Sabtu, 31 Januari 2009

Hanyut dalam Arus Waktu:

Perihal puisi-puisi Sitor Situmorang

Oleh Asarpin
Pembaca Sastra, tinggal di tanjungkarang



Sitor adalah penyair paling produktif. Setiap tahun sajaknya muncul bagaikan luncuran waktu. Pada awal 1950-an, hanya Sitor yang menghasilkan banyak sajak. Sitor sendiri menyebut era 1950-an sebagai arus waktu yang bergemuruh dan bergaung, yang bagaikan “tanggul jebol yang tak mampu dibendung”. Meminjam perumpamaan Takdir Alisjahbana, Sitor juga ibarat pohon beringin yang tumbah rimbun dengan akar yang meruah ke pantai kesadaran kemaknaan di laut lazuardi, di antara kicauan burung bakik dan nyanyian kerinduan sukma sang pujangga yang hidup dalam dua bahtera.

Sitor sendiri melukiskan proses kreatifnya yang bagaikan tanggul jebol itu bukan sebuah kelantangan ucapan. Namun ia tunjukkan dengan lahirnya ratusan sajak dalam setahun. Kata-katanya mengalir memanjang ke berbagai pengucapan, baik dalam situasi perang kemerdekaan, maupun sesudah perang. Jebolnya tanggul itu terjadi setelah Sitor meninggalkan Medan dan hijrah ke Yogyakarta. Di kota gudeg ini sajak-sajaknya terbit di berbagai media terkemuka dan nyaris menjadi penulis sajak tetap pada majalah Siasat akhir 1940-an dan terus menemu pembaca di majalah Indonesia, Mimbar Indonesia, Zenith, sampai dengan Zaman Baru di awal 1960-an.

Sitor nyaris menghegemoni media kala itu. Sampai pada terbitnya kumpulan sajak Surat Kertas Hijau, Sitor telah menghasikan tidak kurang dari tiga ratusan sajak dengan bahasa pengucapan liris yang agak prosais, namun hening terbening. Kendati terlahir sebagai anak udik Sumatera Utara, keluarga Sitor cukup terpandang dikalangan adat Batak. Hampir tak mungkin jika tanpa pengaruh keluarga Sitor bisa mengenyam pendidikan MULO (Tarutung) dan AMS (Jakarta) yang kala itu masih belum banyak dimasuki oleh anak pribumi. Lantas dengan cepat ia menjadi orang urban di kota-kota besar sambil memperdalam pengetahuan mengenai sinematografi di Universitas California, AS, dan pernah bermukim di Singapura, Amsterdam dan begitu intens melakukan perjalanan bolak-balik antara budaya ibunya dengan budaya luar.

Sitor adalah pelaku aktif yang dalam kerja kebudayaan tahun 1960-an tidak memisahkan antara puisi dan politik, puisi dan tangggungjawab sosial. Di mata Afrizal Malna, Sitor pernah digambarkan dalam videonya sebagai sosok terlibat yang hidup dalam berbagai pergolakan; dari nasionalisme, perang kemerdekaan, pasca kemerdekaan, konflik ideologi-ideologi besar, nasionalisme, modernisme, pasca-modernisme. Tapi sebagian besar sajak-sajaknya justru sangat sunyi-diri dan nyaris tak ingin berbagi. Mungkin Sitor merasakan kesunyian di tengah kebuncahan dan keramaian, kegaduhan suara peleton serdadu dan mesin teknologi.

Penyair yang Melintas Perbatasan

Sitor hidup di tengah percaturan politik sejak kolonialisme, perang kemerdekaan hingga reformasi. Berbagai kota telah menjadi bagian dari biografi puisinya, seperti Toba, Jakarta, Yogyakarta, Bali, Bandung, Singapura, Amsterdam, Paris dan beberapa kota lain di Eropa. Sungguh cantik Sitor melukiskan dunia kepenyairannya dalam sajak Berita Perjalanan yang ditujukan pada H.B. Jassin, yang dimuat dalam kumpulan Surat Kertas Hijau:

Kujelajahi bumi dan alis kekasih
Kuketok dinding segala kota
Semuanya menyisih

Keragaman nikmat bebas
Serta kerdilnya ikatan batas
Tersisa di tangkapan hanya hampa

Saat memuncak
Detik menolak
Terbanting diri pada kebuntuan

Hari berontak
Batas mengelak
meruah ingin dalam kekosongan

Jakarta, A’dam, Paris, Genova satu nama
Salju Alpina di Jibuti gurun Afrika

Sejak itu sepakat kebuntuan
Jadi teman seperjalanan kekosongan
Dalam sajak mencari kepenuhan
Perang antara kesetiaan dan pengembaraan


Sitor tidak hidup seperti katak dalam tempurung karena dunianya menolak hanya tinggal di danau Toba, atau cukup dengan mengelilingi kepulauan bahari Nusantara. Dengan cantik Sitor melukiskan dunianya sebagai ”perang antara kesetiaan dan pengemabaraan”. Sitor memberontak atas ikatan kesetian tentang tanah air, lalu menjebol perbatasan. Namun di sini pula justru keterbatasan itu nyata dan nyaris tak terelakan. Manusia perbatasan memang menolak tunduk pada kesetian, keakhiran, dan memilih kehampaan, kekosongan. Sebuah nol yang nyaris mutlak!

Berdiri di antara perbatasan dua dunia membuat jiwanya berkecamuk untuk menemukan kepenuhan martabat manusia dan kemanusian yang hakiki. Sampai-sampai terjadi konflik antara kekosongan dan kepenuhan, ”perang antara kesetian dan pengembaraan”. Atau hidup yang ”tidak menolak tidak menerima (sajak Matahari Minggu), karena bisik lirik seumpama monolog batin lamat-lamat terdengar juga bahwa ”bersandar pada dinding kota/Kawan terima kebuntuan batas”.

Afrizal benar ketika mengatakan bahwa Sitor adalah sebuah pohon kesusastraan yang tumbuh dengan akar, dahan, ranting dan daun-daunnya yang kaya warna. Perjalanannya seperti sebuah cermin besar dengan begitu banyak wajah dan jejak untuk kita bisa melihat diri kita sendiri. Berpolitik tidak membuat ia tidak kreatif, ke Barat dan Eropa tak membuatnya melupakan ibu dan bapa.

Di antara penyair Indonesia, Sitor mungkin yang paling banyak menghasilkan sajak. Tidak hanya untuk ukuran penyair Indonesia sebetulnya, bahkan sajak dunia. Padahal selama delapan tahun Sitor menjadi manusia bubu dan nyaris absen menulis sajak dan arus kata-kata menjebol tembok kembali ketika ia telah lepas dari tembok penjara Orde Baru yang langsung semadi di pulau para Dewata (Bali). Produktivitas dan kreativitas ternyata berpadu bagai musik harmoni yang saling kasih-mengasihi.

Lebih dari lima ratus buah sajak yang pernah lahir dari tangannya. Sajak-sajak awalnya sangat indah dengan tematik yang dekat sekali dengan suasana alam permai nan elok, bahasa pengucapan yang tenang dan bening. Hal ini bisa kita susuri dalam sejumlah buku analekta sajaknya, mulai dari Surat Kertas Hijau (1954), Dalam Sajak (1955), Wajah tak Bernama (1955), Dinding Waktu (1976). Pamusuk Eneste bahkan telah berjasa menelusuri sajak-sajak awal Sitor yang tidak dimuat dalam empat buku itu, lalu dalam menerbitkan kembali sajak yang pernah ditulis Sitor selama empat windu kepenyairannya dengan buku Bunga di Atas Batu (Si Anak Hilang): 1948-1988.

Penelitian atas sajak-sajaknya terus dilakukan. Wing Kardjo telah menggabungkan sajak-sajak lama Sitor dengan hasil suntingan Pamusuk itu pada 2001 dan terbitlah buku dua bahasa (Indonesia-Prancis) dengan judul Paris la Nuit (2001), Paris di Waktu Malam. Lantas, pada 2004, atas jasa J.J. Rizal dan Komunitas Bambu, terbit juga sajak-sajak Sitor yang tercecer dengan tajuk Biksu tak Berjubah (2004).

Di bandingkan dengan jumlah sajak yang telah dihasilkan Sitor, belumlah sebanding studi yang selama ini telah dilakukan atas sajak-sajaknya. Selama ini memang telah muncul studi atas sajak-sajaknya, baik dalam bentuk skripsi, tesis, disertasi, dan esai-esai serta kritik puisi yang tercecer di sejumlah jurnal, majalah dan koran.

H.B. Jassin menggolongkan Sitor sebagai penyair 45 bersama-sama dengan Chairil, Idrus, Asrul Sani, dan novelis Pramoedya Ananta Toer. Takdir telah menahbiskan Sitor sebagai penyair yang terpenting sejak Chairil Anwar sesudah perang, yang memiliki vitalitas, kemurungan, dan keharuan yang dekat dengan Chairil. Lalu A. Teeuw kembali menegaskan nada serupa dengan Takdir, bahwa setelah Chairil, Sitor menjadi penyair Angkatan 45 yang terkemuka. Lalu muncul belakangan studi yang dilakukan Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, dan sejumlah nama yang tak mungkin disebutkan satu per-satu di sini.

Beberapa sajak Subagio dan Goenawan sendiri dekat sekali dengan bahasa pengucapan Sitor yang cenderungan menampilkan suasana rasa kelam dan cemas dari revolusi seorang diri yang sunyi. Goenawan sangat apresiatif terhadap sajak-sajak Sitor yang dekat dengan bahasa prosa yang mengalun lirih bagai aliran sungai batang hari menyusuri lembah-lembah, berkelok, bercecabang dan akhirnya meluncur menjebol tanggul menuju ke riak laut yang lepas. Atau bagaikan sajak “dalam relung sepi” (Sitor) dan “sajak sunyi abadi” (Goenawan) atau mirip suasana nada lagu pastoral di malam sunyi yang membuat kata-kata seakan ikut menari gemulai atau “masa lempang-diam menyerah” (Sitor dalam Perhitungan), antara “doanya diam” dan “doanya kuyu di warna kaca basah/Kristus telah tersalib manusia habis kata” (sajak Chathedrale De Chartres) .

Sajak liris tak ubahnya seperti tari serimpi, yang dilukiskan oleh Goenawan, sungguh-sungguh kita temukan dalam sajak Serimpi Sitor di mana kata-kata teralun gemalai seperti jari putri-putri keraton menari, yang ditating, halus kecil, gerak mesra-lembut, yang maknanya hanya dapat diduga setelah kita mencoba mencarinya di balik tirai kata-kata itu sendiri. “Sajak sunyi abadi dari kristal kata” atau “seutas waktu yang bisu” (dalam penegasan esai-esai Goenawan) dan Sitor melukiskan sajaknya sebagai “jelmaan sepi abadi” (Duka) namun “segalanya yang tak bisa abadi” (Paris-Avril) karena “kesepian di sini menjadi kehadiran (Place ST. Sulpice) dan karena “ia akan terus mengembara, berputar-putar seperti sinar lampu menara di malam buta” (Tour Eiffel) lewat “pecakapan tanpa kata-kata/terbalut angin/dan kebisuan” dalam sajak Mendaki Merapi Menatap Borobudur (2003).

Di sini Sitor tidak menjelmakan sosoknya sebagai penyair rindu-dendam, tapi kalau masih perlu dikatakan: Sitor lebih dekat dengan penyair rindu-kelam yang muncul dari “rindu kelana”: manusia traveling! Sajak-sajaknya seakan menjelma helai-helai benang-benang intuitif yang mengandung kelicinan dan sembilu merayu, keberdiam-dirian yang halus dan sangat halus dan licin. Sebuah suasana yang hanya bisa dilukiskan dengan meminjam kata-kata Ellen Disyanake, di mana kata-kata seperti gelombang musik yang sangat lembut yang terbalut dalam kehalusan rasa surgawi, atau serasa gelombang pasang melayang melanda di dada, dan tampak terasa bekas luka disayat-sayat besi berbisa, yang menekan berat dan nyeri, sengau, dan meresap di jiwa, hingga gemerincing pelan dan membubung dalam rasa, perih, seperti alunan melodi tua yang lengkap dengan getar birasa dan geliat sekaratnya. Atau, seperti penyair mabuk yang merasuk-masyuk, geletar rasa melayang terbang, menggigil ketakutan, kedinginan. Tak ada yang bisa melukiskan nada sajak semacam ini, sebab ia datang bagai kilauan cahaya waktu senja, bahkan petikan senar gambus tua tak mampu menembus antara rasa begitu rupa, rasa indah, suci, juga mulia.

Sejak sajak pertama dalam Bunga Di Atas Batu suntingan Pamusuk, Sitor telah mendendangkan nyanyi-sunyi kerinduan lewat pelukisan panorama alam yang melambai, membuai mimpi-mimpi indahnya. Bahkan dalam sajak Lereng Merapi Sitor seakan meramalkan ujung kelananya dengan kembali kepada kerinduan yang tak terengkuh: ”Kutahu sudah, sebelum pergi dari sini/Aku akan rindu balik pada semua ini/Sunyi yang kutakuti sekarang/Rona lereng gunung menguap/Pada cerita cemara bedesir/Sedu cinta penyair/Rindu pada elusan mimpi”.

Lukisan gunung Merapi, panorama candi Prambanan, dan alam permai yang seakan mengajak berlagu merdu yang muncul dari semesta batin, kelak di kemudian hari tak akan terlupakan walau sang penyair telah mengembara menjelajah kota-kota besar Eropa. ”Pencipta candi Prambanan/Mengalun kemari dari daratan.../Dan sekarang aku mengerti/Juga di sunyi gunung/Jauh dari ombak menggulung/Dalam hati manusia tersendiri/Ombak lautan rindu/Semakin nyaris menderu...”, tulisanya dalam lanjutan sajak Lereng Merapi.

Vitalitas Chairil yang ”deru campur debu” dengan ringan dibalik oleh Sitor dalam sajak Chairil menjadi tampak melankolis: ”Debu campur deru/Deru tambah sedu/Sedu dijalin rindu/Tebaran satu lagu” hingga ”Kata-kata patah/Kehilangan irama/Didera panas/Api neraka”. Salah satu sajak awal Sitor terindah yang melukiskan percintaan yang dekat dengan sajak cinta Chairil yang melukiskan dua manusia yang tengah dilanda mabuk asmara sebagai ”kau kembang aku kumbang” (Chairil).

Dalam sajak Jangan Bertanya dan sajak La Ronde, Sitor mengekspresikan seks yang erotik namun cantik dan menawan. Kata-katanya tampak mengalunkan irama nyanyian batin pengelana di dunia terasing di sekeliling yang membuat jiwa penyairnya berkabut dan murung. Sitor, seperti halnya Chairil, berjalan menumu malam dengan suasana kabut yang asing dan senandung mimpi kelabu yang tak pernah bisa pergi dalam sajak Jangan Bertanya berikut ini:

Beribu malam seperti ini telah lalu
Bersama bintang-bintang tenggelam
Tapi buat kau dan aku
Akan kembali dalam kabut baru
Mimpi kelabu akan timbul selalu
Dalam sinar bulan pualam
Dan bila aku dan kau tak ada lagi
Tinggal mimpi di siang hari
Jangan bertanya rahasia malam
Tak gunanya menyingkap tabir mimpi
Barangkali nanti ada juga
Manusia mengucap nama kita
Dengan air mata rindu gemas
Ingin kita kembali dari seberang sana
Atau kita hanya selintas kenangan
sepotong nama bisu di atas secarik kertas
Di sudut tercampak dan dilupakan
Bilamana, hendak ke mana dan apa?
Sinar bulan tak akan membuka
Segala akan tetap tinggal rahasia
Tangan ini hanya mencatat luka
Cerita bintang dan bulan purnama.

Irama sajak di muka kian terasa dalam sajak Telah Lama, yang dibandingkan oleh Takdir Alisjahbana dengan sajak Chairil. Beberapa pengucapan dalam sajak Sitor memang dekat sekali dengan Chairil, terutama sajak-sajak percintaan, tentang debu, deru, serdadu, malam, dan maut. Keduanya bagikan bertukar-tangkap atau bahkan seperti sajak ”Dia dan Aku” dikatakan: ”antara tangkap dan lari”. Dalam sajak Perhitungan, yang ditujukan pada Rivai Apin, Sitor seakan memplesetkan kalimat Chairil: ”Keyakinan dulu manusia bisa/hidup dan dicintai habis-habisan/Belum tahu setinggi untung bila bisa menggali/kuburan sendiri”.

Jika sajak di atas masih melukiskan sebatas peristiwa bercinta antara aku dan kau dengan dilumuri kegelisahan dan kecemasan karena bisa jadi tak menepati janji, maka sajak La Ronde yang terdiri dari tiga bagian yang dimuat dalam kumpulan Wajah Tak Bernama mulai menggemakan suasana sajak erotika Eropa. Sajak ini menampilkan ”dua kisah tak bertubuh” namun ”rasuk-merasuk bau kehadiranya” hingga akhirnya bersetubuhlah keduanya dan mencapai ekstase yang tak terlukiskan ”di puncak nikmat, hingga ke subuh/terbaring di dada malam/milikku seluruh”.

Degup tak cukup melukiskan indahnya, maka erang menjadi pilihan kata melukiskan nikmat birasa yang memuncak jadi dahaga senggama ”hitam pekat, siap menerima/dugaan indah” lalu terdengar suara ”Ah, dada yang lembut menekan hati/terimalah/kematangan mimpi lelaki!” dan akhirnya terucap senandung ”Padamu seluruh setia dan sembah/sajak penyair dan mimpi indah!/kelupaan sesaat, terlalu nikmat/pada siksa ingin semakin melumat”.

Dalam sajak itu sampai terdengar alunan rintih-gemuruh aduh di tubuh seperti ingin segera menjauh dari sisi kekasihnya, sementara dingin malam membawanya segera pulang bersama ruang dan waktu. Aku lirik tampak berusaha sekuat tenaga menangkap gelora cinta dan melukiskan kedalaman makna erotik dari sisa pembakaran abu di dupa, di tempat yang semula kedua kekasihnya berada, lantas terdengar lolongan sunyi memanggil-manggil detik sepi semula, dari kejauhan, mengalun suara nyanyian pada batas pencarian. Untuk apa? Kebahagian? Rahasia tersembunyi di balik seks yang ilusif? Atau keindahan di balik fastamagoria? Melankolia?

Bukan untuk apa-apa, tidak juga cinta dan seks saja, melainkan gerak komposisi antara menari dan diam, hening dan bahana, terik dan mendung. Kelak juga, jika dua kekasih yang senggama sadar dari mimpi-mimpi indah yang membuai menghayutkan, keduanya merasakan kebahagian yang sangat. Bahagia, lebih bahagia dari kenyataan. Dan pada waktunya nanti akan tiba, dan akan disemaikan benih-benih di hati keduanya, kecambah merangkak perlahan-lahan di ujung rindu puncak senggama. Hamparan gelombang menggulung seisi lautan, rasa rindu hadir terburu-buru, seperti dulu sebelum Nietzsche tersesat di laut biru, saat menyaksikan seorang penari tali meloncat-loncat di titian perahu, lengkung busung gambus tua bersama suara harpa, mengalunkan musik pertemuan dua kekasih yang telah lama tak jumpa.

Apa yang bisa kita tangkap hanya isyarat padat mungil-bugil, bukan arti ini, atau makna itu, karena—meminjam kata-kata Sitor sendiri dalam sajak Jaga Terakhir—atau waktu keterjagaan, ”waktu tidak mencari alasan pada kesepian yang menunggu/tidak lagi mencari arti/orang telah jadi buruan, jadi pemburu/berkejaran di antara runtuhan/menghirup apu/menghirup debu, hawa maut/darah pun jadi laut” asmara, jadi mani, jadi daging dan darah kembali.

Sitor kaya ide dan ilham. Di antara ilham, katanya, bisa terbentang masa-antara dan masa menunggu, sebelum akhirnya si penyair menghembuskan napas penghabisan. Hidup penyair terentang di antara dua kemungkinan, sambil melintasi padang realitas kehidupan sehari-hari, ia bisa mengurung diri sebagai teknik tersembunyi, namun ia tetap bernapas dalam iklim puisi. Sitor menjatuhkan pilihan pada persenyawan antara bentuk dan isi atau bentuk untuk diisi dengan ide puisi.

Penyair yang sempat membawa filsafat eksistensialis Pancis ke Indonesia ini, dan dicibir oleh Soedjatmoko dalam salah satu kolomnya, jauh-jauh hari telah merasakan isyarat “menghembuskan napas penghabisan” dalam karyanya, sebagaimana juga Chairil yang puisinya tentang kuburan di Karet sering dikutip itu. Dalam puisinya, Sitor juga sering menghadirkan tematik kematian yang khas suara eksistensialis. ”Sampai burung-burung pulang di pagi tua, mimpi terakhir manusia penghabisan” (sajak Paris), “Jika September tiba, musim tua memerah jingga, jangan berkata: Mati!” (Kepada Orang Mati), “Tapi aku ‘kan mati, di negeri jauh, dekat tuan, tapi tuan tak tahu, kapan dan bagaimana, siapa cintaku” (Kepada Pembaca).

Demikianlah, Sitor Situmorang melukiskan rasa hayatan yang pekat tentang kematian yang intim. Menyusuri teks-teks puisinya dari tahun 1950-an hingga puisi yang ditulis untuk mengenang bencana tsunami di Aceh dan Sumatera Utara tahun 2004 lalu, ada semacam warna epik yang membaur dengan kemampuan seorang lirikus yang kokoh, dan penghayatan religiusitas yang sangat intens. Sitor adalah penyair dengan dua wajah yang tak terpisah; wajah sunyi dan wajah gaduh; wajah puisi liris dan politik sebagai panglima. Wajah eksistensialis yang liris juga wajah politik sebagai panglima. Tengok judul buku esai Sitor: Marhaenisme dan Kebudayaan Indonesia (1956), sebuah buku yang dianggap tonggak keterlibatan Sitor dalam dunia politik.

Sitor memang tak memisahkan antara kerja kepenyairan dengan politik, namun sajak-sajaknya tidak rusak oleh aktivitasnya di jagad politik. Sitor sendiri menampik penyair yang mengidap semacam anglofilia dan menihilkan arti penting kebudayaan sendiri demi berkiblat ke Barat. “Kita boleh kagum pada Barat karena pribadi kita bisa diperkaya dan diperluas oleh kaki-langit intelektualnya, tapi kita sudah tegak sendiri sebagai penemu-penemu masa kini, sebagai identitas sendiri, yang mencakup khazanah tradisi sastra daerah yang terus berpacu”, tulisnya. Dan menulis puisi ialah “sebagai kerja yang maha penting, namun tak perlu harus melupakan tanggungjawab kehidupan karena banyak hal yang juga maha penting yang bisa berubah urutan prioritasnya”. Ada sajak liris bening dan ada sajak membahana oleh tekanan kritik sosial, seperti dua sajak berikut:

Sepi
Sepi kebun
Di belakang
Rumah
Anggrek
Di dinding tua
(Sajak Silence Et Solitude)

Lihat
Si-Penjajah belum hancur!
Lumumba, Lumumba tewas!
Rakyat Asia-Afrika
Nyalakan terus api revolusi
Tuntut bela!
Tuntut nyawa!
Awas!
(Sajak PatriceLumumba)


Saya mengenal pengalaman membaca puisi lirik mula-mula dari puisi Sitor. Penyair yang sempat membuai naluri muda saya ini, begitu banyak sajaknya yang terus mengikuti jauh di kemudian hari yang tak sempat terucapkan. Beberapa puisinya yang melukiskan rumah dan pulang saya hapal di luar kepala. Aku lirik yang sunyi, yang dirundung rindu tak tentu tuju dan batas entah di mana dan akan ke mana lagi penyair menari menemu tepi-tepi sebelum keakhiran, dirundung suasana murung oleh situasi yang tak kunjung pasti, dan itu muncul bertubi-tubi dalam sajak liris khas Eropa. Sajak Malam Lebaran mungkin yang paling banyak dikenal dan disinggung pembaca.

Jika ada yang menjadi perhatian Sitor dalam sajaknya, maka itu tak bisa dilepaskan dengan manusia di antara ruang dan waktunya. Bahkan dalam sajak-sajak mutakhirnya ada semacam kekuatan estetik yang oleh Albert Camus disebut sebagai ”sajak iseng atau absurd” itu. Sitor pernah di penjara semasa Orde Baru, selama 8 tahun yang dilukiskannya dengan sangat gemir-menggugat dalam sajak Hari Bebas (dalam antologi Biksu tak Berjubah): “8 tahun bukan sehari/rindu bebas/berkelana di Jakarta kita/diseberang waktu” dam sajak Kepada Sastrawan Negeri: “Bila aku dianggap beruntung/Sungguh tepat./Aku pernah di penjara/bertahun-tahun”. Selepas dari penjara Orde Baru, Sitor langsung ke Bali dengan bantuan Sutan Takdir Alisjahbana, dan pulang dari Bali menulis sajak-sajak alam dengan liris yang kuat, yang beda dengan liris tahun 1950-an. Ada semacam kembali ke suasana alam, nyiur di pantai Kuta, Toyabungkah, dan Ubud.

Sitor memang pernah menerima beasiswa dari Sticusa untuk melanjutkan studi di Eropa (1950-1953), namun hatinya tak di situ. “Pulang?” tanyanya dalam secarik puisi, sambil tak lupa menjelaskan satu kalimat yang acapkali membuat sebagian besar penyair hidup terlunta-lunta di tikungan jalan, di ruang antara, desa dan kota, sebagai “si anak hilang” yang berjalan dengan “tujuan rutin yang mulai kehilangan arti”.

Baik sajak-sajak lama, maupun sajak-sajak barunya, ada satu tema yang tak hilang-hilang dalam sajak Sitor: rumah dan pulang dalam puisi. A. Teeuw dan Goenawan Mohamad bekali-kali mengulas sajak lama Sitor yang begitu kuat menampilkan kerinduan terhadap kampung halaman. Salah satu sajak Sitor yang melukiskan kerinduan untuk pulang, selain Si Anak Hilang, adalah sajak Panggilang (dimuat dalam buku analekta Dinding Waktu, 1976): “Rinduku/Pulang/dalam Rumah dalam Seni/Angin manis meniup pasir benua Afrika/--Di Eropa kutahu masih salju/Sampai ke padang-padang Siberia/Aku harus ke Moskow, tapi/Memenuhi harapan yang kusayang/Untuk kumpul di akhir Ramadhan/Aku pulang malam terbang garuda rindu”.

Sajak selepas penjara, antaranya yang melukiskan dua dunia kepengarangan Sitor adalah sajak indah berjudul Sitar Ravy Shankar: ”Mendengar sitarmu, dalam jiwaku, bertarung dua dunia; dunia petualangan di lorong-lorong asing, satunya lagi gita para resi sungai-sungai negeri”. Di sini Sitor menampilkan ketegangan dua dunia yang berbeda yang mengikutinya sejak lama. Dan menarik membandingkan sajak lama dan sajak barunya yang sama-sama bertema tempat sang penyair di antara dua benua. Dalam sajak lama, The Tale of Two Continents Sitor melukiskan ”antara benua dan benua/tertunggu rindua samudera”.

Di sana kita diajak untuk terus mengingat kisah seorang ibu yang menunggu anaknya kembali dalam Si Anak Hilang, dan berusaha untuk menyapa dengan tujuan agar ia menemukan arah dan jalan pulang yang terang. Namun apa yang didapatnya justru kegelapan, kesunyian, yang berarti ketidakbetahan. Pulang ke rumah asal di bulan Ramadhan dalam sajak baru bertajuk Panggilan, mengingatkan kita pada suasana mudik saat lebaran, yang masih satu nuansa dengan sajak Si Anak Hilang yang terkenal itu.

Dalam sajak Untuk Bunda, dimuat dalam kumpulan Biksu Tak Berjubah, Sitor melukiskan suasana hatinya yang murung per definisi si aku lirik yang tak lain ”adalah seorang anak, lahir di tepi danau, kala ladang retakretak, dan musim musim kemarau. Ada seorang bapak dan ibu yang menduga, danau dalam jiwa si anak, dalam sinar bulan gerhana. Mimpi belum di peta, cinta belum dirundung duka, di musim jauh, terbawa angin subuh”.

Kerinduan Sitor pada Harianboho, kampung asalnya di tepi Danau Toba, juga terekam dalam Sajak Pulau Samosir dan Jalan Batu ke Danau yang tercantum pada kumpulan Dalam Sajak (1955). Sajak yang ditulis untuk dipersembahkan pada ibu dan bapaknya ini, melukiskan rasa percaya diri yang tinggi untuk menemukan arah pulang kendati badan sedang berada di negeri orang. Atau sajak ”Orang Asing” pada Surat Kertas Hijau yang melukiskan seorang lelaki yang mengembara ”sebelum tahu di mana bumi sudah tua, kapal terapung sonder kompas” sementara ”di desa ibu beranak juga, petualang bertambah asing, tak kenal suara angin berdesing”.

Menarik membandingkan sajak Sitor di atas dengan sajak “Aku Sendiri” (1999) karya Ulfatin Ch. Keduanya mendaraskan keingin pulang dengan pencitraan aku lirik yang belum sempat menambatkan hati di tempat yang baru, tapi tak lagi cukup mencintai tempat asal. Atau terlanjur ingin melupakan kampung halaman, tapi gagal menambatkan hati di tempat yang baru. “Jiwaku sendiri telah pergi, mengunjungi Tuhan tak kembali. Dalam kesendirian, aku memuja tahta, lalu menghitung jari: kapankah berakhir waktu yang memenjara ruang dengan ruang”, tulis Ulfatin. “Di pantai pasir berdesir gelombang, tahu si anak tiada pulang” kata Sitor dalam sajak Si Anak Hilang.

Sajak Ulfatin berjudul “Keberangkatan” (1998) juga merangkai tema pulang dengan pencitraan yang menggugah pembaca untuk menyelam kandungan kemaknaan: “Duduk di stasiun tugu/kita menunggu malam, kereta tak juga datang/mengiring gelisah:/sampai kapan”, tulis Ulfatin. Keberangkatan dalam puisi ini bukan sekadar perjalanan biasa, ia merupakan ziarah ke hulu kehidupan ibu bumi, ke dalam semesta atau kosmos. Keberangkatan menjadi semacam relasi puitik bagi keranjang takakura di masa lalu. Segala bentuk, gestikulasi dan residu yang semula didaur-ulang, mulai berbalik arah. Dan ajakan untuk kembali ke asal primordial menjadi sebuah keniscayaan sejarah.

“Pulanglah, seru Jimmy Maruli Alfian juga: “atau kau sudah nemu rumah baru yang suwung/seperti tempat tinggal kita dahulu di kampung?/sebidang halaman dengan rimbun batang khuldi/gersang kata-kata nemuin subur oleh sunyi”. Dalam ambang batas antara berjalan “pulang yang penuh paku” atau tetap di “rumah baru yang penuh suwung”, Jimmy telah membuka kembali ingatan kita pada gaya sajak Sitor. i aku dalam sajak Jimmy terus berusaha untuk mengajak istrinya pulang, hingga suatu waktu ia sampai pada pertanyaan mencemaskan: “ke mana lagi hendak pulang/sedang kampung halamanku ialah kau”, katanya.

Jika keharusan pulang ke desa dalam sajak adalah karena tak mungkin mengingkari asal primordial, maka penyair Wachid BS punya alasan lain: karena untuk apa tetap tinggal di kota, sedang ia adalah “sebuah chaos, yang seluruh perabotnya telah mengubah diri menjadi cosmos”, tulisnya dalam puisi “Gentayangan Pulang”. Apa gunanya kita merantau di kota kalau toh akan “gentayangan tak tentu tuju”.

Pulang ke rumah asal rupanya telah menjadi kata yang akrab dikalangan penyair kita. Namun sangat disayangkan, penyair mutakhir kebanyakan mengeksplorasi arus mudik ketimbang arus balik, padahal inti kedalaman sebuah puisi justru ketika ia mampu memaknai hidup pasca-mudik.

Penyair yang masih memandang masa lalu sebagai ladang waktu sayangnya tak pernah belajar menghayati olok mulang, kisaran air atau ombak suak ujung kalak yang menampilkan kedalaman alimbubu, pusaran tiga waktu lalu-kini-kelak, dengan mencipta keberaksaraan yang hidup dan menghidupkan sajak. Kembali ke pedalaman tak lebih sebagai pencarian pada kedalaman makna. Namun apa yang dinamakan kedalaman itu sendiri nyaris tak disadari sebagai bagian dari bahasa ruang dan petak yang cetek.

Penyair dalam Perbatasan

Mungkin ucapan Subagio Sastrowardoyo bahwa penyair sebagai manusia perbatasan ingin saya lekatkan dalam membaca sajak-sajak Sitor yang mengandung kecemasan, kegelisahan dan ketidakpastian. Hidup dalam perbatasan adalah hidup dalam kegelisahan yang terus-menerus. Sitor mencitrakan dirinya sendiri sebagai penyair perbatasan yang murung, bimbang dan gamang.

Penyair kita ini hidup dalam dua bahtera yang sama kuatnya; tradisi dan modernitas. Dalam sajak-sajaknya tahun 1950-an, tampak ada semacam kegamangan aku-lirik dalam mempersepsi dunia. Bahkan sajak-sajak mutakhirnya ternyata belum mampu keluar dari kisah manusia modern sebagai makhluk yang gamang dan nestapa. Sajak-sajaknya masih memperlihatkan dengan setia dualisme kehidupan tradisional versus modern. Dunia tradisional begitu kuat menarik hasratnya untuk kembali ke kampung halaman. Sementara dunia modern dengan gemerlapnya kota metropolitan membuat jiwanya kuyup dan merasa sendirian di tengah orang ramai.

Tema puisi semacam ini memang bukan sesuatu yang baru dalam perpuisisan Indonesia. Bagi mereka yang berlatar kehidupan kampung dan beranjak masuk kota sering mengalami kegamangan dan kebimbangan. Kegamangan ini secara jelas bisa dilihat dalam esai biografis Goenawan Mohamad, Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang, Soebagio Sastrowardoyo: Manusia Modern Sebagai Manusia Perbatasan atau “yatim-piatu yang selalu meragu” dalam istilahnya Radhar Panca Dahana.

Kegamangan Sitor untuk kembali ke kampung halaman atau tetap tinggal di kota dengan segala konsekuensinya, sangat terang dalam analekta puisi Paris La Nuit: Paris Di Waktu Malam, Yang Dikenang dan Yang Dilupakan (2002). Sitor melukiskan kisah perjalanan bolak-balik antara budaya ibunya dengan budaya nasional atau dunia ‘Timur’ dan ‘Barat’. Membaca puisi-puisi dalam analekta ini, memang terasa memasuki situs perjalanan puisi modern yang membicarakan begitu banyak hal: dari pergolakan Revolusi 1945, nasionalisme kemerdekaan, hingga pertentangan ideologi politik dan kebudayaan dalam era postmodernisme.

Salah satu sajak pendek Sitor yang paling banyak mendapat perhatian dari kritikus sastra adalah sajak “Malam Lebaran—Bulan di atas kuburan”. Sajak yang pernah diplintir oleh Tardji menjadi ”Malam liburan” ini telah mengundang puluhan kritkus untuk menafsirkan apa yang hendak disampaikan sang penyair. Namun karena sajak itu begitu pendek, para kritikus sastra nyaris tak menemukan apa-apa selain menemu tafsir.

Di awal kemerdekaan, Sitor banyak mendendangkan puisi nyanyian tanah air. Tapi ia tidak pernah menolak musik roc’k n’ roll yang diproduksi oleh Barat. Lewat sajak-sajaknya, Sitor memaparkan kondisi eksistenisial penyair modern sebagai makhluk yang gelisah. Tapi ketika si penyair telah mendaki puncak modernitas, ia justru rindu akan kampung halaman. Panggilan psike untuk kembali pada tradisi masa silam yang telah lama ‘dikhianati’ senantiasa masuk dalam puisi-puisinya.

Dalam sajak-sajak awalnya maupun sajak-sajak mutakhirnya, tarik-menarik dua dunia yang berbeda itu senantiasa muncul. Bila kita menghayati puisi-puisi awalnya, kita diajak untuk mengikuti proses dialog jiwa-raga. Dalam sajak Si Anak Hilang, Sitor nyaris sempurna melukiskan rasa hayatan akan kerinduannya pada kampung halaman. Tapi ketika ia pulang ke kampung halamannya, ia hanya menemukan keluarganya telah berubah.

Dalam buku Tergantung pada Kata (1983), A Teeuw mengatakan: “Rupa-rupanya akhir-akhirnya si anak hilang ditemukan kembali—dia pulang di antara nenek-moyangnya, sebagai anggota marga sejati. Saya dari berbagai segi terharu dan gembira dengan pulangnya si anak hilang. Tapi saya juga merasa sedih. Sebab sekarang sayalah yang kehilangan:saya kehilangan rahasia puisi, kehilangan penyair sejati dalam sajak mutakhir ini.Maka pilihan saya jatuh pada sajak yang kemurnian puisinya bagi saya merupakan kegemaran yang tak habis-habisnya: a thing of beauty is a joy forever”(h. 40).

Bila sajak Si Anak Hilang melukiskan kesubtilan pribadi penyair yang hidup dalam dua kultur berbeda dan mengalami keterasingan sekaligus keterlibatan, maka sajak Jamuan Di Tashkent si aku-lirik mengaku sebagai makhluk kanak-kanak yang suka iseng. Kenyataan ini akhirnya mengajaknya untuk terus menyusuri kehidupan rantau. Dalam sajak lain, Sitor kembali mengalami rindu yang sangat: Lantunan lagu panen abadi/yang memadukan hidup dan mati//sambil sadar—aku ke Jakarta akan kembali--/rindu Paris bisa bangkit lagi…

Fragmen sajak di atas memunculkan daya tarik dan dialog luar-dalam. Sitor tak jarang menghadirkan sajak dengan fantasi infantil dan tema-tema “iseng”. Namun tiba-tiba dalam sajak Jamuan Di Tashkent kita diakejutkan dengan pertanyaan: ”apakah tuan setuju pendapat yang berkata bahwa penyair itu bersemangat anak-anak? Ingin memeluk wajahnya, aku hanya menjawab: Natasya yang baik, sungguh wajahmu sejernih wajah anak-anak. Memanglah penyair seperti anak-anak”.

Dalam sajak Gema Sumpah Pemuda Th. 1928—ditulis bulan Oktober 2001—sikap ‘sentimentalisme’ dalam sajaknya masih terlihat terang-benderang. Sitor mengacungkan telunjuknya kepada kaum muda agar “jangan pernah berhenti, menyanyikan lagu tanah air tercinta: sepatah kata pameran kaum muda, ingin menyumbang pada budaya bangsa: Satu Nusa Satu Bangsa Satu Bahasa. Sebuah nusa di antara nusa berbagai nusa bangsa, dalam taman bangsa-bangsa, bertautan di sentero dunia, membina ragam budaya manusia”.


Satu Bahasa: Jiwa Merdeka
Satu Semangat: Peri-Kemanusian
Terpadu dalam getaran jiwa
Sumbangan kita: Roh Budaya Indonesia

Jangan kau pernah berhenti
Menyanyikan lagu cinta tanah-airmu

Disertai janji pengabdian
Sedalam-dalamnya!
Selama hayat dikandung badan!

Sajak ini menghadirkan tafsiran sumpah pemuda sebagai sebuah nilai puitis dan karena itu Sitor mengajak kita untuk terus merenungkan kandungan trilogi sumpah itu. Gaya puisinya mirip sebuah gubahan atas lirik pantun melayu klasik. Namun sangat disayangkan, sajak ini nyaris menjelma sebagai pemujaan terhadap nasionalisme. Pukau demi pukau tak lebih sebagai nyanyian ke-akuan yang nasionalis!

Masa lalu tampaknya akan terus-menerus mengikuti kemana dan dimana Sitor menulis puisi. Dalam sajak Sebuah Catatan dari Jonggol (2002), Sitor mengutip langsung dari teks kitab Kejadian yang dibaurkan dengan imajinasi lirisnya: Mata bertemu mata. Sekejab saja (akrabnya). Ditimpa suara orang memanggil namanya: Tjandra! Gemanya bening mengiang di bukit-bukit sana.

Wing Kardjo—dalam kata pengantar buku Paris La Nuit—memberikan sebuah tema yang menarik pada sajak-sajak Sitor: keterasingan dan keterlibatan. Pembacaan semacam ini dulu pernah diungkapkan oleh Afrizal Malna melalui diksi biografi membaca yang melahirkan pijaran dan getaran puitik yang memungkinkannya dapat dinikmati dengan indah dalam terjemahan bahasa asing.

Sitor juga hendak mengatakan bahwa dunia kepenyairannya adalah dunia anak-anak yang suka iseng dan bikin kejutan. Keisengan dalam pencipta seketika berubah jadi permainan yang sungguh-sungguh. Permainan yang membawa keliaran imajinasi yang ditundukkan melalui penyiasatan kata dari mulut anak-anak.

Puisi, Penyair, Pembaca

Sitor yang dulu begitu setia dengan puisi apik-lirik, setelah memasuki Orde Baru perlahan-lahan sirna ditelan waktu. Walau demikian, Sitor tetap penyair terbaik, dan puisi-puisi barunya tetap padat-kuat dan mengandung daya saran, mistis, penuh imaji diam, bagai alunan melodi yang hening, dengan perulangan, kenenesan dan kecengengan. Kita, yang diserunya sebagai ‘tuan pembaca’, tetap ikut merasakan kerinduan sang pengelana mencari tempatnya yang kokoh. Ada gema lirih yang berbaur dengan suasana murung dan ceria secara bersama. Tragedi dan komidi. Bahkan, kadang-kadang, si penyair sengaja menyeru kepada pembaca dengan tanya dan saran.

Barang kali hanya Sitor yang gemar menyinggung posisi pembaca di antara penyair dan sajak dengan panggilan tuan. Bagaimana pembaca memandang penyair, dan penyair memandang pembaca, atau bagaimana pembaca memperlakukan sajak dan seharusnya seperti apa sikap penyair terhadap hasil bacaan pembaca atas sajaknya. Inilah yang jadi perhatian Sitor dalam beberapa sajaknya. Bila kita ikuti, setidaknya ada dua sajak yang sangat unik yang bicara tentang pembaca: Sajak, Pembaca, dan Penyair dan Kepada Pembaca.

Kedua sajak ini bagaikan suat upaya yang ditujukan dan untuk jadi renungan para pembaca sajak. Di dalamnya mengandung saran dan bahkan himbauan yang tidak klise, intensitas dan kedalaman yang menukik. Sitor menulis seakan ditujukan kepada siap saja yang sedang membaca sajaknya, termasuk saya. Tengok fragmen Sajak, Pembaca, dan Penyair ini, bagaimana penyair Sitor mengingatkan pembaca dengan mesranya:

Pembaca yang tercinta,
yang bertanya
lahirnya sajak,
jawabnya pulang maklum
pada dirinya,
apabila ia berkata sesuatu padamu
seperti padaku juga,
sebagai karya kita bersama,
tapi yang selanjutnya
menjalani hidupnya sendiri
jadi akar dan roh bahasa umat manusia,
berkebangsaan, namun di atas bangsa.

Sajak bagi penyair, sama seperti anak
--bukanlah milik Ibu yang melahirkannya—
(kata penyair Kahlil Gibran)

sebelum lahir
ia Janin,
terbalut dalam Rahim Kehidupan,
terbungkus alam semesta
yang fana dan yang baka

dibenihi oleh kerinduan rohani
si penyair dan tuan sendiri,
pembaca yang budiman,

melolong dalam Kesepian
terkurung dalam Waktu dan Ruang,

bergema sebagai kata
tanpa aksara
terlukis sebagai aksara
tanpa kata
di bentangkan langit jiwa


Sajak dalam bentuk surat upaya itu menyapa kita dengan sebuah kesunyian penyair dan menuntut kita sebagai pembaca untuk memperlakukan sajak sebagaimana penyair melahirkan anak, karena sajak tak lain adalah anak spiritual sang penyair. ”Pembaca yang tercinta” adalah ungkapan sapaan yang paling akrab, paling intim dan tak berjarak. Pembaca ”yang bertanya lahirnya sajak” di jawab sendiri oleh sang penyair dengan mengembalikannya kepada dirinya sendiri, namun ”apabila ia berkata sesuatu padamu, seperti padaku juga”, maka sang penyair menuntut pembaca untuk memperlakukannya ”sebagai karya kita bersama”.

Akan tetapi di sini juga soalnya, walau sudah habis sudah huruf yang ditumpahkan pembaca untuk menguak sajak yang dibacanya, tetap mesti diingat agar sajak itu ”menjalani hidupnya sendiri/jadi akar dan roh bahasa umat manusia,/berkebangsaan, namun di atas bangsa”, bukan di bawah telapak kaki pembaca. Si pembaca mesti sadar-diri, bahwa sajak tidak lain adalah ibarat anak yang pada mulanya baru berupa janin, ”dibenihi oleh kerinduan rohani si penyair dan tuan sendiri, pembaca yang budiman”, yang ikut merasakan kesepian dan sama seperti penyair, juga ”melolong dalam Kesepian” dan bagaikan labirin ”terkurung dalam Waktu dan Ruang”.

Selanjutnya, apa yang diperoleh pembaca setelah membaca sajak, atau apa yang dirasakan atau makna apa yang ditangkapnya, ternyata tidak lebih sebagai isyarat yang ”bergema sebagai kata/tanpa aksara” atau ”terlukis sebagai aksara” namun ”tanpa kata dan akhirnya kita ”di bentangkan langit jiwa”. Maka yang muncul kemudian adalah kata-kata teguran yang lembut dan lagi-lagi menuntut pembacaan yang tidak sekali selesai:

Maafkan! Silakan kembali membaca
kalau perlu berulang-ulang—karena
sajak yang sebenarnya Sajak,
sekalipun memakai kata-kata sederhana,
sehingga terasa bisa ditulis
oleh siapa saja—
adalah
Puisi paling lugu
Paling sederhana

Penyair merasakan bagaimana sajaknya menjadi cacat hanya karena ketidakjelian pembaca, maka usulan untuk membaca sajaknya berulang-ulang menjadi niscaya jika pembaca bersiap untuk paham. Menarik membandingkan bahasa pengucapan Sitor dalam sajak itu dengan salah satu sajak Nirwan Dewanto dalam Jantung Lebah Ratu (2008). Nirwan bilang: ”Maafkan aku tak bisa kuceritakan diriku: dengarlah, cangkang telur atau kulit limau hanya samaranku...sebab kata sesungguhnya kata tak bisa mengena jika kau masih juga separuh-membaca separuh-buta”.

Masih bisa dimaafkan jadi pembaca mualaf ketimbang pembaca-separug-membaca-separuh-buta! Di sini jelas bahwa Nirwan terpengaruh Sitor. Irama gurindam dan pantun, haiku, lagu, serta gaya sajak bebas yang prose-poem cenderung melanjutkan pergulatan Sitor. Bedanya: Nirwan adalah sisi gelap Sitor! Puisi-puisinya paling tidak jelas arti karena ada macam-macam gaya dan bentuk pengucapan di dalamnya. Puisinya tak lagi mempersoalkan bentuk dan metrum karena bentuk dan metrum adalah bahasa ruang-geometris yang tak mungkin cocok dengan sajak bebas yang terlampau berpegang pada licentia poetica: hak mutlak penyair—juga novelis atau cerpenis—untuk menggunakan bahasa sebebas-bebasnya, termasuk menyimpang dari tata pembentukan kata atau kalimat yang umum.

Samaran berbagai logat yang ditakik dari ragam tradisi dan pengucapan, menjadikan sajak-sajak Nirwan lebih sulit dipahami ketimbang sajak Sitor. Tapi pembaca ditantang untuk tak sekedar memperlakukan sajak di permukaan, apalagi bertindak sebagai ”separuh-membaca separuh-buta”. Di sinilah pembaca diuji, dituntut, sekaligus ditantang untuk berenang dalam lautan tanda dan imaji.

Jika pembaca tak paham apa itu sajak, jangan membaca! Kira-kira inilah yang hendak disarankan Sitor dalam sajak di atas. Di sana ada kejutan yang tak terduga, yang menjadi semacam kamuflase yang terduga bahwa ”sajak yang sebenarnya Sajak” adalah ”Puisi paling lugu/paling sederhana”,

paling jelas arti—
walau bukan untuk nalar biasa, boleh didekati
dengan telaah (karena bisa membantu)
asal terbatas kerangka dan kulitnya
karena intinya adalah urusan
tuan pembaca,
yang sambil membaca
membuatnya sempurna.

Sampai di sini saya seperti sedang di sindir Stor sendiri sebagai pembaca yang berlagak menguak seluruh tabir sajak untuk menjadikannya sempurna karena ada otonomi yang saya miliki, sebagaimana ada otonomi sajak dan otonomi penyair sendiri. ”Namun, agar percakapan/Jangan sampai berakhir buntu,Izinkanlah kutambahkan catatan”:

Pada saat sajak lahir,
Seperti pada saat bayi keluar dari rahim Ibunya
(walau pengalaman Ibu-ibu, dengan derita
serta bahagianya, bagi kita tak terduga)

Saat itu, tapi terlebih
pada detik-detik yang mendahuluinya
penyair orang paling malang,
sekaligus paling bahagia,
pribadi utuh sekaligus
sekadar wahana

wadah
untuk Manusia tanpa Nama,
mengambang di atas danau batin
seperti janin dalam air rahim

siap menangkap bunyi,
tanpa kuping
siap menangkap isyarat
tanpa mata

terbalut dalam zarrah dan gelombang

bergema samar

di balik gelak tawa
dan air mata manusia

seperti desah laut
di kulit Tiram

Luar biasa! Analogi-analogi bertabur yang seakan ikut menyusun suatu falsafah ”segitiga” penyair, teks, dan pembaca, yang sama-sama menguak tabir dan semesta kata, yang sama-sama bebas-terikat dengan dunia otonomnya sejak lahir. Sesuatu yang memukau, suatu kelahiran kembali, bagai bayi bebas dari dosa. Dan yang tidak kita temukan pada sajak sesudahnya, sajak Kepada Pembaca, namun penyair tetap intim dan kuat menghadirkan kias-kias cantik dan menantang, terkadang mengerikan. Isyarat peta perjalanan akhir seakan terkuak, dan pertempuran penghabisan melawan maut telah tiba. Begitulah.

Andai hidup jadi penyakit
Yang melumat
Segala jaring dan sendi
Katakanlah rindu atau duka
Dapat diambil pistol
Dihabiskan nyawa
Dan itu saja

Atau ditahankan
Hancur lambatlambat
Hanya menulis sajak
Memahat nasib: Andai kata...
Dan itu saja

Tapi aku ’kan mati
Di negeri jauh
Dekat tuan
Tapi tuan tak tahu
Kapan dan bagaimana
Siapa cintaku

Tinggal sajak
Itupun tidak
Dan itu saja
Kecuali Tuan
Dan kekasih di negeri jauh...

Dengan kutipan itu saya telah mengakhiri telisik ini sebagai seorang pembaca yang sepenuhnya sadar posisinya di antara puisi dan penyair. Bahwa telisik ini tidak sederhana, tidak membuatnya sebagai akhir yang sempurna, sajak yang sebenarnya Sajak, atau puisi yang sebenarnya Puisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar