Selasa, 03 Februari 2009

Mi Instan dan Tipudaya Global

Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang


Globalisasi ekonomi sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Sejak sepuluh tahun terakhir, kegiatan hidup sehari-hari masyarakat Indonesia ditandai dengan meningkatnya penawaran aneka jenis komoditi global berupa produk makanan dengan berbagai jenis dan rasa yang menggoda.
Penelitian Lembaga Studi Realino (LSR) tahun 2000 menyebutkan, setiap hari sebanyak seratus juta bungkus mie instan telah dikonsumsi oleh penduduk dunia. Sementara lebih dari sepuluh miliar bungkus mie instan dipasarkan di Indonesia selama kurun waktu tahun 2000.
Mi instan sebagai komoditi utama masyarakat konsumerisme yang kini menjangkit masyarakat Dunia Ketiga, alih-alih menciptakan budaya hidup sehat, malah masyarakat yang “sakit”. Hasil kajian LSR menemukan adanya persinggungan antara identitas politik nasional dengan arus ekonomi global dalam masyarakat yang dibayangkan sebagai Indonesia. Dengan mengacu pada tesisnya Ben Anderson, Imagined Communities (1991), LSR menyebutkan bahwa, mi instan--selain sekadar dijadikan target konsumtif--ternyata ikut menciptakan gaya hidup dan budaya konsumerisme masyarakat Indonesia.
Tulisan ini akan melihat lebih jauh bagaimana kaitan budaya konsumerisme atau budaya pop yang menjelma dalam komoditi mi instan. Penting juga untuk melihat atau mewaspadai sihir politik global dalam rangka merespon tuntutan masyarakat Indonesia akan kebutuhan pangan di masa depan.

Sihir Ekonomi-Politik Global

Mengapa berbagai jenis makanan cepat saji seperti mi instan dianggap sebagai komoditi yang cocok dengan kultur dan selera masyarakat Indonesia? Budaya global yang melahirkan ruang yang serba instan kini tengah digandrungi—tidak hanya oleh generasi muda, tetapi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Dari pelosok desa hingga kota metropolitan, mi instan telah ikut menanamkan diskursus politik budaya konsumerisme.
Komoditi mi instan juga berhasil menciptakan popular culture (budaya pop) masyarakat Indonesia dengan gengsi yang tak terbayangkan. Karena itu, konsumen yang tidak ikut mencicipi produk mi instan dianggap tidak modern atau ketinggalan zaman. Pada akhirnya mereka juga ikut mengukuhkan budaya fashion: ruang ketegangan antara desakan untuk menjadi umum dan sejajar dengan hasrat untuk menjadi khas atau berbeda.
Menurut Georg Simmel (2001), hasrat untuk menjadi umum dan setara inilah yang berinkarnasi dalam perilaku imitasi. Pada saat seseorang melakukan imitasi, bukan saja mereka mentransfer hasrat akan aktivitas kreatif, tapi juga menggeser tanggung awab atas aksi itu dari diri pribadi pada “sesuatu di luar sana”. Pada saat itulah individu melepaskan kecemasan akan penampilannya sebagai pilihan pribadi dan mengalihkannya sebagai bentuk kepatuhan pada “sesuatu di luar sana”. Membangun ruang solidaritas aksi, dengan demikian, hanya mungkin dilakukan dengan kembali meletakkan setiap aksi sebagai pilihan dan tanggungjawab otonom.
Budaya pop juga telah ikut menggilas keragaman komoditi tradisional di Indonesia dengan menampilkan komoditi makanan global. Akibatnya, keragaman produk makanan tradisional yang berlandaskan pada nilai-nilai kekerabatan telah digusur oleh bujuk rayu komoditi padat modal. Politik konsumsi global modern saat ini—sadar atau tidak—ikut memainkan strategi politik penyeragaman. Politik ekonomi konsumsi global penuh dengan janji-janji kenikmatan dengan meningkatkan kadar “gengsi sosial” lewat promosi besar-besaran di media massa. Apa pun dalih mereka, keterkaitan mi instan dengan kecenderungan untuk massalisasi selera rasa produk tersebut secara global sangat mencolok.
Mi instan bermula dari Tiongkok lalu menyebar ke berbagai belahan dunia. Meski Cina merupakan negara penghasil utama Gandum—bahan utama pembuatan mi instan selain tepung terigu—akan tetapi Jepang-lah negara pertama yang menemukan bahan pangan yang kini dikenal dengan mi instan atau mi dalam bentuk kemasan. Dari negara Jepang pula istilah ramen—atau dalam bahasa Inggris, instant noodle-- pertama kali diperkenalkan dan diproduksi besar-besaran.
Menjelang berakhirnya abad ke-20, lembaga riset Fuji mengungkapkan hasil survai tentang “ekspor teknologi dan budaya”. Jepang mengumumkan bahwa orang-orang Jepang percaya dengan temuan terbaik mereka pada abad ke-20 adalah mi instan. Jepang merasa sukses karena kemampuan mereka melihat peluang pasar dan masa depan makanan dunia.
Entah kebetulan atau tidak, munculnya produk mi instan lantaran seringnya negara Jepang mengalami bencana alam, seperti gempa dan tsunami. Makanan yang siap saji untuk kebutuhan bencana alam tak lain adalah makanan yang efisien, cepat, mudah didapat, serta murah harganya. Sejarah membuktikan bahwa mi instan dapat segera tampil di tempat-tempat yang sedang ditimpa bencana alam. Maka tak heran bila peristiwa tsunami yang menimpa negara-negara Asia pada akhir tahun 2004 lalu, mi instan menjadi komoditi utama yang paling banyak diberikan kepada korban tsunami.
Di Indonesia, seperti pernah diberitakan oleh SCTV dalam liputan petang (20/2/2005), volume penjualan mi instan di bawah perusahaan PT Indofood Makmur Tbk memecah rekor pertama dunia pada tahun 2005. Produk Indomie meraih penghargaan “The Largest Pack of Instant Noodles”. Sedangkan Supermie menyabet hadiah “The Biggest Serving Noodles”. Pemberian penghargaan itu mencakup kategori volume penjualan terbesar dan rasa paling banyak.
PT. Indofood juga mencetak rekor menyajikan mi merek Supermie terbanyak di Indonesia. Sedikitnya 30 ribu bungkus mi ukuran normal atau seberat 4,171 kilogram dimasak serentak oleh 350 juru masak. Lalu promosi masakan itu dihidangkan dalam mangkuk Supermie Superbowl berdiameter 2,6 meter dan tinggi 1,3 meter. Para juru masak membagikan mi goreng itu kepada masyarakat secara gratis.
Menurut Taufik Wiraatmadja, diraihnya sertifikat “The Largest Pack of Instant Noodles in the World” kian mengukuhkan Indomie sebagai market leader dunia. Bahkan menurutnya, saat ini PT. Indofood telah menjual produknya ke beberapa negara di seluruh dunia. Maka PT Indofood telah menjelma menjadi perusahaan raksasa mi instan yang nyaris tak tertandingi. Sukses itu diraih lewat cara dan langkah-langkah memperkuat apa yang mereka namakan sebagai brand equity.
Sebelumnya, pada tahun 2003, perusahaan Indofood meraih peningkatan volume penjualan sebesar 9,9 miliar bungkus. Pada tahun 2004, PT. Indofood Sukses Makmur juga berhasil membukukan penjualan bersih senilai Rp17,9 triliun. Namun laba bersih mengalami penurunan 37 persen menjadi Rp 378,1 miliar dari tahun sebelumnya sebesar Rp 603,5 miliar. Direktur Utama & CEO Indofood, Anthony Salim di Jakarta menyampaikan divisi mi instan, tepung terigu dan minyak goreng dan lemak nabati tetap merupakan kontributor utama terhadap penjualan bersih.
Ketiga divisi tersebut menyumbang 85 persen atau Rp 15,3 triliun atas penjualan bersih konsolidasi dengan kontribusi masing-masingnya sebesar 33 persen, 33 persen dan 19 persen. PT. Indofood pernah juga menyabet sejumlah predikat tentang produk makanan dunia, seperti “The Best in Achieving Total Customer Satisfaction”, “The Most Valuable Brand”, dan “Indonesia Best Brand Award”.
PT. Indofood—selain pembuat mi instan terbesar dan pembuatan mangkuk terbesar di dunia—juga berhasil meraih enam kategori makanan. Kategori itu adalah penghargaan mi instan paling inovatif, pencapaian volume penjualan tertinggi yakni 28,4 persen dari total industri. Volume penjualan terbesar yaitu 14,1 persen dari total industri, dengan pilihan paling bervariasi sebanyak 62 rasa.
Walau terjadi perasaingan ketat, namun produk-produk Indofood masih tetap menyihir konsumen dan mengalami peningkatan penjualan dari tahun ke tahun. Inilah sihir politik global yang sukses menjadikan mi instan sebagai menu utama masyarakat konsumerisme.

Tipudaya Global
Berbagai cara dilakukan oleh banyak perusahaan yang bergerak di bidang produksi mi instan. Untuk meraih sukses pemasaran, PT. Indofood—selain memasang iklan hampir diseluruh koran dan stasiun televisi swasta—juga memberikan jaminan khusus kepada para pedagang kecil yang menjul produk mereka. Pada tahun 2003, PT. Indofood memberikan jatah kepada 7.770 pedagang Indomie rebus dan mie tek-tek dari Jabotabek, Serang dan Karawang, untuk mudik Lebaran secara gratis. Ribuan pedagang mi tersebut diberangkat dari Parkir Barat Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, dengan 137 kendaraan bus Hiba Utama.

Ribuan pemudik dilepas oleh Menteri Perhubungan—wwaktu itu masih Agum Gumelar. Selain itu juga dihadiri oleh Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja, Muzni Tambusai, Wakil Kepala Dinas Tenaga Kerja Pemda DKI Rusdi Muchtar dan Direktur Utama PT. Indofood Sukses Makmur, Eva Rianti.
Sebelum diberangkatkan, PT. Indofood menyerahkan hadiah Ongkosh Naik Haji (ONH Plus) bagi dua orang pedagang mie, yaitu Oyo Sunaryo dari Jakarta dan Cicih dari Bogor. Menteri Agum Gumelar sendiri sempat memberikan games dadakan pada pedagang mie dan memberikan hadiah Rp 500 ribu. Mereka tidak dipungut biaya, bahkan PT. Indofood memberikan bingkisan bagi mereka.
Promosi dan bujuk rayu perusahaan mi instan semacam itu nampaknya telah menjadi trend baru bagi perusahaan-perusahaan mi instan. Budaya konsumerisme kian diteguhkan lewat sumbangan gratis dan tayangan iklan-iklan yang menggugah-menghanyutkan. Kebudayaan (atau budaya) mi instan telah menjelma sebagai himpunan nilai, perilaku, kesadaran, dan perwujudan material, masyarakat dewasa ini.
Keunggulan perusahaan-perusahaan mi instan dalam menciptakan citra di hadapan konsumen Indonesia telah membuat mi instan menjadi satu komoditi yang hampir mengalahkan konsumsi beras di Indonesia. Perangkat teknologi dan jaringan distribusi dari pedagang kaki lima sampai supermarket ditambah promosi besar-besaran, mengakibatkan perusahaan mi instan melampaui produk makanan yang diciptakan oleh Amerika Serikat.
Komoditi mi instan tak bisa dilepaskan dengan visi proyek negara-negara multilateral. Kekuatan daya magi di balik selera mi instan yang mereka kampanyekan sepintas memang menggoda. Gambar dan imaji yang mereka tampilkan dalam iklan-iklan di media massa sangat kuat dan menyentuh. Ungkapan-ungkapan yang dipilih telah meluncurkan energi dan menggelapkan mata kita. Pada gilirannya ikut menumbuhkembangkan mimpi-mimpi gombal. Namun apa yang terselubung di balik semua itu bermuara pada satu faktor tunggal, yakni budaya politik ekonomi yang meletakkan pasar sebagai panglima.
Akhirnya, budaya mi instan secara praktek sangat menentukan apa-apa yang bisa dianggap sebagai sistem politik, ekonomi, dan hukum. Tapi secara lebih jelas lagi, politik mi instan telah mengacaukan pengertian budaya lokal sebagai sistem atau seperangkat nilai. Di balik rasa mi instan tesebut menyeruak hasrat untuk menyembunyikan politik tipu daya global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar