Minggu, 01 Februari 2009

Obama, Wiesel, dan Palestina

Oleh Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang



Entah mengapa tiba-tiba saya teringat Obama. Presiden terpilih Amerika Serikat yang baru saja dilantik ini seketika masuk jadi bahan pikiran di kepala saya, padahal sebelumnya saya cuek saja. Agresi Israel di Gaza jauh lebih mempengaruhi pikiran saya ketimbang pesta pemilihan presiden AS dan kemenangan Obama.

Ketika orang ramai mengelukan calon Presiden Amerika Serikat dari warga kulit hitam yang cerdas, yang tak lain adalah si Barack yang selalu mengumbar senyum di podium itu, tak banyak yang menyita perhatian saya kecuali senyumnya yang menghiasi layar televisi. Senyum optimis dan penuh percaya diri bahwa dialah manusia yang dijanjikan untuk membebaskan AS dari krisis politik dan ekonomi.

Agresi Israel ke Palestina saya anggap sebagai perang mengerikan. Terlepas apakah betul bahwa agresi Israel itu merupakan bentuk kejahatan melawan hukum internasional atau tidak, saya merasakan betapa mengerikan perang yang berlangsung di abad ini. Seorang kawan di Jakarta, entah bercanda atau serius, pernah berujar kepada saya ketika menyaksikan banyaknya orang demonstrasi mengutuk Israel di Indonesia: "Mari kita demo dukung Israel saja“, katanya. Bukan hanya bangsa Israel yang doyan perang, tapi juga bangsa Palestina. Maka harus berimbang memahami Israel dan Palestina, bukan hanya karena Palestina mayoritas Muslim lalu harus dibela dan Israel dikutuk.

Sikap teman saya itu tentu hanya man-main dan memancing kami untuk berpikir dan mencari data. Saya pun tak berselara untuk menanggapi sikap semacam itu, kendati lontaran kata-katanya menyita perhatian saya dan mulai berdesakan dengan janji-janji Obama saat kampanye.

Saya memang sempat membaca sejumlah berita tentang janji kampanye Obama terhadap Palestina dan Arab pada umumnya. Sebuah harian nasional dengan optimis memberitakan sikap Obama yang dengan tegas berjanji akan menyelesaikan masalah Palestina. Obama akan mengubah kondisi Timur Tengah dan mendengarkan aspirasi negara-negara Muslim. Tetapi, entah mengapa janji-janji itu tak menyita perhatian dan menggoda pikiran saya. Keluar-masuk di telinga seperti halnya ketika saya mendengar janji-janji para Caleg.

Mungkin karena saya tak sepenuhnya kenal siapa Obama yang kini memimpin Amerika, maka ada sikap pesimis yang muncul. Sikap saya terhadap Obama sama saja dengan sikap saya terhadap presiden Amerika sebelumnya. Tak pernah terbayang oleh saya bahwa ada seorang presiden Amerika akan menjadi musuh Israel karena kebijakannya. Yang terbayang justru kemesraan Israel-Amerika. Obama tergantung pada Israel, sebagaimana Israel tergantung pada kebijakan presiden Amerika. Dari soal logistik sampai persenjataan, Israel tergantunbg pada Amerika. Dari segi teknologi dan siasat serta kecerdikan, Amerika tergantung Israel. Bukan rahasia lagi jika Amerika adalah sekutu utama Israel. Peran presiden Amerika begitu strategis dan segala ucapannya tentang Israel dan Palestina akan disimak dunia.

Saya malah khawatir ucapan Amien Rais akan terbukti: Presiden AS terpilih Barack Obama akan lebih ganas dalam menghancurkan Palestina dan membela mati-matian terhadap Israel. Tak berlebihan, mengingat indikasinya bisa dilihat ketika digelarnya Komite Kerjasama Israel-AS, di mana Obama secara terang-terangan menyatakan Israel sebagai negara yang tak bisa disentuh oleh kekuatan manapun serta menuding Hamas merupakan teroris. "Maka jangan kaget sampai saat ini Israel masih membabi-buta menyerang Palestina dan Hamas karena di belakanganya yakin didukung AS“, komentar Amien.

Tak perlulah saya berpanjang-panjang siapa Obama yang jadi idola dunia beberapa bulan lalu. Lupakan janji-janjinya saat kampanye. Mungkin tak cuma saya yang kecewa atas sikapnya terhadap Zionis-Israel dan cara pandangnya terhadap Palestina. Kita nyaris lupa bagaimana sejarah kelahiran gerakan zionis sebagai gerakan kembali ke
Tanah yang Dijanjikan dan kemudian mendirikan Negara Israel . Zionisme
telah berkembang menjadi kekuatan dunia sejak akhir abad ke-19.Berjuta-juta orang yang selama ini mengelu-elukannya terkejut dan kecewa ketika mendengar apa kata-katanya tentang Palestina.

Setelah sekian lama media massa seluruh dunia menanti apa sikap Obama—yang merupakan representasi sikap negara Amerika Serikat tentunya—tentang serangan Israel terhadap Hamas Palestina di jalur Gaza , sejak beberapa hari ini jutaan mata manusa di seluruh dunia terbelalak ketika akhirnya si Obama menyampaikan pidato yang condong berpihak kepada Israel .

Saya sendiri sempat terfana menyaksikan Obama menyampaikan pidato dengan bahasa yang lugas, tegas, dengan pembawaan yang tenang. Obama mengutuk Hamas yang beberapa waktu lalu meluncurkan roket ke wilayah Israel. Sampai kapan pun, kata Obama, Amerika akan membela Israel dari ancaman dan serangan, termasuk dari Hamas-Palestina. Sejak kampanye memperebutkan calon presiden Amerika yang berlangsung lebih dari enam bulan lalu, sikap Obama terhadap Zionis sudah jelas.

Kemenangan Obama sebagai Presiden Amerika tidak terlepas dari sikapnya yang tegas memihak Israel. Kendati sebagian warga Arab menaruh harapan pada Obama untuk menjadikan dunia yang adil dan damai, dan dukungan yang diberikan sejumlah orang Arab-Amerika terhadap dirinya, namun dalam soal Palestina Obama tampak belum jauh berbeda dengan para pendahulunya. Kedekatan dirinya terhadap Jeremiah selama ini telah jadi isu yang hangat di sejumlah media massa.

Semula saya berharap Obama akan bersikap mengutuk perang yang berlangsung antara Hamas-Palestina dengan Zionis-Israel. Namun pidatonya jelas-jelas lebih memihak keberadaan Israel dan menempatkan Palestina sebagai terdakwa di muka pengadilan dunia dan Obama sebagai hakim yang menentukan siapa yang berhak disalahkan dan siapa yang pantas dikutuk.

Sikap Obama mewakili sikap sebagian besar orang Amerika. Sejak dulu kita tahu betapa sulit bagi para pemimpin Amerika berlaku sama terhadap Israel dan Palestina. Jika terhadap Yahudi Amerika berani mengutuk Nazi, tidak demikian terhadap Israel. Goenawan dengan stilis mengkritik keras sikap orang Eropa terhadap Palestina. ”Di Amerika dan Eropa”, kata Goenawan dalam catatan pinggir bertajuk Sisiphus, ”tampaknya ada kesulitan besar untuk melihat yang universal dalam kerinduan itu. Orang menyaksikan bagaimana museum Holocaust didirikan di mana-mana di kedua bagian dunia ”Barat” itu, sebagai tanda solidaritas kepada orang-orang Yahudi yang dibunuh dan diusir di Eropa pada zaman Hitler. Sementara orang bisa mencatat begitu sedikit simpati kepada orang Palestina yang ditundung dari tanahnya selama 60 tahun”.

Sikap Obama terhadap Palestina mengingatkan saya pada salah satu tokoh novel Elie Wiesel. Syahdan, ketika perang usai, Elhanan pergi dan menetap di kamp penampungan dan bertemu Talia Oren, seorang aktivis zionisme. Bersama Talia, Elhanan menjadi aktivis yang rajin menghadiri diskusi yang diadakan oleh para aktivis zionisme. Mereka membahas perlunya didirikan negara Israel yang akan menyatukan orang Yahudi di Tanah yang Dijanjikan. Lalu dari sini muncul keinginan untuk kembali ke Palestina, kendati harus menempuh perjalanan yang panjang dan sulit.

Di Palestina Elhanan dan Talia menjadi suami-istri dan akhirnya bergabung dengan pejuang Lehi untuk melawan negara-negara Arab yang menentang berdirinya negara Israel. “Cobalah untuk memahami penderitaan warga Israel, termasuk hak Israel untuk mengklaim tanah leluhur mereka,” tulis Wiesel. Tak urung, sikap Elie Wiesel ini mendapat kecaman oleh para kritikus. Edward W Said, Noam Chomsky hingga Muchtar Lubis, menganggap Elie Wiesel bersikap tidak adil dalam menempatkan Palestina.

Kini suara Elie Wiesel itu lamat-lamat kita dengar dalam pidato Obama yang menempatkan warga Israel sebagai "suara Lain“ yang harus didengarkan. Dunia harus tahu, tak cuma Palestina berhak atas tanah air dan kemerdekaan, melainkan juga Israel. Bukan hanya Palestina yang menderita akibat serangan Israel dalam setengah abad terakhir, tapi ribuan warga Israel telah menanggung korban dan kerugian yang besar akibat agresi Hamas-Palestina. Dengarkan jeritan rakyat Israel, bukan hanya histeria warga Palestina saja yang berhak didengar.
Betapa sulit memang berlaku sama rasa sama ratas terhadap Israel dan Palestina. Ada yang mencemaskan terhadap tragedi Palestina, tulis Goenawan, karena pengalaman sehari-hari itu acap kali tenggelam. Apa yang memberi harapan ialah bahwa yang tenggelam tak pernah hilang total. Ia akan selalu kembali. Menjadi semacam Sisiphus.

1 komentar:

  1. assalamualaikum....
    artikel mas bener2 menarik banget dimata saya. dari tulisan yang mas buat di blog mas ini saya kemudian menangkap bahwa memang kita harus 'sedikit' jika tidak boleh dibilang harus adil dalam menempatkan diri kita dalam mensikapi soal masalah palestina dan israel ini.
    dalam artian, dalam tulisan ini saya melihat bahwa mas mengatakan bahwa kita pun harus memberi perhatian pada rakyat israel yang anti perang. itu betul, mas1 karena saya pernah membaca bahwa ternyata tak semua warga israel adalah zionis yang cinta perang. makasi


    salam ukhwah
    http://paimokeren.blogspot.com

    BalasHapus