Sabtu, 31 Januari 2009

Alqur’an, Keindahan Aural, dan Puisi

Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang



Tradisi membaca Qur’an dalam Islam dinamakan tilawah. Bentuk resital yang paling populer di tanah air adalah pembacaan Alqur’an secara murattal, atau ritmik, yang juga sering disebut tartilan. Tradisi ini di negeri kita biasanya dilombakan dalam festival Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ). Dalam MTQ, yang ditonjolkan adalah Alqur’an sebagai keindahan aural (keindahan yang didengarkan), bukan yang dituliskan. Bacaan Alqur’an yang aural dilantunkan begitu merdu, begutu indah, seperti puisi kanonik yang kaya akan semesta metafora dan gaya.

Dalam Alqur’an memang terdapat banyak muatan puisi dan prosa. Kisah nabi Adam dan Hawa, kisah nabi Musa, Isa, Yusuf, Sulaiman, Daud, dan cerita kaum Ad dan Thamud, cerita Ashabul Kahfi, Ashabul Fil, Isra’-Mi’raj, merupakan kisah-kisah dalam bentuk prosa dan puisi.

Hasil penelitian Shahnon Ahmad (1977) dari Malaysia menunjukkan ada sebanyak 227 surat Alqur’an yang merujuk para penyair, terutama penyair jahiliyah. Dalam surat-surat Makkiyah (surat yang turun di Mekah), terutama yang pendek-pendek, struktur stilistik (gaya) dan bahasa sangat bertumpu pada struktur puisi. Kata alif, lam, mim, ya, ain, shod, menunjukkan stilistik yang sama dengan puisi.

Sudah banyak riwayat diceritakan bagaimana pesona keindahan bahasa dan stilistika Alqur’an yang mampu menggugah orang bahkan terpengaruh olehnya. Kisah masuk Islamnya pujangga al-Walid bin al-Mughirah yang diutus oleh suku Quraisy untuk berdialog dengan nabi Muhammad, kisah terpesonanya Umar bin al-Khattab terhadap Alqur’an hingga ia masuk Islam, merupakan kisah tentang keindahan bahasa dan gaya Alqur’an.

Ketakjuban masyarakat terhadap Alqur’an muncul dari adanya semacam gairah akan kesusastraan. Kita masih ingat ketika Alqur’an diturunkan, masyarakat Arab pada waktu itu sudah memilki tradisi sastra yang kuat. Ketika masyarakat Arab menerima Alqur’an pun senantiasa dikaitkan dan diuji dengan sastra—terutama keindahan bahasa, retorika, dan gayanya.

Keindahan Alqur’an ketika dibacakan mengandung kekuatan sastrawi yang mampu membetot pikiran dan perasaan pendengarnya. Maka tak heran bila ada yang beranggapan bahwa Alqur’an mengandung kekuatan magis yang mampu mempengaruhi orang yang membaca atau mendengarkannya. Ini tentu tidak mengherankan karena keindahan Alqur’an itu sendiri berasal dari yang Maha Indah. Allah sendiri Maha Indah dan mengagumi keindahan.

Jika Allah adalah Maha Indah, maka sudah barangtentu firmannya juga indah. Kata Alqur’an sendiri berarti bacaan, bacaan yang indah. Untuk mendekati Alqur’an yang indah disyaratkan dengan pendekatan yang mampu menguak tabir keindahannya. Dan ini sangat mungkin dilakukan dengan kajian sastra yang memang sangat apresiatif terhadap bahasa dan seni keindahan.
Dengan kata lain, “mendekati” yang Maha Indah yang telah melahirkan firman yang sangat indah (Alqur’an), sangat logis dengan yang juga indah (puisi). Manusia tak akan mampu “berjumpa” dengan yang Maha Indah dalam kondisi yang tidak indah atau kotor, karena itu untuk “menjumpai” yang Maha Indah dibutuhkan seperangkat alat yang indah—atau minimal yang menghargai keindahan.


Amin al-Khuli pernah mengajukan metode pendekatan sastra dalam membangkitkan semesta metafora dalam Alqur’an. Seorang mufassir, kata Amin al-Khuli dan Nashr Hamid Abu Zayd—dalam buku Metode Tafsir Sastra versi terjemahan bahasa Indonesia (Fakultas Adab Press IAIN (sekrang UIN) Yogyakarta (2004)—mau tak mau harus menggunakan ilmu-ilmu sastra seperti gramatika, metafora, gaya, agar mampu menghindari makna monolitik atas Alqur’an, dan pada saat yang sama, mampu menghadirkan keragaman makna Alqur’an itu sendiri.

Amin al-Khuli tidak sendirian, muridnya, Nashr Hamid Abu Zayd bahkan telah mengaplikasikan pendekatan teks dan metode tafsir sastra dalam menguak semesta kiendahan Alqur’an. Jauh sebelum Amin al-Khuli, ulama tafsir yang menekankan bahasa dalam tindak penafsiran Alqur’an adalah Muhammad Abduh (1848-1905) dan Thaha Husayn (1889-1973). Di Indonesia tentu kita masih ingat H.B. Jassin dalam “Alqur’an Bacaan Mulia” dan “Alqur’an Berwajah Puisi” yang sangat heboh itu.

Adakah yang salah dengan cara seperti itu? Bukankah metode tafsir sastra atas Alqur’an itu sendiri merupakan sebuah ijtihad? Bila kini banyak ulama dan pemikir yang menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah, filsafat, dalam menafsirkan Alqur’an, dan banyak yang tak keberatan, maka metode tafsir sastra sama yang saya maksudkan. Mengungkap makna terhadap ayat-ayat Alqur’an melalui pendekatan puisi atau prosa tidak berarti menempatkan Alqur’an di bawah puisi.

Justru dengan cara ini, keindahan Alqur’an tidak semata-mata sebagai klaim sempit umat Islam, tapi akan memiliki landasan argumentasi pengetahuan yang kuat. Bila kita percaya bahwa Alqur’an itu indah dan penciptanya Maha Indah, maka pendekatan sastra yang menekankan sisi keindahan tak akan mampu menggerogoti kemukjizatan Alqur’an.

Bukankah “jalan menuju ke pengetahuan tentang mukjizat Alqur’an”, kata Nashr Hamid Abu Zayd, “senantiasa terpampang bagi siapa saja yang ingin mengetahui keindahannya. Pintu untuk bisa membuka rahasia kemukjizatannya—betapapun kecilnya yang bisa dilakukan oleh manusia—sangat mungkin dengan kajian sastra dan puisi khususnya”. Mengapa puisi? Karena “puisi”, kata ‘Abd al-Qahir, “akan mampu menjamin anda untuk tak terjebak pada akidah tunggal, akan menjamin anda untuk tak melakukan kesalahan di dalam membuat klaim, menjaga anda untuk tak menjadi orang yang alim hanya secara taklid semata”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar