Sabtu, 31 Januari 2009

Takdir dan "Adonisme"

Oleh Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di tanjungkarang



Terhadap bagian-bagian yang memuaskan
yaitu yang terasa menggemakan getaran jiwa
kita yang sesungguhnya,
saya sering bersifat sebagai seorang Adonis
yang girang menikmati bayang-bayang wajahnya dalam cermin.
--S. TAKDIR ALISJAHBANA, Pengalaman Sekitar Menulis Karangan Sastra



Cukup banyak yang telah menguak pandangan modernitas Takdir. Sastrawan yang juga mencintai ilmu pengetahuan modern ini, adalah sosok yang unik di negeri ini. Selain karena sikapnya terhadap ilmu pengetahuan Barat dekat dengan Sutan Sjahrir—koleganya yang sama-sama berasal dari Sumatera Barat dan pernah duduk bersama di PSI—dan pemuka majalah terkemuka Pujangga Baru, juga sering menjelmakan sikapnya sebagai seorang dewa Adonis.

Takdir seorang penulis prosa modern terkemuka sebelum dan sesudah perang kemerdekaan. Bahasa prosanya terkadang tak lagi bisa dibedakan dengan bahasa esainya yang banyak menampilkan semangat seorang ilmuwan yang berambisi mengejar kemajuan. Walau Takdir sendiri pernah mengatakan: ”Meskipun ilmu dan filsafat sangat menarik hati saya dan sangat banyak waktu yang telah saya pakai untuk keduanya, tetapi kalai saya hendak jujur tentu saya akan berkata: menulis sastera baik berupa puisi maupun berupa roman bisa memberikan kepada saya perasaan kebahagian”. Akan tetapi, corak pemikiran dan ”idologi” budayanya justru lebih dekat dengan ilmu dan filsafat.

Takdir seorang rasionalis tulen. Dan tak seorang pun yang mengikuti proses kepengarangan Takdir meragukan pendapat ini. Sejak usia seperempat abad Takdir telah menampilkan jati-dirinya sebagai seorang yang dekat dengan semangat pembebasan ilmu pengetahuan. Lahir pada tahun yang sama dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo—organisasi yang sering disebut awal kebangkitan nasionalisme Indonesia—dan seorang esais Pujangga Baru yang pernah menerbitkan buku kumpulan esai Kebangkitan Puisi Baru Indonesia dengan bahasa pengucapan yang kerap berombak.

Nama Takdir telah menjulang sejak usia 27 tahun ketika tulisan-tulisannya sering muncul di Panji Pustaka dan Pujangga Baru. Di majalah terakhir ini Takdir menjadi bengawan dan tulisan-tulisannya telah menyulut polemik yang melibatkan tokoh-tokoh terkemuka yang jauh lebih senior dari dirinya. Takdir ingin memutus mata rantai kesinambungan pre-Indonesia dan Indonesia, tradisi yang lama dan kebangkitan yang baru, antara Timur dan Barat yang dipenting-pentingkan.

Optimismenya menyala-nyala, jiwanya ikut bernyanyi, yang mirip gelombang menjebol masa silam, atau pra-Indonesia itu. Perkembangan pemikirannya tak jarang mengarah pada anak panah psikologi sains yang pongah, sering dengan alasan yang— jika dibaca di hari ini—sungguh menggelikan.

Esai-esai pemikiran mantan aktivis Partai Sosialis Indonesia ini, memang telah menyulut polemik terpenting dalam sejarah kebudayaan Indonesia yang kelak dikenal dengan sebutan polemik kebudayaan terbaik dalam sejarah Indonesia. Takdir memang telah menghasilkan buku puisi, prosa, esai, filsafat, antropologi, dan tentu tentang bahasa Indonesia, dengan kualitas yang cukup baik pada zamannya. Namun sastra Takdir begitu tipis dengan filsafat matematis dan makin jauh dari yang mistis. Bahkan tak jarang muncul pandangan dunia seorang sosiolog, dengan kepastian logika saintis. Novel-novelnya sangat berisi, mengandung logika sainstisme, filsafat aritmetik, dengan sikap landak khas Pencerahan.

Sepanjangn hidupnya, Takdir telah menjadi aikon perjalanan budaya modern Indonesia. Namanya sering disingkat dengan akronim STA saja, dan tiap kali kita mendengarnya selalu yang terbayang adalah: Takdir seorang pengarang yang menekankan tanggungjawab yang, kendati tak persis dengan agitasi kaum komunis, namun berwarna utopia marxis juga. Pujangga yang melakukan ”penolakan atas kicau burung murai” (untuk meminjam ucapan Karl Marx) ini, mungkin memang tak pernah merasakan nikmatnya makan rujak pedas.

Takdir—lagi-lagi sebagai biografi pengarang—adalah prototipe dari gabungan tiga sosok yang mengagumkan: sebagai seorang pemikir kebudayaan, filsuf, dan sastrawan yang meletakkan sastra sebagai perjuangan. Pandangan yang terakhir ini pernah ditunjukkan langsung dalam keterlibatannya dengan politik dan bahkan partai politik. Baginya, seperti juga koleganya, Sutan Sjahrir, sastrawan mesti berjuang, bertanggungjawab kepada masyarakat.

Ada satu kata yang selalu muncul hampir dalam semua tulisan Takdir: baru, maju, individu, kebangunan, berombak, mengalun, bergelombang, menjebol, menghancur-remukkan, menyala-nyala. Kata-kata ini memang sempat menyihir banyak orang, terutama mereka yang ingin ”maju”, atau berpikiran ke depan. Tiga buku esainya, Kebangkitan Puisi Baru Indonesia, Perjuangan Tanggung Jawab Dalam Kesusastraan dan Antropologi Baru, penuh dengan kata ”baru”. Semangat mengganti yang lama dengan yang baru terus dikampanyekan selama rentang waktu 80 tahun kepengarangannya.

Dan gagasan kebaruan itu hampir tak pernah sepi dari perdebatan dan polemik. Sejak masih mengasuh majalah Panji Pustaka dan Pujangga Baru, Takdir kerapkali mencetuskan ide-ide besar dalam lapangan pemikiran dan kreativitas. Dalam menampik lawan debatnya, Takdir senantiasa menggunakan ”penggada besar” (untuk meminjam istilah Asrul Sani)

Takdir dan Tafsir

Pada mulanya adalah Takdir, lalu lahir tafsir. Apa yang kita ketahui tentang Takdir selama ini hampir tak bisa dipisahkan dengan persoalan tafsir. Si Takdir adalah penggali kedalaman tafsir, namun dialah di Indonesia yang mirip dengan ucapan Nietzsche terhadap para ilmuwan: seorang penggali yang baik dari kedalaman yang ilusif, mengingat kedalaman itu sendiri adalah bahasa ruang dan tiap bahasa ruang mengandaikan keterbatasan.

Sungguh ironis jika tafsir atas Takdir kita sebut Takdir itu sendiri. Interpretasi tak pernah lengkap-sempurna. Tafsir berwarna-warni kepentingan. Tafsir adalah pengetahuan, dan setiap pengetahuan, kata Francis Bacon di tahun 1597, adalah kekuasaan: Nam et ipsa scientia potestas est! Maka telisik ini bisa jadi adalah menginterpretasikan interpretasi mengingat begitu banyak tafsir yang ditulis atas nama Takdir.

“Tak suatu interpretandum yang bukan merupakan interpretans juga”, kata Foucault, karena setiap tafsir senantiasa berhubungan dengan kecurigaan dan kekerasan. Atau bentuk keseimbangan yang penuh kejujuran, yang oleh Laksmi Pamuntjak (2006) disebut sebagai unsur keempat dan terakhir dalam lingkaran heremeneutik George Steiner, yakni (1) tafsir selalu dimulai dengan trust—kepercayaan bahwa ada sesuatu yang berharga di dalam teks karena itu ia layak diterjemahkan (2) sebuah sikap murah hati yang radikal (3) ikhtiar yang tak pernah final, ia akan dikhianati dan karena itu setiap tafsir dituntut (4) keseimbangan dan kesetaraan secara eksplisit.

Mengutip lebih lengkap pendapat Laksmi Pamuntjak dalam Perang, Langit, dan Dua Perempuan, setiap tindak menafsirkan bagaimana pun, senantiasa “mendulang dan membawa pulang”. Tafsir senantiasa memberi kita darah, tubuh, dan nyawa, pada sebuah ikhtiar yang tak pernah sudah meski sudah kita bawa pulang ke rumah dan menjadi milik kita. Karena itu, suka tidak suka: tafsir membutuhkan agresi, tapi bukan berakhir dengan penaklukan. Takwil sejenis ini adalah “tindak pengkhianatan”. Dengan menakwilkan Takdir, tanpa sadar kita menyepuhnya, memerasnya, dengan tujuan untuk mengambil sari patinya. Dengan kata lain, menangkap pengertian melalui proses yang “keras”, mendesak dan mengambil alih.

Haruskah kita tolak? Kadang-kadang ada seorang mufasir lebih tahu dari pengarangnya sendiri, kata Laksmi. Hasil tafsirnya dianggap lebih bagus dari sumber yang ditafsirkannya. Namun masalahnya adalah: bagaimana jika teks yang ditafsirkan adalah teks sakral ciptaan Tuhan? Tentunya ini tak mudah, karena seringkali “kekerasan” yang terakandung dalam nafsu sang penafsir hanya menyisakan ampas yang sudah habis-kikis, seperti cangkang telur. Karena menafsirkan “selalu ada yang pecah, yang hilang, dalam karya yang diterjemahkan, yang menyebabkan begitu banyak upaya untuk menghindarinya, terutama dalam kasus teks-teks yang dianggap suci”, maka tafsir yang ideal menurut Laksmi adalah tafsir yang menuntut kesetaraan secara eksplisit. Sebuah pandangan yang agaknya masih berbau Marxis.

Kalau benar bahwa kesetaraan eksplisit sama dengan kesetaraan secara total, maka inilah yang disebut Ignas Kleden dalam sebuah esai tentang Goenawan Mohamad sebagai ”utopia yang belum pernah terbukti dalam sejarah bangsa mana pun”. Lagi pula, bisakah setiap mufasir memperlakukan teks yang ditafsirkan dengan kesetaraan secara ekspilisit itu? Bukankah masing-masing penafsir memiliki kepentingan dan tak jarang kepentingan itu harus menerabas register Kitab Suci? Banyak riwayat tentang ketegangan antara agamawan dan sastrawan. Ketegangan itu menyangkut persoalan sudut pandang dan kepentingan, yang tak jarang melampaui kemauan teks yang dibaca itu sendiri.

Di sini saya teringat lagi Ignas Kleden soal luasnya tasfiran seseorang hanya dimungkinkan oleh luasnya kemungkinan yang disediakan oleh teks dan luasnya kemungkinan dalam teks tergantung luasnya kemungkinan bahasa. Saya memahami lebih luas bahwa setiap proyek tafsir mengharuskan kita membentuk bahasa-bahasa baru untuk mendefinisikan ulang tempat tafsir masa kini. Pencarian tafsir pada akhirnya adalah pencarian tentang bahasa dan gramatika. Namun, betapa labil makna bahasa di sini. Jika kita mengembalikan tafsir pada pencarian gramatika atau bahasa, seorang Sutardji Calzoum Bachri justru memandang kata dan bahasa bukan segala-galanya, bahkan kata dan bahasa telah mengalami gempa.

Di sinlah saya ingin menempatkan petuah Ludwig Wittgenstein yang diterjemahkan Ignas Kleden sekaligus jadi sandaran argumennya: ”pada saat kita tak dapat lagi menyatakan sesuatu melalui bahasa, maka pada saat itu kita sebaiknya tahu diri untuk segera diam dan mentup mulut”. Luar biasa. Bukan karena kata-kata itu mengejutkan, tapi kata-kata semacam ini telah lama menjadi petuah seorang A. Teeuw dalam Sastra dan Ilmu Sastra atau Membaca dan Menilai Sastra yang begitu percaya pada kata, pada bahasa. Jika A. Teeuw menganggap sastra ”tergantung pada kata”, Ignas Kleden menganggap karya sastra bukan apa kata dan niat pengarangnya, tapi ”tergantung pada pembaca”.

Saya telah jauh menyimpang, namun ini tak terelakkan karena apa yang kita sebut pandangan Takdir bisa jadi tak pernah ada. Semuanya adalah tafsir kita atas tafsir Takdir. Setiap tafsir, sekali lagi, berkelindan dengan kepentingan. Sudah sejak kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Solo Juni 1936, ada yang melontarkan bahwa setiap “pengetahuan ialah kekuasaan”. Frase ini diungkapkan Drs. Sigit dalam kongres itu, dengan suasana dan situasi ketakutan akan bahaya “pengetahuan ialah kekuasaan” itu benar-benar menjelma. Namun Takdir mengingatkan dalam esai Semboyan Yang Tegas: tak ada yang mesti ditakutkan dengan “pengetahuan ialah kekuasaan” di Barat itu!

Di sini kita masuk ke dalam paradoks Takdir. Pertama, pada zaman Pujangga Baru, dengan keras dan tegas Takdir memperhadapkan Timur dan Barat karena Barat lebih unggul, tempat orang Timur belajar ilmu pengetahuan. Dan pandangan ini tentu telah dilantak habis oleh para teoritikus pascastrukturalis, di antaranya oleh Goenawan Mohamad. Nirwan Dewanto mungkin akan menyebut kembali pandangan Takdir sebagai “Orientalisme Baru”.

Kedua, Takdir sendiri menampik anggapan Sigit bahwa “pengetahuan ialah kekuasaan” dan menerimanya sebagai bagian diri sendiri. Di sini terkuak paradoks dalam diri Takdir, oleh karena itu tak betul juga kesimpulan seorang kritikus sastra terkemuka bahwa Takdir menganut diskuntinuitas sejarah. “Baiklah kita mencatat beberapa simpul dari suara Takdir Alisjahbana, tentang penandasan akan diskuntinuitas sejarah antara Indonesia dan pra-Indonesia”, kata sang kritikus yang tak perlu saya sebutkan namanya.

Benar bahwa di mata Takdir, Timur seolah baku, utuh-padu. Tapi kontinuitas sejarah? Takdir menganut filsafat-sejarah, karena itu jawaban Takdir atas kritik Sanusi Pane mesti ikut dipertimbangkan: “Saya pun insyaf bahwa sejarah itu sesuatu yang terus dan tidak berhenti-henti. Bahwa tiap-tiap masa dalam sejarah itu bersambung dengan masa seblumnya”.

Ada suatu proses yang ditempuh dan diterima pentolan Pujangga Baru ini, bukan suatu garis putus antara yang lampau dan kini, masa pra-Indonesia dan Indonesia. Tuduhan bahwa Takdir secara mutlak memisahkan Barat dan Timur, baiklah kita minta Daniel Dhakidae menjelaskan: “Pengertian antara Barat dan Timur tidak absolut dalam pikiran Takdir”.

Baru-baru ini ada yang menulis esai Puisi dan Modernitas dan menyimpulkan secarik puisi Takdir yang melukiskan subjek awanama yang terombang-ambing di dua bahtera dan ditegaskan sebagai perasaan sang penyair. Memang, pendapat ini sulit ditampik. Pemaknaan sejarah dan kebudayaan sebagai proses memang bukan pendirian Takdir, tapi tak betul sepenuhnya jika aku dalam puisi adalah mutlak si aku pengarang. Tak ubahnya seperti prosa, puisi pun punya tokoh. Sebuah peran atau tokoh dalam cerita, kata Camus, tidak akan pernah menjadi sang pengarang yang menciptakan peran tersebut. Tetapi bisa jadi bahwa pengarang menjelma menjadi semua tokoh dalam prosanya secara serempak. Aku yang terombang-ambing di dua bahtera dalam sajak Takdir adalah bukan Takdir sekaligus adalah Takdir. Artinya, tetap tidak pasti dan mutlak.

Pandangat Takdir tentang Barat juga adalah tafsir yang melebihi pandangan Takdir sendiri. Barat dipeluk Takdir karena kenyataannya, sebelum abad ke-20, Arab dan Hindu sudah kuat pengaruhnya di Hindia: “Pengaruh kebudayaan Barat akan sama dengan pengaruh kebudayaan Hindu dan Arab, bahkan pengaruh itu akan lebih besar adanya”. Siapa yang mengingkari ketepatan pendapat Takdir ini sekarang?

Takdir Ingin jadi Adonis

Tidak harus dibaca sebagai keangkuhan jika suatu kali Takdir pernah mengakui dengan jujur di buku Perjuangan Tanggung Jawab Dalam Kesusastraan (1977) bahwa ia adalah ”sebagai seorang Adonis”. Takdir mengatakan: ”terhadap bagian-bagian yang memuaskan, yang terasa menggemakan getaran jiwa kita yang sesungguhnya, saya sering bersifat sebagai seorang Adonis yang girang menikmati bayang-bayang wajahnya dalam cermin”. Ke-Adonis-an Takdir ditunjukkan dengan hasratnya yang ingin menyatukan ejaan bahasa Melayu antara Indonesia dan Malaysia. Cita-cita Takdir untuk menyatukan ejaan Indonesia dengan Malaysia terhenti sebagai cita-cita. Keinginan menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di kawasan Asia Tenggara juga tidak terwujud. Inilah elan vital Takdir yang menunjukkan sang Adonisme yang terlampau lantang dan ambisius.

Sang Adonis, kita tahu, adalah nama salah satu dewa dalam legenda lama Babilonia yang dikenal memiliki sifat jumawa dalam bidang kreativitas; pemuja keindahan sekaligus menekankan tanggungjawab. Salah seorang pemikir Arab-muslim kontemporer, Ali Ahmad Said—penulis empat jilid buku Ats-tsabit wa al-Mutawwil: Bahts fi al-Ibda wa al-Itba ‘inda al-Arab yang telah ditejemahkan oleh LKiS menjadi Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam (2007)—juga dipanggil Adonis; sebuah gelar yang diberikan pertama kali oleh Anton Sa’adah lantaran melihat sosoknya yang tepat dalam mempersatukan Syiria, Irak, dan Libanon yang jadi impian dan perjuangan Partai Nasionalis Syiria di bawah pimpinan Anton Sa’adah sendiri.

STA memang sering menampilkan sifat sebagai Adonis sejati, dalam arti—mengutip kata-katanya sendiri—sebagai “si penulis yang bukan saja menjadi pembaca yang pertama, tetapi juga pembaca yang berulang-ulang membaca ciptaannya sendiri”. Penulis dan pembaca bagi Takdir sama-sama makhluk langka. Dewa Adonis menurut Takdir memiliki sifat sebagai penulis dan pembaca sekaligus, yang keduanya sama-sama baik dan mengagumkan. Ada banyak pembaca yang lebih baik tapi lebih langka dari seorang penulis, dan seorang penulis sering lebih berhasil tapi juga lebih langka dari seorang pembaca yang berhasil.

Pandangan Takdir kelak kita temukan juga dalam tafsiran Jorge Luis Borges yang membaca kembali Lelaki Pojok Jalan yang telah ditulisnya. Borges memandang penulis dan pembaca sebagai pergantian kontinuitas yang sering kali mendadak atau pemenggalan keseluruhan hidup seseorang hanya menjadi dua atau tiga babak.

“Kadang saya curiga bahwa pembaca yang baik adalah angsa yang bahkan lebih hitam dan lebih langka daripada penulis yang baik”, tulis Borges dalam pengantar Sejarah Aib. Seperti halnya dengan Takdir yang banyak membaca dan menulis, Borges yakin bahwa membaca adalah laku yang muncul setelah menulis, yang menurutnya sering biasa-biasa saja, tak kentara, lebih intelektuil, tak ubahnya seperti bayang-bayang wajah di cermin tempat mengaca wajah sendiri.

Takdir telah menampilkan sosoknya sebagai dewa Adonis muda yang sangat dicintai pembaca sekaligus dihina, dan sebelum menulis ia terus-menerus membaca kembali roman Tak Putus Dirundung Malang, Dian yang Tak Kunjung Padam, Anak Perwan di Sarang Penyamun, Layar Terkembang, Grotta Azzurra, hingga esai filsafat-kebudayaan Kebangkitan Puisi Baru, Bumantara, Pembimbing ke Filsafat, Perjuangan Tanggung Jawab Dalam Kesusastraan, Kebudayaan Sebagai Perjuangan, Dasar-Dasar Semesta dan Tanggung Jawab Kita, Antropologi Baru, dan masih banyak lagi, hingga terus melahirkan karya-karya ’baru’.

Sejak muda STA memang pantas menyandang nama Adonis dalam legenda Babilonia itu. Dalam sebuah nujuman Adonis dikisahkan sebagai sosok dewa muda yang kontroversial lantaran begitu gemar berpolemik. Dalam legenda Babilonia sang Adonis begitu tampan hingga membuat dewi Aphrodite—sang dewi cinta—jatuh hati padanya karena keindahan tutur dan kebaikan budinya, karena ia seorang pemikir sekaligus seorang kreatif.

Apa yang ditulis Takdir sejak usia 15 tahun hingga sebelum tutup usia ketika berumur 86 tahun, memang seperti rajutan kultural dari apa yang disebut—mengutip kata-katanya sendiri—sebagai “benang yang tak putus-putusnya di rajut kembali di zaman kita” atau “tuntutan perasaan tanggung jawab yang terus-menerus tentang masyarakat dan kebudayaan”. Menulis adalah panggilan takdir manusia yang menjadikan dirinya sebagai manusia.

Begitulah Takdir memaknai sepenggal perjalanan kreatifnya. Sebagai seorang yang menjunjung kreativitas, Takdir telah memperkaya jiwanya dengan sastra, kebudayaan, dan filsafat dengan ukuran internasional, dan akhirnya cita-cita ini sering terdengar sebagai hanya kelantangan belaka. Dalam perjalanan hidupnya sangat lekat dengan optimisme.

Takdir dengan jumawa menggunakan nama Adonis sebagai perumpamaan bagi seorang pengarang yang hidup dalam tiga periode yang hingar-bingar; kolonialisme, kemerdekaan kultural, dan zaman rekonstruksi. Takdir telah menempatkan dirinya sebagai Adonis dari Timur. Walau antara Adonis dalam legenda Babilonia dengan Adonis dari Indonesia ini terdapat perbedaan dan jarak yang jauh, tetapi spirit pemikiran dan kreativitas keduanya begitu kuat, menggema, bersemangat pencerahan.

Takdir tidak dilahirkan sebagai anak haram jadah, sebagaimana Adonis di Babilon. Takdir lahir dari keluarga terrpandang dari keturunan sultan Minang dan permaisuri Tapanuli. Adonis lebih mirip seorang Mevrouw Annelis dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang lahir dari persetubuhan di luar nikah antara gundik Sanikem atau lebih dikenal sebagai Nyai Ontosoroh dengan Herman Mellema.

Dalam mitologi Babilonia, Adonis lahir dari hubungan gelap antara raja Siprus dengan putrinya Myrrha—yang dalam legenda itu, Myrrha dikutuk jadi pohon dan dari akarnya lahirlah Adonis. Seperti halnya keluarga Nyai Ontosoroh-Herman Mellema yang berantakan dan kedua putranya begitu lemah jiwa dan moralnya, dan sang suami kemudian diperlakukan istrinya dengan keras dan penuh penghinaan hingga kemudian terusir dari rumah dan tutup usia, lalu muncullah sosok Nyai Ontosoroh yang sangat tangguh dan melampaui kepribadian Kartini.

Takdir sendiri pernah melontarkan perumpamaan sastra dan pohon beringin yang subur di majalah Pemandangan tahun 1943. Ketika pihak Jepang sedang asyik menyusun pusat kebudayaan dan banyak menarik seniman Indonesia di tahun itu, ia menegaskan bahwa kaum seniman yang telah memperkaya dirinya dengan ukuran internasional hendaklah kembali ke sekitarnya; “kembali ke akar, ke masyarakat dan kebudayaan Indonesia; bukan sekadar untuk mencari bahan mentah dan melap-lap kebudayaan lama, tapi supaya jiwanya dapat tumbuh dan berkembang dengan sewajarnya”.

Dengan kembalinya sang seniman ke bumi manusianya sendiri, Takdir sempat meramalkan akan datangnya suatu masa yang subur dan rimbun bagi kebudayaan Indonesia, “seperti pohon beringin yang beribu akarnya menyelami bumi dan di bawah lindungannya bangsa Indonesia hidup jaya dan berbahagia”, tulisnya.

Pandangan yang dinukil dari tragedi kehidupan Adonis ini sering kali membuat Takdir kerapkali disalahpahami: ia dituduh sebagai pemikir anti-kebudayaan Indonesia demi mengejar pencerahan Barat-Eropa. Siapa pun yang mengikuti karyanya memang cukup beralasan mengapa ia sering disamakan sebagai si Malin Kundang dalam legenda lama Nusantara, mengingat porsi yang diberikannya terhadap pandangan Eropa Barat dalam karyanya jauh lebih sering ketimbang ajakan untuk menengok sumber kebudayaan Nusantara.

STA bahkan lebih sering mengkritik kebudayaan bahari Nusantara—termasuk mengkritik agama Timur—yang dianggapnya bukan sebagai cermin semangat pembebasan melainkan belenggu dan penyamun bagi bangsa muda bernama Indonesia. Selagi masih bergabung di PSI, Takdir sering berdebat dengan Mohammad Natsir dari Masyumi yang sempat dalam menempatkan Islam. Takdir menawarkan ide sosialisme demokrat yang sekuler dan menawarkan kebebasan manusia untuk beragama dan memeluk keyakinan sesuai pilihannya sendiri.

Tafsir lama tentang Islam sudah saatnya ditinggalkan karena tidak akan membuat Indonesia maju, melainkan beku. Kebudayaan lama selayaknya disimpan dalam laci kenangan dan kebudayaan baru yang melayani pertemuan manusia sebagai individu dengan sesuatu yang merupakan dirinya sendiri dalam kekiniannya sudah semestinya lahir di sini. “Melanggar pagar gramatika sedikit tidaklah mengapa dalam menulis sastra, karena terlampau takut membuat salah itulah maka karya sastra kita menjadi seperti kuda yang telah tua, yang setiap hari berjalan melalui jalan yang satu dan sepanjang zaman tiada berubah-ubah hingga ajal tiba menjemputnya”, tulis Takdir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar