Rabu, 04 Februari 2009

Bahasa & Bangsa:

Dua Proyek Indonesia Seumur Hidup

Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang



I

Bangsa dan bahasa adalah dua persoalan yang bergemuruh dan menyita perhatian kaum cendikiawan Indonesia sejak alaf pertama abad ke-20 hingga awal abad ke-21. Dalam seratus tahun terakhir, berbagai persoalan muncul, dari hal-hal yang besar hingga persoalan-persoalan kecil. Bebagai polemik lahir, pertentangan idologi mencuat, pertikaian dan pembunuhan telah menyita perhatian orang banyak. Para aktivis dan kaum cendikiawan melakukan berbagai respon dan menawarkan alternatif-alternatif yang menyegarkan, baik dalam konteks kebangsaan maupun kesusastraan.

Dua persoalan ini akan saya lihat secara lebih dekat, bukan sebagai suatu peta perjalanan yang lengkap. Bukan pula suatu kehendak untuk melakukan sebuah inventaris” sebagaimana dimaksudakan Antonio Gramsci dan Edward Said, karena terlampau berat soal itu bila dilekatkan di sini. Mungkin apa yang ingin saya kemukakan tak lebih sebagai refeleksi tak besih dalam kehendak ingin memahami secara subjektif apa yang pernah belangsung dalam soal kebangsaan dan kesusastraan di sini.

Khotban Budi Pekerti

”Setelah menyelidiki berbagai soal perekonomian, kemasyarakatan, kebudayaan, dan sebagainya yang berkenaan dengan hidup kebangsaan kita,maka timbullah hajat dalam hidup saya, untuk menggerakkan hati pemuda-pemuda zaman itu, dengan maksud mendirikan perserikatan yang tulen nasional sifatnya dan dapat kiranya membawa bangsa kita ke arah tingkatan hidup yang layak. Hajat itu tumbuh menjadi hasrata tertulis yang diedarkan berupa surat propaganda. Perserikatan yang dianjurkan itu hendaknya dinamakan Pirukunan Jawi”.

Kata-kata itu berasal dari esai pendek R.M. Soerjopranoto—abang kandung Ki Hadjar Dewantara—berjudul Sekitar Berdirinya Budi Utomo, dimuat kembali dalam buku Dari Kebangunan Nasional Sampai Proklamasi kemerdekaan—Kenang-kenangan Ki hadjar Dewantara, penerbit Endang—Jakarta 1952. Sebelum nama Budi Utomo dikenal, di Pulau Jawa telah beredar keinginan membentuk perserikatan dengan nama Pirukunan Jawi. Ada dua pendorong utama lahirnya Budi Utomo: pertama, keinginan sejumlah pemuda Jawa membentuk Pirukunan Jawi, yang diprakrarsai oleh Soerjopranoto. Kedua, surat Kartini pada bulan Mei 1908 yang mengandung sugesti memerdekakan kaum. Anjuran itu mendapat perhatian luas di kalangan siswa-siswi kedokteran. Menurut Soerjopranoto, tak begitu lama dari beredarnya surat Kartini itu, lahirlah Budi Utomo ”sebagai kristalisasi dari pikiran zaman pada waktu itu”.

Budi Utomo dicetuskan di Batavia seratus tahun lalu. Tak seberapa lama, pemerintah kolonial Belanda mendirikan penerbit bernama Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat), yang kemudian berevolusi menjadi Kanttor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) atau kelak lebih dikenal dengan nama Balai Pustaka. Perlahan tapi pasti, muncul kaum terpelajar pribumi untuk mengisi kekosongan dengan organisasi yang masih dalam lingkaran politik etis: budi. Tak heran jika Budi Utomo dengan mudah bisa diplesetkan: Utamakan Budi, Budi Utama. Dengan kata lain, sebuah khotbah budi pekerti. Bukan puisi. Apalagi seni. Soerjopranoto sendiri menganggap jalannya organisasi Budi Utomo lambat, terlalu berhati-hati, cita-cita nasionalnya belum dapat dilaksanakan, masih tinggal sebagai cita-cita. Budi Utomo ”tetap hidup di meja dan di kamar dan tidak terasa di kalangan rakyat tingkatan bawah”, tulis Soerjopranoto. ”Tetapi bagaimana pun juga”, tulis Soerjopranoto, ”pentingnya B.O ialah terletak dalam pemeloporan cita-cita baru yang sifatnya nasional, yang mengandung arti historis...sebagai tempat persemaian organisasi pertama, sebagai gelanggang latihan berjuang secara teratur”.

Budi Utomo digerakkan oleh Soetomo dan kawan-kawannya, termasuk Soerjopranoto. Budi Utomo harus diakui, lahir untuk mengisi kevakuman, sekaligus sebagai wadah pendidikan kaum elite priyayi Jawa. Organisasi ini lahir di dalam intaian mata-mata kolonial yang tersebar di mana-mana, dan didirikannya percetakan dan penrbit kolonial yang bergerak dalam penerbitan kebudayaan atau kesusastaan itu, punya hubungan tersembunyi untuk meng-counter gerakan kaum terpelajar pribumi yang mulai muncul satu persatu di gelanggang politik dan kebudayaan.

Cukup kena jika Akira Nagazumi kemudian mengenalkan situasi pergerakan kaum pribumi melalui risetnya yang kemudian diterbitkan dengan judul Fajar Nasionalisme Indonesia (The Dawn of Indonesian Nationalism). Awal abad ke-20 memang sering dimetaforakan sebagai abad yang menyingsing. Dan tiap-tiap menyingsing dimulai dari fajar. Matahari berbeda dengan fajar, sebagaimana kata Goenawan Mohamad dalam salah satu catatn pingirnya: setiap terang dimulai dari fajar, dan tiap fajar mempesona dengan cahayanya yang singkat. Beberapa saat kemudian, matahari mulai merekah membawa cahaya yang lebih panjang dan tunggal, sering terlalu cerah hingga membuat kita merasa gerah.

Berbagai organisasi setelah Budi Utomo, bisa dikiaskan sebagai matahari, dengan sinarnya yang nyalang, bukan pelangi yang berwarna-warni. Oleh karena itu, menyimak perjalanan sejarah pergerakan Budi Utomo saat ini, pantaslah jika usianya yang seratus tahun ini menjadi bahan refleksi karena ada dua wacana yang paling bergemuruh yang menyertai kelahiran negeri ini: bangsa dan sastra. Apa itu bangsa? Apa pula sastra? Apa juga Indonesia? Berbagai pertanyaan ini tak kunjung memberikan jawaban yang bulat, karena memang tidak dimaksudkan untuk bulat-bulatan—kendati sebagian orang menggiringnya ke arah kesatu-paduan dan menafsirkannya secara mutlak-mutlakan.

Entah bagaimana mulanya, kini gerakan Budi Utomo menjelma sesuatu yang tak jauh beda dengan lelakun: “kedudukan mulia” atau “bangsawan”. Aneh memang, dari mana kata “bangsawan” itu muncul. Sering kali kata ini mengalami salah cetak dari kata “bangsa”; bangsa yang mulia dan berbudi luhur. Benedict Anderson dalam sebuah esai tentang pergerakan (1983), dengan singkat melacak kata “bangsawan” yang diterjemahkan dari bahasa Inggris: high status, yaitu kebangsawanan, yang berarti juga nasionalistis atau ras. “Saya mengira terjadi kesalahan cetak untuk kata “kebangsawanan” (kedudukan mulia”, kata Anderson.

Bila kita sempat menengok kembali buku-buku sejarah pergerakan Indonesia, begitu kuat imajinasi pembayangan terhadap Budi Utomo sebagai organisasi bumiputera yang, kendati waktu itu belum mengenal nasionalisme, kata para petinggi Orde Baru lalu, tidak lain adalah nasionalisme Indonesia, organisasi kebangsaan Indonesia, pergerakan rakyat Indonesia.

Syahdan, di Jakarta diadakan pertemuan antara Center (CSIS), Militer, dan Taman Siswa, pada 20 Mei 1986. Pertemuan ini dihadiri oleh Wigya Pranarka dan LB. Moerdany, serta beberapa orang petinggi dari ketiga lembaga itu dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Saat itu Benny Moerdany menyampaikan sebuah pernyataan yang isinya menyangkut penegasan kembali eksistensi Budi Utomo sebagai gerakan nasional, gerakan bangsa Indonesia: ‘cita-cita Budi Utomo adalah cita-cita yang berlingkup nasional”.

Sang jenderal mengemukakan sejumlah alasan, yang baiknya saya singkat saja begini: kata “nasional” atau “nasionalisme” pada saat berdirinya Budi Utomo belum dikenal, seandainya sudah dikenal, jelas pergerakan itu bukan hanya diperuntukkan sebagai wadah perjuangan priyayi Jawa saja, tapi pasti pergerakan nasional. Karena itu, tidak salah jika Budi Utomo disebut organisasi Kebangkitan Bangsa yang berskala nasional.

Kisah di atas berasal dari Daniel Dhakidae dalam buku Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003: 682-685), untuk melihat betapa kuat proyeksi yang dilakukan birokrasi pemerintah Orde Baru pada waktu itu dalam mengolah Budi Utomo sebagai organisasi nasionalisme-kebangsaan yang lama kelamaan menjadi nasionalisme-negara yang menjadi sandera sejarah itu. Bukan maksud saya untuk membicarakan panjang lebar mana yang benar mana dan mana yang keliru dalam memposisikan Budi Utomo, tapi ini penting sebab kini kita memasuki usia seratus tahun yang tidak sunyi, tapi menggelegar oleh dua perang dunia, oleh nasionalisme-politik dan nasionalisme-kebudayaan.

Benar bahwa Budi Utomo menyumbang spirit bagi lahirnya organisasi pergerakan berskala nasional di kemudian hari, yang menuntut kemerdekaan dari penjajah. Tapi tak benar bahwa Budi Utomo mengemban tugas memperjuangkan rakyat secara nasional, orang anggota pengurusnya saja semuanya Jawa, dan wilayah yang terlibat selain Jawa, Madura dan Bali (dua wilayah yang terakhir ini bergabung setelah satu tahun dulu Budi Utomo terbentuk).

Seorang kritikus tekemuka pernah melacak sejarah perjuangan para tokoh republik kita antara 1885-1915 sebagai apa yang disebutnya “fajar nasionalisme Indonesia”. Apa pun metafora fajar itu, agaknya belum ada fajar pada tahun 1885 sampai tutup abad ke-19, kecuali mungkin pelita yang dinyalakan satu dua tokoh semacam Mas Marco yang anti-kolonial.

Saya ingin mengutip Armijn Pane dalam esainya di majalah Pujangga Baru No 5 November 1935, yang secara tegas menempatkan posisi Budi Utomo: “kalau kita tilik poela dalam kebangunan Boedi Oetomo dan masyarakat pada waktu itu di Poelau Djawa ini, maka teranglah kepada kita, bahwa jang dipentingkan dari yang dijadikan benar-benar ialah ‘Javansch nationalisme’”. Bahkan yang paling ironis, Budi Utomo itu kata Daniel, justru beranggapan bahwa penjajahan Belanda tidak lain adalah hukum alam bagi para inlander atau pribumi.

Saya sendiri sudah cukup lama termakan proyek yang dikerjakan Orde Baru tentang sejarah, sampai-sampai setiap memperingati Hari Budi Utomo saya iikut merayakan keindonesian dan kebangsaan yang telah diplintir sedemikian rupa untuk kepentingin kekinian. Gagasan Budi Utomo untuk memperluas pengajaran dan pendidikan kaum priyayi Jawa itu, serta gagasan ke-alami-an penjajahan yang menimpa rakyat pribumi, dibaca secara tidak kritis.

A-historis jika Budi Utomo kini masih dianggap sebagai organisasi nasional. Sebelum saya membaca buku Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang (2001), walau beberapa serpihan pemikirannya tentang nasionalisme dan politik kebudayaan pernah saya baca dalam buku Vedi R. Hadiz tentang politik budaya Ben Anderson.

Selama ini kita telah termakan oleh manipulasi sejarah dan tafsir lajak model penguasa Orde Baru mengenai paham Nasionalisme (Orde Baru memang sering menulis nasionalisme dengan N besar) dan kebangsaan dalam konteks “fajar nasionalisme Indonesia” (saya sengaja pakai istilah Nagazumi di sini). Bagaimana mau mengatakan Budi Utomo sebagai organisasi nasional, fajar nasional sekalipun, jika anggota-anggota pendiri Budi Utomo sendiri sangat eksklusif orang-orang Jawa. Maka, dalam konteks pembacaan kembali di sini, saya ingin menegaskan sebuah premis bahwa di kalangan terpelajar atau cendikiawan Indonesia sendiri, sampai dekade terakhir masih dominan menganut waham dan paham nasionalisme-negara.

Pengaruh pandangan Orde Baru yang memaksakan Budi utomo sebagai organisasi bangsa dan nasional Indonesia pertama itu, terus menjangkit para aktivis. Bahkan dikalangan budayawan atau sastrawan sendiri, madah nasionalisme kebudayaan sejak ditembangkan Pujangga Baru yang oleh Keith Foulcher (1991) sebagai “kesusastraan dan nasionalisme” hingga kini, masih diwarnai pembacaan yang bias.

Dulu saya menganut pandangan sejarah sebagaimana yang dikatakan Sartono Kartodirjo dalam pengantar buku suntingan Anthony Reid dan David Marr, Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka (1983) bahwa: “setiap generasi perlu menulis kembali sejarahnya” sebab hal ini “tidak lain karena apa yang ditulis suatu generasi menjadi kurang relevan bagi generasi berikutnya”. Atau “…walaupun pada zaman modern kecenderungan memitologisasikan masa lampau sudah berkurang, mitos-mitos baru diciptakan terutama dalam mengidentifikasikan masa kini dengan memakai perspektif historis. Maka, mau tidak mau, masa kini dapat dibenarkan”.

Pandangan Sartono itu saya sikapi secara mendua: di satu sisi, saya juga penganjur untuk menulis-ulang sejarah karena alasan yang sama dengan Sartono; tapi di sisi yang lain, saya tak hentinya bertanya tentang apa yang selama tiga puluh dua tahun dilakukan Orde Baru tidak lain adalah “menulis kembali sejarahnya” lewat “politik proyeksi”. Menulis ulang sejarah untuk “mengidentifikasi masa kini dengan memakai perspektif historis” sepintas menggoda imaji saya, tapi dikotomi masa kini dengan perspektif historis itu menjadi tidak terlalu jelas, kecuali jika yang dimaksud adalah masa lalu.

Di tangan Orde Baru, pandangan Sartono tersebut ditafsirkan secara terbalik: menulis kembali masa lalu (Budi Utomo) dengan kacamata pembesar sejarah masa kini. Dan hasilnya jelas: Budi Utomo adalah organisasi nasional. Antara menulis kembali sejarah masa kini dengan kacamata masa lalu (jika itu yang dimaksudkan Sartono dengan perspektif historis itu) dan masa lalu dibaca dari sejarah masa kini, hemat saya penuh distorsi. Apakah demikian hakikat penulisan sejarah?

Tujuan didirikannya Budi Utomo sepuluh dekade lalu itu, sepanjang Orde Baru diproyeksikan lewat pembacaan sejarah (realitas masa kini (Orde Baru). Jika ini dibalik, yang kini dibaca melalui yang lalu, kesimpulannya akan tetap sama. Sebab apa yang kini tidak terlepas dari konstruks yang lama. Malapetaka terjadi ketika masa lalu dipahami untuk kepentingan kini. Ini kata-kata Daniel Dhakidae yang saya gunakan untuk maksud menambahkan: malapetaka akan datang juga ketika masa kini dipahami untuk pembenaran masa lalu, jika “masa kini” itu sendiri tetap tidak jelas sosoknya.

Saya kira tawaran Daniel tentang wacana “bangsa” menjadi suatu proyeksi bolak-balik menarik disimak. Seraya merujuk Martin Heidegger, yang lebih awal dari Anderson, paham kesatuan masalalu-kini-mendatang ditafsirkan sebagai “rentetan peristiwa dan keefektifan (peritiwa) yang sambung-menyambung melalui ‘masalalu, ‘masa kini’, dan ‘masadepan’”.

Apa yang dikerjakan Orde Baru yang membayangkan dirinya sebagai “memimpin bangsa” yang sedang menjalankan tugas “berbangsa” yang baik dan berbudi luhur itu. Ini memperlihatkan bahwa pembacaan sejarah pergerakan Budi Utomo melulu dilihat dari sejarah masalalu dari kacamata masakini, dan hasilnya sungguh sangat efektif menggerus dan menghegemoni kaum cendikiawan Indonesia. Proyek pemaksaan tafsir nasionalistis itu—kini bernama NKRI—yang dikerjakan Orde Baru secara sepihak dengan cara berbeda dalam dimensi yang sama itu, selalu berujung pada kesimpulan yang berbeda pula. Dan begitulah seterusnya.

Proyek Bahasa

Pergulatan dalam menentukan identitas politik dan kultural yang muncul sejak awal abad ke-20 itu, mencapai klimaks-nya pada tanggal 28 Oktober 1928, ketika para pemuda kita mencetuskan apa yang kemudian dikenal sebagai tiga proyek Sumpah Pemuda seumur hidup itu: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, yaitu Indonesia. Nama Indonesia temuan Adolf Bastian—etnolog Jerman—pada tahun 1884, yang asing dan nyaris tenggelam sebelum tahun 1920-an itu, dipopulerkan kembali oleh pemuda kita dalam sumpahnya. Inilah kemerdekaan pertama Indonesia, kemerdekaan yang sering disebut kemerdekaan kultural.

Bila kita terpong lebih dekat, ada semacam kebanggaan primordial di masyarakat kita dalam merayakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang konon dianggap bahasa pribumi sendiri, yang bebas dari konstruksi kolonial. Tiap 28 Oktober kita memperingati Sumpah Pemuda, tapi para sastrawan kita ternyata masih banyak yang terhegemoni oleh bahasa Indonesia konstruksi kolonial. Saya curiga; jangan-jangan sastrawan kita yang hidup di tahun 2000-an ini tidak lebih kritis dari para penulis abad ke-19, seperti Mas Marco Kartodikromo, atau Muhammad Yamin tahun 1920-an yang menjadi proyektor lahirnya Sumpah Pemuda itu dan telah menulis puisi Tanah Air (1920), Bahasa, Bangsa (1921), Pusaka Bersama ialah Bahasa (1921), atau para penulis tahun 1930-an seperti Pamoentjak, Wignjadisastra, dan Sutan Takdi Alisjahbana yang terus merespon lahirnya Sumpah Pemuda tersebut.

Apakah Sumpah Pemuda memang sebuah kemerdekaan kultural? Kemerdekaan buat siapa? Bukankah bahasa-bahasa lain justru dijajah oleh bahasa yang telah disumpah sebagai bahasa Indonesia itu? Munculnya sumpah yang terakhir, berbahasa satu bahasa Indonesia itu, tak pernah sepi dari pedebatan di kalangan sastrawankita. Masing-masing punya argumennya yang tak jarang menghegemoni kita.

Belakangan ini sering saya mendengar puji syukur yang dilontarkan sejumlah kritikus bahwa bangsa Indonesia jauh lebih beruntung dan layak bersyukur karena pemuda-pemuda kita mampu mengikrarkan penggunaan bahasa yang berasal dari bumi Indonesia sendiri, dibandingkan misalnya dengan India dan Filipina yang tak mampu sekadar untuk menyatakan kemerdekaan bahasanya dari penjajah.

Bahkan Tony Day dan Keith Foulcher (1998) dan Faruk (2007) dengan tegas menganggap bangsa Indonesia memiliki sebuah “keunikan” sekaligus “kelebihan” tersendiri karena menggunakan bahasa persatuan yang berasal dari Indonesia sendiri, yang kini telah menjadi lingua franca karena digunakan secara luas, tidak hanya masyarakat Indonesia atau negara serumpun seperti Malaysia, Brunei, Singapura, dan juga dituturkan oleh penduduk di Thailand Selatan, Filipina, Kamboja, Vietnam, Sri Lanka, dan Afrika Selatan.

Temuan para orientalis terhadap penggunaan dan penuturan bahasa Melayu yang berasal dari Riau itu memang patut membuat kita berbangga, karena ternyata mereka bisa mengambil hati masyarakat Indonesia, tidak sebagaimana lazimnya yang kita tuduhkan pada para orientalis itu. Namun, apakah betul bahasa Melayu lingua-franca yang kini digunakan masyarakat Indonesia sehari-hari dan telah dikukuhkan oleh lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia itu sepenuhnya “murni” bebas dari pengaruh kolonialisme Belanda?

Dengan pertanyaan itulah saya akan memulai penelusuran terhadap konteks kultural dan politik bahasa Indonesia hingga penggunaan “bahasa Indonesia yang baik dan benar” seperti yang selalu dianjurkan di zaman Orde Baru, yang hingga tahun 2007 masih dikampanyekan oleh stasiun TVRI dalam acara Binar (singkatan dari Bahasa Indonesia yang baik dan benar). Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa nasional sejak Kongres Pemuda 1928 sampai saat ini, telah disepakati sebagai bahasa Melayu lingua-franca, tidak hanya oleh para ahli bahasa dan masyarakat Indonesia, tetapi oleh para peneliti yang saya sebutkan di atas.

Wilayah bahasa, bahasa apa pun, memang selalu menjadi arena kontestasi bagi perebutan pengaruh dan kepentingan. Bahasa dalam sejarahnya mirip belati bermata dua yang bisa menjadi senjata untuk mempertahankan diri sekaligus untuk bunuh diri. Demikian pula dalam bahasa Indonesia. Maka ketika kehendak untuk “menyatukan” berbagai bahasa yang berkembang di masyarakat menjadi bahasa nasional bernama bahasa Indonesia, sudah pasti memiliki konsekuensi yang besar terhadap ragam puspa bahasa yang digunakan masyarakat dari Aceh sampai Papua.

Kendati kemerdekaan bahasa telah diikrarkan para pemuda kita dan gaungnya mampu menggetarkan sendi-sendi kekuasaan kolonial, tetapi Faruk melihat sebagian besar cendikiawan kita masih sering kehilangan kepekaan terhadap mata rantai berlangsungnya operasi kekuasaan penjajahan terhadap bahasa Indonesia. Berlangsungnya kolonialisme selama tiga stengah abad lamanya di bumi Indonesia, hampir mustahil bisa bebas sepenuhnya dari jejak-langkah kolonial, apalagi di sebidang lapangan yang bernama bahasa.

Kita masih bisa membaca jejak-jejaknya dalam buku-buku tentang bahasa dan sastra Indonesia ketika Belanda pernah menganggap bahasa Melayu yang hidup dan tumbuh dalam kelisanan masyarakat Indonesia sehari-hari diberbagai pelosok-pelosok desa dianggap sebagai “Bahasa Melayu Rendah”, “Bahasa Melayu Gado-Gado”, “ Bahasa Melayu Kacau”, dan berbagai citra yang mengancung cemooh lainnya. Maka sejak itu pula disepakati penggunaan bahasa Melayu yang oleh Belanda dianggap “Bahasa Melayu Tinggi” itu.

A.H. Wignjadisastra agaknya yang kembali mempopulekan tiga ejaan dalam bahasa Indonesia itu ketika di tahun 1931 ia menulis di Soera Indonesia dengan membedakan bentuk bahasa Melayu umum dan Melayu khusus, lalu dengan menyebut adanya tiga dialek; dialek Melayu sekolah, melayu pasar, dan Melayu Balai Pustaka. Yang terakhir ini lama-kelamaan dianggap paling standar, paling pas, paling cocok untuk menjadi ”bahasa Indonesia yang baik dan benar”.

Dan, memang begitu kenyataannya. Konstruk kolonial tersebut justru dikukuhkan ke dalam kodifikasi dan standarisasi yang (di)resmi(kan) di sekolah-sekolah dan dalam lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa—sebuah lembaga yang mengingatkan kita pada lembaga filologi kaum orientalisme Barat-Eropa yang menjadi sasaran dikritik Edward W. Said dalam Orientalism (1979).

Lalu apa yang terjadi kemudian? Apa yang bermasalah di situ? Adakah ini signifikan dipersoalkan kembali? Bukankah kini sudah disepakati bersama bahwa “Bahasa Melayu Tinggi” menurut Belanda itu telah menjadi Bahasa Indonesia lingua franca yang baik dan benar? Yang manakah yang layak disebut dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah-akademis yang dinamakan bahasa lingua franca itu? Apakah bahasa hasil sentilan kolonial yang disebut “Bahasa Melayu Tinggi” itu ataukah bahasa yang dulu dan hingga kini masih digunakan secara lisan oleh masyarakat Indonesia?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, istilah lingua franca diartikan sebagai “bahasa yang dipergunakan sebagai alat komunikasi sosial di antara orang-orang yang berlainan bahasanya” (1995: 596). Dengan demikian, bahasa Indonesia yang seharusnya distandarkan dan dibakukan adalah bahasa Melayu yang digunakan masyarakat luas, bukan “bahasa Melayu Tinggi” ala kolonialis dan elite minoritas terdidik pribumi yang bekerja di Balai Pustaka tempo dulu.

“Bahasa Melayu Tinggi” yang berproses menjadi bahasa yang (di)resmi(kan) digunakan negara-negara serumpun itu, termasuk Indonesia, menurut penelitian Faruk dalam buku Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia (2007) tak lain adalah “bahasa Melayu sebagai bahasa imperialis”. Dalam konteks Indonesia, kata Faruk kemudian, apa yang dinamakan bahasa Indonesia tulen itu sesungguhnya “bahasa Indonesia sebagai bahasa ’Nederlandsche’”. Dan dalam banyak karya sastra Indonesia, bahasa yang digunakan kebanyakan “menyerupai pola Nederlandsche Letterkunde” atau sastra Belanda.

Saya teringat Pramoedya Ananta Toer, dalam pengantar buku Antologi Sastra Pra-Indonesia (1982) yang mematahkan anggapan bahwa bahasa Indonesia sekarang ini sebagai lingua franca. Bahasa Indonesia bukan Bahasa Melayu lingua franca, karena bahasa Indonesia sekarang adalah hasil penyeleksian Balai Pustaka yang kemudian dikukuhkan oleh bangsa Indonesia sendiri yang tak mengerti politik bahasa. Bahasa Indonesia sekarang terlampau rapih, santai, disiplin, yang berbeda dengan bahasa Melayu lisan yang terkadang liar dan tak mudah dijinakkan. Bahasa Melayu lingua franca, sebagaimana digunakan Mas Marco, tidak menabukan bahasa daerah non-Melayu, sebagaimana kebijakan Balai Pustaka yang lebih mengenalkan karya sastra yang banyak menyerap bahasa Eropa dan Arab sambil mengabaikan bahasa yang ada di bumi Nusantara sendiri yang bukan Melayu.

Bahkan, di awal 1930-an, sejumlah penulis Indonesia muncul untuk mempertegas sekaligus tak jarang menyanggah, apa itu bahasa Indonesia. Karena memang, dalam Sumpah Pemuda itu, tak dijelaskan secara gamblang, kecuali dalam artikel-artikel Muhammad Yamin sebelum dan sesudah sumpah dibacakan, itu pun tetap tak jelas apa itu bahasa Indonesia. Apalagi sampai dengan perumusan selanjutnya, seperti bahasa Melayu mana yang akan dipakai sebagai bahasa Indonesia, ejaannya bagaimana, seperti apa.

Seiring dengan berbagai pedebatan, bahasa Melayu Riau akhirnya menang dan ejaan van Ophuijen yang ditawarkan Pamoentjak—tokoh yang didik dan bekerja selama bertahun-tahun di Kanttor voor de Volkslectuur–yang kita terima sebagai bahasa Indonesia alias bahasa Melayu versi Balai Pustaka. Dan kita tahu apa arti bahasa Melayu Balai Pustaka dari seorang A.H. Wignjadisastra dalam artikelnya bertajuk Bahasa Indonesia di Soera Indonesia No. 58 tanggal 23 Juli 1931: ”Bahasa Melajoe Balai Poestaka adalah Melajoe jang dikonstruksi oleh Balai Poestaka”, katanya. ”Selain itu, ia berdasarkan pada sistem ejaan van Ophuijen dalam ilmoe bahasa Melajoe” yang diusulkan Pamoentjak itu.

Kebijakan Balai Pustaka dan kemudian dikukuhkan oleh lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, telah memiskinkan bahasa Indonesia dari kosakata non-Melayu. Bahkan kosakata Melayu sendiri mulai jarang dipakai, dan lebih tertarik memasukkan kata-kata Arab. Satu-satunya bahasa daerah yang menalami produksi besar-besaran selain Melayu adalah bahasa Jawa. Bahkan Ben Anderson pernah meneliti apa yang disebutnya sebagai proses ”Jawanisasi” bahasa Indonesia pada zaman Orde Baru.

Peranan bahasa Melayu dalam memudahkan munculnya suatu banyangan kebangsaan modern itu, ternyata mengalami kemerosotan akibat proses ”Jawanisasi” bahasa Indonesia hingga membawa ke permukaan ciri-ciri inegaliter, feodal, serta jarak sosial yang menandai bahasa dan budaya Jawa. Menurut Anderson (1966), seperti juga disampaikan kembali Vedi R. Hadiz (1992), berkembangnya ciri-ciri yang terakhir ini dalam bahasa Indonesia pada maa pasca-revolusi, yang mencemaskan ini, tidak disebabkan adanya stratafikasi sosial yang inheren dalam bahasa Indonesia, tetapi justru karena sifat demokratis-egaliternya—dalam arti suatu masyarakat yang secara tradisional demikian berorientasi pada status dalam pkirannya yang paling mendalam.

Anderson mungkin berlebihan atau terlampau mengagumi kekuatan yang populis-revolusioner, terhadap apa yang disebutnya bahasa ”Melayu Revolusioner (Revolutionary Malay) itu, tapi memang, hanya kosakata Jawa yang berkembang dalam kamus-kamus bahasa, yang nyaris menyaingi bahasa Minang (Sumatera Barat). Sementara bahasa Bali, bahasa Lampung, bahasa Kendari, bahasa Batak, bahasa Minahasa, bahasa Papua, dan bahasa daerah lainnya, nyaris tak pernah kita temukan dalam kamus-kamus bahasa. Padahal banyak sekali kosakata dalam bahasa daerah yang unik dan menarik, yang bisa memperkaya bahasa Indonesia, tapi dilupakan begitu saja. Mungkin karena para penulis yang bisa berbahasa Lampung atau Bali jarang menggunakan idiom-idiom dan kosakata daerahnya, kecuali baru-baru ini. Tapi, setidaknya, kenyataan ini kian menegaskan tesis klasik: siapa yang berkuasa dia yang punya bahasa. Di Lampung saja, karena berkali-kali gubernurnya orang Jawa—bukan maksud saya untuk menanamkan rasialisme di sini—maka yang berkembang adalah bahasa Jawa, sementara bahasa Lampung nyaris tak terdengar orang mempercakapkannya di kota Bandarlampung, apalagi di kota Metro yang sebagian besar berasal dari Jawa Tengah.

Upaya menyusun ulang bahasa Indonesia yang telah disterilkan, distandarkan, dibakukan, dan diselewengkan oleh orientalisme linguistik penjajah itu, nyaris sama beratnya seperti impian membangun kembali bahasa Timur yang telah mati atau (di)hilang(kan) oleh kesadaran orientalisme linguistik Barat-Eropa yang ditunjukkan Edward W. Said secara kritis dalam karya monumentalnya itu. Karena ini berarti, sama dengan menyusun ulang kesadaran ke-Indonesia-an yang sudah mati, hampir mati, dan terlupakan. Karena presisi bahasa, ilmu pengetahuan, imajinasi geografis dan rekonstruktif, justru memuluskan jalan bagi apa yang ditangan Orde Baru justru dikerjakan Tentara Nasional Indonesia (TNI), administrasi negara, birokrasi pemerintahan, dan lembaga bahasa. Egaliter telah diganti dengan otoriter—kalau boleh mengadaptasi istilah Ben Anderson.

Dengan kata lain, vindikasi orientalisme linguistik Belanda di Indonesia tidak hanya merupakan keberhasilan-keberhasilan intelektual atau artistik-estetiknya saja, tapi juga keefektifannya, kegunaannya, dan otoritasnya sebagai—mengutip istilah Ahmad Baso dalam bukunya Islam Pascakolonial (2005)—“polisi-polisi kolinial” yang dibentuk untuk “menertibkan” dan menjaga “keamanan” terhadap apa yang tidak tertib dan liar.

Semangat orientalisme linguistik yang diterapkan oleh para peneliti filologi Belanda terhadap bahasa Melayu, telah melahirkan bahasa Indonesia yang asing dan membuat masyarakat Indonesia merasa teralinasi bertahun-tahun. Penyebabnya tak lain karena bahasa Melayu yang hidup dan digunakan oleh masyarakat kita secara luas di desa-desa telah diselewengkan oleh kaum orientalis Belanda dan diundang-undangkan oleh lembaga bahasa kita sendiri.

Semangat orientalisme linguistik tersebut juga banyak dipakai para kritikus sastra untuk membaca syair-syair karya Hamzah Fansuri di Aceh. Kritikus semacam A. Teeuw (1952), Braginsky (1979, 1993), Drewes dan Brakel (1986), menanggap Syair Perahu. Syair Dagang, Bahr al-Nisa (Lautan Perempuan) karya Hamzah Fansuri itu diragukan sebagai karyanya. Bahkan Abdul Hadi W.M. malah ikut mengatakan bahwa rima dan sturktur ketiga syair Hamzah Fansuri itu sukar untuk dipercaya sebagai karangannya.

Saya pernah mengatakan, dengan memanfaatkan temuan Dami N. Toda dalam Apakah Sastra (2005), bahwa studi kritik sastra kita bercampuraduk dengan teori-teori kritik sastra warisan penjajah yang terlanjur menganggap buku-buku A. Teeuw seperti Tergantung pada Kata (1980), Membaca dan Menilai Sastra (1983), Sastra dan Ilmu Sastra (1984) dan Keberaksaraan dan Kelisanan (1992) sebagai buku bebobot sekaligus buku panduan bagi teoritikus sastra mutakhir di Indonesia.

Semangat orientalisme linguistik Barat telah menancap begitu kuat dalam kesadaran sastrawan dan kritikus sastra kita, hingga membuat mereka terlelap dan melakukan kesepakatan bersama dengan temuan-temuan orientalis, seperti menganggap syair-syair Hamzah Fansuri bukan hasil jerih payah segenap jiwanya. Cara kerja orientalis Belanda di Indonesia dalam merepresentasikan dan meresepsi sastra Indonesia mirip dengan cara kerja Gibb dan Bernard Lewis dalam mengkaji karya pemikir dan filsuf muslim.

Atas dasar apakah para orientalis itu menyimpulkan bahwa ketiga syair Hamzah Fansuri yang disebutkan di atas bukan karangan dia? Apakah karena terlampau bias kacamata Barat sehingga idiom-idiom, diksi, struktur dan ritem-rima sajak Fansuri yang berbeda dan menyimpang dari karya Indonesia pada umumnya, lantas dicap bukan asli? Jika memang ya, bagaimanakah dasar argumentasi mereka sehingga kesimpulan yang diambil memang meyakinkan saya?

Sejak zaman filsuf al-Kindi hingga filsuf Mulla Shadra, tuduhan kaum orientalis terhadap karya Timur tidak orisinal, imitasi, carbon copy (istilah ini paling sering digunakan dosen-dosen di IAIN/UIN dalam tesis dan disertasi mereka tentang pemikiran tokoh sampai kini), saduran, terjemahan, adaptasi, variasi, dan lain sebagainya, sudah sering kita dengar. Namun berbagai prasangka semacam itu—dan prasangka-prasangka lainnya sering menunjukkan sebuah tabiat kaum orientalis yang memang sejak dari sananya lebih tertarik pada upaya pembuktian validitas “kebenaran-kebenaran” basi di hadapan kaum pribumi yang terhegemoni.

Demikian pula yang terjadi pada kaum orientalis Belanda terhadap bahasa Indonesia, mereka telah menciptakan fiksi-faksi ideologis yang menempatkan bahasa Melayu lingua-franca (dalam arti yang digunakan masyarakat luas secara lisan) dalam posisi yang terendah dibandingkan dengan bahasa Melayu versi kaum orientalis Belanda yang bergaya sekolahan Eropa yang renyah dan melodis itu. Ada rasa sedih bahwa bahsa Indonsia sebagai “kekacauan yang nikmat”—meminjam simile Sutan Takdir Alisjahbana di tahun 1930-an—itu, justru membuat para ahli bahasa Melayu dan aktivis sastra kita seperti terlena dan lumpuh layuh dalam menghadapi rancang bangun konstruksi kolonial di lapangan bahasa.

Banyak contoh bisa dijejerkan di sini bagaimana sastrawan dan kritikus sastra kita telah termakan hasutan dan propaganda orientalis linguistik, seperti terjadi ketika maraknya diskusi tentang buku puisi Sutardji Calzoum Bachri di tahun 1970-an yang, selain cemoohan A. Teeuw yang khas, kritik yang dilontarkan Subagio Sastrowardoyo yang menuduh puisi Tardji bukan puisi yang orisinal, melainkan “mirip” dan “dipengaruhi” oleh gaya puisi mantera di Barat.

Ada banyak perlawanan tandingan yang dilakukan sastrawan-sastrawan kita terhadap bahasa Melayu lingua franca hasil perselingkuhan kolonial Belanda dan pemerintah Indonesia itu, tapi sampai pada tahun 1970-an, sebagian besar sastrawan kita tumpul nalarnya, tidak peka penciumannya terhadap bau kolonial dalam tubuh bahasa Indonesia.

Kokohnya pengaruh diskursif orientalisme linguistik dalam bentuk kemerdekaan politik terhadap sastra Indonesia bagi saya tak akan berdaya sebagai diskursif tandingan bila kita masih menempatkan ideologi sastra Indonesia yang sempit ke dalam semangat nasionalisme dan lokalisme swasembada. Dalam keadaan seperti ini, resistensi yang jauh-jauh hari yang telah digerakan kalangan sastrawan peranakan Tionghoa dan Mas Marco Kartodikromom terutama terhadap kecenderungan penjinakan terhadap penggunaan bahasa kaum pribumi, seakan tenggelam oleh hiruk pikuk diskusi sasta modern Indonesia.

Dulu, karya sastra Mas Marco sering diprovokasi Belanda sedemikian rupa hingga masyarakat Indonesia sendiri pun menganggapnya bahasa gado-gado, dalam arti bahasa yang tidak baik dan tidak benar dan tak perlu dipakai. Saya kutipkan satu puisi Mas Marco yang menyempal dan bikin gerah penguasa Belanda kala itu karena kata-katanya tampak ”aneh”. Kutipan berikut ini saya temukan apa adanya dalam esai Kenecisan Indonesia: Politik Pakaian pada Akhir Masa Kolonial 1893-1942 karya Rudolf Mazek:


Bahasa Melayu Gado-gado

En satoe en satoe en satoe dat is een
En batoe n batoe en batoe dat is steen
En roti en roti dat is brood
En mati en mati en mati dat is dood

Bahasa Inggris

And one and one and one is one
And stone and stone and stone is stone
Anda bread and bread and bread is bread
And dead and dead and dead is dead

Bahasa Indonesia

Dan satu dan satu dan satu adalah satu
Dan batu dan batu dan batu adalah batu
Dan roti dan roti dan roti adalah roti
Dan mati dan mati dan mati adalah mati


Pramoedya telah berjasa membuka kesadaan kita bahwa ada bahasa puisi yang melakukan resistensi terhadap kolonialis yang pernah hidup di Indonesia: puisi itu ditulis orang Jawa yang kelak terlunta-lunta di negeri orang, yaitu Mas Marco. Bahasa yang digunakan Mas Marco di atas sangat dekat dengan bahasa Melayu yang hidup dan tumbuh dalam kelisanan masyarakat Indonesia sehari-hari di pelosok-pelosok desa, yang oleh kaum orientalis linguistik Belanda dianggap “bahasa rendah” dan “gado-gado” dan “kacau”, dan berbagai pelabelan lainnya yang sangat nihilistik.

Berbagai resistensi memang pernah muncul di tahun 1970-an, bahkan sampai sekarang, dan esstensi itu cenderung mengambil dua jalur yang cukup saling menopang: resistensi lewat jalan ”bunyi” kata, dan jalur ”sunyi” kata. Sutardji berganti-ganti menggunakan jalan bunyi dan sunyi kata yang mantera, sementara Taufik Ikram Jamil menggunakan kata ”gelombang sunyi” atau silence (kesunyian) saja lagi, sebagaimana tidak kita lihat dalam puisi-puisi seutas tali kebisuan Goenawan Mohamad.

Munculnya puisi-puisi mantera Sutardji yang kemudian dibukukan dalam O Amuk Kapak (1981), saya kira masih dalam kontinuitas pemberontakan Mas Marco tehadap pakem bahasa yang telah distandarkan kolonial itu. Tardji memang sosok yang lekat dengan pemberontakan, dan kehadiran sajak-sajaknya terbukti mampu memecah kebekuan bahasa Indonesia berikut membebaskan kata dari kuda Troya yang dpikulkan padanya, sekaligus menohok sistem ejaan baku yang telah distandarkan berkali-kali itu, sehingga sang penyair benar-benar bebas dan kreatif mempermainkan sekaligus menggunakan kata. Salah satu yang dilakukan Tardji adalah menciptakan bahasa yang liar, yang mengaduk-aduk kata benda menjadi kata sifat atau atau sifat menjadi kata benda. Tengok misalnya salah satu larik puisi Solitude ini :

yang paling mawar
yang paling duri
yang paling sayap
yang palng pisau
yang paling isau
yang paling nancap
yang palng dekap

samping yang paling
Kau !

Dengan ringan Tardji menjadikan kata benda dan kata sifat, atau sebaliknya; kata sifat diubah menjadi kata benda. Di sini saya teringat Pramoedya dalam sebuah esainya yang berjudul Bicara Tentang Bahasa Indonesia di majalah Mimbar Penyiaran DUTA No. 2 Februari 1954 itu, tampaknya telah dipenuhi oleh Tardji. Pramoedya menulis:

"Kita bisa dan mempunyai hak untuk merevolusikan bahasa kita sendiri, baik bersifat asasi maupun aksidental. Juga kita ada kemrdekaan untuk memberikan kemampuan pada bahasa kita sendiri untuk merubah kata-kata benda menjadi kata kata sifat. Kita mempunyai kebebasan penuh untuk melepaskan diri dari buntut bahasa Belanda. Asalkan semua dikerjakan sekonsekwen mungkin dan bukan cuma memanjangkan keluhan impotensi".

Saya kira Pram benar bahwa kebebasan melakukan penyelewengan terhadap bahasa Indonesia yang telah dijahili Belanda itu sebuah keharusan yang mesti dilakukan, bukan sekedar kenenesan atau kelatahan. Jikalau saya mencium bau kolonisasi dalam bahasa Indonesia, mengapa tidak saya perangi dengan menuliskan gaya yang menyimpang dari konstruk kolonial itu ? Kira-kira inilah yang ingin dikatakan Pram, kendati kita masih diberi warning agar berhati-hati jangan sampai cuma berhenti pada keranjingan.

Sejak Pram mengatakan itu, hampir tak ada pemberontakan yang radikal atau munculnya "anarki bahasa" dalam puisi-puisi modern Indonesia sampai tumpasnya Orde Lama. Apa yang dilakukan penyair Pujangga Baru, Surat Kepercayaan Gelanggang, Lekra dan Manifes Kebudayaan, ternyata masih dalam tahap coba-coba dan nyaris tak mencium bau kolonisasi yang massif dalam bahasa Indonesia.

Baru Sutardji yang melakukan pembongkaran terhadap baju zirah kolonial yang berselimut dalam bahasa Indonesia. Puisi-puisi Tardji jauh dari sekedar keisengan atau cuma " memanjangkan keluhan impotensi" atau "mementing-mentingkan yang tak penting" atau demi sebuah defamiliarisasi ke dalam kelisanan Melayu kembali. Dami N. Toda pun mengakui soal ini, terutama dalam konteks penulisan puisi dengan membubuhkan titik-titik dan hurup kecil, yang bukan lagi sekedar iseng atau pergenitan belaka untuk menjalankan petuah licentia poetica.

Tardji berjasa menghidupkan lagi ruh bahasa Melayu lisan yang liar, yang banyak digunakan para pawang dan dukun-dukun di desa-desa di tanah Melayu. Kata-katanya melompat-lompat dan tak jarang menggada kesadaran imaji diam para pembacanya. Tardji adalah pemberontak di seberang Wiji Thukul. Keduanya sama-sama memberontak, hanya saja Thukul memberontak terhadap otoritarianisme politik, Tardji memberontak terhadap konvensi bahasa warisan kolonial dan politik sebagai panglima Orde Lama. Tengok salah satu sajak Tadji, yang tampak tidak lazim pada waktu itu sehingga ada yang menganggapnya cuma kelatahan main-main.

O
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O...

Bahasa Indonesia konstruksi kolonialis nyaris tak tercium oleh puluhan penyair sebelum Tardji. Ejaan yang kreatif dalam pelisanan telah jauh bergeser menjadi ejaan yang stagnan, dan dihidupkan kembali dalam puisi Tardji. Kosakata yang bertebaran di lumbung-lumbung bahari Nusantara yang nyaris mati dan yang muncul sehari-hari justru bahasa yang telah banyak mengalami kodifikasi, cukup dominan dipersoalkan Tardji. Pemberontakan terhadap ejaan model kolonialis dan telah dikukuhkan bangsa sendiri, begitu menyayat dalam sajak Tragedi Winka & Sihka.

Jelaslah bahwa Tardji bukan lagi ”penyair seakan mencium bau kolonisasi dalam sistem ejaan”, sebagaimana kata Ignas Kleden, tapi benar-benar mencium tangan tersembunyi penjajah dalam mempreteli bahasa Indonesia setelah mereka merasa kecolongan dalam Sumpah Pemuda 1928 itu. Hampir tak mungkin jika Tardji cuma seakan mencium bau kolonial dengan puisi dan Kedo Puisi yang mengakapak piranti lunak bernama bahasa Indonesia imperialis.

Bukan sekedar kebetulan jika sebanyak tiga kali Tardji mengulang kata ”penjajahan” dalam Kredo Puisi dengan perulangan tiga kali: (1) Kata-kata harus bebas dai penjajahan pengertian (2) membebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata (3) serta membebaskan kata-kata dari penjajahan gramatika. Dan tengok pula salah satu bunyi Kredo Puisi Tadji berikut ini:

Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor(obscene) serta penjajahan gramatika. Bila kata dibebaskan, kreatifitaspun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.

Tardji sungguh menyadari adanya kaidah bahasa Indonesia imperialis atau menyerupai pola Nederlandsche Letterkunde itu, dan dengan beingas melakkan esistnsi jauh sebelum yang lan-lain. Bahasa Melayu Riau tampak dimatanya telah menjadi Bahasa Indonesia yang serupa dengan bahasa Arab yang mulanya memiliki kekuatan sakralitas pelisanan yang magis dan mengandung aura mistis dan mitis-geometris itu, tetapi masa ke masa terus mengalami proses verbalisme dan akhirnya beku.

Bahasa percakapan sehari-hari masyarakt Melayu terus mengalami persentuhan dengan bahasa lain hingga terpikir oleh seorang penyair berakronim SCB untuk menghadirkan bahasa Indonesia yang hidup, segar, lincah, kreatif, liar. Agaknya kita memang butuh refleksi sejenak untuk melihat perjalanan 80 tahun sumpah pemuda ini, bukan lagi sebagai teks politik, sosial, tapi sebagai puisi kata Tardji. Saya kira tawaran Afrizal Malna dan Sutardji berikut ini menarik untuk disampaikan.

Afizal sempat mengeluhkan bahwa pembaca dan masyarakat Indonesia tidak pernah memesan sastra modern (2000 : 507-517), karena dianggap wilayah yang alienatif. Pemberontakan penyair tak diikuti pemberontakan pembaca. Afrizal mengutip salah satu puisi Rustam Effendi yang ditulis 1926, dua tahun sebelum kelahiran Sumpah Pemuda, dengan pemberontakannya yang khas modernitas: "seloka lama beta buang beta singkiri", kata Rustam Effendi.

Puisi Rustam yang signifikan itu, kata Afrizal, ternyata tak mendapat perhatian nasional sebagaimana terjadi pada Sumpah Pemuda: padahal apa bedanya pemberontakan Rustam dengan pemberontakan para pemuda yang mau mengganti yang lama dengan yang baru itu? Bedanya mungkin, kata Afrizal, terletak pada klaim puisi yang cenderung berlangsung sebagai individualisme, sementara Sumpah Pemuda adalah pemberontakan rame-rame. Sumpah Pemuda bicara dengan klaim "kami", sementara sajak Rustam bicara dengan klaim "aku", sehingga yang terakhir ini terkesan tak memiliki momen bersama. Maka wajar saja jika puisi tak pernah jadi acuan dalam kehidupan sosial-politik. Karena itu, pilihannya kini bagi Tardji adalah: menjadi sumpah pemuda sebagai teks puisi.

Sumpah Pemuda
Kami putra-putri Indonesia dengan ini menyatakan:
Berbangsa satu bangsa Indonesia
Kami putra-putri Indonsia dengan ini menyatakan:
Bertanah air satu tanah air Indonesia
Kami putra-putri Indonesia dengan ini menyatakan:
Berbahasa satu bahasa Indonesia!


Teks sumpah pemuda itu memang sebuah puisi yang mantera. Agaknya saya perlu mengutip salah satu sajak Tardji tebaru, yang ditulis saat reformasi 1998 lalu, sajak berjudul Cari. Sajak ini terang-terangan mengajak kita untuk menghayati kembali Sumpah Pemuda, dan menempatkan teks sumpah itu sebagai puisi mantera, sehingga tak ada lagi dikotomi Sumpah Pemuda dan sastra:

Aku merasa
Serasa bakal datang kata
kata yang segar
kata yang mencipta
bukan kata
sekedar menunjuk
Apa yang sudah ada
bukan sebagaimana kata kuda
menunjuk kuda yang ada di bumi
bukan sebagai kata mawar
menunjuk mawar dan harumnya yang
ada
tapi kata yang mencipta
yang muncul dari ketiadaan
meloncat dari kekosongan
dari balik puing-puing ini
dari balik gosong nyeri
dari balik abu dan tulang-tulang ini

Cepat temukan kata !
sebelum cuaca makin memburuk
sebelum datang lagi El Nino
sebelum datang La Nina
agar tak kembali muncul El Dictator

Wahai bangsaku
Keluarlah engkau
Dari kamus kehancuran ini
Carilah kata
Temukan ucapan
Sebagaimana dulu
Para pemuda menemukan
Kata
Dalam sumpah mereka


Di sini saya teringat esai Tardji bertajuk Kata-kata di buku Isyarat (2007), yang mengungkai pemaknaan antara misteri kata-kata dengan misteri kehidupan. "Mengapa mawar adalah mawar adalah mawar dari satu mawar menjadi tiga dan ketiganya bisa berbeda ?" Tardji menjawab sendiri : "Itulah misteri kata-kata". Di sini muncul lagi “yang tak menemukan kata tak disebut penyair", dan kali ini muncul dalam tubuh puisi yang bersaran kepada para penyair untuk segera menemukan kata, seperti pemuda dalam sumpah 1928 menemukan ucapan, karena selain yang tak menemukan kata tak bakal dianggap penyair, ada kemungkinan bahaya baru akan muncul; entah itu bernama sensor atau realitas politik yang akan terjadi kemudian membuat para penyair tak lagi bisa mencari kedalaman kata kecuali hanya memungut di jalan-jalan raya dalam bentuk slogan.

Nah, teks puisi iTardji itu mengingat saya kembali pada proses pencarian yang dilakukan para penyair sebelumnya untuk menemukan kata yang merdeka. Mengapa penyair harus mencari kata? "Karena profesi para penyair cenderung tidak mengerjakan apa yang dikatakannya, maka ada ruang bagi penyair untuk cenderung bisa tergoda untuk bebas tidak mempedulikan pertangungjawaban terhadap karya-karyanya", kata Tardji dalam orasi budaya dalam rangka Pekan Presiden Penyair di Jakarta yang kemudian diterbitkan dalam esai Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair di harian Republika (9/9/2007). Penyair yang pandai membuat kredo puisi tapi tak bisa mengerjakan kredonya, atau tak menepati janjinya dalam puisi, di mata Tardji justru bertopeng di balik kebebasan dan cenderung tidak mempedulikan pertanggungjawaban. Bukan ”T dari tangungjawab”, tapi tak bisa menjawab kredonya sendiri.

Penyair yang lahir di Rengat, Riau, 24 Juni 1941 lalu itu, kata harian Republika, harian yang banyak mempublikasikan sajak-sajak terbaru Tardji, semasa kecil tumbuh dengan kenakalan yang mencerminkan kreativitas. Dalam film dokumenter sepanjang hampir 20 menit, sejumlah kesan dari kerabat nmaupun sahabatnya, menunjukkan bahwa Sutardji bukan orang yang penurut. Kuliah di Universitas Padjajaran mengambil studi Ilmu Politik, namun justru lebih memilih sastra sebagai bentuk ekspresi kreatifnya. Pada tahun 1974, ia mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan International Writing Program di Iowa City, Amerika. Sepulang dari sana, melalui Singapura, SCB tidak kembali ke Jakarta, melainkan singgah di Tanjung Pinang. Di sanalah awal lahirnya kumpulan puisi yang pertama dan kedua: O dan Amuk.

Puisi Cari itu tak urung mengingatkan aku pada para pemuda mencari bahasa, dan “saya ingin menampilkan teks Sumpah Pemuda sebagai teks puisi”, katanya: karena selama ini teks Sumpah Pemuda itu kerap dilihat sebagai teks sosial politik, padahal teks itu menampilkan mimpi atau imajinasi dengan bahasa ringkas hemat, padat, kuat menyaran makna, dengan irama dan pengulangan kata-kata yang bagaikan mantera adiguna.

Tardji telah membuktikan sendiri, dengan kembali ke Sumpah Pemuda, dengan menempatkan sumpah ini sebagai puisi, maka kreativitas muncul kembali dengan warna puisi yang lain, tapi tak kalah mengejutkan. Bandingkan misalnya repetisi-reetisi dalam teks Sumpah Pemuda di atas dengan puisi-puisi terbaru Tardji berikut ini:

AYO
Adakah yang lebih tobat
dibanding air mata
adakah yang lebih mengucap
dibanding airmata
adakah yang lebih nyata
adakah yang lebih hakekat
dibanding airmata
adakah yang lebih lembut
adakah yang lebih dahsyat
dibanding airmata
para pemuda yang
melimpah di jalan jalan
itulah airmata
samudera puluhan tahun derita
yang dierami ayahbunda mereka
dan diemban ratusan juta
mulut luka yang terpaksa
mengatup diam
kini airmata
lantang menderam
meski muka kalian
takkan dapat selamat
di hadapan arwah sejarah
ayo
masih ada sedikit saat
untuk membasuh
pada dalam dan luas
airmata ini
ayo
jangan bandel
jangan nekat pada hakekat
jangan kalian simbahkan
gas airmata pada lautan airmata
malah tambah merebak
jangan letupkan peluru
logam akan menangis
dan tenggelam
dikedalaman airmata
jangan gunakan pentungan
mana ada hikmah
mampat
karena pentungan
para muda yang raib nyawa
karena tembakan
yang pecah kepala
sebab pentungan
memang tak lagi mungkin
jadi sarjana atau apa saia
namun
mereka telah
nyempurnakan
bakat gemilang
sebagai airmata
yang kini dan kelak
selalu dibilang
bagi perjalanan bangsa

1999


TANAH AIRMATA

Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
(1991)


Gema suara Sumpah Pemuda pekat-ketnal-padat-repetitip dengan nuansa mantera masih begitu kuat dalam sajak-sajak tebaru Tardji. Dengan memahami sumpah 1928 itu sebagai puisi mantera, Tardji menemukan jalan kreatif lagi setelah sebelumnya total kembali ke puisi mantera yang “pimitif”. Bila selama ini ada kesan muncul kembali apa yang disebut semangat chauvanisme, tidak lain karena tiga proyek Indonesia seumur hidup yang dicetuskan dalam sumpah 1928 itu telah mengalami reduksi habis-habisan.

Dari ketiga proyek itu, memang bahasa nyaris mendapat respon tinggi di kalangan sastrawan dan seniman kita. Karena itu, bahasa relatif lebih mengikuti tuntutan-tuntutan yang kreatif. Walau Pram sendiri dalam esai di majalah Mimbar Penyiaran DUTA 1954 itu masih melihat ada upaya peremahan terhadap bahasa. ”Anggapan bahwa masalah bahasa Indonesia ini kecil, adalah anggapan yang primitif, mengingat kedudukan bahasa ini sendri yang bukan saja menjadi bahasa resmi, tapi juga bahasa pergaulan dan bahasa nasional. Bila dulu bahasa dan politik bergandengan tangan menentang penjajahan, kini ia bejalan sendiri-sendiri, tak jarang terpaksa merangkak-rangkak, sedang politik lebih senang membiarkan kawan sejawatnya berganti dengan bahasa asing”, kata Pram.

Tak berarti bahwa Pram menolak penjajahan bahasa asing dalam bahasa Indonesia, tapi justru sebaliknya ia menganjurkan metode pembenahan bahasa Indonesia dengan melihat bahasa asing seperti Jepang. Hanya saja kata Pram, ”di lapangan ini nampak adanya ciri-ciri ketakutan orang menghadapi segala yang berbau Barat atau asing, terutama yang menimbulkan kenangan-kenangan pahit di masa penjajahan. Walau dengan alasan apa pun juga, ketakutan ini tidaklah sehat dan merupakan sebagian dari penyakit-penyakit imptensi kemasyarakan yang merajalela”.

Dan terbukti, perluasan kosakata bahasa Indonesia terjadi secara besar-besaran setelah O(r)de Ba(r)u dengan masuknya kosakata beristilah asing. Namun pada saat yang sama, rezim ini melakukan sterilisasi habis-habisan terhadap bahasa Indonesia lewat penghalusan bahasa. Beruntung muncul dikalangan penyair yang terus melap-lap bahasa Indonesia hingga tetap kreatif. ” Dari tiga untai Sumpah Pemuda itu, hanya yang terakhir yang masih lumayan mengilap, berkat para peminat bahasa Indonesia yang masih setia mengelap-ngelap butir ketiga itu tiap tahun”, tulis Ayu Utami dalam esai Kanon Sastra: Siapa Takut? di Kompas (28/10/2007).

Proyek Bangsa

Di antara tiga proyek yang dihadirkan Sumpah Pemuda itu, justru yang paling memilukan adalah proyek bangsa atau kebangsaan. Gagasan kebangsaan kita dalam perkembangannya telah kehilangan ruh dan jiwanya dari kultur bahasa Melayu. Kalau pernyataan Iwan Simatupang mengandung barang sedikit saja kebenaran saat mengatakan: “kalau ada istilah yang paling banyak bikin manusia malu dan iba terhadap dirinya sendiri, maka istilah ini adalah kebangsaan”, jelaslah bahwa konsep negara-bangsa kita telah jauh bergeser ke model gagasan nasionalisme-negara dan kian menjauh dari gagasan kultural Melayu. Politik yang justru hanya melototkan mata ke arah dalam diri yang sempit dan berbau rasialis.

Gagasan kebangsaan kita telah dikritik habis oleh Ben Anderson dalam buku “Imagined Communities–buku yang banyak bicara tentang asal-usul nasionalisme ini tetap berpengaruh bagi diskusi tentang kebangsaan di hari ini. Anderson tidak hanya mengulas persoalan pengimajinasian “satu” bangsa yang sebenarnya membunuh gagasan “ke-Kita-an” jauh sebelum munculnya pembentukan nation-state, tetapi lebih jauh ia membongkar ideologi yang berselimut dibalik identitas ke-satu-paduan antara nusa-bangsa-bahasa itu. Bangsa sebagai gagasan, kata Anderson, hanya “terbayang” sebagai cita-cita yang tak terdifinisikan. Apakah tanpa gagasan identitas satu bangsa tidak akan bermakna? Anderson secara ekspilisit menyorot persoalan identitas dalam konteks pembentukan “nasionalisme gudang rahasia”, kata Goenawan: “karena di dalamnya terdapat endapan maa lampau yang tebal, tapi ia sendiri juga sebuah konstruksi masa depan, hasil dari yang oleh Renan disebut sebagai ‘melupakan’”.

Dalam penjelasan Ben Anderson lebih jauh: bangsa ini “dibayangkan” karena anggotanya tidak akan pernah mengenal satu sama lain, tetapi dalam benak tiap anggota itu, hidup suatu “bayangan” mengenai keterkaitan antara mereka. Bangsa ini dibayangkan sebagai terbatas, karena pasti ada perbatasan dengan bangsa-bangsa lain, dan sebagai berdaulat, karena negara yang berdaulat adalah lambang kebebasan yang diimpikan tiap bangsa. Bangsa dibayangkan sebagai suatu komunitas karena, lepas dari ketidakadilan dan penindasan yang mungkin secara nyata ada, bangsa selalu dibayangkan sebagai persaudaraan yang horisontal dan mendalam.

Pembentukan paham kebangsaan semacam itu tak Agaknya kita perlu menghidupkan kembali Pramoedya Ananta Toer dan membaca lagi novel Bumi Manusia (2000: 250) soal ilusi model dan kekuasaan. Tidak harus melulu dibaca dalam konteks perang kolonial yang terpisah ketika Pram mengatakan: “Perang kolonial dalam dua puluh lima tahun terakhir belakangan ini, tak lain adalah kehendak modal, kepentingan pasaran buat kelangsungan hidup modal di Eropa sana. Modal telah menjadi begitu kuasanya, maha kuasa. Dia menentukan apa yang harus dilakukan umat manusia dewasa ini”.

Kebutuhan modal serta kepentingan kolonial Belanda lainnya di bumi Nusantara, pada akhirnya tak hanya terjadi pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, tapi kepentingan modal dan kekuasaan kolonial itu ternyata tidak mati. Ia bermetamorfosa dan terus paralel dengan desain nasionalisme politik serta desain nasionalisme kebudayaan hingga sesudah kemerdekaan. Khotbah budipekerti dan kebangkitan nasional yang dilekatkan pada Budi Utomo itu, kini agaknya telah renta. Nasionalisme politik dan puisi yang beroposisi itu, kini agaknya sudah lapuk.

Model etno-nasionalisme Jawa, Batak, Lampung, Bugis, Minang, sudah usang, kendati sampai kini masih terus diproduksi—baik dikalangan elite politik maupun kalangan sastrawan komunitas. Kesatuan sastra-politik masih terus didendangkan sejumlah kritikus, kendati Indonesia sendiri nyaris tak punya karya sastra yang sunguh-sungguh menara gading, dengan capaian literer yang memukau, yang melampaui keterpesonaan kita ada sajak-sajak mantera Tardji.

Bagiku, apa salahnya jika satrawan atau seniman menjadi menara gading, berkontemplasi sungguh-sungguh memikirkan sastra. Lupakan hiruk-pikuk politik-sosial-ekonomi, karena hanya akan mengancam krisis pada seni dan pemikiran. Karya tetralogi Pram juga mahakarya yang pekat-padat menghadirkan proyek bangsa yang kritis, yang tak lagi menjadi sandera sejarah. Selain itu, karya Arus Balik bisa menjadi alternatif terhadap persoalan tanah air dan kebangsaan lewat menghidupkan kembali kejayaan bahari Nusantara: ”ideologi” yang mengarungi laut bukan menjelajah bidang lipatan darat yang militeristik dan melulu berhenti paa nasionalisme NKRI yang sempit itu!

Saya kira tawaran Ayu Utami untuk menjadikan karya tetralogi Pulau Buru Pram sebagai ”kanon sastra” perlu di pertimbang karena Pram bicara sal kebangsaan abad ke-19 dan aal abad ke-20 yang memang memukau itu, dan cocok untuk mengkritik paam kebangsaan Ode Baru. Tapi kini kita hidup di abad ke-21, untuk kembali ke gaya ”mantera primitif” dan Kebangsaan yang humanis dan tak menjadi sandera sejarah itu, sudah dilakukan: apakah kini mesti juga demikian?

Saya kira, kelebihan seorang sastrawan sebagai ”yang berdepan-depan dengan zaman” dan punya intuisi yang futuristik, seperti yang dilakukan Sutardji di lapangan puisi dan Pram di lapangan prosa, mesti jadi agenda penting di masa kini dan mendatang. Kita tak tahu apa yang bakal terjadi 50 tahun atau 100 tahun yang akan datang, oleh karena itu kita bisa berharap banyak dengan kaum sastrawan untuk mengejakan proyek ini.

Abad ke-20 dengan dua perang dunia sudah berlalu. Mengutak-atik jejak kolonial dalam bahasa, dalam hukum, dalam segala bidang terus-terusan, justru akan mengorbankan berbagai proyek yang mungkin jaum lebih signifikan. Bukan berarti bahwa hal itu tak penting, tapi apakah hanya itu urusan para seniman dan sastrawan? Sekarang kita hidup di otonomi daerah, dalam tekanan politik global yang menantang, dalam ketidakpastian arah, dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga, persoalan kebangsaan dan kesusastraan yang berbeda dari sebelumnya, dan ini mesti dikaji secara kritis. Membebankan berbagai persoalan terkini ke pundak sastrawan memang tak adil, seolah-olah hanya meeka yang ada di bumi ini, namun kepada siapa lagi kita berharap banyak kalau bukan pada kaum yang doyan menyoal hal-hal yang tak selesai ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar