Sabtu, 31 Januari 2009

Sebuah Pertemuan:

Al-Hallaj dan Nietzsche

Oleh Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang



Suatu pemaknaan atas kata benda yang pasti,
tercakup dalam pemahaman atas kata benda
yang tak pasti. Dan kata benda yang tak pasti
tercakup dalam pemaknaan atas kata benda
yang pasti. Ketakterbatasan adalah tanda bagi
ahli makrifat, dan mengabaikannya adalah
manifestasi bentuk eksoteris yang dangkal.
--AL-HALLAJ, kitab Tawasin, bab Taman Makrifat



Kaum darwis atau sufi. Apa yang kita bayangkan?

Demi sebuah keyakinan tentang makrifat, sang sufi merelakan dirinya dihabisi di tiang gantungan yang paling purba. Sufi ini seorang keturunan Persia dari garis kakeknya. Konon kakeknya adalah orang alim dalam agama Zoroaster—agama Iran kuna. Sang kakek sepanjang hidupnya sering menunggang "unta kuning" : julukan yang sering diberikan kepada para pemikir bebas.

Walau si sufi kita ini kelahiran Baghdad, tapi nama dan karyanya dikenal luas di kalangan para arif Persia. Maka orang pun menyebutnya : sufi dari Persia. Sang sufi hidup pada zaman ketika rahasia pengalaman puncak hanya bisa dinyatakan lewat bahasa bisu kesyuhadaan.

Rahasia pengalaman pribadinya yang tidak mutlak-mutlakan itu, ternyata dianggap belum sudi dibagi. Maka, ketika pergolakan kekuasaan memuncak di negerinya, ia pun sempat meninggalkan tanah airnya dan mengembara ke belahan dunia: dari Jazirah Arabia ia menyeberang ke India, Turkestan, bahkan sampai ke perbatasan negeri Cina. Dalam perjalanan mencari sumber-sumber mata air kebeningan, sang darwis yang dekat dengan kaum papa ini, masih menyempatkan diri untuk mengunjungi majelis para darwis di berbagai negeri Islam di tanah Asia.

Dalam lawatannya ke negeri-negeri jauh itu, dalam batinnya bergulat puspa pertanyaan: “Siapakah Kau, dia berkata, Kau! Tetapi untuk-Mu, kata ‘di mana’ berarti tak bertempat. Dan tak ada kata ‘di mana’ yang melekat padaNya. Pikiran pun tak sanggup membayangkanNya, pada suatu saat yang memberi peluang untuk mengetahui ‘di mana’ Kau berada. Engkaulah Tuhan yang meliputi setiap kata ‘di mana’, hingga sampai pada kata ‘tak ada di mana-mana’. Jadi, di manakah Kau?”

Sampai pada sebuah titik perjalanan, yang disebutnya Titik Primordial, sang darwis tersesat di sebuah pasar. Di tengah khalayak ia mengungkai pesannya yang terkenal: “Wahai orang-orang! Selamatkan aku dari Tuhan yang telah merampasku dari diriku sendiri…Celakalah orang yang mendapatkan dirinya lenyap bersama kehadiran Tuhan!” Mendengar kata-katanya yang tak biasa, orang-orang di tengah pasar pun ikut bergetar, sementara ia berlalu sambil mengulum senyum renyah di bibirnya.

Rasa haus pencarian puncak tak terpermanai tak juga memuaskan dahaga sufistiknya, maka ia pun mulai meninggalkan mursidnya dan berguru setia pada Iblis. Sejak itu, sang darwis yang menganjurkan lebih baik memberi makan yatim-piatu ketimbang pergi haji ini, memaklumkan dirinya sebagai guru sejati, dan mencoba menuliskan untaian tafsirnya tentang at tawasin al-azal wa al-Iltibas sebelum datangnya zaman nirakhir, tentang sebuah dalih menjadi dalil, tentang sebuah titik lingkaran dalam taman makrifat surgawi.

Kelak ajarannya menggegerkan para penguasa ketika ia berfatwa: “Dan akulah tanda penampakan-Nya: ana’l Haqq, yang sering diterjemahkan di sini menjadi: ”Akulah Kebenaran”. Bahkan ada yang mempelintirnya menjadi ”Akulah Allah”. Sejak menyatakan ini sampai hari ini, hampir semua penyair sufi Persia pernah menyebut namanya, memujinya, menghadirkan alusi terhadap ketragisan hidupnya. Fariuddin Attar, Jalaluddin Rumi, hingga Khomeini, menabuh ”Tambur Mansur” sebagai bukti kecintaan kepada al-Hallaj—sang syuhada kita. Tapi ia sendiri hidup dengan mengenaskan. Namanya tergores dalam kitab-kitab para sahid, karena hidupnya berakhir di atas tiang gantungan. Dan mati.

II

Di sebuah tempat yang jauh, puluhan abad kemudian, muncul seorang pujangga-filsuf di tanah Jerman, yang sepanjang hidupnya telah menuliskan aforisme-afotegma perjalanan seorang suci dari Persia—sebuah negeri yang menurutnya memiliki banyak pemikir yang berani berkata jujur dan membidik lurus. Dalam usia tiga puluh tahun ia juga meninggalkan kampung halamannya, mengembara turun gunung dan mendaki lembah-lemabah sunyi di belantara kusut dan sahara luas tak bertepi. Dalam suatu perjalanan ia berjumpa dengan orang suci di tengah hutan. Ketika orang suci itu sudah berpaling di hadapannya, ia pun bergumam: “Sungguhkah ini? Orang suci di tengah hutan itu belum mendengar, bahwa, Tuhan telah mati!”

Dan sejak itu, singgasana kepausan dan keuskupan bergetar. Segalanya seolah tertidur. Bahkan laut dan hutan seakan terlelap. Tetapi ia tetap memaksakan untuk meneruskan perjalanan menuju negeri yang tak bertepi, ketika Tuhan tak lagi disebut-sebut sebagai dewa penolong. Dalam setiap perjalanan ia menjumpai orang ramai di sebuah pasar yang ribut membincangkan ajarannya: “Di sana mereka tertawa, mereka tidak mengerti diriku; aku bukan mulut bagi telinga-telinga ini”, gumamnya. Dalam fantasinya ia pun berkhayal duduk di sebuah tempat yang belum pernah dilewati oleh jejak manusia, kecuali binatang-binatang buas yang siap memangsa, lalu bersama kapal-kapal yang memuat lumpur dari muntahan bumi yang terabaikan, ia berangkat mengarungi samudera luas.

Sang filsuf yang sering dianggap sebagai ”pembunuh Tuhan” ini, berkali-kali menjelaskan pendiriannya tentang berfilsafat dengan palu. Dengan palu, hidupnya menjadi kreatif. Gairah pencarian dan dahaga estetiknya menghunjam sampai ke relung terdalam penafsiran. Dialah Nietzsche: penantang gereja paling ulung di Jerman dan pernah menyatakan Sabda Zarahustra yang menantang register Kitab Suci dan Anti-Krist yang mengingkari keberadaan Trinitas.

***


Kisah perjalanan kedua maestro yang hidup di zaman yang sangat berjauhan itu, ibarat sebuah lautan pengetahuan yang paling sering digali, namun hingga kini tak pernah kering untuk ditimba kembali. Saya tak tahu siapa sesungguhnya Zarahustra orang Persia—si jenius yang meninggalkan jejaknya di belakang meja untuk mengembara ke dunia yang lebih luas itu—sebagaimana dikisahkan Friedrich Nietzsche lewat semangat amsal manusia pujangganya dalam Demikian Sabda Zarahustra. Apakah Zarahustra sebagai sosok alim Zoroaster yang pernah mengajarkan dualisme kehidupan di tanah Persia? Al-Hallaj memang orang Bagdad, tapi semua orang tahu bahwa si jenius agung yang dipancung pada masa Dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Sultan al-Muqtadir ini, seorang yang berdarah Persia dan ajarannya sangat khas para filsuf-sufi Persia.

Kita tahu, karya al-Hallaj yang terkemuka, at tawasin, telah diterjemahkan sejak abad ke-15 di Jerman melalui seorang ahli teologi Protestan jerman: F.A.D. Tholuck. Bisa jadi Nietzsche pernah bersentuhan dengan pemikiran al-Hallaj jauh sebelum ia menulis tentang Zarahustra yang mengingatkan kita pada Zoroaster di negeri Iran lama itu. Gumam-gumah lirih kedua pujangga yang kesepian ini begitu menghunjam kesadaran ratusan, atau mungkin ribuan manusia di muka bumi.

Apakah yang kita rasakan setelah mengikuti maksim-maksim singkat dari kedua pemikir-sufi yang paling terkemuka ini? Adakah sesuatu yang bisa membuat kita ingin mencampakkannya jauh-jauh ke dasar jurang, atau membuat kita justru takzim, luluh ke dalam amor fati dan kefanaan yang masih belum habis-habisnya itu? Adakah selapis tipis makna yang bisa membuat kita merasa bahagia, dan tidak sekadar merepotkan pikiran sendiri oleh maksim-maksim dan aforisma-aforismanya yang keras kepala?

Sekali lagi, hanya Nietzsche yang tahu apa yang dimaui dengan amor fati-nya, sebagaimana al-Hallaj sendiri lebih tahu apa makna di balik kefanaan dalam ajaran Zen-Avesta—kitab suci yang dibawa Zoroaster—yang diakui kebenarannya oleh kakeknya. Namun jika delusi John Forbes Nash—sang penderita skizofrenia yang kemudian mengantongi hadiah Nobel matematika ini—bisa dipercaya, barang kali Zarahustra adalah nabi bagi orang Iran lama—negeri yang “orangnya mudah bersimpati dan berbelarasa kepada orang yang kesepian”.

Zoroaster atau Zarahustra, bukan orang yang “mempunyai unta kuning” (ungkapan orang Iran untuk orang yang dianggap tidak waras namun cerdas). Warna kuning adalah warna gila, sebagaimana berkali-kali juga kita jumpa dalam prosa-prosa Iwan Simatupang yang sangat fasih menejemahkan kegelandangan Nietzsche. Kita tahu bahwa pandangan sufistis yang pernah hidup di Iran sejak Zoroaster sampai Khomeini, di dasarkan pada tiga prinsip yang terkenal itu: kepatuhan pada imam, resistensi/revolusi terhadap tiran, kesucian diri seperti bayi. Api dianggap suci. Cahaya dan kegelapan terus berseteru. Anak-anak adalah harapan masa depan.

Para pemikir Iran dikenal sangat apresiatif terhadap dunia anak-anak, karena selain mengajarkan makna kepolosan dan kemurnian, anak-anak sering melahirkan ungkapan-ungkapan yang justru dianggap paling orisinal dan murni. Saya ingat Husein Thabataba’i—si cilik usia lima tahun yang telah fasih hapalan Quran dan meraih gelar doktor kehormatan dari Islamic University College Inggris yang hidup di zaman kita kini—sambil bermain mobil-mobilan dan menarik-narik kabel mikrofon, secara spontan ia menanggapi pertanyaan-pertanyaan penggemarnya dengan mengeluarkan ayat-ayat Quran dengan bahasa Persia yang sangat sastrawi dan syarat inspirasi.

Baik al-Hallaj maupun Nietzsche, banyak menyinggung dunia fantasi infantil. Apa yang menarik pada kedua tokoh ini bukan pada ada tidaknya pengaruh al-Hallaj terhadap Nietzsche, melainkan ketajaman imajinasi al-Hallaj yang telah menyumbang bagi perkembangan genre tafsir alegori mistikum. ”Dalam sifat dasar Adikodrati, kata al-Hallaj, terkandung sifat dasar adimanusia”. Dalam Adimanusia, kata Nietzsche, terkandung sifat Adikodrati. Di kalangan sufi, Adam sering dianggap adimanusia yang menjadi huwa huwa, ”persis Dia”, tapi kata Ibnu ’Arabi pula: ”Dia bukan Dia”.

Al-Hallaj telah mengajarkan tentang lingkaran “titik primordial”, Nietzsche seakan mengganti radar kecemasan Eropa dengan mengatakan: “kembalinya segala sesuatu secara abadi” setelah munculnya Adimanusia (Ubermensch). Dan bahala yang menimpa al-Hallaj di tiang gantungan puluhan abad lampau itu, telah mengajarkan pada kita tentang rahasia rasa pribadi yang tak sudi dibagi, sebagaimana juga bisa kita baca pada getaran imaji Albert Camus atau George Orwell ketika menuliskan adagium-adagiumnya saat menatap dingin tubuh para martir yang terkulai lemas di tiang gantungan.

”Bunuhlah aku, O sahabat-sahabatku yang terpercaya”, pekik al-Hallaj, ”karena dalam pembunuhanku adalah kehidupanku”. ”Aku mati sebagai mineral, dan menjadi tanaman. Aku mati sebagai tanaman, dan muncul sebagai hewan. Aku mati sebagai hewan, dan aku adalah manusia”, tulis Rumi dalam secarik sajak alegori mistik yang mengenang al-Hallaj.

Dalam melukiskan tragisnya kematian, al-Hallaj menjawabnya dengan prosa kefanaan—prosa kematian sekaligus kehidupan kembali. Kematiuan mesti disambut karena mempercepat pertemuan dengan Kekasih. Tragedinya, seperti halnya kisah bahala dalam legenda lama, epos atau mitos, sering kali resisten terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu mereka tak bisa lama menghirup udara dunia. Para martir, sepanjang hidupnya, kerap kali berada dalam ruang antara dan bayang-bayang kematian. Hanya dengan begitu mereka bisa hidup dalam lorong-lorong jiwa manusia dalam setiap zaman dan masa. Al-Hallaj menggapi kehidupan yang berpuncak-puncak melalui kematian. Dan inilah tujuan para sufi. ”Maut itu indah, sebab ia menggabungkan sahabat dengan Sahabat”, tulis sufi Yahya.

Al-Hallaj dan para martir sesudahnya, telah menunjukkan kepada kita sebelum yang lain-lain tentang bagaimana cara memanusiawikan kematian. Namun, para martir kerapkali membikin orang-orang yang ditringgalkannya hidup dalam ”epidemi kematian”. Para martir tak jarang justru membius kita dengan keinginan untuk berkorban demi perubahan nilai perjuangan. Padahal, seperti ditandaskan Nietzsche, mengorbankan diri demi perubahan nilai perjuangan hanya akan menjerumuskan orang lain yang fanatik ke lembah kematian.

Dengan memilih sebagai martir, murid-murid al-Hallaj merasa apa yang diajarkannya adalah benar, bahkan menganggap dirinya sebagai wali di atas para wali. Pernahkah kita di sini membayangkan al-Hallaj menghayati Tuhannya sebagai apa yang dalam bahasa kita dengan sederhana sering dinamakan “kemanunggalan aritmetik”? Sebuah penyatuan, di mana, katanya, “Tuhan tak pernah bisa terumuskan, tak memiliki perhitungan, permulaan, atau akhir yang dapat mencapai-Nya”.

Sufi memang akrab dengan misteri-misteri bilangan, dan tak henti-hantinya mempersoalkan bilangan-bilangan yang dianggap misteri dan mengandung nilai khusus. Ketika suatu waktu al-Hallaj ingin menyampaikan kesaksian mata batinnya, seorang tiba-tiba berlari mencari pertolongan padanya dengan jiwa yang kosong. Karena takut pada percikapan kembang api yang berletusan di udara, dan tertipu oleh segala hasrat dunia, hancur, berantakan, lalu dari dalam mulutnya tampak mengeluarkan percikan lidah ap.

Sebagai mana dilukiskan al-Hallaj lewat perlambangan yang agak absurd namun dahsyat ini: “Aku mengisap samudera keabadian yang dalam, karena ia yang mencapai Titik Primordial akan menyusuri tepian laut malam hari; membiarkan diri digaram olehnya, berguling dalam debu-debu api. Sayang, ia tiba-tiba menghilang dari pandanganku, dan aku melihat sekawanan burung bertebaran di tubuhnya; terbang dengan dua sayap batinnya. Sayang, ia tak percaya apa yang aku katakan; ia lebih memilih terus terbang hingga di kejauhan malam”.

Di tengah samudera yang kelam, bayangan ke hitam-hitaman seakan datang menerjang, dan sang petualang pun berkata: “Aku terbang dengan kepak sayapku, nuju Kekasihku. O, karena tak satu pun menyerupai Ia, lalu ia pun roboh; terjungkal dalam laut pemaknaan, tenggelam. Ia bertanya kepadaku soal kesucian, kujawab: retakkan sayap-sayapmu dengan pedang kefanaan. Bila tidak, jangan berharap ikut aku.”

Mari kita renungkan juga permadani kata yang diucapkan al-Hallaj ini: “Keagungan bagi Tuhan yang Mahasuci, Ia yang takkan pernah terjangkau ajaran-ajaran para ahli makrifat, bahkan intuisi para Rasulullah yang menerima wahyu suci sekali pun”. Atau, seperti kritiknya tentang dikotomi “orang awam” dan “orang terpilih” sebagai apa yang disebutnya dengan jalan ke “lorong-lorong waktu dari apa yang mereka tempuh itu ternyata lenyap; dualitas itu pun kabur, dua tonggak itu pun lebur, dua dunia keadaan itu pun hancur; dan segala bukti dan makrifat pun habis-kikis-tak berbekas!”



III


Dalam kitab at-tawasin bab Misbah Kenabian yang terkenal itu, al-Hallaj melukiskan Muhammad sebagai “substansinya cahaya, dawuhnya profetik, makrifatnya surgawi, bentuk ekspresinya berlogat Arab, bangsanya ‘bukanlah Timur atau Barat.’” Lalu bandingkan dengan ungkapan Nietzsche yang ditulis belakangan dalam Penari Jagatnya, yang tidak lagi terikat pada suatu tempat saja, melainkan dengan ringan memutar dan beralih dari satu posisi ke posisi lain. Dan inilah yang dicari Nietzsche: Tuhan yang menari.

Penari Jagatnya Nietzsche, kata Huston Smith dalam Agama-Agama Dunia, adalah sang Warga Dunia itu, yang mengingatkan kita pada Descartes yang tetap akan menjadi putra kandung dari kebudayaan yang melahirkannya, tetapi ia akan mempunyai hubungan darah dengan semua kebudayaan yang ada. Bukan Barat bukan Timur, inilah warga dunia yang belum sempat terwujud kendati telah lama diimpikan.

Dalam era komunikasi seluler yang masih belum mampu menjadikan negeri-negeri di muka bumi menjadi ”desa global” sebagaimana ramalan McLuhan itu, serta masih menganganya jarak antar-peradaban, ketika Timur dan Barat masih diramalkan Huntington sebagai bom waktu yang akan mengalami chaos dan class, entah sebagai pertanda “akhir sejarah”-Francis Fukuyama atau justru kebangkitan fundamentalisme dengan baju zirah identitas yang sempit, maka betapa pentingnya gagasan tentang dunia yang “bukanlah Timur atau Barat” dari al-Hallaj itu, atau warga dunia-nya Zarahustra.

Al-Hallaj memang melukiskan kesannya terhadap Muhammad sebagai arah Timurnya adalah Barat, dan arah Baratnya adalah Timur. Sang Nabi tak berumah di atas dunia yang lebih tinggi, dan tidak pula di tempat yang lebih rendah, tapi dunia Timur sekaligus Barat. Anak ujung ameh, kata orang Minang: anak yang tak berumah, tak berwaris.

Al-Hallaj mungkin terlampau meraup nilai lebih saat menafsirkan Muhammad dan peradaban Madani yang dibangunnya sebagai “jalan mereka yang tak berumah” itu, sebagaimana halnya ketika Nietzsche mengoyodok poly-interpretasi pada luasnya dunia Adimanusia. Namun, pandangan itu bukan sekonyong-konyong keluar dari pena tanpa permenungan atau penghayatan yang matang, tanpa pertimbangan nalar dan kekuatan mata batin. Kata-kata itu muncul dari sebuah refleksi yang tajam melalui keheningan malam

Gagasan al-Hallaj muncul puluhan abad sebelum kemunculan postmodernisme yang berambisi mendekonstruksi setiap bentuk binari. Bahkan kata-kata itu muncul sepuluh abad lebih sebelum buku Polemik Kebudayaan lahir, sebelum Bakhtin menawarkan heteroglossia, sebelum buku puisi O Amuk Kapak (1981) mengaduk-aduk narasi melalui berbagai delusi, sebelum Oktavio Paz atau Orhan Pamuk meraih Nobel sastra, sebelum buku Kata, Waktu dan Eksotopi Goenawan Mohamad ditulis.

Dengan majas yang keras, metafora yang bening, seperti “kuncup mawar yang gemetar karena dijatuhi setetes embun”, tulis Nietzsche, al-Hallaj terus saja berjalan jauh dengan pandangan yang luas karena dalam pencarian ada jalan raya yang terbentang. Karena itu, al-Hallaj tak henti-hentinya meluapkan kata-kata keluh-kesahnya tentang problem-problem yang menjadi persoalan orang banyak di sini. Walau pun untaian prosanya tak sebening frase “platonisme orang-orang”-nya Heidegger atau “prosa hitam orang-orang” eksistensialis, karena bahasa prosa al-Hallaj lebih “sebagai ‘novissima verba’—gumam-gumam prosaik yang mengandalkan gagasan literer—ketimbang menulis yang puitis”, tulis Louis Massignon—sang juru tafsir al-Hallaj yang paling terkemuka di Barat.

Pasifisme-pasifisme dan diktum-diktumnya tak mengandung kekuatan yang mampu menyihir lautan menjadi hamparan jalan bagi kemanusiaan—sebagaimana sering dianalogikan tentang hubungan magi dan puisi di kalangan penyair dunia. Namun, dengan teka-teki dan kekuatan tersembunyi, atau sebuah gelar tak tertulis, Nietzsche yang pernah dihalalkan darahnya lantaran dianggap bakal membahayakan iman Kristen, justru mulai digandrungi anak-anak muda karena “tiga metamorfosisnya” yang abadi: dari spirit unta-jiwa singa-letupan dan kepolosan kata anak-anak, mampu membangunkan agama-agama dari tidur dogmatisnya.

Di tengah situasi sebagai narapidana yang dikelilingi menara keterasingan, Nietzsche masih sempat-sempatnya membaca sebuah nuzuman tentang tanda-tanda zaman yang muncul dari kilatan tanda cahaya yang menggelorakan imaji melalui paduan suara prosa yang mengungkai nada-nada. Sebuah kecenderungan yang menemukan dahaga estetisnya yang diikuti dengan ide-ide yang tak mengagung-agungkan masa silam model kaum romantik, atau para pencinta lokalisme yang sempit.

Al-Hallaj dan Nietzsche, yang frase prosanya terasa menggetarkan bagi para penguasa dunia itu, berusaha menelanjangi Tuhan yang pemarah, dan wajah agama yang menebarkan maut ke segala bangsa. Nietzsche berfilsafat dengan palu, dan kita ingat Sutardji Calzoum Bachri berpuisi dengan kapak. Kita tak tahu pasti apa yang melatari pandangan semacam ini, pandangan yang yang sepak terjangnya menggema ke mana-mana dan diam-diam dijadikan sandaran kehidupan.

Ungkapan-ungapakan kegagahan seperti Tuhan telah mati, Akulah Kebenaran, merupakan ungkapan yang umum dalam bahasa delusif. Ungkapan semacam itu merupakan turunan langsung dari kejeniusan, yang dalam literatur sufi disebut syatahat. Abu Yazi al-Bustami dan Ibn Arabi bahkan pernah mengungkapkan hal serupa. Ungkapan-ungkapan yang sepintas sombong dan angkuh, namun mengandung keorisinalan dan kejeniusan itu, sudah menjadi bagian dari pencarian puncak-puncak spirituaal kaum sufi.

Tatkala kita mendengar Ibn Arabi mengungakapkan tentang hubungan antara yang banyak dan yang satu atau antara Tuhan adalah satu dan Tuhan adalah banyak, hal ini tak bisa dilepaskan dengan persoalan matematis. Yang satu menampakkan dirinya dalam banyak bentuk yang tidak terbatas pada alam, di lain sisi, dengan struktur matematis, maka yang satu melahirkan bilangan-bilangan yang jumlahnya tidak terbatas. Yang satu itu sendiri bukan bilangan, tetapi mewujudkan bilangan. Tuhan bukan Tuhan, atau Dia dan bukan Dia (huwa la huwa). Ini bukan lagi sebuah keesaan mutlak, sebagaimana umumnya dipahami, melainkan keesaan dalam kerelatifan.

Perjalanan al-Hallaj dan Nietzsche misalnya, telah memberi arti dari arti, sebuah tafsir tak terhingga tentang ziarah ruang dan waktu sampai pada batas yang terjauh dan meninggalkan tafsirnya yang tak selesai. Dengan mata jiwa yang buta, dengan iman pada ketidaktahuan, al-Hallaj mencoba mendekatkan jarak kita yang bermil-mil jauhnya hingga sampai pada tepi terjauh pencarian yang Mutlak. Nietzsche seakan menjawab pertanyaan al-Hallaj dalam “Orang-orang Bijak” dengan datar namun sangat meyakinkan: “Apa yang bukan aku, itulah Engkau dan kebajikan bagiku!” Ke-kita-an adalah subjek, bahkan kwasi-subjek, dan setiap objek didekati sebagaimana subjek mendekati realitas. Tapi bagaimanakah subjek itu didekati?

Tuhan konon pernah berkata pada Musa di Tursina, yang ditafsirkan dengan indah oleh al-Hallaj dengan sebutan kau: “Kau yang menuntun dirimu mendekati tanda, tapi tidak menuju objek tanda itu sendiri. Maka, seperti menuju Aku, Aku-lah tanda dari segala tanda”. Tetapi si aku Sutardji Calzoum Bachri mencoba bertanya dengan nada ragu dalam puisi: ”apa tongkat Musa mampu menyibak lautan tanda bencana yang dahsyat ini?” katanya dalam sajak “Doa”. Karena itu ia pun memohon kepada Tuhan dengan mengatakan: ”ya Tuhan, kuatkan selamatkan bangsaku, dari derita beberapa Nabi”.

Al-Hallaj mengajak kita untuk merenungkan seekor ngengat yang berterbangan mengitari lidah api sampai pagi tiba, sebagai pemaknaan atas Maharealitas yang tak pernah menyurutkan langkah para filsuf untuk terus menyibak rahasia tak bernama dan tak berbilang: “Wahai orang yang hidup dalam ketidakpastian, jangan pernah menyamakan aku adalah dengan ke-Aku-an Tuhan. Kapan pun: sekarang, waktu mendatang, atau masa lampau. Karena bagaimana pun, walau aku milikNya, aku bukanlah Ia”.

Bagi al-Hallaj, karena tak mungkin mengetahui Tuhan, merumuskan, mempersonifikasikan, mengkiaskan, maka pilihannya adalah “tidak mengetahui”. Dalam bahasa teologi, dikenal dengan “teologi tidak mengetahui”. Bagaimana beriman pada Tuhan dengan tidak mengetahuiNya? Tuhan cukup dicintai, tidak dapat dipikirkan, dan cinta pada Tuhan itu adalah “cinta buta”—cinta tanpa pengetahuan dan pengenalan, bahkan untuk sekadar membayangkan ada “di mana” atau “tidak ada di mana” Ia. Kita tak dapat mengatakan bahwa Tuhan ada, sama seperti ketika kita tak dapat mengatakan bahwa Tuhan tidak ada.

Tuhan tidak tersangkut dengan waktu, tapi Tuhan berada di luar sekaligus di dalam waktu. Dengan kata lain: Tuhan mungkin hidup di antara luar dan dalam waktu. ”Dia adalah perwujudan penantian”, kata Paritus—tokoh dalam novel the Judges Ellie Wiesel: ”Tuhan yang adalah Dia yang kita tunggu”. Berhadapan dengan argumen-argumen yang pelik ini, al-Hallaj justru mengafirmasi Tuhan dengan mengatakan ana ’l-Haqq yang dalam salah satu novel Dostoyevski, seorang tokohnya mengatakan mirip ungkapan al Hallaj: ”Tuhan adalah aku. Akulah Tuhan”. Maka, seturut dengan itu, tak akan ada lagi pengandaian-pengandaian tentang Tuhan karena “Aku adalah Aku”. Nietzsche memilih jalan menegasikan Tuhan, karena kita dapat mengetahui lebih banyak tentang apa yang bukan Tuhan ketimbang tentang apa adalah Ia. Maka pilihan yang paling bijak dari semua kebijaksanaan adalah mengatakan “Tuhan telah mati”.

Baik al-Hallaj maupun Nietzsche, yang tampak berseberangan itu, adalah sama—dalam hal kebenaran maupun kesalahan. Kendati bermacam-macam dalih dan alasan, namun sama sekali tidak memperkuat salah satu atas yang lain. Dengan demikian, semuanya salah, atau semuanya benar. Walau pun hampir mustahil semuanya benar, karena kebenaran tidak menentang kebenaran, maka semuanya adalah salah, karena tidak mungkin satu dalil mengungguli dalil yang lain. Cara untuk membuktikan kebenaran dan kesalahan terletak pada pembuktian argumen. Tidak ada argumen yang menentang argumen lainnya, tetapi yang ada adalah penafsiran yang berbeda-beda atas realitas.

Agaknya kita memang perlu belajar banyak bagaimana menerapkan silogisme berikut derivasi dan makna figuratif yang pernah diajarkan al-Hallaj, yang telah melahirkan karya-karya di bidang ini secara mengagumkan, seperti Khalq Khala’iq al-Qur’an wa al-I-tibar, Al-Kayfiya wa al-Haqiqah atau Al-Kayfiya al-Majaz yang hampir tak ada bandingannya dalam karya para teolog atau kaum sufi mutakhir dalam hal kematangan penggunaan silogisme berikut derivasinya yang berwarna-warni.

Kembali tentang penetapan negasi-afirmasi, al-Hallaj sempat melukiskannya dengan istilah “kemanunggalan yang tak diketahui musababnya dengan semua kemanunggalan aritmetik”. Sebagaimana telah dijelaskan, tak ada definisi Tuhan, perhitungan, permulaan, atau akhir yang dapat mencapaiNya. Ia adalah Ia. Hanya Ia yang satu-satunya mengenal Ia. Tuhan bukan Tuhan, Dia bukan Dia, kata Ibn Arabi. Maka, tak mengherankan bila persoalan yang terkandung dalam istilah-istilah semacam ini menimbulkan banyak perdebatan, sebagaimana dibahas dengan oleh Kautsar Azhari Nooer (1995).

Ibn Arabi tak sungkan-sungkan mengemukakan berbagai perumpamaan dalam membahas persoalan Tuhan. Perumpamaan digunakan untuk menjelaskan teori ontologisnya tentang al-Haqq dan al-khalaq: bahwa Tuhan dan alam adalah satu entitas dengan banyak bentuk. Tuhan adalah makhluk pada satu sisi, tetapi pada saatnya yang sama keduanya berbeda pada sisi lain. Semuanya adalah satu dan banyak sekaligus. Inilah yang oleh Kautsar Azhari Noer disebut prinsip coincidentia oppositorum yang sesuai dengan formula Ibn Arabi tentang Dia dan bukan Dia sebagai jawaban ambisius terhadap pertanyaan apakah al-Haqq (Tuhan) identik dengan al-khalaq (alam):

Al-Hallaj telah menguatkan silogisme pencarian perdefinisi tentang Tuhan dalam Ta-Sin-nya yang menjelma aforisme-aforisme yang mabuk dirajam kerinduan untuk manunggal bersama-Nya. Dalam pendakiann yang sejati, ia terus mendaki tafsirnya, dan kemudian berlari mendekat ke arsiNya, setelah akhirnya ia menjauhkan berbagai atribut dan rumusan tentangNya. “Buang segala alam ciptaanmu”, teriaknya, “kau akan menjadi Ia. Ia sekaligus kau: kedua-duanya adalah realitas”. Dan “Ia memberiku kedekatan yang intim,” katanya.

Untuk sampai pada “Akulah Kebenaran”, al-Hallaj menawarkan empat puluh jenjang atau tangga spiritual. Empat puluh stasiun pengembaraan sufistik ini, yang dalam masyarakat Minang dikenal istilah “janjang ampek puluah” dan dalam masyarakjat Lampung diterjemahkan menjadi “empat puluh jurus puncak” yang mesti diempuh seorang yang hendak mendapat gelar pendekar (sufi). Betapa akrab sebenarnya empat puluh maqam ajaran sufistik al-Hallaj di kalangan masyarakat Melayu.

Jenjang empat puluh tersebut dimulai dengan jenjang adab (tiwikrama) sampai dengan yang terakhir, jenjang bidayah (memulai kembali pendakian dari awal), yang oleh al-Hallaj dinamakan lingkaran titik primodial. Untuk sampai pada tingkatan yang ke empat puluh dan kembali lagi ke awal, dan seterusnya, hampir tak mungkin hanya ditempuh sekali pergi dan sesudah itu berhenti, tapi seperti yang pernah diajarkan dewa Hermes tentang “lingkaran hermeneutis” yang ditempuh secara terus-menerus dalam satu lingkaran yang sama, berkali-kali, tanpa henti dan tanpa titik final. Sebuah jenjang yang berat dan keras, yang dalam kata-kata al-Hallaj dilukiskan sebagai upaya memasuki stasiun di tengah lautan manusia, mengarungi sebidang lipatan, menjelajahi kefanaan, dan mengenalinya lebih jauh lagi, hingga tak ia temukan sesuatu pun yang berguna baginya, bahkan setelah berlama-lama tinggal di lembah ngarai atau tepian yang rendah.

Dengan demikian, untuk sampai pada “ana’l Haqq”, hampir mustahil bisa ditempuh oleh kaum sufi mana pun, bahkan Rasulullah sendiri—kalau memang tangga empat puluh itu menjadi syarat untuk sampai pada menyatu dengan Tuhan. “Musa yang diberi petunjuk oleh Tuhan saja membutuhkan ‘kabar tak langsung’ untuk berjumpa dengan-Nya”, tulis al-Hallaj sambil melanjutkan, “maka bayangkan, betapa butuhnya orang yang asing terhadap kabar itu”. Ibnu Arabi juga mengajukan empat puluh tahap penurunan dan pendakian yang mencapai puncaknya dalam Insan Kamil (Adimanusia).

Dalam kitab suci, betapa sering Tuhan bicara tentang kebenaran, menempatkan kata ”Kebenaran” sebagai salah satu rentetan emas nama-nama-Nya, baik melalui tanda maupun silogisme. Dan bagi al-Hallaj, Kebenaran yang dikisahkan dalam kitab suci bukanlah ilusi atau kitab omong kosong, melainkan bis jadi sebuah alusi. Kebenaran hadir sebagai tanda dan penanda realitas sekaligus isyarat yang memabukkan oleh kelezatan minuman anggur mistikal.

Mabuk atau trance bagi kaum sufi merupakan puncak “penyatuan manusia dengan Tuhan” tanpa tabir dan tirai. Bahkan untuk sebagian kaum sufi, minuman yang memabukkan ialah apa yang mereka namakan “dhamir al-sya’n”, sebuah kalimat sahadat pertama, sebagimana pernah dinyatakan Haidar Baqir tentang kata “tak ada tuhan selain Tuhan”” dalam penegasan taukhid tak lain adalah negasi-afirmasi, yang dalam “Akulah Kebenaran” menjadi sebuah kredo yang menegaskan adanya afirmasi sesudah negasi.

Nietzsche pernah mengatakan ketika memaknai perjalanan Zarahustra yang tak lelah-lelahnya mendaki ngarai-turun lembah bersama dengan segala yang telah terasing dari dirinya: "Hanya satu hal ini yang aku tahu: sekarang aku berdiri di tepi puncak penghabisan, yang telah begitu lama menunggu diriku. Ah, jalan terberat yang harus kujalani ini! Ah, aku hendak memulai pengembaraanku yang paling sunyi!"

Zarahustra, ketika dikerumuni orang-orang di tengah pasar, memantik pesan spiritualnya melalui “tanda-tanda cuaca” yang bukan hasil dari sebuah proyeksi yang bisa dilawan, melainkan sebuah alusi yang merujuk pada sabda Yesus dalam kitab suci. Jika para pemuja Tuhan masih menganggap kesenjangan antara das sein dengan das sollen sebagai penyimpangan, Nietzsche justru melukiskannya sebagai “kematian Tuhan” dalam diri manusia. Melalui permajasan dan perlambangan tentang “tanda-tanda cuaca” itu, Nietzsche berusaha mengajak pengikut-pengikutnya untuk menyerukan: mari hidup tanpa Tuhan, hidup tidak lagi bersama-Nya, melainkan bersama diri sendiri. Hidup tanpa Tuhan tak berarti Tuhan tidak ada, Ia mungkin ada tapi sudah mati, dan pandangan ini bertujuan untuk menegaskan makna “kemurnian” eksistensi Tuhan yang mesti diperjuangkan.

Maka tak berlebihan jika Khomeini membela al-Hallaj. Para sufi Persia seakan menjadi spirit tersendiri bagi karya-karya Nietzsche dengan gumam-gumam prosaik yang sangat orisinal. Dan baik al-Hallaj maupun Nietzsche, keduanya sama-sama ingin “mendekatkan diri” kepada Tuhan dengan cara menari di malam sunyi. Karena itu, mereka yang saban hari ingin mengejar kemurnian Tuhan, jangan-jangan cuma menemukan ketidakmurnian. Sebab, al-Hallaj maupun Nietzsche, justru rindu pada Tuhan yang menari. Sebuah “aku percaya tanpa kenapa” karena memang keduanya percaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar