Sabtu, 31 Januari 2009

Bunga Teratai yang Basah:

Renungan Tentang Budha & Biksu di Myanmar

Oleh Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang



Dengan Budha
semoga rasa cinta kita memenuhi semesta
di atas, di bawah, di seberang, tanpa batas.
Kebaikan tak berhingga pada semesta
tak berbatas, bebas dari benci dan perseteruan
--KAREN AMSTRONG, Menerobos Kegelapan



Sidharta bukan keturunan kaum paria. Keluarganya terpandang dan hidup dalam istana. Siapa sangka kelak ia akan meninggalkan istana dan masuk ke dalam hutan yang sunyi seorang diri. Menjadi Budha. Lalu ajarannya dikenal sebagai Budhisme. Di hari-hari ini mungkin ada yang mengatakan: tidak percaya. Sebab betapa banyak kaum rudin di negeri ini berjuang untuk bisa naik kelas. Ya, bukan hanya di sekolah orang berharap naik kelas, tapi dalam soal kemiskinan kelas begitu penting.

Saya teringat City of Joy, novel realis karya Dominque Lapierre yang dialihbahasakan oleh Wardah Hafidz dengan baik. Sejumlah cobaan tak henti-hentinya mengendus sebuah keluarga di Calcuta. Keluarga yang hidup dalam sebuah asa di tengah puing bencana di abad ke-20, yang menjadi korban akibat proses endemik yang melilit belasan juta petani Bengali hingga setiap orang dipaksa menuruni anak tangga sosial yang mengubah kedudukan petani dari penggarap, menjadi petani tanpa tanah, buruh tani, dan akhirnya terpinggirkan sama sekali. ”Sama sekali tidak ada gunanya untuk bermimpi bisa meniti anak tangga ke arah yang berlawanan”, tulis Dominique Lapierre.

Saya juga teringat Siddhartha, novel tipis buah perjalanan Herman Hesse ke India yang menggetarkan dan telah diterjemahkan dengan menawan oleh Asbari Nurpatria Krisna. Ketika akhirnya desas-desus tentang sang Budha Gotama—orang bijak dari suku Sakya ini—sampai juga ke seluruh negeri, kita disuguhkan sebuah kalimat syarat perenungan tentang siapa Budha sesungguhnya: ”Dia memiliki pengetahuan luar biasa, kata orang-orang yang percaya; dia dapat mengingat kehidupan sebelumnya, dia telah mencapai nirwana dan tidak pernah kembali ke dalam siklus, dia tidak lagi tercebur ke dalam arus bentuk”.

Arus bentuk? Mungkin tak terlalu tepat, namun sebagaimana sebuah pencarian, tentu meniscayakan sebuah batasan. Octavio Paz punya istilah yang cantik soal apa yang disebut bentuk dan geometri lewat terjemahan Goenawan Mohamad ini: sebuah ”rasa senang kepada Bentuk”. Sebuah Bentuk, kita tahu, tak kalah ilusifnya dengan sebuah geometri, dan karena itu kita dituntut untuk tak terpaku pada Bentuk seraya mencibir Isi.

Di zaman ini orang kembali menaruh simpati pada Budha dan kearifan Budhisme karena ajarannya tak menyebarkan pedang Tuhan ke segala bangsa, apalagi menyebarkan wabah prasangka permusuhan. Budha seakan ditemukan kembali dalam kekinian. Tapi, sebagaimana kritikan Goenawan Mohamad: ”ajaran Budha ternyata tak bisa bebas sepenuhnya dari keniscayaan ajaran-ajarannya menjadi besar dan menegakkan bendera. Bunga teratai mau tak mau harus basah juga”. Jika dalam Bhagawad-Gita—khususnya terjemahan Amir Hamzah—seorang Krishna mengatakan bahwa ”daun teratai tidak pernah basah oleh air”, maka Goenawan justru meragukan.

Budha, walau telah berevolusi menjadi agama, tetap unik dan menarik sebagian orang mengingat ajarannya sangat minim mempersoalkan Tuhan dan mengelak dari kekerasan atas nama kearifan yang tak bercadar kebodohan dan kepalsuan. Tapi kini kita juga menyaksikan orang yang simpati pada Budha seakan menyalakan benang mercon basah ketika berhadapan dengan moncong senjata di Myanmar. Kota Yangon yang sebagian besar mempercayai kearifan Budha ini, telah menorehkan catatan sejarah kekerasan di bulan ke sepuluh 2007 lalu, yang merenggut sepuluh nyawa saat demonstrasi rakyat Myanmar memasuki hari ke sepuluh.

Andaikan Budha masih ada di bumi, mungkin akan tersenyum geli melihat orang-orang yang beragama tapi masih disibukkan oleh pembicaraan tentang Tuhan dan Ada sambil membidik senjata ke arah manusia. Tapi apa boleh buat, di hari-hari ini hampir mustahil untuk tidak menyinggung soal Tuhan. Sekali pun orang menyebut abad ke-21 sebagai abad post-sekuler, agama dan Tuhan tidak mati. Walau kita sendiri masih sering menghayati pencarian ketuhanan dengan rumusan dan sifat-sifatNya yang tak terhingga dengan berbagai macam prasangka, namun Tuhan dianggap menjadi inti dari sebagian besar ajaran agama. Dan yang lebih parah lagi, tanpa kita sendiri sadari, sesungguhnya kita sedang menuhankan bentuk formal agama itu sendiri.

Banyak orang kini gandrung pada bentuk formal agama, tapi banyak juga yang kecewa. Di India, Taslima Nasrin begitu kecewa dengan Islam dan Hindu tatkala menyaksikan kedua umat pemeluk ajaran ini selalu berperang atas nama agama. Di Indonesia, di Rwanda, di Palestina, Israel, dan di banyak tempat, banyak orang terluka oleh agama. Maka jangan salahkan jika orang pun mulai pesimis pada masa depan agama!

Kendati Karen Amstrong masih bersemangat meyakini bahwa agama dan Tuhan masih punya masa depan lantaran di mana-mana orang menyebut "kebangkitan agama" dan diskursus postmodernisme, tapi saya melihat masa depan agama itu berada dalam ketidakpastian. Barang kali kenyataan ini sebuah berkah, bukan kutuk. Ketidakpastian bisa jadi mampu memberikan kesecerahan yang berbeda dengan semangat abad tengah.

Ajaran Sidharta memang telah menjadi agama formal di Myanmar dan beberapa tempat lain. Karena itu, ajarannya kini terus diuji dari berbagai sisi. Kota Yangon jadi saksi ketika jauh-jauh hari telah diperingatkan akan terjadi pertumpahan darah akibat "kecelakaan sejarah".

Kata-kata terakhir bukanlah dari saya, tapi dari ucapan Aung San Suu Kyi dalam buku Bebas dari Ketakutan. Suu Kyi menyaksikan kecelakaan sejarah di Myanmar karena para elite politik negeri ini telah memaksakan Yangon sebagai ibu kota yang bersifat cangkokan India-Inggris yang didominasi oleh corak pemahaman keagamaan dan kebudayaan hilir yang berwatak modernisme, keras, bermental raja-raja, yang telah mencampakkan pentingnya kearifan tradisional Budhisme yang merupakan lambang kehidupan rakyat Myanmar umumnya. Maka Suu Kyi pun seakan meramal: inilah ”sebuah pertanda yang mengelisahkan. Lonceng kemanusiaan yang memperihatinkan”, tulisnya.

Tidak mungkin membaca Myanmar dengan mengabaikan Budha, juga sebaliknya, karena kultur masyarakat Myanmar menganut Budhisme secara monolitik. Sebagaimana juga tak mungkin merefleksikan peristiwa demonstrasi berdarah di bulan Oktober 2007 lalu dengan melepaskan sama sekali kaitannya dengan Budha yang dipercaya mayoritas tunggal masyarakat Myanmar Hulu, yang menurut Aung San Suu Kyi telah mengganti kosmos dengan misi khaos.

Sudah banyak buku yang penuh pujian terhadap Budha. Dan tak dapat ditampik alasan mengapa begitu banyak para penulis di belahan dunia terpesona pada laku-moral dan misi profetik yang dibawakan sang Budha Gotama. Saya akan mencari alasan mengapa orang nyaris memitoskan kebesaran Budha dengan meminjam parafrase Sutardji Calzoum Bachri—penyair yang juga nyaris dimitoskan di negeri ini.

Salah satu alasan mengapa Budha mempesona, barangkali karena Budha datang ke dunia tepat disaat orang sudah jenuh dengan kata-kata biasa, ungkapan klise yang tak bergulat dengan hakikat dengan berusaha membuka tabir enigma dan teka-teki dengan menghadirkan kedalaman yang tak dapat diduga dan tak dapat diungkapkan. Jika pencarian Budha dilihat dari bentuk kata-diksi puisi Tardji, maka sang Budha merupakan sosok yang telah menemukan bahasa dan pengucapan khusus, dengan tampilan setengah cahaya dan setengah bayangan yang tak dapat sepenuhnya dimengerti. Bagai ombak laut yang membangun mimpi-mimpi, Budha telah menciptakan pantai kesadaran kemaknaan dari kehidupan. Ia juga datang membawa pelita yang bersinar bagaikan oncor dalam jambang di malam hari.

Namun, sebagiaman pencarian Budha, Sutardji pada akhirnya tersandung pada tujuan. Ketika akhir-akhir ini puisinya menyerukan pencarian, sesungguhnya seperti kata Sidharta dalam novel tipis Hermann Hesse bab tentang Govinda: ”mencari berarti memiliki tujuan, tetapi menemukan berarti adalah menjadi bebas, menjadi mau menerima”.

Sebagaimana bentuk dan pencarian, kokosongan juga punya batas. Budha memang bukan lagi anak bangsawan karena ia telah meninggalkan kemegahan istana untuk menyusuri hamparam hutan Magadha menuju hutan Urwella—nun jauh di negeri tempatnya meraih kedamaian pari-nirwana. Laku-hidup menyepi dan mencari kekosongan segala atribut tentang Tuhan ini, sering membuat banyak orang terfana sembilan waktu. Bagaimana tidak! Di tengah hutan rimba yang perkasa, Budha menghasilkan sebuah kearifan puncak dari sebuah kesunyian yang sempat dicatat oleh Huston Smith dalam Agama-Agama Manusia: Saat Budha menanti sendirian di belantara hutan yang sunyi, kosong, hampa, seekor kijang tiba-tiba datang menghampiri. Lalu seekor burung mematahkan ranting; ting. Dan hembusan angin menyebabkan dahan kayu seakan-akan berbisik satu sama lain. ”Aku berpikir, sekarang datang saatnya, ketakutan dan kengerian”, bisik Budha.

Myanmar dengan hamparan laut dan sungainya, mungkin tak akan pernah sepi dirundung ketakutan dan kengerian, sebagaimana dilukiskan dalam setiap lembar teks sejarah tentang negeri bekas jajahan Inggris ini. Tapi, sebagaimana sejarah tak hanya punya wajah buruk rupa, di zaman kita telah muncul sosok pejuang nurani dan hak asasi manusia, yang melakukan perlawanan terhadap kekerasan bukan dengan senjata, tapi dengan cara membebaskan umat manusia dari rasa takut yang berlarat dalam dirinya. Dan itu muncul dalam sosok bapak dan anak: Aung San—pemimpin Liga Nasional Demokrasi Myanmar—dan anak perempuannya, Aung San Suu Kyi—aktivis antikekerasan dan pemenang hadiah Nobel Perdamaian 1991 yang telah mengilhami Goenawan untuk menulis secarik puisi tentangnya dengan puitis.

Ajaran jenius spiritual Budha telah memberikan inspirasi bagi banyak aktivis pejuang kemanusian dengan jalan mengelak dari kekerasan, sebagaimana tak henti-hentinya diperjuangkan Aung San Suu Kyi di Myanmar. Aktivis yang satu ini telah lama menginspirasi kita untuk menuliskan harga sebuah martabat kemanusian lewat perjumpaan antara sastra dan hak asasi manusia. Aung San Suu Kyi adalah feminis yang terluka oleh junta militer, yang senantiasa mengingatkan kita akan bahaya kekuatan senjata: "jika setiap gerakan yang berlainan sikap diatasi dengan senjata, maka Myanmar tidak lagi punya warga", tulis Suu Kyi.

Kata-kata itu juga akan mengingatkan kita pada perjuangan Karlina Leksono—mantan aktivis Nurani Perempuan—yang dalam lembaran Meja Kerja Budaya pernah menulis esai yang menggugah bertajuk "Sastra dan Hak Asasi Manusia". Kita juga pernah punya Munir—pendekar Hak Asasi Manusia yang telah tiada, yang dalam hidupnya selalu berusaha menegakkan keadilan bukan dengan keberanian menghadapi peluru tentara, tapi dengan mengalahkan rasa takut yang telah lama bersemayam di dadanya.

Mengalahkan rasa takut, bebas dari ketakutan, bebas dari penderitaan, adalah kata-kata emas yang kini sering terlupakan. Kekosongan Budha di hutan Urwella adalah contohnya: Sang Budha jadi saksi yang pedih sekaligus pengobat rasa sakit bagi mereka yang memilih hidup sebagai petualang abadi di dunia sunyi. Laku-moral dan spiritualnya tentang adanya jalan kelepasan, merupakan usaha untuk mencapai kesucian diri. Laku-kritik Budha merupakan persyaratan untuk meraih ketenangan, dharma kasih, dan tak lagi terikat oleh nafsu duniawi. Pikiran menjadi tenang dan seimbang, sikapnya menjadi toleran, seperti tanah, seperti lawa pintu yang menjalankan perannya, yang bagaikan danau yang tak berlumpur dan tak lagi merasa terikat oleh tunimbal lahir.

Setelah meninggalkan istana, setelah menghilang dari kegaduhan dunia, Budha muncul dari hutan Urwella dengan wajah yang telah tercerahkan. Ia menyapa manusia, sambil tak lupa mengingatkan bahaya sebuah agama yang ditegakkan dengan parang, bahaya politik yang dijalankan dengan bedil dan meriam. Betapa sejuknya nilai moral dan spiritual yang diwariskan Budha ke dunia, namun justru di negeri yang mayoritas percaya padanya, kekerasan seakan tak selesai.

Budha dan para Biksu di Myanmar bukan tipe manusia yang berambisi menyebarkan misi sucinya untuk memaksa manusia meyakininya. Orang suci yang ajarannya sering juga disebut Budhisme ini, adalah pribadi yang tampil ke dunia tepat setelah gerakan para filsuf berambisi menguak tabir rahasia Tuhan segala agama dan segala bangsa.

Konsep Tuhan telah musnah ketika sang Budha telah kembali dari semadinya, dari meditasinya. Budha datang bukan untuk melawan dosa, melainkan perjuangan melawan sakit, dukha, yang kerapkali dilakoni umat manusia di dunia. Inilah kearifan yang tak bertopeng kemunafikan, sebuah "agama tanpa militerisme, di seberang antara baik dan jahat; suatu sensibilitas yang berlebihan dalam mengekspresikan diri sebagai kemampuan tinggi untuk merasakan sakit; suatu kemenangan impersonalitas di atas personalitas; dan di atas semua itu, ia menuntut tidak dilakukannya perlawanan terhadap mereka yang berpikiran beda, dan permusuhan tidak dilawan dengan permusuhan”, kenang Nietzsche terhadap Budha dalam buku Anti-Krist.

Namun, ajaran Budha kini dicemari oleh kehendak manusia yang sedang berkuasa. Demonstrasi di kota Yangon tepat di saat umat Islam tengah merayakan Ramadan 1427 H lalu, sungguh menyulut rasa iba saya sebagai muslim. Demonstrasi damai yang digerakkan para biksu-biksu tua justru dijawab oleh junta militer Myanmar dengan timah panas yang berbisa. Dan sudah bisa diduga, aksi brutal tentara itu harus mengingatkan kita pada bahasa kesyuhadaan dan kian menambah deretan panjang para martir di Myanmar, juga di dunia.

Budha, yang selalu mengingatkan umatnya dari bahaya pikiran yang menyimpan amarah dan dendam, kini tak sempat menyaksikan biksu yang tengah berdemonstrasi terkulai tak bernyawa di Okklapa oleh hantaman peluru panas dan moncong senjata tentara. Budha yang mengajarkan kewaspadaan terhadap bahaya emosi yang memanaskan darah dan mendidihkan daging kita, tak bisa menyaksikan secara langsung tiga biksu tua terkapar di Okklapa, ditembus peluru senjata tentara yang berbisa.

Para pengikut Budha yang mengajarkan pada manusia tentang lembutnya agama cinta, seakan meratap dalam kesedihan tak terhingga. Manusia yang sangat signifikan di zaman ini, bisa menjadi jalan bagi kita untuk memaknai kembali sejarah kemanusiaan tanpa harus pindah agama. Sebab Budha adalah tokoh agung yang tak berumah, yang sunyi, petualang abadi yang kosmologis dan kosmogoni sifatnya.

Senadainya Budha ada di tengah-tengah para domonstran, mungkin akan cemas dan gelisah menyaksikan kebrutalan tentara yang sebagian besar menganut Budhisme tapi dengan kejam memberondong pekik para demonstran dengan peluru berbisa tepat di hari kesepuluh aksi menyerukan perdamaian yang diikuti oleh rombongan para biksu tua dan warga sipil Myanmar tak berdaya. Percikan darah seakan menggenang merah di timur laut selatan, tak jauh dari kota Yangon. Tentara merobek-robek rumah ibadah yang diikuti suara histeria, depresi, keresahan dan krisis jiwa.

Budha yang dahulu mengajak manusia untuk hidup di alam terbuka, mengajarkan cara hidup dengan cinta demi ketentraman batin manusia dan dunia, tapi ajaran kemanusiannya telah diusik oleh gemuruh-aduh suara debum senjata tentara yang membabi-buta di rumah-rumah ibadat di Okklapa. Tak disangka, negeri yang mayoritas memeluk Budha, harus dirundung durjana.

Budha yang muncul dari tepi sungai di tengah hutan dengan getaran jiwa yang menyadarkan manusia yang masih diperbudak oleh benda-benda, menyuguhkan kepada manusia tentang sebuah arti; ”menemukan berarti” buat makna penderitaan yang kita alami sendiri. Dan yang terpenting baginya; ajakan untuk menyalurkan kepentingan spiritual dengan kembali pada “pribadi” kita masing-masing.

Andaikan Budha menyaksikan langsung suara dentuman tembakan yang menembus jantung para biksu di Myanmar itu, mungkin ia yang tenang di alam pari-nirwananya masih akan terus diharapkan untuk bisa bangkit kembali dalam semangat pembebasan. Kendati ia pernah mengajarkan bahwa tidak ada lagi reinkarnasi setelah manusia mencapai arahat dunia, pari-nirwana akhirat; semacam pengejewantahan dari kesucian dan ketentraman abadi.

Budha pula yang mengajarkan pada manusia agar peluru tak dilawan dengan peluru, tetapi dengan menyalurkan emosi melalui cinta. Sebuah mistik apopatik yang lembut. Namun kini umatnya berduka menyambut para biksu-biksu-nya yang berada dalam pusara di kota tua Okklapa. Dan dengan mengingat Budha, saya tak pernah bisa membayangkan hidup terus-terusan dengan besi dan darah yang berceceran di segala penjuru dunia. Juga di Myanmar. Juga di sini dan di mana pun.

Dengan harap-harap cemas saya mengingat, merenungkan kesunyian Sidharta, ingin menyapa jiwanya yang lunak, budi pekertinya yang halus dan ucapannya yang lembut seperti sutera. Saya berusaha untuk menjadikan Budha sebagai latar depan yang lebih indah bagi kerja-kerja nyata manusia dan kemanusiaan di hari ini. Tetapi, di mana kemanusian itu? Mana komunitas umat beragama? Mana kasih yang ingin berbagi dan saling menyapa?

O, Budha, kau yang telah mengajarkan pada kami sebuah kearifan yang tak bertopeng kekikiran dan mengingatkan akan harga diri sebuah martabat kemanusian yang harus ditegakkan. Kau yang memberikan relief-relief cahaya bagi krisis dunia di hari ini, dan di masa depan, dan memandu jutaan manusia di dunia yang masih hidup dalam terowongan tanpa cahaya!

“O Budha, dimana agama cinta antroposentrismu yang tidak mengenal kemarahan?” tanya Afrizal Malna. Dengan Budha dan dengan mengiringi para biksu tua yang telah meninggalkan dunia fana menuju alam baqa, saya ikut bela sungkawa, sekaligus berharap akan terus percaya tentang kelahiran kembali sebagai yang tak hanya bisa diukur oleh seberapa jauh para biksu tua di Myanmar itu bersedia menanggungkan penderitaan dan tragedi mereka. Kesedian mengorbankan diri demi tegaknya martabat dan harga diri kemanusiaan telah menjadi tema besar seluruh hidup umat manusia sampai hari ini.

Budha yang larut dalam kelungkrahan alam dan taman firdaus, dan ambyar serta lebur-luluh dalam mimpi-mimpi akhirat, mengajarkan pada manusia akan bahaya terlampau membela agama dan Tuhan yang dilebih-lebihkan. Octavio Paz tahu apa arti Budha, karena kalau tidak mengapa ia memaksakan menyelipkan uraiannya tentang Budha Gotama dalam tilikan terhadap Levi-Strauss saat berkunjung ke India. Dengan memukau Paz melukiskan Budha sebagai ”bahan penghubung yang hilang dalam rantai sejarah kita; Ia merupakan buhul pertama dan terakhir; buhul yang jika dilepas-urai akan menyebabkan keseluruhan untaian terburai...Hanya manusia yang merdeka dari beban keharusan tuntutan sejarah dan bebas dari tuntutan otoritaslah akan mampu berkontemplasi tanpa takut mengenai kebukan-apa-apaannya”.

Paz tak mampu menyembunyikan keterkesimaannya pada Budha, dan nyaris tak ingin melepaskan tafsirnya tentang Budhisme ketika kemudian ia mengatakan: ”tiap-tiap manusia dan tiap-tiap masyarakat akan terpuruk pada nasib-peruntungan untuk ’mengebor tembus dinding keharusan’ dan memanggul tugas berat sejarah tanpa merasa sebagai suatu ’kita’ yang hilang kesasar dalam labirin abad-abad, melainkan sebagai sebuah totalitas yang utuh, suatu denyut dalam pernafasan semesta—di luar seutas waktu dan sekaligus berada di luar sejarah”.

Ketika kita merasa luluh-menyatu dalam diri, kata Paz mengingatkan, terutama dengan cahaya tanpa gerak dari suatu material, maka kita lebur-luluh dalam wangian putih yang bukan magnolia dalam ceruk lembab gelap daging kembang apiun, tapi dalam tatapan mata-batin yang sarat dengan kesabaran, ketenangan, keheningan, yang oleh Levi-Strauss disimpulkan sebagai inti-hakiki ajaran kelepasan (detachment).

Maka, ketika Suu Kyi mendaraskan perjuangannya dengan luluh-larut pada kearifan mata-batin sang Budha, sungguh ini sebuah isyarat betapa perjuangan tidak mesti ditempuh dengan kekerasan. Pilihan dalam setiap perjuangan memang sering amat terjal, namun Suu Kyi senantiasa mengingatkan kita dengan kata-kata kebijaksanaan Budha. Sejak semula, kata Suu Kyi, perjuangan Myanmar demi demokrasi syarat bahaya. Gerakan yang menuntut keadilan mengenai pembagian yang adil dalam hal kekuasaan dan hak istimewa yang telah lama dipegang oleh segolongan kecil elite dan ingin terus mempertahankan hak istimewanya itu, dengan segala macam cara, mungkin akan berlangsung lama dan sukar.

Harapan dan optimisme memang tidak dapat dikekang, tetapi terdapat pertanda yang terasa dilubuk jiwa bahwa; perjuangan rakyat Myanmar akan menjadi keras. Dan sejak itu, sering muncul pertanyaan yang mengkhawatirkan: apakah rezim penindasan benar-benar mau memberi kami demokrasi? Dan jawaban semestinya kata Suu Kyi adalah: ”Demokrasi, seperti kemerdekaan, keadilan, dan hak-hak sosial dan politik yang memang tidak ’diberikan’, karena harus diperoleh dengan perjuangan membebaskan rasa takut, ketegasan, dan pengorbanan”.

Dengan merenungkan kembali Budha, dengan mengingat para biksu yang menjadi martir di Myanmar demi mempertahankan harga diri kemanusiaan, dan dengan Suu Kyi sebagai pembebas warga Myanmar dari ketakutan, saya harus mengakhiri uraian ini dengan rasa penasaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar