Sabtu, 31 Januari 2009

Mudik dan Balik dalam Sajak

Oleh Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang


Saya memandang sebuah foto yang tak terlampau bagus, namun kena untuk tema yang kita bicarakan di sini: tentang mudik dan balik, atau rumah dan pulang dalam sajak. Dua orang sedang melintas rel kereta sambil menenteng sebuah koper, tepat ketika kedua orang itu sedang berada di lintasan rel. Di kiri kanan rel dengan warna hitam pekat itu, tampak kerumunan orang yang berdesakan menunggu kereta tiba. Foto hitam putih itu memang tak dimaksudkan sebagai teror mental, tapi lebih sebagai foto realis yang menyuguhkan tempat atau rumah bagi seorang penyair.

Ketika puisi ternyata hanya melahirkan kata-kata verbal, ketika prosa hanya menyuguhkan narasi yang aus dan metafora yang dekil, karya foto bisa menyumbang bagi tafsir kamera dalam permainan. Jika buku-buku analekta puisi tak juga membuat kita bertanya tentang apa dan untuk apa peristiwa yang terekam di dalamnya, apalagi tak memberikan kedalaman makna sehabis membacanya, maka gambar atau foto bisa berlaku sebaliknya: Karya foto—dengan realisme yang menuding-nuding realita sekali pun—bisa memainkan dengan lincah arti sebuah peristiwa, juga kesunyian-kemenjadian.

Fotografi karya Yuniadhi Agung itu, pernah dimuat di Kompas bersama sebuah tulisan tentang “pulang”, menampilkan empati dengan sebuah kesunyian; empati bukan muncul dari sebuah kenenesan, apalagi kecengengan, sebagaimana banyak kita temukan dalam puisi bertema kampung halaman. Sang fotografer memotret kebimbangan dua orang yang sedang menyeberang rel, tapi tak bermaksud menghadirkan kecengengan.

Bahasa gambar, foto, bisa jadi sebuah pilihan ketika puisi kian kehilangan tenaga. Ia bisa melampaui keindahan dan keterfanaan kita dalam menghayati tempat berpijak, atau rumah. Ia juga dapat mengajak kita untuk ikut merasakan apa yang orang-orang sedang berjalan pulang itu rasakan: merasakan usaha mereka yang penuh harap dan cemas dalam menempuh stasiun demi stasiun dalam mencari tanda-tanda kehidupan di mana kita merasa menemukannya kembali sebelum kita melupakannya.

Dengan menyinggung tafsir kamera di latar depan tulisan ini, saya telah memasang semacam ancang-ancang untuk tak sekadar berselancar ke dalam puisi yang saya singgung di bawah ini. Puisi-puisi yang saya pilih secara acak namun menghadirkan tematik yang sesuai dengan konteks pembicaraan yang saya pilih: tentang puisi dan pulang, tentang rumah dan tempat bagi seorang penyair di hari ini.

Puisi yang cenderung menampilkan imaji pulang dan rumah sebagian besar sangat religius. Intensitas penghayatan pergi dan kembali atau mudik dan balik mengingatkan kita pada tema-tema hizrah dan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha dalam Islam, sebagaimana akan kita lihat di bawah nanti.

Pulang dan rumah: dua soal yang hampir tak pernah absen dalam puisi sejak Pujangga Baru sampai puisi tahun 2000-an. Penyair Pujangga Baru dan angkatan 45 sudah banyak melukiskan semangat mudik dan balik. Goenawan Mohamad kerap kali mencemooh penyair atau sastrawan yang merayakan alam lokal, tanah air, atau warna setempat, yang telah melahirkan esai-esai yang menggugah seperti “Puisi Yang Berpijak Di Bumi Sendiri” (1960), “Kesusastraan Indonesia dan Kebimbangan” (1968), dan “Masa Lampau Tak Mati-mati” (1970).

Kita tahu, Sutan Takdir Alisjahbana pernah menulis puisi tentang semangat meninggalkan tasik yang tenang. Asrul Sani pernah menulis puisi Surat Dari Ibu, yang menampilkan konflik seorang anak yang merindukan kampung halaman setelah jauh ditinggalkan. Asrul mengekspresikan situasi kejiwaan seorang anak yang tersang, yang pergi ke alam bebas selama angin masih buritan dan mentari pagi menyinari daun-daunan:


Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutupi pintu waktu-lampau

Jika bayang-bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
bolehlah engkau datang padaku

Kembali pulang anakku sayang
kembali ke balik malam
jika kapalmu telah rapat ke tepi
aku akan bercerita tentang cinta dan hidupmu di pagi hari

Dalam buku analekta cerpen Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat (1972), Asrul begitu kuat mengekspresikan tema rumah dan pulang. Cerpen Perumahan Bagi Fajria Novari menyinggung soal kenangan pada tanah dan rumah yang telah ditinggalkan. Namun, seperti kata naratornya kepada Fajria, ”seorang adalah seorang kehilangan yang menyadari kehilangannya. Dengan kata lain, menerimanya dengan lapang dada sebagai bagian dari perjalanan hidup.

Demikian pula pada Sitor Situmorang yang begitu rindu kembali ke Danau Toba, Ajip Rosidi rindu pada bahasa Sunda, dan banyak lagi penyair generasi 1945-1965 yang merindukan tanah kelahiran. Penyair yang lebuh muda, yang saat ini sangat produktif menulis puisi tentang pulang dan rumah di media lokal, di antaranya adalah Y. Wibowo—penyair kelahiran Lampung dan direktur penerbit Mata Kata. Dalam antologi puisi Operasi Kebun Lada (2005). Y. Wibowo melakukan traveling ke desa-desa. Lebih dari 80 sajaknya di buku ini menggunakan judul tentang nama-nama desa di Lampung.

Begitulah perjalanan puisi modern Indonesia. Persoalan rumah dan pulang akan terus merundung sebagian penyair. Apa boleh buat, kota bukan dunia yang cocok bagi daya khayal dan fantasi kebanyakan penyair kita yang memang berasal dari desa. Puisi memang tak pernah lahir 100 % di kota. Keliaran kata dan imaji tak mampu mengungkai kedalaman renungan dan pikiran, dan sering masih takut dianggap pendurhaka, sebagaimana kata Goenawan Mohamad pernah melukiskan: ”kita tak ingin melihat kepongahan menjadi pemberontakan, reda dan usai, yang kepada kita rasa bersalah tradisional pun muncul kembali: kita tak ingin jadi manusia yang terkutuk, kita takut seperti Malin Kundang yang mendurhakai ibunya, sebagaimana dalam cerita lama, dan kita juga tak mau jadi pengembara yang bermahligai di atas langit terus-menerus sementara kaki masih berpijak di bumi”.

Tahun 1950-an, ajakan untuk pulang ke desa memang sempat mewarnai banyak puisi dan berlanjut hingga tahun 1970-an. Pulang sering dilukiskan melalui aku lirik yang hidup terlunta-lunta di tikungan jalan, di ruang antara, desa dan kota, lokal dan global sebagai “si anak hilang” kata Sitor, yang berjalan dengan tujuan rutin yang nyaris kehilangan arti.

Salah satu sajak Sitor yang melukiskan dengan tegas kerinduan kampung halaman adalah sajak “Panggilan” (dimuat dalam buku analekta Dinding Waktu, 1976): “Rinduku/Pulang dalam Rumah dalam Seni/Angin manis meniup pasir benua Afrika/--Di Eropa kutahu masih salju/Sampai ke padang-padang Siberia/Aku harus ke Moskow, tapi/Memenuhi harapan yang kusayang/Untuk kumpul di akhir Ramadhan/Aku pulang malam terbang garuda rindu”.

Sampai pada tahun 1980-an, daya tarik puisi pulang ke rumah asal semakin kencang, seiring hangatnya perdebatan tentang sastra kontekstual. Ajakan pulang menggema kembali dengan kehadiran gerakan postmodernisme di tahun 1990-an di negeri ini. Pulang dan rumah memang tak mati-mati, sebagaimana pernah diharapkan Goenawan. Rumah dan kampung halaman tak kunjung bisa dilupakan, mungkin karena kuatnya imajinasi tentang bahasa ibu yang pertama di desa, maka ia menjelma semacam jejak tanda dan penanda yang tak mudah dilupakan, nostalgia yang bersemai di kala gebalau memuncak di kota.

Kampung halaman berikut segudang nostalgia masa lalunya akan terus dipahat kembali kandungan rasa jati diri di kalangan para penyair kita. “Tuan bertanya tidakkah saya takut akan kehilangan rumah”, kata Goenawan dalam esai “Rumah”: “Saya cenderung bertanya kembali dengan pertanyaan panjang yang tak menarik: apa yang kini tersisa dari lokalitas dan stabilitas yang pernah ada dahulu? Tuan lihat: kini begitu banyak orang digusur, begitu banyak orang mengungsi. Mahia menjadi yang mustahak. Rumah—meskipun bukan sebuah puri yang angker—bisa merupakan kehadiran yang membatasi. Kedalaman adalah kata yang meniscayakan keterbatasan dalam pencarian. Takutkah saya kehilangan rumah? Bukankah kita akan selalu kehilangan rumah?”

Ragam puspa pertanyaan Goenawan itu tak membuat masa lalu dengan mudah bisa dilupakan dan rumah dengan cepat dapat digusur. Rumah dan masa lalu tak akan pernah terkikis dan terbuang dalam puisi dan dalam ingatan penyair. Ramalan dan harapan Goenawan tak selalu terbukti. Beberapa esainya belakangan ini menunjukkan kegamakan atau kegamangan dan pembelaan dengan retorika tulisan yang nyaris menjelma semacam antitesa retorika spontan dari Sutardji. Sampai pada generasi penyair mutakhir, generasi angkatan Ulfatin Ch, Joko Pinurbo, Jimmy Maruli Alfian, Y. Wibowo, dan Inggit Putri Marga, dan masih banyak lagi, rumah dan masa lalu masih terus ditulis dan dikenang dalam puisi.

Saya merasakan bagaimana penyair Ulfatin Ch berusaha menjernihkan tema pulang dalam puisi Keberangkatan (1998): “Duduk di stasiun tugu/kita menunggu malam, kereta tak juga datang/mengiring gelisah/sampai kapan”. Keberangkatan adalah sebuah perjalanan ke hulu kehidupan ibu, bahkan ke dalam semesta, atau kosmos. Keberangkatan menjadi semacam korelasi budaya bagi keranjang takakura dalam hidup kita. Segala bentuk, residu masa lalu, yang semula didaur-ulang oleh alam, mulai membalik kemanusian. Dan ajakan kembali ke asal primordial seakan niscaya.

Apa yang terjadi jika keinginan pulang yang menggebu-gebu tapi di stasiun “kereta tak juga datang”? Ulfatin punya jawaban yang umum dalam sebuah laku menunggu: “menggiring gelisah” entah “sampai kapan”. Joko Pinurbo masih sempat juga menulis puisi bertajuk “Tiada” (2003) dengan kata-kata yang nyaris menjelma kesimplan ini: “Tiada pengembara yang tak merindukan sebuah rumah, bahkan jika rumahnya hanya ada di balik iklan yang ia baca di perjalanan. Tiada rumah yang tak merindukan seorang ibu yang murah berkah, bahkan jika ibu tinggal ada di bingkai foto yang mulai kusam…”

Dan ada juga yang berterus terang secara telanjang: “Pulanglah,” kata Jimmy Maruli Alfian dalam puisi Ayat Hikayat (2007): “Pulanglah, atau kau sudah nemu rumah baru yang suwung/seperti tempat tinggal kita dahulu di kampung?/sebidang halaman dengan rimbun batang khuldi/gersang kata-kata nemuin subur oleh sunyi”. Jimmy memasukkan dua buah pantun, yang seperti menegaskan ajakan pada para penyair untuk segera pulang. ”Biji gandum serak di kebun. Ranumnya sampai ke teluk semangka. Aku pergi isak mengalun. Daripada capai dikutuk wasangka”. Pantun ini masih dekat dengan imaji puisi Bukit Barisan yang pernah dirilis Muhammad Yamin sebelum kemerdekaan: “Hijau tampaknya Bukit Barisan. Berpuncak Tanggamus dengan Singgalang. Putuslah nyawa hilanglah badan. Lamun hati terkenang pulang”.

Dengan menghadirkan pantun Melayu kembali, nostalgia masa kecil seakan hadir lagi dalam kekinian. Dengan berpantun rasa rindu seakan terobati. Namun dengan pantun pula hidup di antara dua dunia tak selamanya bisa bikin hidup lebih hidup. Terkadang justru sang penyair merasa sebagai orang yang belum sempat menambatkan hati di tempat yang baru, sementara tak lagi berarti untuk mencintai tempat asal. Terkadang juga merasa terlanjur melupakan kampung halaman, sementara merasa gagal tinggal di tempat yang baru.

Dan inilah yang dirasakan Ulfatin Ch: “jiwaku sendiri telah pergi, mengunjungi Tuhan tak kembali. Dalam kesendirian, aku memuja tahta, lalu menghitung jari: kapankah berakhir waktu yang memenjara ruang dengan ruang” (sajak Aku Sendiri).

Dengan kembali pada ”isi”, seorang akan merasa terbebas dari ”bentuk”. Karena isi dengan bebas menyuarakan suara hati, tapi dengan bentuk tidak. Lebih lagi terhadap bentuk formal. Tapi mengapa harus melulu isi, tidakkah ruang tak selamanya memenjara waktu, atau sebaliknya ”waktu yang memenjara ruang demi ruang”. Bukankah puisi sesunggunya makhluk yang melampaui ruang dan waktu? Bukankah masih ada yang namanya wilayah tranhistoris, pasca-misteri, yang melintasi penjara ruang dan waktu hingga tak lagi terikat oleh keduanya?

Mengapa harus pulang? Jimmy menjawab dalalam selarik sajak yang disebutkan di muka: karena “kota ini angkuh bagi perantau/lebih purba dari kumbang di ujung kembang”. Selain itu ia masih punya alasan mengapa harus pulang karena “kita kadang dibaptis sebagai perantau/diberi indeks-indeks, rumah dengan kamar sempit/yang membuat tingkah senantiasa canggung/karena kata tak menjamin segalanya rampung...”

Jika keharusan pulang bagi puisi Jimmy karena tak mungkin mengingkari asal primordial, sebab di “kota angkuh bagi perantau”, di mana segalanya sempit dan hanya tinggal dalam sepetak kamar kontrakan atau “rumah dengan kamar sempit” di mana kita hanya terkurung oleh bentuk hingga “tingkah laku senantiasa canggung” alias tidak bebas, hingga menulis pun tak juga bisa memberikan remedi bagi kecemasan karena “kata tak menjamin segalanya rampung”.

Dalam sajak Jimmy, si aku memang ditunjukkan sebagai yang tak pernah menyerah untuk terus mengajak si istrinya pulang. Namun pada akhirnya ia sampai pada pertanyaan mencemaskan: “ke mana lagi hendak pulang/sedang kampung halamanku ialah kau”, tulisnya sambil mengurungkan niat tokohnya untuk pulang.

Wachid BS punya alasan lain mengapa setelah di kota harus kembali lagi pulang ke desa: karena tuntuk apa kita tetap tinggal terus-menerus di rantau, sedang kota telah menjelma “sebuah chaos, yang seluruh perabotnya mengubah diri menjadi cosmos”, tulisnya dalam puisi “Gentayangan Pulang”.

Nenek poyang kita dulu punya alasan sendiri mengapa kampung halaman begitu penting dihidupi, karena apa gunanya kita merantau ke kota kalau toh akan mengalami semacam apa yang dialami Wachid BS: “gentayangan tak tentu tuju” dan pada akhirnya hanya akan kembali lagi ke muasal semula.

Akhmad Albar dikenal sebagai penyanyi yang mendambakan rumah di desa tempat membangun keluarga yang tentram, kendati hanya “terdiri dari bilik bambu tanpa hiasan tanpa lukisan”, ia tetap memilih desa sebagai pemukiman kemanusian: “lebih baik di sini, rumah kita sendiri, segala nikmat dan anugerah yang Kuasa: semuanya, ada di sini”, katanya.

Pulang ke rumah asal rupanya telah menjadi tematik yang akrab, seakrab tema mudik saat Lebaran. Namun , selain lebih banyak mengeksplorasi isi lantaran tak mampu melahirkan bentuk tranhistoris, penyair kita juga lebih banyak mengeksplorasi arus mudik ketimbang arus balik. Padahal inti kedalaman sebuah puisi justru ketika ia mampu memaknai hidup pasca-mudik, sama ketika orang mabuk: pengalaman mabuknya akan dahsyat justru ketika ia berpola dengan pengalaman pasca-mabuk. Puisi-puisi Tardji misalnya, nyaris dikermatakan karena rasa muak dan mabuk oleh bir terpola dan diikuti dengan desakan pasca-mabuk—yakni menulis puisi pasca-mabuk.

Sutardji Calzoum Bachri dengan jujur mengakui dirinya kembali ke asal dengan menakik kedalaman di pedalaman. Dalam puisi "Idulfitri" (1998) ia mengakui dirinya sebagai “si bekas pemabuk” yang dulu sering "menenggak arak di warung dunia”. Tardji belakangan begitu kuat menampilkan kualitas puitik dengan nilai imajinatif atau figuratif yang dapat kita rasakan sebagai bentuk kerendahan hati. Penyair yang menulis tematik mudik dan balik terasa lebih menusuk dengan menyerap inspirasi dari kisaran air, olok mulang, dan ombak. Dengan menceburkan diri ke kisaran air dan ombak suak ujung kalak, konon akan melahirkan kedalaman penghayatan dalam pusaran air, alimbubu, dengan mencipta keberaksaraan yang segar dan menghidupkan sajak.


II

Saya perlu memberi tempat khusus untuk membicarakan puisi-puisi Y. Wibowo dalam kumpulan Opera Kebun Lada yang diterbitkan Mata Kata Bandarlampung (2006). Y. Wibowo adalah penyair Lampung mutakhir yang berusaha memasang indra penciuman terhadap wangi rempah-rempah yang bertebaran di Bumi Lada—nama yang sering dinisbatkan untuk Lampung. Ia tak segan-segan memungut kembali mitos masa lampau untuk kemudian menuliskannya sebagai puisi yang berpijak di bumi Lampung sendiri.

Bowo—demikian ia sering dipanggil teman-temannya—berusaha menjejalkan helu geografi ke dalam bangunan diksi puisi. Saya pernah mengelompokkan puisi-puisi Bowo ke dalam dua tipografi, atau dua geografi: pertama, geografi perjalanan si aku lirik dalam menempuh pulang ke kampung halaman setelah merantau di kota; kedua, ketika si aku sudah berada di kampung halaman.

Geografi pertama diwakili puisi berjudul “Kutempuh Jalan Pulang, Kenangan Mencipta Lambang-lambang”. Sementara geografi kedua mendominasi dalam buku kumpulan puisi ini. Membaca puisi “Kutempuh Jalan Pulang, Kenangan Mencipta Lambang-lambang”, tak ayal membuat kita ikut merasakan kerinduan si aku lirik untuk segera pulang ke lubuk mata air sumber kecemerlangan itu.

Hasrat untuk pulang kampung tak tertahankan lantaran semakin lama meninggalkan tanah kelahirannya, justru kian kuat aroma kopi dan lada sulah memanggilnya. Rupa-rupanya anggapan bahwa “semakin kita melupakan justru semakin kita mengingat” berlaku dalam prinsip kepengarangan Y.Wibowo. Dalam puisinya ia banyak menggunakan majas tentang batang jelatang yang gatal itu—yang banyak tumbuh di desa di Lampung—sebagai petanda dari rasa rasa ke-kesih-an (kegatalan) untuk segera bersua kembali dengan mak-bapak, adik-kakak, minan-mamak, tamong-kajong, dan sebagainya.

Si aku akhirnya hengkang dari kota lantaran apa yang ia saksikannya setiap hari di kota hanyalah pemandangan yang rutin dan membosankan; papan reklame di sudut-sudut jalan, silau kaca plaza, gedung-gedung tinggi yang bisu, suara bising kendaraan di jalan raya, yang membuatnya bimbang. Namun, ketika kerasukan untuk pulang tak lagi bisa dihalang, maka pulang adalah pilihan hidup yang realistis dan paling punya alasan dan retaorika—lisan mau pun tulisan. Terlepas apakah si aku menyadari atau tak atas pilihannya itu akan dianggap sebagai bentuk kecengengan, nostalgis, atau romantis.

Secara ekstrim si aku lirik melukiskan situasi dunia rantau sebagai apa yang disebutnya “pembuangan paling tersembunyi” atau “pengasingan dari petilasan kerabat” atau “berpendaran ke pelosok desa dan riuh-gaduh sudut kota” kata Bowo. Ungkapan-ungkapan semacam itu menampilkan suara eksistensialis yang keras, yang tak tertahankan, tak tertangguhkan, yang bisa melahirkan sebuah pemberontakan.

Di sini lagi-lagi saya bertanya: apa yang membuat aku harus pulang? Rindu? Bagaimana kalau yang dirindukan di desa itu ternyata tak lagi bisa ditemukan, kecuali hanya “kelainan yang jauh” atau “noktah yang membosankan?” Atau, seperti yang pernah ditegaskan juga oleh Dina Oktaviani—penyair yang lahir dan besar di Lampung dan hijrah dan membangun keluarga di Yogyakarta—dalam puisi Agoni-nya: bagaimana jika “engkau bukanlah pulang itu?”

Tak lengkap rasanya jika Bowo tak mengenang dan mencicipi kembali riak gelombang Wai Semangka yang tenang itu—Bowo tak pernah melihat apalagi mandi di Teluk Semangka— kendati di hatinya sudah terpaut di kota rantau. Tabiat puisi semacam ini sering digolongkan kritikus yang lalu sebagai puisi pelancong atau traveling, namun travelingnya hanya di negara sendiri, itu pun terbatas hanya Lampung dan Yogya.

Bila biografi penyair kita kenakan dalam membaca puisi-puisi Bowo, maka puisinya merefleksikan kegundahan diri sendiri. Ia pernah trans dan menetap di Yogyakarta dalam rangka studi dan mencari pengalaman, atau mungkin juga demi sebuah alasan untuk berjarak sejenak dari Lampung yang mulai gersang—kalau bukan malah demi alasan untuk menanjak.

Semua itu ditempuh dengan harapan ketika sudah berada di kampung halaman kembali akan membawa sekoper penuh ide yang tercerahkan, kalau bukan malah terkalahkan. Pada momen ketika aku sudah berada di kampung lagi, tampak koper ide dan pengalaman yang dibawanya dari dunia rantau memang tak sia-sia.

Puisi-puisi Bowo sangat dekat dengan bentuk pengucapan Terry Mc Donagh—penyair Irlandia, yang buku puisinya telah diterjemahkan Sapardi dan Dami N. Toda menjadi Tiada Tempat di Rawa. Geografi puisinya—seperti puisi “Orang-orang Teluk Semangka”, “Labuhan Maringgai, Arus Masih Menderas”, “Membaca Senja di Kalianda”—bisa dengan mudah dituduh sebagai puisi yang menampilkan “romantika banal”.

Puisi yang melukiskan arus sungai di Labuhan Maringgai, secara geografi memang bisa dicari jejaknya dalam sebuah peta Lampung, namun tidak demikian sesungguhnya kondisi arus sungai dalam arti faktual. Sebab yang saya tahu—saya sering mandi di sungai Maringgai itu—bahwa sungai tersebut tak memiliki arus yang deras dan lebar, melainkan hanya sungai kecil—yang oleh orang Lampung disebut siring—yang dibuat kolam-kolam pemandian dengan cara menumpuk batu agar membentuk sebuah kolam.

Ketajaman intuisi Y. Wibowo dalam menghadirkan arus sungai di Maringgai, terlepas masih dangkalnya arus imaji sang penyair dalam menyelam peta wilayah itu, memberikan pada kita bagaimana warna lokal mesti dihadirkan. Y. Wibowo bukan tidak tahu bahwa di Labuhan Maringgai terdapat tradisi dan kesenian Malinting yang menurut para penyair dan kritikus sastra yang keranjingan pada tema local genius di Lampung, dianggap sebagai warisan penting dari seni/tradisi subkultur. Bowo lebih memilih sungai sebagai kerinduan masa kecil yang tak kunjung bisa dilupakan.

Nama-nama tempat seperti Teluk Semangka, Way Nipah, Terbaya, Batu Tegi, Negeri Ratu, Cukuh Balak, dan Pringsewu, semuanya berada di kabupaten Tanggamus propinsi Lampung, yang selama ini memang jarang dijamah oleh penyair Lampung yang lain. Seingat saya, Iswadi Pratama pernah menulis sebuah puisi berjudul Ngaras atau Ngakhas—sebuah desa yang berada di seberang Teluk Semangka yang masih dianggap oleh masyarakat sekitarnya sebagai kampung penuh mitos dan tenaga magi (gaib). Namun sangat disayangkan bahwa Iswadi, dengan ketajaman intuisi dan rasa hayatannya, justru tak menggali motif mitos dan magi di Ngaras itu, yang justru bisa menjadi strategi untuk menghadirkan warna-warni lirik dan wawasan puitik.


III


Sejarah puisi Indonesia modern rupa-rupanya tak pernah berhenti bersinggungan dengan masalah rumah sejarah atau rumah eksistensial bagi para penyair. Sebagaimana saya singgung di muka, puisi-puisi terbaru pasca 1990-an, tampak secara tematik masih kuat mengekspresikan kedesaan sebagai geografi merayakan kebalauan yang nonsens. Peta perjalanan—kalau memang layak disebut begitu—semacam itu sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa penyair kita punya indra penciuman yang tajam tentang masa lampau dan kampung halaman.

Menghadirkan geografi dalam puisi memang sulit mengelak dari keranjingan untuk menempatkan desa sebagai latar depan. Kofi Awnoor—novelis Ghana—pernah berseru: mari kembali ke cenayang desa agar penyair memperoleh inspirasi. Rendra menyerukan tak sekadar inspirasi lagi.

Afrizal secara lebih ekstream ingin membalik kota ke latar belakang penciptaan seraya mencoba menempatkan kembali desa sebagai latar depan proses kreatif. Afrizal bahkan pernah menegaskan bahwa kebanyakan penyair Indonesia telah meletakkan “desa sebagai latar belakang” bagi kreativitasnya. Oleh karena itu, apa yang dinamakan puisi Indonesia kata Afrizal adalah, puisi urban; puisi yang lahir dari pembunuhan terhadap etno di desa lewat bahasa Indonesia”.

Para penyair yang puisinya dibicarakan di atas adalah para pemudik yang terus hidup dalam kesinambungan masa lalu yang tak ingin diputuskan karena mereka tak ingin terus-terusan dihinggapi kecemasan, rasa bersalah, yatim piatu yang meragu, yang lahir dari pengingkaran terhadap waktu lampau. Masa lalu adalah mata rantai yang menghubungkan tiga waktu secara berkesinambungan: waktu kini, esok, dan yang akan datang, lalu kembali berputar terus-menerus dalam persilangan waktu primordial.

Dalam konteks perayaan Idulfitri, misalnya, mudik menjadi momen perayaan kemenangan; momen menyambut kesucian primordial kembali sebagaimana saat dilahirkan. Betapa tak bahagianya bila seorang pemudik yang karam dalam perjalanan pulang menuju kampung halaman. Kita tak ingin jadi pemudik yang tak sampai pada pencarian yang kita impikan, karena kita bukan sang pendosa yang terkutuk jadi batu—sebagaimana legenda Malin Kundang.

Al-Hallaj, dalam kitabnya dengan judul sangat simbolik, Ta-Sin (atau Tawasin) menamakan proses perjalanan mudik sebagai lingkaran "titik primordial" : sebagai sumber sekaligus muara kehidupan manusia, yang tak pernah bertambah atau berkurang. Tidak pula habis-kikis dengan sendirinya, karena pencarian tak pernah selesai, terus mengulang dan berputar dalam lingkaran primordial yang sama. Dosa yang pernah datang mendekat, akan terkikis, sambil mencari ia datang kembali, berhamburan ia pergi, menggairahkan ia hadir, menjauh ia terbang, sambil mencari ia datang, dari ketakjuban, ia bergegas, sambil bermaaf-maafan ia lebur, dan seterusnya, dan seterusnya.

Lingkaran primordial itu digambarkan al-Hallaj dalam bentuk simbol tanda baca titik yang membentuk lingkaran yang tak putus-putusnya, terus berulang, belum sudah, dan berulang kembali. Dalam bahasa ibu saya, fenomena ini diistilahkan sebagai olok mulang; yang dekat dengan pemaknaan arus balik dari darat ke laut dalam roman tebal Pramoedya Ananta Toer.

Adalah menarik ketika makna mudik primordial itu juga diapresiasi oleh sastrawan peraih Nobel Sastra di bidang kepenulisan puisi, Octavia Paz, dalam karyanya The Other Voice. Ia melukiskan mudik sebagai sejarah kemanusiaan yang mencari kepenuhan martabatnya dengan semangat menghadirkan kembali asal primordial: perjalanan bolak-balik ke kala mula, sebelum ketidakadilan lahir, ke kurun sebelum munculnya kesenjangan, perselisihan, ke mudian menyusuri waktu kini dan ke masa depan, terus-menerus mencari persilangan waktu, memusar ke satu titik, pertemuan yang melebur kala silam, kini dan kelak.

Ketika sang pemudik telah sampai ke kampung halaman, ia bergegas memenuhi panggilan-Nya; mula-mula membersihkan diri, mandi, bersalin, menanggalkan baju kotor yang berpeluh keringat saat di perjalanan dan menggantinya dengan baju yang bersih untuk menyambut panggilan takbir dan tahmid dengan harapan agar mudik fisiknya bisa dibalas Tuhan dengan kembalinya fitrah (kesucian) primordial.

Penyair yang mencari rumah sejarah penting untuk belajar menghayati olok mulang, kisaran air, kalau memang tak sanggup bermain dengan ombak suak ujung kalak yang menampilkan kedalaman terperangkap dalam alimbubu, pusaran waktu lalu, kini, kelak, dengan mencipta keberaksaraan yang hidup dan mampu menghidupkan sajak.

Kembali ke pedalaman dengan dalam puisi-puisi di atas tidak menampilkan identitas atau rasa kedaerahan yang sempit, sebagaimana banyak dikhawatirkan oleh para kritikus. Tak ada manusia suyku Chandala dan Arya dalam puisi-puisi penyair kita, sebagaimana pernah disinggung GM dalam puisi-puisi tahun 1950-an dan 1960-an. Tak terlihat juga adanbya semangat etno-nasionalisme sebagaimana dalam karya-karya sastra Amerika Latin, yang dikhawatirkan Arif Bagus Prasetya dalam Tegangan Global-Lokal.

Penyair kita hanya kembali ke dalam pencarian kedalaman di pedalaman, yang walau meniscayakan keterbatasan kata GM, jauh lebih baik ketimbang melanglang-buana di negeri-negeri manca negara tapi tak menghasilkan karya yang sebanding dengan jauhnya perjalanan kecuali hanya beberapa esai yang nyaris terjebak ke dalam anglofilia yang banal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar