Sabtu, 31 Januari 2009

Semsar Siahaan

Oleh Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang



Barangkali hanya Semsar Siahaan(1952-2005) perupa yang dengan setia melukis realitas kehidupan yang carut-marut masa kini. Sebagai pelukis dan pematung ia sering menampilkan lukisan-lukisan yang dramatik tentang wajah-wajah kaum miskin dan buruh di belahan Dunia Ketiga. Meski berkali-kali ia melukis dalam keadaan bahaya, namun satu persatu lukisannya hadir menyapa kita. Puluhan karya lukisnya pernah dipamerkan di Galeri Nasional Agustus 2004 dengan respon publik yang cukup menggembirakan.

Semsar adalah seniman yang dengan teguh meyakini karyanya sebagai seni yang terlibat. Karyanya, The Shade of Northern Lights (Galeri Nasional, 2004) merupakan buku kumpulan lukisan terbarunya sebelum kemudian ia pergi untuk selama-lamanya. Dari judul-judul lukisannya dengan sangat tegas ia menolak semboyan seni untuk seni dan mengagumi seni kontekstual. Lukisan “G-8”--dengan rangkaian ”lingkaran segi enam” yang memperlihatkan bentuk pizza raksasa-- menampilkan wajah seni yang prontal. Dengan potongan gambar-gambar simbolik, tentang teknologi, globalisme dan kapitalisme, Semsar hendak menegaskan pentingnya seni sebagai alat perjuangan.

Dalam dunia kesenian--juga dunia aktivis sosial--Semsar telah menjadi ikon penting tidak hanya di negeri ini. Mungkin dialah seniman yang berada pada garis terdepan perjuangan melawan globalisme, kapitalisme, imperialisme atau juga pelanggaran hak asasi manusia lewat karya seni. Dalam lukisan berjudul “Genoa Tragedy 1”, ”Genoa Tragedy 2” dan ”Genoa Tragedy 3” (2001), ia menampilkan sosok manusia dalam lukisan serigrafi dengan tampilan otot-otot binatang yang ditusuk-tusuk atau disangkut-pautkan dengan gancu dan tongkat besi pengait. Di sini ia hendak menghadirkan sosok manusia yang terkurung dalam lingkaran globalisme lewat gambaran realitas masyarakat Dunia Ketiga.

Dalam karya ”In Memoriam Santa Cruzs” (2001) ia menghadirkan peristiwa naas di kota Santa Cruzs yang selama ini hanya hadir lewat berita-berita yang dilansir media. Dalam karya "The Man Who Knows All” (2002) ia melukis tubuh George Bush yang sedang memakai gaun yang ”terlampau besar untuk dirinya”. Bush terlihat sedang bersandar pada pemasang perangkap lalat ”pertanda kematian”, dengan senjata yang dia pegang--sementara sepatu ”kesayangannya” menginjak surat perjanjian antinuklir.

Dalam lukisan hitam-putih berjudul The Death of on Ancestor (ukuran 56x76 cm), Semsar menampilkan sebuah drama kematian yang penuh simbolik dan kontras antara harapan yang bebas dengan realitas yang terpasung. Orang bebas memiliki harapan. Namun, bagaimana manusia bisa bebas bila selalu--bahkan saat tidur--dirongrong kematian? Konon, kematian akan membawa kebebasan yang utuh. Namun, siapa yang dengan suka hati menyongsong kematian? Hanya segelintir orang yang mau menyambut kematian dengan tenang tanpa harap dan cemas.

Semsar termasuk segelintir orang yang siap menerima kematian dengan penuh takzim. Bahkan ia juga dengan berani menatap kematian dengan jarak dekat. Dengan penuh ketakziman ia merekam baris-baris kematian lewat lukisan warna-warni—juga hitam-putih—yang menambah suasana kian mencekam. Semsar dengan giat mendokumentasikan tubuh-tubuh yang membiru, bergelimpangan, berpeluh-berkesah di atas kanvas putih yang berubah menjadi wana kemerah-merahan. Tapi goresan warna kematian itu tetap terasa hidup secara biologis.

Dalam lukisan " Measing Beauty" (2002), dan “Tragedi Geno” ia menampilkan gambaran tubuh seorang aktivis anti globalisasi di Italia, Julian, saat dieksekusi mati oleh tentara Italia beberapa tahun lalu. Semsar tak pernah “terganggu” dengan tuduhan sebagai seniman realis yang pandai memindahkan realitas nyata ke dalam karya seninya.

Lukisan Semsar pada umumnya hampir sama. Ia tak hanya melukis wajah-wajah manusia yang merintih-meradang-menerjang, sebagaimana lukisan realisme umumnya, tapi ia juga melukis benda-benda simbolik yang memintanya untuk bicara sendiri. Empat belas karya hitam putihnya dalam buku The Shade of Northern Lights sama sekali tak memperlihatkan wajah-wajah manusia yang terkulai lemah seperti lukisan warnanya. Karya itu nampak sangat kuat memainkan imaji dan metafor lewat benda-benda dan tiulang-tulang binatang yang menggeliat-memberontak.

Semsar memang menghadirkan realisme berkabung dan kepedihan yang berlarut-larut yang menimpa negeri pascakolonial. Permainan metafor dan simbol-simbol dalam lukisan hitam-putihnya menjelma sebuah dialektika kehidupan nyata dan alam imajinal. Semsar juga menghadirkan permainan terang-gelap, dekat-jauh: sesuatu yang konvensional tapi sungguh menggetarkan. Permainan seni abstaraksi juga tak jarang menjelma sebuah proses yang mengalir lancar dalam suatu fusion yang saling membentuk gugusan makna. Benda-benda dalam lukisan hitam-putih itu mempertontonkan wajah-wajah serius dan murung dalam bentuk yang terang benderang.

Mengapa Semsar memilih lukisan dan bukannya puisi? Bukankah puisi juga tak kalah kuatnya menghadirkan suasana kabung lewat kata-kata seorang penyair? Bagi Semsar, kelebihan lukisan realisme terletak pada kehendaknya untuk memberi arti atau makna. Sementara puisi—walau tidak semua—sering gamang menghadapi realitas carut-marut dan hanya melahirkan kata-kata verbal dan tak mampu menyusuguhkan empati dan daya magis. Kata-kata sebagai sarana ekspresi bagi Semsar sudah jauh ditinggalkan, tapi anehnya, di tangan para penyair di Indonesia masih dianggap mantra.

Semsar bahkan pernah dengan jujur mengaku, “Semangat berkarya seniku masih selalu menjauh dan mengambil jarak dari ke-Indah-an yang manja, serta eksotisme tradisional yang meminta belas kasihan” (It is the spirit of my art, which stillstory away, even goes away, from the spoilt beuty, the traditional exotism that begs for mercy).

Karya seni rupa Semsar berada dalam penggambaran citra-citra yang penuh rasa iba. Tapi karya seninya bukan sebuah kenenesan apalagi kecengengan. Ia memang berduka tapi tidak bersenandung liris yang di bawa oleh arus mimpi-mimpi yang membuai-menghanyutkan. “Rakyat” dalam lukisan Semsar tetap memberi citra dan bentuk yang serius. Ini pertanda dari sebuah wujud dari sebuah tekad yang kembali tumbuh dengan sehat hingga ia mampu bertahan menghadapi berbagai tantangan alam dan keserakahan manusia.

Realisme Semsar Sihaan tetap mengandung kesan simbolik. Ia tak sekedar menghadirkan tematik penciptaan realisme sosial dan kemanusiaan, tapi juga subjektivitas dirinya yang berdialog dengan alam, seperti dalam lukisan The Springs Full Moon 1 (2004) dan The Springs Full Moon 2 (2004). Karya-karyanya memang menampilkan garis-garis--bahkan objek yang dibuat itu—mengutip Sihar Ramses Simatupang—kerap menjelma semacam ”abstrak berfigur”: sebuah lukisan yang tak verbal dalam perwujudan objeknya namun tetap memperlihatkan tema sosial atau sebaliknya, tema sosial yang memperlihatkan nuansa verbal.

Sketsa lukisan Semsar tampak begitu lugas menampilkan kenyataan sehari-hari yang timpang. Meski begitu, Semsar tetap menampilkan warna tersendiri dalam dunia seni rupa. Warna-warna muram yang berbentuk garis-garis hitam-putih tak sekedar menampilkan warna hitam. Karya lukis Third Millenium Totem 1, Third Millenium Totem 2 (Mother and Child) dan Third Millenium Totem 3 atau The Poet who Dissapeared (2000), menunjukkan kecenderungan ke arah itu.

Di sinilah letak kekuatan—mungkin juga kelemahan—Semsar. Seni rupa yang bergumul dalam realitas “buruk rupa” memang tak mampu mengelak dari semangat belas-kasihan. Tapi keindahan seni kontekstualnya mampu melahirkan “estetika yang dipenuhi tata krama berkarat dan basi yang tak akan pernah menjadi tantangan bagi dunia penghayatan dan nalar”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar