Sabtu, 31 Januari 2009

Feminis yang Terluka oleh Komunis

Oleh Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang



Pada tahun 1987, Partai Komunis Vietnam menyerukan kepada para penulis dan jurnalis untuk menghilangkan kekakuan, gaya formal realisme sosialis yang telah dipaksakan kepada mereka, dan meneguhkan kembali peran mereka sebagai pemegang kontrol sosial. Dalam atmosfir keterbukaan inilah, sebagian sastrawan dan intelektual Vietnam meresponnya dengan beragam karya sastra, film, novel dan teater yang secara terang-terangan mulai melontarkan kritik atas kebijakan partai Komunis. Salah satunya adalah Duong Thu Huong, penulis Novel Tanpa Nama (2003), dengan dengan terang-terangan mengkritik kebijakan partai Komunis Vietnam. Pada tahun 1989 para pejabat partai konservatif Vietnam tiba-tiba menghentikan seruan tersebut dan mencanangkan kembali politik “ketertiban” dan menyensor buku-buku yang dianggap tidak sepaham. Novel-novel Duong Thu Huong menjadi sasaran kemarahan rezim karena itu dilarang terbit.
Duong Thu Huong adalah sosok feminis sekaligus penulis penuh kontroversi. Melalui novel-novelnya, Huong tak henti-hentinya mengkampanyekan semangat keterbukaan dan menentang segala bentuk sensor yang dibuat oleh rezim penguasa. Novel Sorga bagi si Buta (Indonesiatera, Oktober 2004), adalah contoh novel yang secara spesifik mengkritik kebijakan-kebijakan partai Komunis yang memberlakukan kebijakan reformasi tanah yang dipaksakan kepada rakyat jelata. Mengambil setting di era 1980-an, dengan narator seorang perempuan muda Vietnam, Hang, novel ini mengalunkan kisah mencekam dan teror yang menakutkan. Sebagian besar novel ini bertempat dalam angan-angan Hang ketika ia tengah melakukan perjalanan dengan kereta api menuju Moskow untuk mengunjungi pamannya, Ho Chi Minh, seorang kader partai Komunis yang kelak menjadi musuhnya. Dari tempat kelahirannya, di sebuah desa kumuh di pinggiran sebelah utara Hanoi, Hang memulai kisah panjang tentang peristiwa revolusi, kediktatoran partai Komunis dan sikap sastrawan penganut realisme sosialis yang sering memaksakan kehendak.
Paman Chinh adalah kader yang bertanggungjawab bagi pendidikan ideologis di belahan utara kota Quang Ninh. Di mata kader partai Komunis, ideologi adalah profesi yang mulia, lebih tinggi dari segala-galanya. Guru dianggap sebagai orang terpelajar, yang menyalurkan pencerahan dan pemikiran berharga yang tak dapat dibeli dengan uang. Slogan-slogan mereka begitu elitis bagi kalangan petani dan pedagang kecil seperti ibu dan tetangga-tetangganya yang hanya butuh sesuap nasi untuk bisa bertahan hidup. Gerakan mogok massal, pertentangan kelas antara kapitalisme dengan komunisme, imperialisme, gerakan kaum buruh, gerakan revolusioner, Front Nasional dan sejenisnya, terdengar asing dan menakutkan bagi penduduk setempat.
Selama empat puluh lima tahun, Duong Thu Huong menyaksikan teror dan horor yang ditimbulkan oleh kampanye reformasi tanah. Kisah ini merupakan bagian permulaan yang paling besar menimbulkan kekecewaannya pada praktik pemerintah Komunis yang otoriter dan diktator. Sebagaimana digambarkan Duong, kampanye reformasi tanah (1953-1956)--yang sebagian besar terinspirasi oleh revolusi Cina yang dipimpin oleh Mao Zedong--telah memancing gelombang kekerasan: tindakan mengerikan para penduduk desa yang menggulingkan “tuan tanah” tetangga mereka, juga keluarga ayahnya, sebagian hanya karena memiliki tanah beberapa akre saja--telah ditangkap, dipermalukan dan diusir dari tanah moyangnya.
Di antara “tuan tanah” itu banyak yang merupakan penduduk desa yang baik, orang-orang yang hanya sedikit memiliki tanah, yang menghargai ladang padinya sebagai darah daging mereka sendiri, hanya dengan satu pernyataan yang kejam mereka tersingkir, terlempar dari sekadar penonton tak berdosa menjadi pihak tertuduh. Teror yang ditimbulkan oleh pengikut partai Komunis telah menelan korban ratusan ribu nyawa. Ironisnya, kampanye idologi yang hendak menghapus sistem kepemilikan pribadi, ternyata diikuti oleh hasrat menumpuk kekayaan dari kaum elit partai. Sebagian lainnya mengambil keuntungan dibalik kesempitan mereka yang terguling. Karena itu, slogan-slogan “demi perbaikan ekonomi kaum proletar”, “tuan tanah musuh abadi kaum tani”, “hidup proletariat”, “gayang para borjuis” , “kepalkan tangan” adalah slogan-slogan yang terdengar klise dan kehilangan daya sihirnya.
Absurdnya reformasi tanah dan kampanye ideologi patai Komunis telah menimbulkan berbagai dampak psikologis yang patal bagi penduduk setempat. Bagi Duong Thu Huong, yang berasal dari keluarga kelas pekerja dan sempat menjadi anggota partai Komunis itu sendiri, Vietnam menjadi negeri yang dilanda rasa takut yang mencekam, dimana darah seorang telah berubah menjadi putih lantaran perang yang berkepanjangan, sempoyongan di jurang kelaparan, dan tiba-tiba harus mempertahankan diri mereka melawan pemimpin mereka sendiri. Huong dengan lantang mengutip teriakan-teriakan dan khotbah-khotbah para kader partai Komunis dengan penuh semangat. Ada sikap marah, kecewa dan terkadang terdengar putus asa menghadapi orang-orang yang menghamba pada sebuah ideologi licik dan pengecut yang menghalalkan segala cara. Itulah sikap yang ditunjukkan oleh paman Chinh yang ternyata tak kalah rakusnya dari kaum elit borjuis lainnya, hidup dan tinggal di rumah mewah di atas penderitaan orang lain.
Ketika pemerintahan Viet Minh mulai mendengar kritik dan teror yang disebabkan oleh kampanye-kampanye partai Komunis yang dianutnya, dia mengumumkan permintaan maaf, mengakui bahwa reformasi tanah adalah sebuah “kesalahan” dan mengelompokkan para petani kembali melalui kampanye “Perbaikan Kesalahan”. Mereka yang selamat dari kamp buruh dikirim kembali ke desa mereka di bawah perintah untuk “memaafkan dan melupakan”. Dengan ketajaman nalurinya, ajakan untuk memafkan kesalahan dari rezim yang berkuasa tetap belum mampu melupakan ingatan akan betapa pedih masa lalu keluarganya . Meski secara de facto, hidup yang dialami Huong jauh lebih bebas dari tahun-tahun ketika perang dan pertentangan ideologi dirayakan, kenyataan pahit tetap menjadi memori kolektif yang sulit dilupakan. Duong Thu Huong dan kisah dalam novel ini, betapa pun pedih pada awalnya, ia tetap menjadi ikon bagi pejuang hak asasi manusia di Vietnam. Huong adalah seorang feminis yang terluka oleh perang dan pertentangan ideologi yang tak kenal menyerah. Kejujuran dan keberaniannya, tak jarang menjadi sesuatu yang menakutkan bagi rezim yang sedang berkuasa. Novel-novel Huong menjadi saksi sejarah betapa ideologi dan politik tak selamanya bisa diserbatunggalkan.
Hingga saat ini, ada tiga novel karya Duong Thu Huong yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia; Novel Tanpa Nama (2003), mengisahkan gambaran yang liris dan subtil tentang orang-orang 'tanpa nama' dalam perang berabad-abad dan tanpa akhir di Vietnam. Novel Sorga bagi si Buta (2004) dan Menembus Mimpi Hampa (2004), mengisahkan perjalanan pahit dua orang perempuan yang hidup di tengah-tengah huru-hara perang dan pertentangan ideologi politik yang berlarut-larut. Juga penderitaan sebagian perempuan Vietnam dalam menghadapi dominasi ideologi patriarkal yang meletakkan perempuan di bawah subordinasi laki-laki, menjadi sisipan kisah indah sekaligus menggugah.
Buku Novel Tanpa Nama konon mendapat sambutan luar biasa di Vietnam. Namun, di sini, novel yang diterbitkan hampir dua tahun lalu, dengan mudah masih kita temukan di rak-rak toko buku. Novel Sorga bagi si Buta dalam versi Inggrisnya, konon terjual 40. 000 eksemplar. Novel Menembus Mimpi Hampa dalam waktu yang tak sampai dua pekan, sudah habis terjual 60. 000 eksemplar. Sebuah prestasi yang gemilang yang jarang ditemukan di negeri ini. Betapa pun indah dan kuat pesan moral yang ditawarkan Duong Thu Huong dalam novel-novel terjemahan ini, dari segi tematis, tak ada yang baru. Tema pertentangan kelas dan ideologi Komunisme sudah banyak digarap oleh para sastrawan, politikus dan kaum cerdik-cendikia lainnya. Sekedar menyebut beberapa contoh, buku Milovan Djilas (The New Class), adalah buku debutan yang meramalkan komunisme akan hancur karena ia mengabdi kepada kepentingan kelas pelaksana (aparatchik), terbukti sudah. Czeslaw Milosz (The Captive Mind), penulis Polandia ini mendeskripsikan hilangnya kebebasan bangsa dan manusia Polandia. Maka menurutnya, betapa nyeri proses penyesuaian diri para intelektual dan seniman terhadap konsepsi kekuasaan totaliter di negara-negara Eropa Timur, yang jatuh ke dalam orbit kekuasaan Uni Soviet setelah Perang Dunia. Padahal negara-negara Eropa Timur itu dulunya adalah bangsa-bangsa yang bebas, dan nasionalisme mereka sendiri yang kuat dan teguh seperti Polandia,, Hongaria, Cekoslowakia, dan sebagainya. Buku dalam tema yang sama, namun terhitung masih baru, adalah novel Arundhaty Roy (The God of Small Things), sebuah novel debutan yang sempat heboh lantaran kritiknya atas partai Komunis India.
Pengamatan Djilas, Milosz dan Arundhaty Roy sebenarnya sudah didahului oleh sebuah pandangan lain dari Antonio Gramsci, seorang teoritikus komunis Italia yang meninggal dunia tahun 1927. Ia mengajukan kritik pedas kepada gerakan komunis waktu itu, yang telah kehilangan pesonanya lantaran mencampakkan spiritualitas dan wajah kemanusiaan. Namun konteks dan sudut pandang yang berbeda, membuat tema semacam ini tetap layak diapresiasi dan menarik untuk terus didiskusikan, menjadi bahan refleksi betapa bahayanya ideologi yang menghamba pada kepentingan kelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar