Sabtu, 31 Januari 2009

Gema yang berpendar di kejauhan

Asarpin
Pembaca sastra



Ketika hari hampir gelap, dan senja hanya terlihat di tepi ufuk lembut yang bisu, sebelum kemudian tenggelam di balut kelam, seorang penyair muncul di sebuah podium untuk membacakan sajak-sajaknya. Sang penyair dikenal di negerinya sebagai sang otoritas yang tak terjangkau, suatu dewa eros yang terus bicara tapi tak mendengarkan. Sajak-sajaknya menampilkan monolog batin yang sok khusuk dan khidmat. Tetapi, di kalangan kritikus sastra ia dikenal sebagai seorang narsisme Hindu yang panjang umur. Hal itu terlihat pada kegemaran puisinya pada labirin.

Karena puisi-puisi labirinnya dianggap terlampau nenes dan cengeng, tak dapat tempat di hati kritikus. Akhirnya ia pun mengasingkan diri di sebuah tempat yang terpencil, dan tinggal di sebidang tanah lempang dekat sungai yang tak banyak riak. Suatu hari ia melewati sebuah jembatan kanal yang menghubungkan rumah barunya dengan kepenatan, sebuah perkampungan misterius yang dihuni orang-orang yang bergelut dengan perih. Kemudian ia bergegas pulang untuk menulis selarik kalimat sunyi berbunyi: “bertumpu pada penaku yang paling pribadi, aku bergerak perlahan, memasuki sebuah jembatan,yang kubayangkan tanpa mesin perasaan”.

Puisi lirik, karena itu, sebuah pergulatan dalam wilayah perasaan. Juga kepekaan pada situasi yang khusus. Sering kali tampil dengan suasana hati tanpa banyak cingcong. Maka, membaca puisi lirik ibarat melintasi jembatan perjalanan menuju tepi-tepi terakhir; tepi sebagai kegelisahan yang masih bersifat dicari-cari. Sebuah proses tak selesai. Atau sebuah tepi dari dunia hampa yang hanya bisa dilukiskan dengan kata-kata yang minus suara, bahkan sering tanpa gema.

Sajak lirik ibarat sultan terakhir dari keraguan Hamlet. Si sultan yang kemudian hari memilih hidup sebagai pendurhaka, dan menulis secarik puisi yang saya baca pertama kali saat negeri kita sedang huru-hara: “izinkan aku bicara padamu, dengan kebisuan sebungkah batu”.

Begitulah yang dibayangkan ufuk dari pagi kemarin yang berpijar kembali dalam gema puitis di kejauhan. Makin lama kata-kata tampak bersayap kupu-kupu yang hanya bisa di cuaca. Kalimat-kalimat yang lembayung, yang bermain dalam dua aras tematis: gelap dan gumun.

Tatkala terbit puisi lirik Gema Secuil Batu, ufuk yang gelap dan gumun itu kian membungakan perasaan aku pembaca yang haus akan sesuatu yang puitis. Himpunan puisi ini menghadirkan suasana hati dengan nada dasar yang mendendangkan keparauan, juga kerisauan, juga ketidakpastian. Debar serta gemetar berseling kelakar, disertai debam lengang, seperti menyembul dari pengalaman katan—atau luka yang belum sampai histeria. Kata-kata seperti memiliki ekor yang bisa dipegang, bersosok dan berbentuk—bagaikan sebuah adegan-gerak-diam. Belum lagi dari segi ritme dan komposisi, warna yang ungu, seni rupa kurva, dan musik lirih. Ya, “penyair lirik adalah yang paling lama membaur dengan musisi, aktor dengan penari”, ucap Zarahustra dalam karya Nietzsche.

Puisi lirik mungkin seperti yang dimaui si pengarang Gema Secuil Batu: memberi kita semacam “dendang yang sebentar dan gelisah”. Gema Secuil Batu adalah pengalaman membaca karakter sensitif yang hidup dalam resah dan gelisah. Sangat klise memang. Namun pada yang klise rangkap banyak sekali pun, sering kita measakan gairah ritme dan komposisi yang menakjubkan. Aku lirik tak jarang justru mampu meyakinkan kita untuk ikut menghayati kembali sesuatu yang remeh dan sederhana: daun yang digoyang angin, gerimis, perdu, sulur, pohon, daun, sayap kupu-kupu, hujan, batu, parit dan sungai yang mengalir dari hulu ke hilir mengikis tebing, biru laut yang lirik yang membentangkan layar yang bebas, ganggang, umang-umang, bunga karang, remah kerang, dan entah.

Iswadi menghadirkan khayal yang jauh, yang nyaris melumat dan mengikis-habis individunya sendiri. Seorang yang luka, atau menulis tentang pengalaman akan luka yang membentuk delta sungai mutiara dari endapan lumpur yang bertahun terabaikan. Amis darah yang meresap masuk bersama kenyataan bahwa: aku lirik tak pernah puas dengan hanya menulis yang diketahui. Sebab dunianya adalah yang sembunyi. Bahkan apa yang tak terpahamkan justru sesuatu yang memuaskan. Karena itu, jangan berharap sajak-sajaknya seperti novel yang bertanggungjawab, karena puisi lirik sifatnya “hanya sebuah kemungkinan dari kenyataan yang belum seluruhnya terjadi”, tulis Iswadi.

Pribadi sunyi Iswadi terasa hendak membaurkan lirik dengan tradisi epik yang tidak dipenting-pentingkan. Sebab puisi pada dasarnya cuma gema secuil batu, atau bunyi yang lain dari lirik Sitor dan Goenawan yang posesif. Di dalamnya kita disuguhkan sebuah keterpesonaan dan terhubungnya dunia pengalaman penyair dan pengalaman pembaca.

Beberapa sajak memunculkan suasana hening namun belum terbening. Saya katakan belum terbening karena Iswadi banyak menampilkan kata-kata sebagai elemen kediam-dirian. Beberapa sajaknya bahkan memiliki relasi estetik dengan Octavio Paz, khususnya tentang tradisi menulis dalam diam sebagai elemen-elemen bawah-sadar dari kebisuan, atau elemen-elemen yang tak terpikirkan; seperti memikirkan diri sendiri. Iswadi mungkin suka jika aku memaknai kembali kata-kata Octavio Paz: “kau berasal dari sunyi, Idan kepada sunyi kau kembali”.

Sajak-sajak Iswadi terasa menyamun asap dan kabut bahasa dengan kekayaan luka, atau kata yang menjelma semacam doa-diam yang meragukan realitas hampir tanpa batas dalam melakukan monolog batin. Sebuah akal kelajuan lain yang membentang suram di ufuk dini hari, kadang dengan permainan tegangan, sulawan, dan gejolak yang menembus-tembus dinding keharusan. Karena itu, tak mudah bagi saya menangkap gema dari sajak yang berayun antara lirik dan epik, sonata dan balada, fuga dan drama.

Memang, dari sekian elemen itu, betapa diam ingin jadi maqam menuju pendakian ke puncak pohon lotus terjauh. Dan seorang aktor ternama yang disukai Iswadi pernah mengatakan: “Jika aku berkesempatan untuk mengadakan hubungan batin dengan perasaanku sendiri dalam keadaan hening, maka aku akan menikmatinya”. Kata-kata ini saya petik dari Stanislavski dalam Persiapan Seorang Aktor terjemahan sangat baik oleh Asrul Sani, terutama ketika menyinggung sifat silent soliloquy.

Tentu saja percakapan dengan diri sendiri lebih mudah dilakukan dalam puisi, ketimbang di atas panggung. Tapi monolog batin inilah yang juga sedang dicari bentuknya dalam tiap kali pementasan Teater Satu yang naskahnya ditulis dan pertunjukannya disutradarai Iswadi sendiri. Bahkan dalam lomba teater monolog beberapa bulan lalu di Lampung, Iswadi Pratama dan Ari Pahala mengeluh dengan sulitnya mencari teater monolog yang memenuhi kriteria.

Iswadi cukup intim dalam mengungkai semesta batin di tengah cuaca yang bergayut mendung, suram. Tak Aku lirik seakan sedang berpegangan pada sebatang jerami kering, atau pada apa yang oleh Ivan illich dan Goenawan Mohamad dinamakan: bergayut pada “seutas tali kebisuan”. Atau komunukasi dalam diam, dan menulis pun tampak “dalam diam”. Kediam-dirian inilah yang tak disangka-sangka akan melahirkan “sebuah kefasihan dari diam”—the eloquency of silence—kata Illich.

Monolog batin, kembali ke rumah sunyi, kefasihan dari diam, adalah kembali ke kewajaran, ketakbiasaan, yang disebabkan oleh pembesaran kata tunggal aku yang selama ini terdengar bertalu-talu. Kekuasaan aku lirik adalah gerak terakhir dari kebimbangan penyair. Sajak-sajaknya memunculkan bayang-bayang dari elegi Rilke, balada Garcia Lorca hingga simponi Bethoven, pencinta yang muram, penurunan dalam gravitasi Einstein sampai yang terendah, pendakian ke puncak menara keterasingan, berbaur-maur bersama gerak-komposisi puisi Sitor dan Goenawan.

Tidak harus dibaca sebagai pengaruh-mempengaruhi, sebab sudah lumrah jika ada kemiripan dan kedekatan antara satu sajak dan sajak lain dari penyair berbeda walau tak pernah jumpa dan saling terpaut. Tanpa harus mengamini semangat pasca-modernis tentang alusi, parodi, komidi, rekonstruksi, apropriasi, transformasi, intertektualitas.

Dan marilah kita beralih ke sesuatu yang lain, yang mungkin masih tersembunyi oleh hutan rimbun imaji. Apa yang Iswadi cari dengan puisi, tampaknya bukan sesuatu yang khas negeri ini. Iswadi mencari bukan ke-Lampung-an! Bahkan si penyair menulis elegi bukan zaman ini, menghadirkan puisi ironi dan parodi pada kelampauan yang jauh sekali. Agak aneh bahwa logat puisi Iswadi justru kental dengan Jawa ketimbang Lampung. Sajaknya “telah lama” sekali (mencuri judul puisi Sitor) bermain dalam wilayah lawa, antara ada dan tiada, atau expatriate kata Goenawan.

Iswadi masih menulis buah khuldi, sesuatu yang fitri dalam hidup ini, barangkali, yang sedang ia susuri di pantai-pantai pengharapan tempat balada-balada orang tercintanya Garcia Lorsa sampai Rendra dinyanyikan, atau pertempuran dan salju penghabisan di Paris-nya Sitor berlangsung. Sesekali muncul kilatan kata-kata sunyi yang mendekati gairah dengan ritme dan komposisi sajak Pastoral Goenawan yang melukiskan “arus yang menyisir batu, batu yang menahanmu” dengan komposisi musik untuk dua soprano dan kuartet gesek. Barangkali itulah gema yang sebentar, atau pendar di kejauhan untuk kemudian lenyap, dan diam adalah suatu maqam menuju Tuhan. Dan barangsiapa mengikuti pendirian kepenyairan Iswadi, akan tahu bahwa para sufi adalah bisu. Diam adalah cara kekasih Tuhan, karena Tuhan menyukai diam. Diam adalah gaya hidup para pujangga dan kebiasaan orang-orang tercinta. Diam adalah bagian intim dari hikmah kebijaksanaan. Dan diam adalah menggemaskan. Dan diam adalah: ”tersapih paling jauh dari komunikasi orang-ke-orang”.

Apa yang gemas, juga ganjil, dalam sajak-sajak gebalau nonsens Iswadi adalah watak pelarian dari “hidup yang jadi komoditas” (mencuri frase Goenawan) dan sering bikin gemas. Sebab si aku lirik ternyata masih juga merasa tidak menghiraukan sehelai regas daun kambas, harum pepohonan, butir embun, burung gereja. Untung saja Iswadi tak senekat Goenawan walau nyaris jadi kembar siamnya. Goenawan yang menulis ratusan puisi lirik dengan pelarian dan kediam-dirian yang sunyi, masih menganggap yang remeh-temeh sebagai “sederet rahmat”. Bahkan semua yang remeh dan sepele menurut kebanyakan orang, justru memberi getar pada hidup Goenawan tanpa banyak cingcong.

Iswadi seperti Goenawan yang tak henti-hentinya merasa bersalah dan meyakinkan kita pentingnya menulis tentang burung dan angin, rumput dan perdu. Iswadi ingin menerima apa saja yang wajar di dekat ambangnya. Karena, seperti kata Goenawan, “selama ini kita lupa dan tak pernah terkesima akan hal yang sesungguhnya dahsyat tapi tersisih; warna bulu burung yang menakjubkan itu, sepasang mati yang seperti merjan jernih itu, sayap-sayap yang serba-sanggup itu. Ternyata selama ini saya tak punya waktu buat tetek-bengek itu…saya hanya menyimak dan memakai hal-hal besar agar dunia jadi lebih adil di masa depan. Ada yang salah agaknya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar