Sabtu, 31 Januari 2009

Adonis

Oleh Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di tanjungkarang


Dari mana asalmu
dari negeri tak bernama?
Tanah airku belum selesai
jiwaku melanglang jauh
meski nasibku dirundung sangsai
bongkar aku tetap sauh..
kutenun langit baru
dengan sutra puisi-puisiku
--ADONIS, Elegi Zaman Kini



Nama Adonis telah menjadi aikon gerakan puisi Arab-muslim dalam lima dekade terakhir. Bahkan nama Adonis jauh lebih dikenal ketimbang nama aslinya: Ali Ahmad Said Asbar. Penyair yang lahir di Syiria 1930 ini, menjadi orang buangan di tanah kelahirannya sendiri karena pemikirannya dianggap dianggap menyimpang dari Islam. Lalu ia hijrah ke Libanon dan menjadi penyair sekaligus kritikus terkemuka. Namun ketika perang saudara berkecamauk di negeri kelahiran pujangga Kahlil Gibran ini, maka sejak 1985 ia pun bermukim di Prancis dan menjadi warga negara di sana sampai hari ini.

Adonis sangat dekat dengan petualangan, dan hijrah adalah bagan dari separuh hidupnya. Bahkan dalam salah satu puisinya, Inilah Namaku, hijrah telah menjadi darah-dagingnya: ”aku bukan dominasi, darahku adalah hijrah”, tulsinya. Puisi-puisinya banyak mengangkat persoalan tanah air berikut tragedi sejarahnya yang dilukiskannya sebagai elegi zaman kini: ”wajah sejarah kita jauh siang malam diseret tragedi/sejarah kita ingatan di mana lubang ketakutan selalu bertambah dalam”.

Sepanjang sebagai penyair, Adonis telah menulis puluhan buku puisi yang diterbitkan dalam bahasa Arab, Inggris, Jerman, sebagian juga Prancis, dengan gaya seorang pemberontak kemapanan. Beberapa penghargaan internasional telah diraihnya, antara lain Syiria-Lebanon Award dari International Poetry Forumdi Pittsburg (1971), Jean Malrieu Etranger (1991), Prix de La Mediterranee dan Naziim Hikmat Award (1994), dan Goethe Medal of The Goethe Gesellschaft (2001).

Tak heran bila dalam sepuluh tahun terakhir namanya disebut sebagai kandidat penerima Nobel Sastra. Sebagian besar puisinya menyuarakan harga diri manusia dan kemanusian yang penting di zaman ini. Karena kritiknya yang mengganggu keyakinan para penguasa yang kerap kali mengatasnamakan demi ketentraman umat Islam, tak heran bila kemudian ia terusir dari negerinya sendiri, dan menjadi orang buangan. Eksil adalah rumahnya, perjanan adalah kafilahnya, kesunyian adalah puisinya. ”Dari mana asalmu, dari negeri tak bernama? Tanah airku belum selesai, jiwaku melanglang jauh, meski nasibku dirundung sangsai, bongkar aku tetap sauh..kutenun langit baru dengan sutra puisi-puisiku”, tulisnya dalam puisi Elegi Zaman Kini.

Kritiknya atas tanah kelahiran begitu menghunjam-dalam hingga tercupan perpisahan yang lantang: ”selamat tinggal, o zaman lalat di negeriku” (sajak Elegi Zaman Kini). Sementara dalam sajak Elegi Abad Pertama kita temukan gugat atas negeri yang terasa membelenggunya, dengan bahasa pengucapan yang ganas: ”inilah bangsa yang hamparkan wajahnya untuk dicakar kuku-kuku binatang, inilah negeri yang lebih pengecut dari sehelai bulu dan lebih rendah dari bantalan”. Di tempat lain, berbagai negeri telah menjadi rumahnya, dan konflik tentang tanah airnya kita rasakan begitu menghunjam dalam puisi-puisinya yang ”berwarna laut tengah”.

Salah satu larik sajak Elegi Zaman Kini melukiskan berbagai negeri perjalanan dengan kisah-kisah yang tak jarang ditakik dari kisah-kisah Quran dan di transformasikan menjadi puisi Kitab Suci yang hidup: ”ringkik kuda-kuda ini untuk sayhun, lesat tombak-tombak ini untuk khurasan. rumah kita emas di atas permukaan batu himalaya, dan samarkand sebuah panji. telah kita usap tubuh bumi dengan bulu mata, telah kita ikat kembang-kembang yang terbang dengan buluh nadi, telah pula kita basuh siang hari..inilah jalan-jalan kita—kita nikahi halilintar, kita penuhi bumi dengan dengan teriakan benda-benda baru”.

Dikalangan intelektual Arab-muslim, Adonis dianggap terlampau radikal. Namun di mata Ali Harb—pemikir Islam kontemporer Libanon—terang-terangan mengikuti Adonis dan mengaku sebagai gurunya. Adonis memang sosok yang resah sekaligus pemberontak berbahaya yang kerap kali membuat orang lain gelisah. Disertasinya yang mengangkat pemikiran yang mapan dan yang berubah dalam masyarakat Arab-Islam menuai kontroversi lantaran terlampau berani membongkar teks-teks yang terlanjur dianggap mapan oleh kaum muslim.

Tesis yang selalu dipersoalkan Adonis dalam karyanya seputar kritiknya atas kemapanan teks, atau terhadap teks yang menurutnya masih sering ditempatkan sebagai era kenabian dan kebudayaan wahyu yang jauh. Kata-kata seperti penanggalan yang lama, pelucutan otoritas teks, pembaruan tafsir, perubahan-perubahan cara memandang Quran, begitu menakutkan bagi mayoritas orang Arab-muslim maupun bagi orang Islam di Indonesia. Pembacaan yang dominan terhadap Kitab Suci telah mengubah teks ini menjadi medan ideologis yang menuntut upaya mendapatkan legitimasi. Pembacaan idelogis-politis semacam itu, pada gilirannya mengubah teks melulu jadi sarana untuk menggunduli dan mendominasi kepelbagaian.

Berbagai proyek mercusuar pemikiran dan kreativitas yang menyimpang dari kebiasaan mayoritas Arab-muslm menjadi tempat menyemai perangai buruk sangka dan kesumat purba. Bagi Adonis, penyair zaman kini bolehlah diibaratkan sebuah foto dan karyanya adalah lisnya, dan para pembaca ibarat kolektor yang menyimpannya atau bahkan membuangnya. Pertanggungjawaban seorang penyair bukan pada foto atau kreativitasnya, melainkan yang di luarnya, pada bingkainya: entah bernama politik, ekonomi, maupun sosial.

Sebagai cermin pewacanaan antara pemikiran keislaman dan kreativitas di Indonesia, yang tampak mulai kehilangan harkat transformatifnya oleh polemik fundamentalisme-liberalisme di satu sisi, dan saling-sikut antara kemapanan dan perubahan di sisi lain, saya menyuguhkan bingkai pembacaan terhadap sejarah pemikiran kebudayaan kontemporer melalui penulusuran dua proyek pemikiran dan kreativitas Arab-Islam yang masih terus berlangsung hingga kini.

Tujuannya bukan sekadar mencari inspirasi saja lagi, terlebih bukan soal merancang kegenitan dalam negeri sendiri lagi, tapi ajakan menuliskan pigura pengalaman di bidang kreasi pemikiran dan puisi yang beda dari model teologi pembaruan yang selama ini kita rayakan sebagai poros Islam Melayu itu.

Pemikiran dan Kreativitas

Puisi dan pemikiran begitu lekat dalam diri Adonis. Keduanya punya tantangan masing-masing, dan tak jarang dari dua soal inilah namanya sering disebut-sebut di berbagai jurnal terkemuka di dunia. Saya ingin menekankan dua persoalan ini ini di sini dengan melihat lebih dekat pemikiran Adonis sebagai apa yang disebut oleh penerbit LKiS Yogyakarta sebagai ”arkeologi sejarah pemikiran” Arab-muslim kontemporer.

Adonis dikenal sebagai penyair Arab-muslim mutakhir. Puisi-puisinya tak jarang membingungkan. Mungkin karena itu, ada sebagian orang yang menuduh puisi sebagai kemewahan terselubung, seperti sering disinggung banyak orang beberapa tahun lalu. Puisi mirip seperti lirik sebuah lagu Simalakama :"...Aku bingung memikirkan/Aku bingung/Harus bagaimana/Aku bingung/Pilih yang mana/Pilih yang mana".

Mungkin karena puisi lirik dekat dengan sesuatu yang "bingung" itulah, maka Adonis seperti sedang meyakinkan kita tentang pentingnya menjadi bingung. Sebab "dengan bingung, ia berikan kita fantasi, ia berikan kita pena, buku, dan pensil", tulisnya dalam sajak Bingung (Suar-suara).

Karea puisi dan penyair "bukan bintang, bukan wahyu Nabi", kata Adonis, maka ia justru terasa memerdekakan kita, menjadikan manusia ibarat Raja Mihyar yang hidup di kerajaan angin, tak terbatas, tak terikat, dan lepas. Seorang penyair bisa saja dibungkam dan terusir dari tanah yang dicntai, tapi puisinya akan terus hidup dan memberontak setiap waktu, karena "ia datang tak bersenjata seperti hutan, ia pergi seperti awan, tak balik pulang".

Metafora "tak bisa pulang"—walau tak terlalu cantik dan menarik—mengingatkan kita pada banyak penyair di negeri kita yang menjadi si Malin Kundang, seperti Sitor, Goenawan, dan Subagio Sastrowardoyo. Karena sajak lahir tak terencana dan berakhir tanpa rencana pula, maka puisi senantiasa bergerak dalam dunia perbatasan, lawa, ambang, dan karena itu seringkali bingung, bimbang, tidak pasti harus bagaimana. Itulah simalaka.

Puisi ibarat keadaan tanpa gema, atau "hanya di antara gema dan seru ia sembunyi, di balik beku aksara ia sembunyi (Adonis), "bunyi yang lain dari tepian kecil yan tak kunjung jelas" (Goenawan). Lantaran sifatnya itu, maka puisi, kata Goenawan, dapat membebaskan kita dari hidup yang jadi komoditas ; hidup yang diinstrumentalisasi.

Adonis tak cuma menghadirkan kegelisahan orang Arab-muslim, kendati sebagian besar sajaknya dalam buku terjemahan Ahmad Mulyadi, Perubahan-Perubahan Sang Pencinta (Grasindo, 2005) dan Nyanyian Mihyar dari Damaskus (Durakindo, 2008), berlatar Arab-muslim. Adonis bukan cuma sastrawan Arab modern paling dikagumi di antara yang lain, seperti kata Adam Shatz yang dikutip Damanhuri di harian ini, tapi juga yang paling dibenci dan dicaci-maki.

Bagaimana tidak, tatakala dihadapkan pada kebenaran puisi dan kebenaran wahyu Islam, dan jika kebenaran puisi bertentangan dengan kebenaran wahayu Islam, maka Adonis akan menjatuhkan pilihan pada kebenaran puisi. Adonis tak berkhotbah tentang kebenaran dalam puisi, tapi seperti halnya Milan Kundera—sastrawan yang juga terusir dari tempat kelahirnnya dan memilih kewarganegaraan Prancis—Adonis berusaha menemukan kebenaran lewat sastra. Dan puisi adalah tanah airnya.

Mengapa puisi? Tentu banyak alasan. Di antaranya karena puisi mampu menjaga dirinya untuk tak menjadi orang yang alim hanya secara taklid semata. Apa yang diungkapkan Adonis lewat puisi adalah lawan dari aqidah. Imajinasinya memberontak atas institusi yang bersemayam lewat agama dan negara.

Apa yang ditulisnya adalah sesuatu yang juga jadi perhatian sejumlah penyair di sini. Kecemasan, kegelisahan, pemberontakan, cinta dan seksualitas, manusia dan perbatasan, tanah air dan posisi penyair dalam soal sejarah, adalah sesuatu yang tak asing dalam puisi Indonesia sejak zaman Pujangga Baru.

Mungkin karena banyak menyuarakan apa yang oleh Gorenawan Mohamad disebut "liyan” atau “yang diliyankan” itu, maka pemikiran Adonis sering dilekatkan dengan gerakan pasca-modernis. Atau karena beberapa sajaknya mengandung gelaja skizofrenia linguistik, maka muncul kesan bahwa ia telah membawa semangat postmodernis.

Sah-sah saja memasukkan Adonis ke dalam kotak pemikiran pasca-modernis, namun penting juga mendengar suara Edward W. Said dalam Kebudayaan dan Kekuasaan—Rahmani Astuti dari buku Culture and Imperialism. Dalam buku kritik sastra pasca-kolonial itu, Said mengatakan: di dunia Arab-muslim, penyair dan cendekiawan seperti Adonis, Elias Khouri, Kamal Abu Deeb, Muhammad Arkoun, dan Jamal Ben Sheikh, masih sibuk dengan modernitas, dan masih jauh dari kehabisan tenaga, bahkan masih merupakan tantangan utama dalam suatu kebudayaan yang dikuasai oleh warisan dan kekolotan. berangkat dari sini, Adonis seorang modernis, bukan postmodernis. Adonis menunjukkan seorang penyair yang menekankan pentingnya perubahan khas imaji kaum modernis. Karena itu, Anton Sa’adah menjuluki Ali Ahmad Said sebagai Adonis, nama yang lengket hingga sekarang. Anton Sa’adah memberi gelar Adonis tesebut behubungan dengan tiga proyek persatuan Syiria, Irak, dan Libanon, yang menurutnya hanya Ali Ahmad Said yang mampu melakukan proyek besar dan ambisius itu. Sa’adah melihat potensi itu dalam tulisan-tulisan Ali Ahmad Said, karena itu ia pun melekatkan nama dewa Babilonia kepadanya: dewa Adonis.

Dalam hidupnya, Adonis tak henti-hentinya merancang ulang dengan teliti berbagai proyek mercusuar pemikiran dan keativitas Arab-muslim dengan empat jilid buku bertajuk Ats-tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ibda wa al-Itba ’inda al-Arab, yang telah diterjemahkan ke Indonesia oleh Khoiron Nahdiyyin menjadi Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam: Jilid I-IV (LKiS, 2007). Bagi Adonis, kebudayaan Arab sejak dahulu hinga kini tampak bergeming dalam alimbubu yang tak berpangkal kecuali berpusar pada subjek yang membayangkan komunitas dan dirinya sendiri sebagai romantisme banal; bukan pemikiran subjek yang merenungkan semesta raya secara kreatif dan eksploratif.

Dunia yang dipersepsi dalam kebudayaan Arab mengalami pergeseran dan mengikuti gerak naik ala Plato, tatkala hijrah menjadi strategi pemutusan masa lalu. Namun, hijrahnya orang Arab-Islam tak seperti yang pernah dilukiskan Ali Syariati tentang hijrahnya nabi Muhammad dan pengikutnya yang mengubah pandangan yang rigid dan jumud menjadi yang dinamis atau sebuah ”loncatan besar sejarah yang meniupkan ruh perubahan”. Keluarnya para penyair Arab dari jazirah dan birai kesukuan, tak sampai menjadi kreatif, tapi hanya melahirkan variasi tematik dalam karya sastra dan keagamaan. Kritik puisi yang lahir pun melulu menekankan pada ilustrasi karya, bukan pada imajinasi atau metaforanya.

Ketika para pelancong Arab kembali dari petualangan dan perjalanan kafilah, mereka juga tak mengolah panji-panji kebudayaan dengan “kebaruan” struktur dan stilistik puisi Arab, yang sesungguhnya bepotensi memberikan kontribusi bagi munculnya tafsir simbolik dan metaforik di kemudian hari, baik yang dilakukan oleh para ulama tafsir maupun penyair Arab. Namun, identitas kearaban justu tampil dalam gerak-kembali ke muasal yang sempat ditinggalkan, bukan gerak-pergi menuju loncatan keativitas yang bernas.

Pergeseran watak kebudayaan dan kesusastraan Arab semenjak 14 abad lalu, diparafrasekan dengan baik oleh Adonis dalam kitab yang semula disertasi ini. Lewat teropong mata pengamat yang terlibat, Adonis menyungsang dilema yang mengungkung penyair Arab-Islam dengan mengevaluasi kembali sejumlah pancangan kenangan yang tertancap bagai lembing dalam memori masa lalu orang Arab-muslim.

Dari sini Adonis mengenal watak-watak budaya dan kritik sastra Arab, yang hanya bergerak dalam cahaya murni yang bersifat total dan melulu bersandar pada teks kenabian. Dengan bekal pembacaan melekat dan karib, Adonis merekonstruksi kembali kebudayaan Arab sebagai proyek sejarah dalam proses mencari, yang akhirnya menyulut polemik hingga ia terusir dari negerinya sendiri: “Aku sesat di sini, sesat di sana” tulisnya dalam secaraik puisi yang diterjemahkan dengan apik oleh Goenawan Mohamad. Negeri “di sini” adalah negeri Arab, sementara negeri “di sana” adalah Prancis, negeri tempatnya menjadi eksil dalam rasa “cemas dan jadi alum/tak tahu bagaimana tinggal/tak tahu bagaimana pulang”, lanjutnya.

Menjadi orang usiran tidaklah membuatnya susut untuk terus memikirkan masa depan Arab, tempat lahir dan derita beberapa Nabi itu. Adonis memetakan empat persoalan yang menyita perhatian para kritikus Arab-muslim mutakhir; mulai dari tegangan hubungan antara yang lama dan yang baru, lalu tumbuhnya bahasa pengucapan puisi yang inovatif, kriteria pengucapan yang berhasil dan yang gagal, budaya estetik dan makna kritik. Lebih jauh Adonis menelusuri kriteria kritik sastra Arab-Islam ke dalam ushul al-khamsat: pembaruan dan peniruan, yang memengaruhi dan yang dipengauhi, puisi dan kewargaan, puisi dan pengetahuan budaya, pengalaman dan eksperimen.

Apa yang dilakukan Adonis sudah bisa diduga. Berlawanan dengan kecenderungan yang menekankan taklid demi mengejar mahabayangan keaslian Islam, terbentuk suatu pilihan sikap individu yang berhadapan secara diametral dengan mayoritas orang Arab-Islam sekaligus reaksi berani terhadap masa lampau. Apa yang disebut kemurnian, keaslian, kelengkapan, tak akan pernah tergapai di dunia kini hingga datangnya ajal. Tapi Adonis sendiri yang bilang dalam puisi Elegi Zaman Kini: ”kata-kata kita bukan warisan”, melainkan yang baru dan tanpa punya tradisi.

Adonis menekankan proses pencarian lewat kreativitas sebagai pemaknaan ulang geneologi dan arkeologi sejarah pemikiran Arab-Islam kontemporer. Tetapi, ia juga meneakan puisinya sebagai kebaruan, yang mengandung kejutan-kejutan dan memancing reaksi pembacanya. Tatkala berhadapan dengan bahasa padang sahara di sebutir pasir, Adonis tampaknya berusaha mendulang bahasa peradaban yang aneka makna. Mazhab lama bekali-kali dipertanyakan dengan merayakan mazhab metafora pemikat baru. Gaya puisi Arab yang lumrah diganti dengan hasil kreasi yang luwes. Formalisme yang beku didekonstruksi dengan menakik informali, dan seterusnya, hingga gairah estetik dan rasa haus puitik seakan menjadi oase di tengah gurun yang gersang.

Adonis membedakan—atau lebih tepat memisahkan—antara ekspresi dengan yang diekspresikan, antara penanda dan petanda, antara gerak realitas dan kebekuan ruang-waktu; di mana ketiganya berada dalam keterhubungan indeksional dan simbolik yang dinamis. Di sini Adonis nyaris melampaui para resi Arab-Islam yang pernah menaruh perhatian pada tafsir sastra modern sejak mendiang Amin al-Khuli.

Puisi kewargaan Arab-muslim diharapkan menjadi nujuman yang memberi ilham yang paling menantang naluri bawah sadar para pencinta budaya kreatif. Tetapi faktanya, puisi-puisi Arab kata Adonis, tak mengenal perubahan dan tak ada penyair yang bersusah payah dalam menabarkan budaya estetik. Tak ada kesulitan memparafrasekan hal-ikhwal dalam gerak turun realitas, memutar otak sampai menemu takwil, atau diskusi sampai larut malam seperti yang dilakukan para pujangga dan pemikir Persia.

Orang-orang Arab tinggal mengerahkan angan-angan yang sudah ada untuk bicara dalam waktu kini, melantunkan puisi ketika berada di bibir sumur dan tubir padang pasir, ketika menggiring unta, ketika sedang melakukan lawatan. Segala sesuatu tidak mengikat dirinya. Bebas mengeluarkan pandangan tanpa reflektif yang ranum. Namun risiko yang dirasakan sangat jelas: dari generasi ke generasi bebagai puisi Arab nyaris seragam dan berada dalam status quo, hingga kebaruan kreatif sebagai tinanda adanya kebudayaan menjadi tak terpikirkan dan kemapanan mesti terus dipertahankan.

Orang Arab terkenal sebagai penghafal, karena itu semua puisi nyaris sama dari zaman kakek hingga cucu dan cicit. Mereka menghafal apa saja yang terkesan dalam hati, mengendap dalam jiwa, melekat dalam dada, dan menggantungkan pada otak kanan dari tiap-tiap generasi. Seperti museum tua yang tetap langgeng walau kematian generasi silih berganti. Sementara orang Persia menurut Adonis, justru sebaliknya; mereka rata-rata ahli retorika. Setiap sepatah kata yang diucapkan bagaikan tirai menyibak mata air padang lamunan di pantai kesadaran, penuh nuansa rekayasa, mengenal sangat dekat bidang liputan, menyendiri dan merenung, pertukar-pikiran dan berdiskusi sampai lawa malam, mempelajari puspa kitab seni dan pemikiran, di mana generasi kedua meniru generasi pertama, generasi ketiga menambah ilmu generasi kedua, dan seterusnya, hingga terbentuklah buah dari gairah yang tak lelah-lelahnya membangun kesadaran kreatif dan nyala oncor pemikiran sampai generasi kini.

Kisah Seribu Satu Malam di mata Adonis adalah: sebentuk indeksikal yang mempertemukan Arab dan Persia di poros kekuatan Syi’ah Irak dan Syi’ah Iran. Melalui untaian kisah yang tak putus-putusnya, sambung-menyambung dan membentuk gugusan piramida kata-kata emas, kisah ini terus mengalami perubahan kendati sudah dibukukan. Eksperimentasi adalah kata kunci untuk melahirkan para penyair dinamit bukan dedemit.

Tapi sayang, keanekaan budaya Arab-muslim yang melimpah-ruah dalam lintasan sejarah itu, dan yang begitu beharga bagi tiap-tiap generasi, kini berada pada ambang hilang ketika para penyair dan cendekiawan Arab-muslim justru lebih mengedepankan angan-angan analogistis dengan puisi lamunan yang kosong. Saya kia Adonis bukan seorang yang percaya pada analogi sahidiah Aristotelian dan gerak naik ala Plato serta cinta platonik, karena semua itu justru telah bermetamorfosis dengan budaya Arab baduwi dengan klaim-klaim yang rapuh.

Kreativitas Abu Nuwas, Abu Tamam dan Jabir bin Hayyan di mata pemikir Arab-Islam, bagi Adonis, tidak lebih mengugah dari seloyang martabak Mesir. Senyawa kimiawi implosif dan eksplosif dan harkat kata-kata kian jauh terperosok di antara ribuan buku fiqh dan syariat, sementara puisi nyaris beku.


Imaji Seks Adonis

Dalam sepuluh tahun terakhir Adonis dipromosikan untuk mendapat giliran hadiah Nobel sastra, tentu karena puisi-puisinya telah banyak dibukukan. Tidak kurang dari satu lusin buku puisi yang pernah terbit dari tangannya. Kini Adonis masih terus menulis puisi dengan tema yang beragam: mulai dari pesoalan kemanusian, tempat dan tanah air bagi penyair, hingga cinta dan seksualitas.

Puisi-puisi Adonis yang mengekspresikan soal seks, ternyata masih mengandung semangat transendensi. Dalam puisi yang bicara seks, Adonis justru menemukan keintiman tentang tema sufistis. Mungkin in kedengaran janggal bagi sebagian orang, namun begitulah kesan yang saya tangkap dalam buku kumpulan puisinya yang telah diterjemahkan: Perubahan-Perubahan Sang Pencinta (Grasindo, 2005).

Di sini Adonis menampilkan satu puisi panjang bertajuk Inilah Namaku, yang mengekspresi seksualitas dengan penuh rasa hayatan, mempesona, dan sempat membuat saya takjub, takzim oleh metafor-metafor yang cerdas. Adonis telah melangkah jauh dari kecenderungan puisi yang deskriptif dengan mengekspresikan imaji sebagai pilihan pengungkapan sekaligus renungan. Simak untaian larik-larik puisinya berikut ini:

Inilah Namaku

kumasuki pinggulmu
bumi berputar-putar di sekelilingku
anggota-anggota tubuhmu berdesau desir
seperti desau alir nil
kita terapung-apung
kita salam bersalam
kauterpotong-potong di dalam darahku

Seksualitas dalam fragmen puisi di atas tidak dilukiskan sebagai semata hubungan badan antara dua kelamin, melainkan dimetaforakan sebagai seks yang mengandung kekuatan transendensi, alunan musik yang mistis, sebuah rasa hayatan yang melampaui kecenderungan seks yang ilustratif. Agaknya, dalam puisi itu sang penyair mencoba untuk ”lebur” dalam imajinasi atau metafora tentang seks yang indah itu.

Memang sulit dibayangkan bentuk persetubuhan liar yang terkadang dramatik, seperti sejenak kita lihat dalam larik di atas, kecuali memang sang penyairnya sendiri bukan sekedar penyair, tapi penyair yang memang pandai menghadirkan maji lewat metafora yang hidup. Seks yang dramatik memang terasa lebih menohok orang-orang yang selama ini masih memperlakukan seks melulu urusan pribadi yang harus disembunyikan. Seks diekspresikan Adonis dengan sebuah lirik yang subtil, terkadang menggoda dan pembaca seakan diajak merenung atau diam, seperti tampak dalam lanjutan sajak Inilah Namaku berikut ini:

ombak-ombakku memotong-motong dadamu
kita pun lebur
marilah kita mulai:
cinta telah lupakan belati malam
mestikah kuberteriak bahwa topan akan datang?
marilah kita mulai:
sebuah teriakan memanjat kota
manusia adalah cermin-cermin berjalan
ketika garam telah berenang ke seberang
kita pernah berjumpa, itukah kamu?
--cintaku sebuah luka

Bila pembaca sempat membaca sajak-sajak Adonis, betapa banyak buih yang digunakan untuk melukiskan perasaan terbang melayang mencari kepenuhan martabat kemanusiannya yang mulai cemas. Dalam sajak Elegi Abad Pertama, Adonis menulis: ”laut melambai ke arah kita, laut menangis karena kita, siapa berenang di sana? Katakan pada kami harapanmu, o buih; kematian coreng tepian kita, di mana kita berlabuh abu bintang-bintang terakhir...aku dan waktu tidak bertukar sapa, kubiarkan langkah-langkahku tumbuh, di atas tanah berwarna lupa”.

Dalam sajak Perubahan-perubahan Sang Pencinta, Adonis masih menempatkan tema seks sebagai bagian dari pencarian transendensi yang melampaui ruang dan waktu. Berbagai pilihan kata yang dekat dengan imaji seks muncul dalam baris-baris puisi panjang ini: ”wangi tubuhnya mencuri penciumanku, di sana ada sebuah ranjang menantiku/tumbuh seperti payuda, pantat, dada, pusar, alam kedua yang beranak pinak, bibirmu, nyala api memanjang dan menjilat bantal”, dan sebagainya. Dari sini kemudian kita segera bertemu larik-larik yang menghadirkan soal seks:

kauseberangkan perahu tubuhku menujumu
kausingkap bumi tersembunyi di peta kelamin kulaju
kukenakan tempat-tempat di mana kuberlalu jimat dan tanda
kuasapkan dengan racauanku, dengan api dan rajah
derai serasa diriku ombak
pantai serasa dirimu tepian
punggungmu setengah benua
di bawah kedua payudaramu terdapat empat arah mata anginku
.....................
kudengar pinggul mengerang
kudengar pangkal-pangkal paha mengucap salam
aku dikuasai ekstase
kumasuki sahara ketakuan sambil kuseru namamu

turun ke lapis-lapis paling bawah
ke hadirat dunia paling sempit


Membaca sajak-sajak Adonis membuat angan-angan saya terasa ambyar, lungkrah dalam rasa tak percaya, dan diam-diam ketakjuban yang tak terlukiskan ditujukan kepada penyair yang juga “pemikir” ini. Dalam sepuluh tahun terakhir, saya belum menemukan puisi bertema seksualitas yang sering bersanding dengan tema religiusitas tanpa rasa beban, kecuali saya rasakan dalam beberapa sajak Sutardji dan Goenawan. Ketiga penyair ini memang sama-sama pemberontak dan sama-sama intim menggunakan imaji-imaji seksualitas. Soal perkelaminan, Adonis pernah menyampaikan semacam frase puitik: ”kelamin menggoda erengan mereka, tapi hanya engkaulah yang tercinta”, katanya. Lalu ”kamu telah lebur dalam kelaminku, kelaminku tanpa batas tanpa bilah bidang, lantakkan dirimu, kutelah melantak” (sajak Inilah Namaku).

Asosiasi tentang seks dalam sajak-sajak Adonis mengingatkan pada sajak-sajak seks Goenawan Mohamad. Alunan komposisinya muncul bagai drama senggama yang memuncak ke dalam erangan kesepian yang histeris. Berbagai pilihan kata untuk menguatkan persetubuhan muncul susul-menyusul lalu lenyap oleh soal-soal lain, dan muncul kembali dengan kejutan-kejutan yang menawan semacam ini: ”Kaulumasi dua payudaramu dengan kata-kataku, dan aku tenggelam ke dalam dasar surga” dan ”pinggulmulah sauhku”, ”wahai tubuh/mengerutlah, mereganglah, menampaklah, dan sembunyilah”, tak urung akan mengingatkan kita pada bunyi puisi Hiroshima Cintaku karya Goenawan Mohamad ini: ”Ah, lakukan, lekukkan, lekaskan”.

Adonis banyak menampilkan frase puitik sebagai bentuk pencarian seks yang transendensi yang mempesona. Dalam situasi semacam ini, ia pun tak ingin melepaskan kata-kata yang telah punya dunianya. Beberapa larik sajaknya yang menampilkan bunyi dalam situasi sepi yang singkat, misalnya lewat kata-kata semacam ini: ”telah kita gali kata-kata terpendam/rasanya serasa perawan”, atau ”aku waktu/kita lebur jadi satu/berakarlah dalam labirinku”.

Dalam sajak Perubahan-perubahan Sang Pencinta, Adonis begitu intens menyuarakan erangan tubuh dengan imaji-imaji yang dekat sekali dengan seks. Larik-lariknya memunculkan erangan dan histeria, ekstase, dengan bahasa pengucapan yang lirio namun tanpa pelukisan. Misalnya larik-larik berikut ini:

kausiapkan ranjangmu
kauhamparkan bumi
kita tanam pon-pohon tubuh
kita tutupi diri kita dengan suara kita
ingá tiba saat untuk muncul
tubuh terasa asing
disentuh perubahan
ngilu persendian, denyut seluruh anggota tubuh
selruh otot meregang, rasa tiada tertahan
mengisut, menyusut, membesar
tubuh naik-turun, mendatar, menggapai puncak, melengkung
bumi pinggul penuh bintang
penuh gunung berapi dengan bara-baa putih
penuh riam ganas dan jurang gairah

Walau laik-larik di atas tak secara langsung menampilkan tematik seksualitas, naman asosiasi yang kita tangkap mengarah ke perkelaminan. Sajak di atas melukiskan perubahan-peruban yang oleh sang penyairnya disebut perubahan-perubahan sang pencinta. Imaji sang pencinta gemertab-pelan disentuh perubahan hingga terasa ngilu seluruh persendian dan menimbulkan denyar dan denyut ke tulang-tulang terdalam.

Sajak ini banya sekali memunculkan frasa-frasa cantil disekitar anggota tubuh, misalnya ungkapan “kuseberangkan perahu tubuhku menujumu”, “tamasyalah sekehendakmu di antara anggota-anggota tubuhku”, “kulumasi kedua payudarmu dengan kata-kataku”, “kunaik menujumu kuturun menujumu”, “pinggulmulah sauhku”, dan “sihirlah ragu hingga bimbang hilang padam”, dll.

Bagaimana pun, selain pemikiran yang memiliki robot yang original, puisi-puisi Adonis begitu kuat dan tampak melampaui sebagian besar penyair Arab-muslim mutakhir. Keintimannya memikirkan masa depan tanah airnya melalui pemikiran dan kreativitas puisi Arab-muslim dapat dibandingkan dengan para penyair peraih Nobel Sastra. Dan puisi terbaiknya justru yang banyak mengangkat imajinasi seks melalui bahasa yang puitik dan kokoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar