Sabtu, 31 Januari 2009

Person dan Aktor Hamidah dalam Teater

Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang


Saya tidak sedang berpretensi sebagai pengamat teater, ketika akhir-akhir ini melihat ramainya fenomen teater yang disibukan dengan dialog yang berlarat-larat sehingga tidak mempunyai ruang untuk menggarap detail di tingkat tubuh aktor. Demikian pula ihwal monolog batin, yang kini tampaknya ditempatkan sebagai locus theatricus, dan nyaris dianggap sebagai model terdepan plus terbaik.
Hal itulah yang saya rasakan tatkala Iswadi Pratama berusaha mencari buku penyelamat aktor. Mungkin karena aktor benar-benar sedang berada di ambang kematian, dan hanya sedikit aktor seperti Hamidah. Pencarian dan pengembaraan yang dilakukan Iswadi ternyata tidak sia-sia, sebab setelah sosok Hamidah disebut oleh Tempo (15 Desember 2008) sebagai seorang diri yang sanggup menghadirkan dunia batin seorang perempuan yang terluka, dan dinobatkan majalah yang sama sebagai satu di antara aktor teater terbaik 2008, Iswadi juga menemukan dua kitab suci pegangan para aktor yang ditulis "nabi teater“ Stanilavsky lewat versi terjemahan Persiapan Menjadi Aktor (Asrul Sani) dan Membangun Tokoh (B Verry Handayani, Dina Octaviani, dan Tri Wahyuni).
Sang inovator, aktor, sutradara, dan kritikus teater Rusia itu punya sejumlah kesamaan dengan sutradara-penulis naskah Nostalgia Sebuah Kota, Kenangan tentang Tanjungkarang yang dipentaskan kali pertama pada 2003 di Jakarta, yang menyabet empat penghargaan sekaligus: Naskah Terbaik, Sutradara Terbaik, Grup Terbaik, dan Kelompok Artis Terbaik.
Selera Iswadi dan Stanilavsky sungguh berdekatan. Stanilavsky begitu menghargai penonton, sampai-sampai pernah bilang: apa arti sebuah pertunjukan teater sekalipun naskahnya ditulis oleh sutradara yang handal, aktor terbaik, hiasan panggung yang berseni, jika tanpa kehadiran penonton. Iswadi pernah bilang: banyak penonton teater mengalami skizofrenia lantaran banyak teater gelap dan tak mau berbagi pada penonton. Tapi apakah teater monolog yang diproduksinya selama ini mudah dipahami penonton?
Jika Stanilavsky pernah memuji silent soliloquy dan monolog-batin bisa dilakukan di atas panggung, bahkan menjadi sebuah pilihan yang menantang, Iswadi adalah sang sutradara yang fanatik pada teater monolog. Bersama Ari Pahala, Iswadi Pratama berkali-kali mengadakan lomba teater monolog dan bertindak sebagai juri. Namun menciptakan teater monolog bukan hal mudah, sekali pun sutradara sekelas Iswadi.
Ada yang mesti juga dicatat, lakon monolog garapan Iswadi tak semuanya berhasil dibandingkan dengan karyanya yang menyuguhkan dialog yang intim. Sambutan pemirsa teater yang menggelegak di berbagai kota atas lakon Nostalgia Sebuah Kota, Kenangan tentang Tanjungkarang, bukan melulu karena teater ini jadi penyelamat aktor. Justru karena gaya hibrid yang kuat, persenyawaan antar berbagai seni pertunjukan, pertemuan antara balet dan serimpi, gerak dinamis, dialog-dialog yang puitis, dan nyaris jadi teater epik.
Dari sini kita tahu bahwa aktor bukan segalanya. Aktor yang baik tidak melulu yang pasih berdialog, melainkan mampu menghubungkan momen batinnya dalam keadaan intim dan hening. Inilah yang dilakoni Iswadi, yang hampir sepenuhnya meyakini definisi aktor teater dari Goenawan Mohammad, di mana keterampilan seorang aktor merupakan hal yang paling signifikan. Keterampilan dalam memahami, menghayati, dan memainkan peran serta menghidupkan pertunjukkan, untuk menjadikan pertunjukan tersebut menjadi suatu realitas tersendiri yaitu realitas pertunjukan teater, di mata Goenawan adalah hal paling mendasar. Terlebih lagi dalam teater monolog yang memang menempatkan aktor sebagai orbit.
Tengoklah pernyataan Goenawan dalam Catatan Pinggir Lakon dan Lelucon, betapa dekat dengan semangat esai Buku 'Penyelamat Aktor: "persoalan yang dihadapi oleh seorang sutradara dewasa ini“, kata Goenawan, adalah "ketika metode akting Stanilavsky tampaknya tidak pernah diikhtiarkan lagi dan ketika karya-karya yang sering dipanggungkan di Indonesia sekitar tahun 1950-1960-an (Chekhov, Ibsen, Strindberg, misalnya, atau beberapa lakon Indonesia oleh Motinggo Boesje dan Nasyah Djamin) tidak pernah muncul kembali. Di pentas di Indonesia sekarang mungkin hanya Studi Teater Bandung yang masih meneruskan apa yang dulu dirintis oleh Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan tentu saja oleh Jim Adilimas. Kita tak pernah lagi menyaksikan Pinangan atau Kebun Cheri, di mana aktor dituntut menampilkan drama batin, karakterisasi, suasana hati (lebih penting ketimbang alur cerita), dengan fokus pada segi tragikomedi dari kejadian-kejadian yang sering banal“.
Buku Persiapan Seorang Aktor meyakinkan kita melalui pengalaman personalnya tentang makna sesungguhnya dari monolog batin: “Jika aku berkesempatan untuk mengadakan hubungan batin dengan perasaanku sendiri dalam keadaan hening“, tulis Stanilavsky, "maka aku akan menikmatinya“.
Ucapan Stanilavsky itu berhubungan erat dengan aktor yang memiliki sifat silent soliloquy. Tentu saja, monolog batin bukan hal yang gampang. Iswadi sendiri jauh lebih berhasil melakukan percakapan dengan diri sendiri dalam puisi, ketimbang di atas panggung. Tapi monolog batin itulah yang juga sedang dicari bentuknya dalam tiap kali pementasan Teater Satu yang naskahnya ditulis dan pertunjukannya disutradarai Iswadi sendiri. Bahkan dalam lomba teater monolog beberapa tahun lalu di Lampung, Iswadi Pratama dan Ari Pahala mengeluh dengan sulitnya mencari teater monolog yang memenuhi selera dan dahaga keduanya.
Iswadi dikenal cukup intim dalam menghadirkan semesta batin di tengah cuaca teater yang tengah bergayut mendung, suram. Tak jarang saya membayangkan Iswadi di atas panggung sedang berpegangan pada sebatang jerami kering, menarah keperihan dan kegelisahan dengan rintih-diam. Dalam hal ini, Iswadi tampak secara harafiah mengikuti petuah Stanilavsky tentang bermain dalam diam. Dalam puisi, Iswadi lebih dekat dengan ucapan Carlos Fuentes: menulis dalam diam.
Setelah sebelumnya digugat, aktor kembali diberi peran dominan, terutama ketika bicara perihal apa yang disebutnya "menubuhkan tokoh". Ada yang rancu dalam kata-katanya, ketidakjelasan memisahkan makna sutradara dan peran, aktor, tokoh serta tokoh utama, dan membuat Iswadi memamah biak begitu saja gagasan teater monolog dan teater tergantung pada aktor Stanilavsky, Goenawan, Yudi A Tajudin.
Iswadi bilang: "bagaimana memberi bentuk fisik peran/karakter yang dimainkan sehingga citraan-citraan lahir maupun batin peran bisa sampai“. Apa arti kalimat ini, Bung? "Bahkan, tidak jarang ada semacam keraguan di kalangan mereka untuk menentukan apakah aspek-aspek batin peran terlebih dahulu yang harus diserap aktor kemudian diberi bentuk fisik; ataukah citraan-citraan fisikal lebih dahulu yang dikejar aktor barulah 'jiwa’ peran diberikan?“ Apa pula ini?
Dengan nada iklan Iswadi meyakinkan pembaca dan calon-calon aktor perihal tiga hal pokok yang wajib dimiliki seorang aktor: Kehidupan intelektual, kehidupan rohani, dan perkembangan keterampilan. Salah satu saja dari ketiga faktor itu terhenti dalam proses keaktorannya, kata Iswadi, maka sebenarnya ia telah "tamat" sebagai aktor (seniman). Yang tersisa kemudian hanyalah seseorang dengan mimpinya sebagai aktor!” Wah, wah, wah, Trinitas amat, Bung Iswadi! Apa memang aktor identik dengan seniman? Apa seniman juga aktor? Saya khawatir, memuja aktor berlebihan bisa menghilangkan peran elemen lain, yang bisa jadi merupakan jaringan tubuh yang tak terpisahkan dalam jagad teater.
Sebagai pelaku teater, Iswadi meletakkan teater hanya melulu aktor, dan kalau aktornya baik maka bisa jadi juru selamat dalam teater. Apakah memang hal itu menjamin? Apa tidak ditentukan oleh beragam soal? Beberapa kali saya dengar kritikus teater menyebut tentang kekuatan sebuah teater justru ada pada person. John Perreault dan Michael Kirby mendedah lakon Oedipus, a New Work dan menemukan daya pukau dan daya sihir sebuah teater pada matrik tokoh dan kisahan yang menampakkan kekuatan person, alih-alih aktor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar