Selasa, 03 Februari 2009

Berlin dan harga sebuah Kebebasan

Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang


Kebebasan merupakan persoalan yang, paling tidak, sama tuanya dengan usia manusia itu sendiri. Sejak Nabi Adam turun ke Bumi lalu diikuti para nabi berikutnya, persoalan kebebasan kerap kali muncul dalam wujudnya yang berbeda. Sejak filosof Stoa hingga filosof pascamodernisme, masalah kebebasan telah menyita waktu para filosof profesional untuk merumuskan secara jelas apa makna di balik kata ini.
Pada abad pertengahan, meski telah mencapai analisis yang lebih baik tentang sebagian besar konsep yang tercakup di dalamnya, pada dasarnya tidak membawa lebih dekat pada suatu pemecahan akhir; bahwa sementara sebagian pihak telah dipusingkan oleh persoalan ini. Sebagian yang lain menganggap persoalan yang jalin-menjalin tersebut sekadar suatu kekacauan yang akan diselesaikan oleh suatu pemecahan filosofis yang tunggal dan kokoh.
Pada perkembangan selanjutnya, persoalan kebebasan telah merambah ke wilayah politik dan ekonomi. Pada masa ini kebebasan telah diartikan sebagai determinisme diri (self- determinism), yakni pandangan yang menyatakan bahwa watak dan "struktur" kepribadian manusia, serta emosi, sikap, pilihan, keputusan, dan tindakan- tindakan yang bersumber darinya, benar-benar memainkan peran sepenuhnya dalam apa yang terjadi. Namun, pada dirinya sendiri merupakan dampak dari berbagai sebab, psikis maupun fisik, sosial maupun individual, dan seterusnya, dalam suatu rangkaian yang tak terputuskan.
Menurut penganut paham tersebut, "saya bebas jika saya dapat melakukan apa yang saya inginkan dan memungkinkan memilih salah satu di antara dua jenis tindakan yang akan saya ambil". Atau, semua perilaku manusia adalah bebas ditentukan, tergantung dari sudut pandang mana seseorang memandangnya. Sebab, manusia dewasa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Pilihan-pilihan saya secara kausal telah ditentukan; karena jika tidak demikian, ia akan menjadi suatu kejadian yang acak dan alternatif-alternatif pilihan tersebut akan kehilangan kemungkinan-kemungkinannya, sama halnya dengan mengatakan sesuatu yang tidak bermakna. Pandangan klasik ini bagi sebagian besar filosof tampak menyelesaikan persoalan kehendak bebas. Liberalisme determinisme diri semacam ini oleh William James-bapak psikologi modern abad ke-20-disebut sebagai "determinisme lembek" atau "rawa persembunyian".
BERBAGAI perdebatan panjang soal paham liberalisme di atas dapat ditelusuri dalam karya Isaiah Berlin berjudul Empat Esai Kebebasan (penerbit LP3ES kerja sama dengan Freedom Institute, Jakarta, September 2004).
Isaiah Berlin adalah sejarawan dan filosof Inggris pasca-Hegel dan Marx, lahir di Riga, Latvia, 6 Juni 1909, keturunan Rusia. Buku ini merupakan karyanya yang paling banyak menuai kritik dan melahirkan perdebatan sengit di Inggris dan Eropa sejak diterbitkan pertama kali tahun 1969. Dalam buku ini ia membentangkan begitu banyak perdebatan soal paham kebebasan, mulai dari pandangan sejarawan, filosof, sastrawan, teolog, dan para pengamat politik serta ahli ekonomi.
Empat esai tentang kebebasan dalam buku ini mengulas secara komprehensif empat persoalan besar: Pemikiran Politik Abad ke-20, Keniscayaan Sejarah, Dua Konsep Kebebasan, dan John Stuart Mill dan tujuan-tujuan hidupnya (buku John Stuart Mill, On Liberty, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia).
Bagi Berlin, pengertian dasar dari kebebasan adalah kebebasan dari segala belenggu, dari pemenjaraan, dari perbudakan oleh orang lain. Sementara, pengertian yang lain, yang lebih luas, merupakan perluasan dari pengertian ini. Bagi Berlin, berusaha menjadi bebas berarti berusaha menghilangkan berbagai rintangan; berusaha memperoleh kebebasan personal berarti berusaha mencegah campur tangan, pengisapan, penindasan oleh orang- orang yang melakukannya. Kebebasan, setidaknya dari pengertian politiknya, bersesuaian dengan tidak adanya gangguan atau dominasi dan hegemoni. Akan tetapi, kebebasan semacam itu bukan satu-satunya nilai yang menentukan sebuah laku, atau perilaku. Persoalan jauh lebih kompleks dari hanya dengan satu jawaban semacam itu (hal 64).
Pertanyaannya, nilai macam apa yang terdapat di dalam kebebasan menurut Isaiah Berlin? Apakah nilai kebebasan yang dikemukannya merupakan suatu jawaban terhadap kebutuhan dasar manusia untuk bebas, atau sesuatu yang diandai-andaikan oleh tuntutan yang lain? Selain pertanyaan itu, apakah empat esai kebebasannya merupakan pertanyaan sekaligus jawaban yang murni antropologis dan historis yang membutuhkan jawaban empiris pula atau pertanyaan filosofis, psikologis, dan politis?
Peran apa, kalaupun ada, yang dimainkan oleh bukti- bukti historis, antropologis, serta sosiologis dalam menetapkan premis kebenaran atau kesahihan dalam persoalan-persoalan seperti itu? Atau apakah seperti yang ditujukan lewat suatu analisis filosofis yang meyakinkan kita bahwa pengabaian kebebasan tidaklah bersesuaian dengan menjadi manusia, atau, paling tidak, sepenuhnya manusia-terlepas dari apakah yang kita maksudkan dengan manusia-di mana pun dan kapan pun.
Bagi Berlin, paham kebebasan determinisme dan universalisme yang dipeluk teguh para sejarawan, sastrawan, politikus, dan para pemikir abad ke-20 tak lebih dari usaha memamah biak warisan Pencerahan Eropa yang gagasannya tidak meyakinkan bagi teori-praktik kebebasan. Para sejarawan yang hanya mampu berpikir obyektif, tidak bias, tidak memihak, yang sepintas merupakan kebajikan-kebajikan luhur yang hendak meneguhkan klaim kebenaran dan keyakinan.
Tentu saja, terdapat nilai-nilai moral-sosial yang obyektif, abadi dan universal, yang tak tersentuh oleh perubahan sejarah dan dapat diketahui oleh pikiran setiap manusia rasional. Namun, klaim semacam itu perlu dipertanyakan (hal 31). Hal ini disebabkan kehendak bebas membutuhkan pemecahan konseptual baru yang sejauh ini belum berhasil dilakukan siapa pun. Sementara terminologi tradisional, seperti dari filosof TH Green, Hegel, dan Marx, perlu dilakukan penjarakan, gagasan-gagasan kebebasan mereka sudah terlalu usang untuk kurun ini dan yang akan datang (hal 71-73).
BERLIN berkali-kali melontarkan pandangannya tentang kebebasan yang diiilhami oleh gagasan politik liberal. Berlin adalah aseorang liberal yang berseberangan dengan pandangan komunisme maupun marxisme. Dengan menekankan empat tesis kebebasan, Berlin seakan menawarkan jalan keluar bagi pandangan baru yang menghargai kebebasan individual. Siapa pun yang menghargai kebebasan demi kebebasan itu sendiri, percaya bahwa ia akan bebas untuk memilih, dan tidak untuk ditentukan pilihannya. Hal ini merupakan unsur yang tidak bisa disingkirkan dalam apa yang menjadikan manusia saat ini sebagai manusia.
Bagi Berlin, seseorang adalah tuan bagi dirinya sendiri. Bila aku adalah pemilik akal budi dan kehendak, maka aku mempunyai berbagai tujuan dan berkeinginan untuk mewujudkan tujuan itu. Namun, jika aku dihalang-halangi untuk mencapai kehendakku itu, berarti aku tidak lagi merasa sebagai tuan atas diriku dan kehidupanku. Aku mungkin dihalang-halangi oleh hukum- hukum alam, atau oleh hal-hal yang tak terduga, atau oleh tindakan-tindakan manusia, atau oleh pengaruh, yang sering tak terencanakan, dari kebisaan- kebisaan manusia. Apa yang aku lakukan agar tidak tertindas oleh kekuatan-kekuatan itu? Berlin menawarkan jawaban: aku harus membebaskan diriku, hasrat yang aku tahu tak dapat aku wujudkan. Aku ingin menjadi tuan atas kerajaanku sendiri.
Paham kebebasan Isaiah Berlin adalah pertanyaan yang tak berkesudahan di kalangan kaum liberal sampai hari ini. Apakah paham liberal yang pernah dikutuk Bung Karno dulu kini menjadi alternatif? Sebagian orang akan menjawab ya, namun sebagian lain akan menjawab tidak untuk setiap liberalisme.
Berlin mengajukan suatu syarat tentang hak personalitas tanpa harus pusing-pusing dengan pertanggungjawaban moral-religius. Baginya, seorang manusia tidak diwajibkan kepada siapa pun atas tindakan-tindakannya sejauh hal ini bersesuaian dengan keberadaan masyarakat yang terorganisasi. "Aku menghilangkan semua rintangan yang ada di jalan hidup aku dengan meninggalkan jalan tersebut; aku menarik diri ke dalam sekte aku sendiri, ke dalam rencana ekonomi aku sendiri, ke dalam wilayah kehidupan aku yang terpencil, di mana tidak ada lagi suara-suara dari luar yang perlu didengarkan.
Tindakan semacam itu merupakan suatu bentuk pencarian rasa aman; namun tindakan itu juga pantas disebut pencarian kebebasan atau kemerdekaan pribadi atau nasional, yang individual sekaligus yang banyak. Aku bebas sejauh aku otonom, aku mematuhi hukum, tetapi hukum itu aku temukan dalam diri aku sendiri yang tak terkekang".
Tidak berlebihan bila Berlin kelak dijuluki sebagai juru bicara paling fasih tentang liberalisme abad ke-20 sekaligus pengkritik paling lantang terhadap paham liberalisme Abad Pencerahan; liberalisme yang determinisme atau keyakinan atas universalisme. Berlin memang secara tajam melucuti universalisme Pencerahan dengan tidak membuatnya menolak kebebasan personal. Gagasan liberalisme Berlin bagi Ahmad Sahal adalah, "kebebasan individu tanpa harus mengaitkannya dengan universalisme, menjadi liberal dengan tetap menerima pluralisme, dan tanpa harus terjatuh dalam sikap landak ala Pencerahan". Dengan ungkapan lain, liberalisme ala Berlin adalah liberalisme yang ironi yang tidak berurusan dengan kebenaran absolutisme, seraya tetap berpegang teguh pada komitmen sosial yang membebaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar