dan sains dalam ranah metafisis adalah sama-sama berupaya mengajukan model-model tentang kenyataan. Persinggungan lainnya ialah pada ranah formal, yakni sama bermain dengan manipulasi simbolik. Sains dapat menjadi inspirasi bagi sastrawan atau juga sebaliknya. Edgar Allan Poe (Eureka), Lewis Carrol (Alice’s Adventure in Wonderland), dan Jorge Luis Borges (Ficciones) merupakan penulis yang, menurut Nirwan, berhasil menautkan sastra dan sains. Banyak bagian dari fiksi mereka yang bahkan mendahului penemuan sains hebat. Yang terlihat justru keajaiban nalar dan keistimewaan imajinasi.

Yasraf Amir Piliang melihat perkembangan sains teknologi dan sastra di Indonesia sendiri secara umum masih terperangkap dalam bingkai "dua budaya", yakni sains belum memberikan masukan berarti dalam perkembangan sastra. Sementara kecenderungan umum dalam sastra kita, yakni merayakan sains dan teknologi dengan kekaguman, atau bersikap kritis terhadap sains dan teknologi“.

Dalam esai Sains dan Sastra: Keajaiban Nalar dan Imajinasi (Kompas, 6 September 2008), Nirwan memetakan titik temu antara sastra dan sains. Selama ini ada dua garis beririsan antara sains dan sastra. Pertama adalah ranah ”metafisis”: sains dan sastra sama berupaya mengajukan model tentang kenyataan. Yang kedua adalah ranah formal: sains dan sastra sama bermain dengan manipulasi simbolik.

Lebih lanjut Nirwan menegaskan: ”Jika bahan dasar sastra adalah bunyi serta aksara yang membentuk dan menunjuk kata, bahan dasar matematika adalah angka atau notasi yang mengacu bilangan dan operasi matematika. Dengan bahan dasar yang tumbuh jadi beragam bentuk itu, matematika (sains formal) jadi bahasa transparan yang memungkinkan munculnya makna tunggal dan stabil; bahasa yang mampu merepresentasikan pikiran dan kenyataan empirik secara tegar”.

Asep Saefumillah, yang mengaku sebagai Kimiawan yang bekerja di UI, memberi apresiasi atas esai Nirwan yang brilian. “Sangat menarik! Beautifully crafted oleh salah satu pengamat Budaya terbaik di Indonesia; begitu anggun, mempesona dan patut menjadi bahan refleksi di bulan Ramadhan ini”, demikian tulisnya di sebuah milis.

Asep mengatakan, kalau pun ada kekuarangan pada esai Nirwan itu, hanya pada sikap Nirwan yang terlampau percaya dan optimis terhadap peran sains lebih daripada sastra (dan mungkin juga agama) di era modern abad 21 ini, terutama ditunjukkan lewat kemampuannya merepresentasikan realitas obyektif dengan bahasa transparan dan bermakna tunggal. Nirwan, kata Asep, seperti membawa pesan kepada kalangan sastrawan untuk pula turut 'menggauli' temuan dan masalah sains mutakhir untuk di bawa ke dunia sastra.

Saut Situmorang—yang dikenal berseberangan dengan gagasan sastrawan yang tergabung di Komunitas Utan Kayu—melakukan advokasi atas temuan Nirwan dengan menyebarkan tulisan di milis bertajuk Sejarah Sastra 101. Saut mengatakan: jauh sebelum ada “sains”, sudah udah ada para dramawan Yunani kuna yang bicarakan tentang sains, seperti Sophocles dan trilogi Raja Oedipus. Efek Sophocles terakhir adalah lahirnya "sains" psikoanalisis di Inggris awal abad 19, Mary Shelley menciptakan "frankenstein". Tentu saja juga HG Wells di Inggris, dan Jules Verne di Prancis.

Belum lagi Arthur C Clarke, yang menghayalkan semua tentang komputer sebelum dihayalkan oleh "saintis". Dan Isaac Asimov atau George Orwell dengan kritik pedesnya atas "sains" dalam Nineteen Eighty-Four. Dan terakhir Bapak Cyberpunk William Gibson.

Menarik bahwa Saut mengajukan pertanyaan yang ditujukan kepada Nirwan: kapan sastrawan tidak bersetubuh dengan sains? Baginya, mengkotak-kotakkan sains, sejarah, sastra di abad ke-21 ini tidak lagi relevan.

Hudan Hidayat dengan tegas menampik keterpukauan Asep atas esai Nirwan. Dengan nyinyir Hudan menulis tentang Dua Nirwan-Sains dan Sastra. Baginya, Nirwan bukan saja menitipkan pesan kepada para sastrawan agar menggauli ilmu untuk penciptaan karya sastra, tapi terutama menitipkan pesan pada dirinya sendiri. Itulah upayanya beberapa tahun lalu, yang dinampakkan sekali tentang karya sastra dengan pendekatan sains di ruang yang diasuhnya sendirian di Kompas.

“Hemat saya itu karya yang baik. Saya suka membacanya. Kita dibawanya menjelajah tentang kemungkinan dan sunyinya alam. Tapi lalu kemudian, hingga sekarang, bakal novel itu tak pernah kelihatan”.

***
Di harian Lampung Post sejak Juli 2008, muncul serangkaian tulisan tentang yang rasional dan yang spiritual dan yang libinal. Pada tanggal 31 Agustus 2008 ada yang menulis esai bertajuk Spirit Seni dan Keeksakan Sains sebagai tanggapan atas esai Ari Pahala dan Iswadi Pratama yang menekankan penggarapan karya seni dan sastra secara rasional dan libinal.

Lebih jauh esai itu menerawang ke dalam novel tetralogi Laskar Pelangi Andrea Hirata dan Bilangan Fu Ayu Utami, yang dilihatnya mengandung gagasan saintis. Kedua karya sastra ini menekankan sejumlah gagasan yang mempertautkan yang spiritual dan rasional, yang metafora dan yang matematika, atau antara angka dan kata, antara bilangan satu yang logis dan nol yang mistis.

Apa sesungguhnya makna dari satu dan nol itu? Seingat saya, majalah Horison pernah menurunkan sebuah cerpen mini dengan lema eksentrik dan unik: 1 : 0 (edisi XIV No. 5-1979). Cerpen Zulky Ponti itu menguak labirin keingintahuan tentang 1:0 sebagai ”tidak ada satuan nilai”. Hal ini berarti tidak ada waktu, karena tidak ada kalender, tidak ada matahari, hanya gelap, tunggal warna. Berkas-berkas bayangan panjang bersiuran kacau dari ujung terowongan yang tersembul dari seonggok api yang jauh.

Kisah-kisah dalam Alkitab dianggap sebagai yang menarik tapi tidak logis. Kitab yang penuh nama, jutaan nama, tapi apa artinya sebuah nama? Adalah kosong membaca nama tanpa karakter dan jiwa yang merupakan janin kepribadiannya dipahami dan dihayati. Penuh nama. Penuh aksi. Antara bisik dan kata, percaya dan tak yakin, berbaur-maur: Baka: Neraka dan Surga. Fana: Atas dan bawah dunia 4 warna.

Sebagian kritikus mengingatkan agar kita kembali ke bilangan nol, sebab hanya nol sebagai bilangan. Dalam eksperimen dan ekspedisi Bilangan Fu Ayu, nama dan bilangan kembali menarik perhatian. Bahkan hingga perkara nama berurusan dengan agama dan sumber aura mistik Andrea Hirata, novel dan sains terus berada dalam komidi putar yang tak selesai. Analogi puisi dan geometri dan aritmetika hidup lagi. Gagasan ”puisi ruang” yang pernah digagas Gaston Bachelard di Prancis, kembali menggoda mimpi.

Andrea Hirata berusaha menampilkan beberapa gagasan tentang astronomi dan astrologi dalam rajutan narasi Laskar Pelangi dan edensor yang ngepop. Andrea membuka novel edensor dengan menghunjamkan teori relativitas dengan serba-selintas mengajak pembaca untuk mendiskusikan kembali perihal astronomi dan astrologi dalam kaitannya dengan sasta—puisi maupun prosa.

Iwan Nurdaya Djafar—yang banyak menerjemahkan karya asing yang tinggal di Lampung—mempersoalkan keberpihakan Andrea terhadap teori para ilmuwan Barat dalam resensinya atas tetralogi Andrea di harian Lampung Post (tanggal 22 dan 29 Juni 2008). Iwan menganggap apa yang dikisahkan Andrea Hirata bukan astronomi, melainkan astrologi. Karena itu, Iwan pun menolak novel Andrea karena di dalamnya masih menampilkan takhayul dan klenik yang lain. Cara berpikir Iwan dalam menampik astrologi memiliki relasi dengan cara berpikir kaum (muslim) rasionalis.

Apakah kaum rasionalis memang sepenuhnya murni menampik takhayul dan khurafat dan mistik? Apakah Islam yang dianut Iwan Nurdaya konsekuen murni memuja Tuhan yang satu tanpa dewa-dewi dan dukun-dukun dan klenik-klenik? Sambil menirukan Mangunwijaya dalam Sastra dan Religiositas; bukankah saat ini kita sudah jadi kaum Indo, kaum Resink yang hilir mudik antara Barat dan Timur, Tuhan dan Dewa-dewi, agama dan tahayul?

Dalam Laskar Pelangi Andrea menggugat anggapan kebanyakan orang tentang Tuhan. Namun Andrea juga begitu sadar-diri dan rendah-hati ketika akhirnya mengatakan: seindah apa pun sebuah teorema aritmetika, tak akan pernah mampu menjangkau Tuhan. Karena Tuhan tidak tunduk pada postulat dan teorema mana pun. Oleh karena itu, Tuhan sama sekali tak dapat diramalkan.

Andrea bahkan menyinggung soal lambang dalam Geometri Euclidian. Perihal yang terakhir ini muncul dalam sosok tokoh Lintang dalam Laskar Pelangi yang sering membuat teori permainan dan mendesain visualisasi guna menerjemahkan rumusan geometris pada tingkat kesulitan yang luar biasa. Bersamaan dengan perbincangan mengenai gravitasi dalam bab Rahasia Gravitasi buku edensor, dengan cantik Andrea—sebuah nama yang mengingatkan saya pada murid Galileo—membawa fantasi saya ke dalam lambang-lambang fisika, matematika dan geometri dalam sebuah komidi putar dan siklus waktu dan lingkaran yang tak berujung-pangkal, tanpa awal tanpa akhir. Di sana kita disuguhkan bukan astrologi yang mistik melainkan teori gravitasi Albert Einstein sampai dengan cinta yang ekstasis dan kelana yang—meminjam kata-kata Andrea sendiri—”semuanya memiliki dimensi geometris yang berseni”.

Dimensi geometris yang berseni? Ya, dalam geometri betapa banyak simbol-simbol berseni atau bahkan seni itu sendiri. Analogi antara geometri dan puisi, atau antara matematika dan prosa yang sama-sama indah, memang terhitung sudah tua namun sampai kini masih terus difrasekan. Andrea hanya menarasikan kembali keterpukauan orang Timur terhadap sains Barat. Kendati sikap Andrea terhadap Prancis agak menggelikan, namun kepiawaiannya memparafrasekan kembali secara selintas tentang dunia mimpi dan komidi putar, mengingatkan saya pada istilah Richard Rorty—terutama dalam kalimat terjemahan Arif Bagus Prasetyo—ini: suatu ziarah ”komidi-putar sastra-sejarah-antropologi-politik”. Sebuah ziarah kritisisme budaya, kata Arif, di mana matematika menopang fisika—yang berupaya menangkap sejumlah keping semesta—dan sementara seni menyokong etika—yang berjuang menangkap sebagian lain dari keping semesta yang sama. Karena itu, sains tak lebih dan tak kurang, hanyalah sebuah genre sastra.

***

Heisenberg—fisikus perintis teori nuklir dan pemenang hadiah Nobel—pernah mengingatkan: bila ada suatu teori fisika yang bentuknya tidak indah, maka sudah bisa dipastikan bahwa teori itu tidak benar. Dengan kata lain: hampir bisa dipastikan bahwa teori fisika adalah cantik. Dalam pendekatan kaum postmodernisme, pernyataan Heisenberg itu bisa dihubungkan dengan kenyataan tentang teori fisika tak lain adalah puisi.

Puisi kini banyak menampilkan ekspedisi dan petualangan yang menunjukkan bahwa kata-kata punya dunia misterinya sendiri, sebagamana juga angka menyimpan teka-teki yang mampu menggoda mimpi. Bahkan, ada yang bilang: manusia masa kini sedang hidup dalam situasi pasca-misteri, tapi sekaligus pra-misteri. Vak ilmu pengetahuan luluh, dan dunia kini tak lagi tersekat-sekat oleh batas dan disiplin yang ketat.

Dalam karya sastra, tak jarang mengandung sains, dan dalam sains menyimpan puisi maupun prosa. Ayu Utami dengan Bilangan Fu dan Andrea dengan tetralogi Laskar Pelangi adalah novelis lintas batas yang fasih mengaduk-aduk dimensi sains ke dalam narasi. Sebuah kelana dalam proses tak selesai, karena, seperti kata salah seorang tokoh dalam edensor mengingatkan:

ekspedisiku telah membuka jalan rahasia yang tersembunyi di antara lipatan sekat-sekat dimensi ruang dan waktu; sebuah jalan rahasia yang menghubungkan apa yang kualami saat ini dengan peristiwa-peristiwa masa laluku. Ini adalah ekstase terbesar yang hanya mungkin dicapai mereka yang berani bermimpi, berani keluar dari cangkang siputnya, untuk menemukan jawaban pertanyaan atas dirinya. Inikah postulat hukum nasib? Inikah yang dimaksud Albert Einstein sebagai lingkaran alamiah filsafat manusia?

Penjelajahan ke dalam ceruk-ceruk filsafat manusia rupa-rupanya bisa membawa kita ke dalam mimpi mengasyikkan. Bila saja geometri tak mengandung keindahan melalui lambang-lambang, sebagaimana seni tanpa metafora dan simbol, barang kali kata dan angka tak akan pernah menyita perhatian para penyair dan ilmuwan. Kekuatan geometri memang terletak pada lambangnya, pada pola dan topografinya yang ringkas. Simbol-simbol, khususnya bilangan dan perhitungan numerologi, muncul jauh sebelum kata-kata dipakai dalam puisi Kitab Suci. Nenek-moyang manusia menulis dengan lambang-lambang seperti takik.

John Forbes Nash pernah menuturkan pengalaman hidupnya dengan gaya berpikir yang eksotik-matematik kepada Sylvia Nasar—penulis biografi Nash yang tekenal dan indah: A Beautiful Mind. ”Saya selalu asyik dengan konsep bahwa perhitungan numerologi yang bergantung pada sistem desimal mungkin tak cukup intrinsik”, kata Nash seraya melanjutkan. ”Bahwa bahasa dan struktur alfabet mungkin mengandung ciri-ciri budaya kuna yang bersilangan dengan pemahaman yang gamblang atau pemikiran yang tidak bias”.

Dari sini kemudian Nash menuliskan serangkaian lambang ’baru’; simbol-simbol yang terkait dengan sistem untuk menggambarkan bilangan-bilangan bulat melalui metafora-metafora yang berdasarkan perkalian-perkalian bilangan-bilangan prima yang berurutan, yang tak ubahnya dengan seni.

Nash berjerih-berkeringat memikirkan rencana untuk menulis ulang dasar-dasar fisika kuantum dan berusaha keras menggali makna tersembunyi di balik angka-angka dan teks Alkitab, kendati usaha itu kemudian gagal. Ketika suasana hatinya sangat fluktuatif, pada saat itu ia segera menulis agar bisa menghasilkan sebuah ekspresi matematis yang berseni dengan lambang-lambang cantik dan tak terduga bahkan oleh dirinya sendiri. Pada pertengahan abad ke-20 ia cukup dikenal sebagai jenius matematis eksentrik yang kaya dengan metafora dan pikiran-pikiran simbolik yang tak mudah dicerna, yang ikut mengimbangani gagasan von Neumann di Princeton.

Banyak ahli fisika dan matematika menghasilkan karya kreatif dan teorema yang indah yang juga menjadi inspirasi para penyair. Namun belakangan, alangkah jarangnya kita temukan penyair yang menyerap dunia sains. Padahal salah satu tugas penyair, kata Bysshe Shelley—yang saya kutip dari Karlina Leksono dalam pengantar buku puisi Joko Pinurbo—yakni ”menyerap sains untuk mengasimilasikannya ke dalam kebutuhan manusia, mewarnainya dengan jiwa manusia, serta menjadikannya bertulang-belulang manusia”.

Dulu, sistem numerologi dan teorema-teorema matematika Al Khuwarizmi ikut mempengaruhi penulisan puisi model kuatrin, di antaranya Omar Khayyam. Bahkan apa yang disebut fiksi mikro, seperti pernah diuraikan dengan baik oleh Hasif Amini dalam Dunia di Sebutir Pasir, salah satu cirinya adalah ringkas, padat secara maksimal dan indah bagaikan sebuah torema. Sajak-sajak haiku dan koan Zen mengandung teka-teki, yang dekat dengan teorema aritmetika. Salah sebuah fiksi mikro Jorge Luis Borges, Perihal Keeksakan Sains, telah menyinggung keterbatasan kartografi dan geografi dengan gaya metafisika labirin yang khas. Kartografi ternyata tidak meyakinkan, dan hal ini diparodikan dengan baik oleh Jorge Luis Borges.

Demikian pula tentang topologi klasik yang sempat dianggap sebagai suatu cara heuristik yang digunakan untuk melukiskan, memperbandingkan, dan menguji hiptesis-hipotesis yang berhubungan dengan kenyataan empiris, atau yang mempunyai referen-referen yang bisa ditemukan dalam dunia empiris, kini sudah sering digugat. Darwin menolak topologi. Ilmu tentang tipe yang diwariskan sejak Plato dan Pytagoras ini cukup meyakinkan untuk bidang geometri, namun betapa senonoh jika dipaksakan dalam biologi. Gerakan postmodernisme kemudian lebih mempertajam kritikan Darwin dengan teori dekonstruksi terhadap binari dan tipologi hampir semua disiplin.

Einstein pernah melukiskan alasannya mengapa banyak orang memilih dan gandrung pada sains, kendati banyak digugat itu, dengan sebuah ilustrasi mengenai tabiat orang yang tinggal di kota. Di kawasan sains, kata Einstein—yang saya kutip dari Donal B. Calne dalam Batas Nalar–terdapat beragam graha, seberagam motif orang untuk terjun menggelutinya. Walau pun malaikat Tuhan datang mengusir dan menghalangi orang untuk masuk ke dunia sains, penghuninya memang berkurang, tapi tetap ada beberapa orang...Suatu sifat dan keinginan yang bisa dibandingkan dengan kerinduan orang kota untuk menghindar dari lingkungan yang damai dan bising, masuk ke dalam keheningan perbukitan—di mana pandangan bebas menembus udara murni dan tenang, dan dengan nyaman menetap tamasya damai, yang seolah-olah diciptakan sekali untuk selamanya.

Levi-Strauss dengan jujur mengakui dirinya sebagai pemikir yang bukan bersifat saintis namun ia tak bisa sepenuhnya menolak ilmu pengetahuan. Dalam bagian akhir esai Mytos und Bedeutung—yang telah diterjemahkan ke Indonesia oleh penerbit Kanisius dalam buku Mitos, Dukun dan Sihir (1997: 54)—ia mengatakan: ”Saya tidak bersikap saintis. Ilmu pengetahuan tak pernah dapat memberikan semua jawaban. Namun, secara perlahan-lahan kita berusaha meningkatkan jumlah dan mutu jawaban yang dapat kita berikan. Menurut hemat saya, hal itu hanya dapat kita lakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan”.


***

Pada zaman ketika Marleau-Ponty masih hidup, sebagian manusia masih percaya bahwa matematika bukan sebuah deret panjang dari pemikiran rasional. Dengan membaca lukisan-lukisan Cezanne yang impresionistik dan skizofrenik, Ponty berkeyakinan bila lukisan Cezanne memberikan suatu tendensi ke arah perspektif geometrik. Cara melukis Cezanne tidak menyangkal sains dan tradisi. Dia sangat yakin bahwa studi geometri dari bentuk dan corak sangat perlu bagi seni.

Gagasan Ponty di atas dibahas secara menarik oleh M.A.Brouwer dalam Badan Manusia dalam Cahaya Psikologi Fenomenologis, dan menjadi sandaran pembahasan saya selanjutnya antara Ponty dan Cezanne. Ponty, kita tahu, mungkin saja ingin mengatakan seperti yang pernah diucapkan Levi-Strauss tentang prinsip strukturalisme: ilmu pengetahuan tidak terpisah dari seni, karena segala sesuatu dari diri kita masih tertanam sensibilitas (kepekaan inderawi dan intuisi). Cezanne memang mengakui alam dan seni sebagai hal yang beda, namun ia berambisi menyatukan. Ia memperoaleh ide itu dalam pengamatannya terhadap sensibilitas dan sensasi. Sementara Sigmund Freud, kita tahu, tak ingin membuang intuisi dalam psikoanalisis.

Teori Freud—yang sering kali ditolak oleh mereka yang menekankan kelogisan dan mendamba rasionalisme—tidak dirancang supaya manusia bisa memperoleh keterangan tentang relasi sebab-akibat seperti dalam ilmu alam. Psikoanalisis—betapa pun digugat kemudian—memberi arahan mengenai relasi dalam motivasi yang secara prinsipil hanya muncul sebagai kemungkinan. Freud mengenalkan makna dari masa yang akan datang dalam masa lampau sehingga psikoanalisis lebih sesuai dengan gerakan sirkuler dari hidup manusia: yang lampau dalam hidup berdasarkan yang akan datang, dan yang akan datang mendapat sokongan dari yang lampau, sehingga segala hal menjadi simbol dari segala hal. Seksualitas menjadi simbol dari eksistensi dan eksistensi menjadi simbol dari seksualitas.

Marleau-Ponty sendiri telah mengkritik rasio mekanik warisan Galileo, Descartes, Newton, Bacon, Kant, dan Hegel, namun ia sendiri terperangkap oleh paham rasionalis. Setelah perang dunia, di saat kemajuan ilmu pengetahuan sedang menggebu, Ponty menyaksikan banyak novel yang melukiskan pemberontakan dari hidup lawan rasio. Ketika bicara tentang makna dan ketakbermaknaan dalam konteks lukisan Cezanne, Ponty sayangnya justru masih merealisasikan pendapat Hegel tentang makna sebagai corak yang membutukan latar-belakang dari ketakbermaknaan. Manusia dianggap suatu relasi. Segala hal muncul berkat hal lain, darah dan daging tesis adalah antitesisnya. Dan ini terdengar sangat Gestalt sekali!

Teori yang masih dipercaya Ponty konon bakal memberikan pengaruh, terutama ketika suatu lingkaran tidak memiliki arti kecuali dalam konteks hal lain supaya ada. Di Indonesia akhir 1960-an teori ini sempat dicanangkan Arief Budiman dan Goenawan Mohamad dalam konteks kritik sastra. Namun kini teori gestalt tampaknya sudah jadi angin lasi dan Goenawan sendiri kini, saya kira, tak lagi percaya sepenuh hati.

Ucapan Ponty yang terkenal tentang rasio agaknya menarik dikutip di sini. Kita lahir dalam rasio seperti kita lahir dalam bahasa, kata Ponty. Pandangan ini tampaknya cukup menggoda. Sebab apa yang kini kita butuhkan, lanjut Ponty di tahun 1950-an, bukan penolakan terhadap rasio, melainkan memunculkan rasio baru yang lain dari rasio yang ditinggalkan. Selalu terdapat suatu undangan yang kabur dan manusia bisa berhasil atau malah gagal melahirkan makna baru. Makna tak bisa dipisahkan dari tanda, karena itu ekspresi tak pernah selesai. Rasio paling tinggi duduk di sebelah kegilaan paling hebat, seperti lukisan Cezanne. Sens selalu terdapat dalam lingkungan nonsens.

Dalam ulasannya tentang keragu-raguan dalam lukisan Cezanne, Ponty membandingkan usaha tubuh manusia menciptakan suatu makna dengan khaos, namun lukisan-lukisan Cezannne justru memberi kita petunjuk bahwa seniman besar ini memahami kegilaan sebagai suatu usaha mencari makna baru yang lebih mendalam dan hidup. Cezanne bukan orang schizofren seperti van Gogh atau Modiglini, tapi sekurang-kurangnya dapat disebut schizoide—suatu sikap permulaan dari skizofrenia.

Pemikiran Ponty tak ubahnya seperti Gaston Bachelard dan John Forbes Nash, bahwa sejauh seni bisa diekspresikan dengan pola-pola geometris, maka akan dianggap sahih, bahkan merupakan bahasa terbaik sebuah ekspresi. Seni dan pemikiran akan teruji dan menampakkan sosoknya lewat matematika dan geometri. Terserah apakah hal itu berbentuk natural, apakah kurvanya normal dan abnormal, apakah bentuknya heterogen atau homogen, tak jadi soal. Artinya, seseorang—entah sebagai filsuf maupun sebagai seniman—bisa memahami kualitas-kualitas natural suatu mazhab dari suatu ekspresi geometrisnya. Maka, apa yang dilakukan Andrea Hirata dalam novel keduanya, Sang Pemimpi, cukup unik. Terutama ketika ia bicara soal ekstrapolasi kurva yang menanjak dan menampilkan metafora yang ’gila’: ”Jika kuibaratkan semangat manusia sebuah kurva, sebuah grafik, maka sikap optimis akan membawa kurva itu terus menanjak”, tulisnya.

Tapi hidup tak selalu cocok untuk dianalogikan dengan kurva, juga grafik. Hidup punya kemungkinan-kemungkinan yang tak selalu bisa ditembus oleh dinding keharusan bernama metafora yang gila. Tapi pada titik ini, kita tak sepenuhnya bisa mengelak dari semangat Lucretius untuk terus-menerus menghadirkan hasil eksperimen sains ke dalam puisi, ke dalam jagad angkasa, galaksi andromeda, dan nebula-nebula triangulum....sebagai yang bukan satu-satunya cara menghadapi hidup.

Dan di atas segalanya, sebuah esai barangkali akan menjelma ruang-antara logika dan metafora, fiksi dan fakta: tergantung apakah ia bisa menjelma dari apa yang oleh Romo Mangunwijaya lebih dari sepuluh tahun lalu disebut sebagai kritik yang tumbuh dari rasa terlibat, serta niat melibatkan diri dalam masalah-masalah yang, menurut hati nurani manusiawi, lebih manusiawi, karena hati dan perasaan ikut tersentuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar