Sabtu, 31 Januari 2009

Pram, Sastra, dan Religiusitas

Oleh Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang



Kebimbangan dan kesaksian yang sehat
lebih baik daripada kepercayaan atau keyakinan yang buta
dan yang hanya baik bagi golongan yang kehilangan akalnya.
Pemujaan pada Tuhan adalah sahabat karib kefanatikan
yang biasanya bergandengan tangan dan tiap kesempatan
dipergunakan mereka untuk membunuh akal
--malakulmaut kemerdekaan berpikir dan kemajuan.
--PRAMOEDYA ANANTA TOER, Masalah Ketuhanan dalam Kesusastraan



Pram seorang realis besar Indonesia abad ke-20. Kecintaan pada dunia realis telah ditunjukkan dalam sebagian besar novelnya. Namun realisme Pram bukan sesuatu yang gepeng atau kering, melainkan sebaliknya; realisme yang percaya pada revolusi seorang diri dengan mendudukkan karya sastra kepada tanggungjawab sosial.

Sebenarnya antara pemikiran Pram dengan Takdir Alisjahbana tentang tanggungjawab dan selera seni berdekatan. Bahkan beberapa gagasan progres Takdir kita temukan dalam esai-esai Pram. Kendati begitu, Pram tentu tak seperti Takdir yang hendak memotong kontinuitas sejarah lokal demi mengejar sebuah kemajuan model Barat. Pram bahkan sempat pernah menyebut ”kebudayaan imperialisme Amerika Serikat harus dibabat”, dan dengan ringan mengutip ucapan Bung Karno: Amerika kita setrika, Inggris kita linggis!

Perkenalan saya dengan Pram adalah perkenalan lewat sejumlah novelnya. Namun saya berjumpa pertama kali sekaligus yang terakhir dengan novelis besar Indonesia ini baru pada tahun 2002. Kala itu saya tak bisa melupakan wajahnya yang sudah keriput, kulit yang menempel dibadan yang tampak melorot. Tulang-tulang di pergelangan tangannya mulai menonjol. Pipinya mulai mengempot, dan wajahnya mulai menonjol. Sorot matanya yang dulu begitu tajam, waktu itu tampak redup. Suaranya yang dulu menggelegar dan membuat lawan-lawan debatnya merinding dan mencekam ketakutan, menjadi parau dan tampak nuansa kearifan seorang kakek. Tangannya pun sudah tak mampu lagi untuk menggenggam pena sebagai senjata satu-satunya yang dulu ia bangga-banggakan. Ketika berjalan, kakinya hampir-hampir tak mampu menyangga lutut.

Pram meninggal tahun 2004, saya masih di Jakarta. Saya melihat prosesi pemakamannya secara Islam lewat media. Seorang kawan menceletuk: ”wah, pemakaman Pram secara Islam itu tidak benar. Pram kan seorang atheis”. Aku hanya diam. Tak berniat menjawab. Mungkin kawan ini terlampau terpengaruh kampanye negatif sastrawan Manifes Kebudayaan, pikirku. Memang, salah satu esai Pram yang bertajuk ketuhanan, telah dinilai oleh beberapa sastrawan yang tergabung dalam Minifes Kebudayaan dengan mengaitkan Pram seorang yang tidak percaya pada Tuhan.

Sastra dan Kekuasaan

Lepas dari anggapan itu, yang nanti akan kita buktikan dalam novel-novel dan esai Pram, bagaimana pun novelis ini seorang yang tak bisa dilepaskan dengan kekuasaan. Ungkapan-ungkapannya tentang pemberedelan yang dilakukan penguasan atas karya dan dirinya sering muncul dalam laporan orang-orang hilang. Adegan awal memulai sebuah kisah tentang penghilangan manusia secara paksa; enforced disappearances, kata orang-orang di Komnas HAM. Pram sendiri tidak hilang, bahkan ia sendiri mengakui hikmah di baliknya pelarangan karyanya. Tidak ada drama pembantaian yang dilakukan Adolf Hitler yang dikenal dengan sebutan Malam dan Kabut—Nacht und Nebel Erlass dalam karya Pram atau yang dilakukan penguasa seperti halnya Elie Wiesel. Tapi, seperti kemudian kita saksikan bersama, Pram yang hampir mati justru hidup, bahkan karyanya lebih hidup dari karya-karya sastra lain.

Pram memang sering menohok kekuasaan politik. Tapi tetraloginya tak ada komunis kata Rendra. Dan Rendra betul. Bahkan kritik yang dilakukan Pram terhadap kekuasaan jauh lebih keras dalam novel Bukan Pasar Malam dan Mereka yang Dilumpuhkan ketimbang Bumi Manusia. Dalam Bukan Pasar Malam Pram justru menohok kekuasaan dengan gaya stilis yang kuat dan menohok.

Kendati begitu, Bumi Manusia lebih cocok sebagai studi pascakolonial yang mendekonstruksi ilusi modal dan kekuasaan kolonial yang pernah berlangsung di Nusantara. Keterbelengguan Pram pada masa hidunya dan kemampuannya membebaskan dirinya tanpa melupakan, pada akhirnya memang menghasilkan apa yang leh Karlina Leksono disebut sebuah ”penyelesaian yang berbeda terhadap berbagai bentuk pengingkaran terhadap martabat manusia”. Karlina masih menaruh percaya pada sastra dengan kekuatan kata. Tapi, sewaktu-waktu ia tak jarang mengeluh, “Ah, Republik Kata-kata. Semua harus dikata, tak satu pun yang mau kerja dan berbuat”.

Pram telah berbuat. Sampai ketika ia berpelung ke pangkuan ilahi tahun 2004, ia telah berbuat begitu banyak untuk Indonesia. Kendati pelarangan atas karya-karyanya sampai akhir hayatnya masih belum dicabut. Namun Pram bebas menyatakan pendapat. Bahkan ketika ia ikut mendeklarasikan PRD, tak ada yang mengusiknya. Puluhan tahun menjadi manusia bubu telah membentuk wataknya yang berani menghadapi apa saja, bahkan ancaman maut.

Terakhir saya membaca pandangan Pram dalam wawancara dengan majalah Play Boy. Kecintaannya terhadap generasi muda tidak pernah berubah. Tapi ia kecewa dengan tokoh PRD yang justru memutuskan sekolah ke Inggris dan bukannya sekolah bersama massa partai. Pram memang bukan makhluk gerombolan yang suka meneriakkan slogan-slogan dan kampanye di jalanan. Dalam kesehariannya ia lebih banyak menyendiri. Melakukan refleksi di ruang kamar sempit tempat dia menuangkan refleksi-refleksi perjalanan hidupnya. Sikap kesendirian inilah yang kerapkali menghasilkan novel dengan kualitas yang belum tertandingi di negeri kita hingga hari ini. Namun, kesendirian semacam itu bukanlah kesendirian dengan tiadanya perbuatan—seperti umumnya berlaku—sebab kesendirian seorang pengarang adalah kesendirian yang melahirkan empati dan tindakan melawan segala bentuk yang hendak melupakan.

Pram memang ibarat situs perjalanan kesusastraan modern Indonesia sendiri, yang tertatih-tatih dalam mencari bentuk dan menyikapi zaman. Novelis ini mengalami begitu banyak hal untuk dikenang dan dicatat. Ia seorang anak desa yang menjadi urban. Pengarang yang aktif menyuarakan harga diri kemanusian Indonesia, kendati harga dirinya sendiri di injak-injak.

Puluhan karya sastra yang dihasilkan dalam rentang 50 tahun lebih kepengarangannya menjadi ladang subur bagi persemaian (bahkan pertikaian?) gagasan dan pertaruhan politik kekuasaan di sini. Dengan wataknya yang keras, dan kritik-kritiknya yang tajam di tahun awal 1960-an, banyak yang merasa terganggu dan gerah.

Pram memang bukan seorang yang pandai berbasa-basi. Bahkan Bung Karno yang begitu berpengaruh pada zamannya seringkali mendapat sasaran kritiknya. Ia pernah mengkritik keras buku Sarinah. Menurutnya, buku itu hanya menghasilkan sikap yang tidak berwatak, sebentuk kumpulan bahan mentah yang tak berjiwa, atau kumpulan sesobekan kertas tua di keranjang takakura perpustakaan.

Pram pernah juga mengkritik novel Salah Asuhan karya Abdul Muis. Novel ini mengangkat tema seputar tegangan Barat dan Timur yang “dipenting-pentingkan”, sehingga si pengarangnya lupa pada kemestian untuk menerima-memberi. Tak luput pula karya pengarang Anak Agung Gde Agung, yang menurut Pram banyak mengambil secara mentah-mentah kebudayaan Barat sebagai ukuran kebudayaan Indonesia—sebuah ukuran yang sangat ganjil, seperti halnya menilai cuka dengan ukuran kecap.

Sebelum menjadi orang Lekra, ia pernah mengkritik Lekra. Waktu itu Lekra menuduh bahwa setelah Chairil Anwar mati, sastrawan angkatan 45 telah mati pula. Pram membela angkatan 45—walau ia sendiri sangat kritis terhadap angkatan ini dan hanya memasukkan Chairil dan Idrus sebagai yang pantas menyandang gelar angkatan 45—dengan mengatakan bahwa tidak betul itu. Tuduhan Lekra dan juga S.T. Takdir itu tidak benar. Memang satrawan 45 sudah tidak ada lagi sejalan dengan bergesernya iklim kekerasan dalam Revolusi Bersenjata ke arah iklim pengalaman hidup yang normal. Anggatan 45 pernah ada, tapi sekarang tidak kecuali karya-karya peninggalannya. Ini diucapkan Pram dalam esai 45 Indonesia Dalam Sejarah Kesusastraan di majalah DUTA tahun 1953.

Watak keras Pram memang agak berkurang dalam novel tetralogi: Bumi Manusia ( 1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988). Pram banyak bermain dengan alur yang agak terarah, tapi pada saat yang sama, tetralogi itu mampu menyihir para pembaca untuk ikut bersimpati dalam perjuangan tokoh-tokohnya menegakkan keadilan dan kemanusian. Akibatnya, banyak sekali kritikus sastra memahami perubahan watak tokoh yang ditindas dalam novel tetralogi tak sekuat dalam karya terdahulunya.

Tahun 2004 penerbit Lentera Dipantara menerbitkan catatan lama Pram yang tercecer di berbagai media massa, yang diberi tajuk Menggelinding 1. Buku ini merupakan napak tilas penting atas kreativitas kepengarangan Pram yang memang “menggelinding” dalam rentang waktu tak sampai sepuluh tahun (1947-1956).

Pram merekam ingatan-ingatan sosial tentang sejarah, politik, agama, sastra dan kebudayaan. Meski sebagian besar dari karya-karyanya yang pernah terbit di tahun 1950-an belum seluruhnya ditemukan, kekayaan gagasan Pram begitu menjulang. Bagi Koesalah Soebagyo Toer, dari lima puluh enam tulisan Pram sejak 1947-1956, yang terkumpul dalam buku Menggelinding I itu, hanya empat puluh persennya yang bisa ditemukan kembali.

Agaknya, penerbitan tulisan-tulisan awal Pram diniatkan sebagai bahan bacaan lain dari apa yang pernah kita ketahui lewat novel-novelnya. Kelainan itu tentu dengan alasan-alasan bahwa Pram tidak hanya seorang penulis novel dan sejarah yang bernas, tetapi sajak-sajaknya, esai, cerita pendek, refortase media, kolom, opini bahkan karya terjemahan tak kalah pentingnya mewariskan ingatan kolektif dari apa yang pernah terjadi di negeri pascakolonial.

Pram bahkan pernah menulis beberapa puisi. Tapi Pram gagal menulis puisi. Dan puisinya terlampau kering dari metafor. Pram memang seorang prosais, dan di sana-sini seorang esais. Ia sangat produktif mengisi esai di rubrik buletin DUTA. Bahkan, majalah Mingguan Merdeka yang diasuh oleh Darmawidjaja—gurunya sendiri—pernah juga memuat tulisannya. Masalah menulis, jelas Pram sudah mengerjakannya jauh sebelum tahun 1947. Ia berkali-kali menyatakan bahwa ia menulis sejak masih di kelas 3 Sekolah Dasar (atau Sekolah Rakyat). Beberapa naskah yang ditulisnya selama masih bertugas di Bekasi (1945-1947) bahkan pernah disita oleh marinir Belanda di stasiun Klender.

Dalam biografinya tentang Hikayat Sebuah Nama, Pram pernah mengeluarkan majalah Sekolah Taman Siswa yang memuat juga tulisannya. Namun, seperti kita ketahui bersama, separuh lebih dari tulisan-tulisan Pram diberbagai jurnal dan surat kabar di atas telah raif, terutama sejak meletusnya kudeta 1965.

Dalam menulis, Pram banyak menggunakan nama samaran. Seperti diceritakan Koesalah Soebagyo Toer, paling tidak ada sembilan bentuk namanya, sebelum akhirnya ia menggunakan nama terakhir itu. Ia menggunakan nama Pramoedya Tr., Pr. Toer, Ananta Toer, Pramoedya Tr., M. Pramoedya Toer dan lain-lain.

Dalam sebuah tulisan terjemahan; “115 Buah wasiat Majapahit (beberapa petikan)”, ia menggunakan nama Pramoedya Tr. Dalam tulisan “Si Pandir” dan “Bunda untuk apa kami dilahirkan” tulisan Lode Zielens yang dia terjemahkan, ia memakai nama Ananta Toer, dalam sajak berjudul “Huruf”, ia menggunakan nama M. Pramoedya Toer, dalam tulisan “Kalau Mang Karta di Jakarta”, “Ori di Jakarta” dan “Dayakhayal, ketekunan, keperwiraan dan ilmu” ia menggunakan nama Pr. A. Toer, dalam “Bingkisan; Untuk adikku R” ia menggunakan nama Pramoedya Toer, dalam “Keluarga Mba Rono Jangkung”, ia memakai nama Pram Ananta Toer, dalam “Lemari Buku”, “Kedailan sosial para pengarang Indonesia” dan “Sepku”, ia memakai nama Pramudya Ananta Tur, dalam “Kalil siopas kantor” , “Yang tinggal dan yang pergi”, dan dalam puisi “Anak Tumpahdarah” ia memakai nama Pramoedya Ananta Toer.

Mengapa begitu banyak nama samaran yang dipakai Pram saat menulis diberbagai jurnal dan surat kabar waktu itu? Kita hanya bisa menduga-duga jawabnya: pertama, berkaitan dengan kekuasaan waktu itu yang sebetulnya tak kurang represifnya melakukan sensor dan bredel. Bahkan, di tahun ketika pemberlakuan PP. Nomor 10 oleh Soekarno, Pram ditangkap dan dipenjara karena ia menentang keras kebijakan itu.

Kedua, sebagai sosok penulis muda yang mengidap “libido” menulis yang luar biasa produktif, ada rasa tidak enak jika tulisan-tulisannya “menghegemoni” seluruh media tanah air. Dan samaran nama seperti ini lazim digunakan oleh penulis-penulis di zaman Orde Baru, bahkan hingga saat ini. Ketiga, mengikuti apa yang dikatakan Koesalah Soebagyo Toer, sikap seperti itu bukan sekedar masalah teknis, melainkan ada hubungan dengan pencarian psikologis mengenai jati diri dan tempatnya di tengah masyarakat umumnya dan lingkungan kepengarangan khususnya. Ketiga, mungkin sebagai pencarian nama yang diras pas dan cocok.

Pram, sebagaimana para penulis umumnya, tak puas dengan hanya satu bentuk tulisan. Ia menulis beberapa catatan pribadi, sajak-sajak tanah air, perjalanan dan refortase hingga laporan-laporan jurnalistik yang tangguh, yang begitu penting menghargai perjalanan waktu.

Menulis bagi Pram merupakan langkah penting untuk menjaga ingatan agar tak mudah (di) lupa (kan). Dan sastra adalah media paling ampuh bagi Pram untuk menjaga ingatan melawan lupa itu. Pram melukiskan karakter manusia Indonesia dan elit politiknya yang baru saja selesai merayakan kemerdekaan. Dalam Bukan Pasar Malam dengan liris ia mengisahkan tokoh ayah yang didera TBC hingga akhirnya harus pergi untuk selama-lamanya. Dari judulnya, karya ini syarat metafor, yakni metafor pasar malam: sebuah kisah tentang hiruk-pikuk manusia Indonesia modern yang terjebak sendirian di tengah-tengah kemeriahan pasar malam.

Pram rupanya membayangkan eksistensi dirinya yang terasing sendirian di tengah-tengah gegap-gempitanya suara Revolusi Indonesia, sementara satu persatu temanya pergi untuk selamanya, sedang yang belum pergi berharap-harap cemas menanti giliran. Di tengah orang ramai, Pram tetap merasa kesepian, sendirian, bahkan penderitaan.

Pram pernah bilang, wajah demokrasi yang kita warisi tampak seperti binatang melata yang pasrah dalam diam dalam menerima kenyataan. Pram kemudian mengusulkan agar kita hidup seperti laron yang mencari api, meski ia harus terbakar dan mati, tapi ia mati sebagai orang yang berguna. Seperti halnya Socrates yang mengejek demokrasi, yang memberinya hak untuk mengejeknya, Pram telah menggunakan haknya untuk meruntuhkan sophisme, mengkritik demokrasi sebagai perkoncoan, dan jadi perintis baru bagi dunia kepengarangan.

Demokrasi, kata Pram, mengandaikan “setiap orang boleh jadi presiden. Setiap orang boleh memilih pekerjaan yang disukai. Setiap orang mempunyai hak sama dengan orang-orang lainnya. Dan demokrasi itu membuat kita tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh –ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan kita boleh berbuat sekehendak hati kita, bila saja masih berada dalam lingkungan batas hukum. Tapi kalau kita tak punya uang, kita akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi katanya, engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi”.

Dengan kata lain, demokrasi hanya akan menguntungkan segelintir kaum elit penguasa dan mencampakkan kaum miskin yang telah bersusah payah memperjuangkan kemerdekaan. Saya kira, di sini letak relevansi kritik Pramoedya terhadap demokrasi, yang akhir-akhir ini masih terus diperdebatkan. Refleksinya atas demokrasi menghasilkan pandangan yang getir dan tajam tentang sejarah masa depan sebuah negeri pascakolonial.

Sebagai konsekwensi dari sikapnya yang berani, Socrates harus kehilangan nyawanya sendiri. Sementara Pram mengatakan: kematian di selingkungan kata-kata belaka adalah kematian yang selamanya mengikuti di belakang tiap perkembangan atau kemajuan. Kematian selamanya menjadi bahaya yang mengancam kedewasaan pikir manusia dari abad ke abad. Keberanian menghadapi mati dan hal-hal yang baru sangat diperlukan dalam masa perubahan sekarang ini. Sebuah keberanian yang, betapa pun ganjilnya, muncul dari hati yang jujur.

Apa yang terjadi pada Pram semasa hidupnya tak lebih sebagai sebuah ironi di tengah republik kata-kata. Sebuah negeri yang dalam ungkapan Pram dilukiskan sebagai ”negeri di mana orang gampang memaafkan, gampang mengakui dan juga gampang melupakan. Itulah negeri Indonesia. Ke-Indonesia-an, dimana kegagalan demi kegagalan, pukau demi pukau terlentang tebal di depan. Dan sukses hanyalah bagian yang memperkokoh konspirasi dan harmoni musik dukacita... Apa yang pernah diperbuat umat manusia, adalah permulaan dari segala yang hendak diperbuatnya di kemudian hari. Mereka mungkin tersenyum puas dari segala yang hendak diperbuatnya. Kalau Tuan kenal Baco–manusia renaisans Eropa—Tuan akan mengenal apa arti permulaan. Apa arti perbuatan tuan sendiri?...Akhirnya, manusia dalah biang keladi nasib dan sejarahnya sendiri. Tiap-tiap orang memaki: Tukang becak pun memaki parlemen. Aku mau tetap sendiri. Aku bukanlah makhluk gerombolan.”

Sistem apa pun tak akan pernah membenarkan terjadinya pelanggaran kemanusian yang berlarut-larut. Puluhan tahun ia harus mendekam dalam penjara, kreatifitas dan kebebasan berkarya dilarang dan disensor, caci-maki yang tak henti-hentinya dilakukan oleh lawan-lawannya politik. Barangkali tak mengherankan bila A. Teeuw (1980) menaruh simpati padanya dan menyebut dirinya sebagai penulis yang muncul hanya sekali dalam satu generasi, atau malah hanya dalam satu abad.

Almarhum Y.B. Mangunwijaya dan Sapardi Djoko Damono menganggap roman Bukan Pasar Malam sebagai karya yang berhasil dalam sejarah kepengarangan Pram. Kesaksian tokoh-tokoh dalam roman ini menunjukkan bagaimana sejarah kita telah diselewengkan oleh mereka yang sama sekali tak mengerti makna sejarah. Demokrasi yang menjunjungtinggi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ternyata hanya mimpi yang penuh ilusi.

Sejak Demokrasi Terpimpin hingga Demokrasi Pancasilanya Soeharto, mimpi keadilan sosial hanya melahirkan ketidakadilan sosial. Bagaimana mimpi besar Bung Karno untuk mewujudkan masyarakat proletar yang berdaya, ternyata melahirkan diskriminasi rasial yang menakutkan. Diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 10/1959 (atau P.P. 10) adalah contoh kebijakan yang sangat tegas ditolak oleh Pram, meski ia harus mendekam dalam penjara. Tak sepenuhnya benar anggapan bahwa Pram adalah “anak spiritualitas” dan pendukung gagasan demokrasi Bung Karno.

Dengan menyindir para aktor demokrasi, Pram kembali melontarkan kritiknya terhadap sistem ini: “Setiap orang boleh jadi presiden. Setiap orang boleh memilih pekerjaan yang disukai. Setiap orang mempunyai hak sama dengan orang-orang lainnya. Dan demokrasi itu membuat kita tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh, ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan kita boleh berbuat sekehendak hati kita, bila saja masih berada dalam lingkungan batas hukum. Tapi kalau kita tak punya uang, kita akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi katanya, engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi”.

Pram menyebut uang sebagai ciri dari sistem demokrasi elitis, sementara yang melarat, demokrasi hampir tak memiliki makna apa-apa. Dengan kata lain, demokrasi hanya akan menguntungkan segelintir kaum elit penguasa dan mencampakkan kaum paria yang telah bersusah payah memperjuangkan kemerdekaan. Saya kira, di sini letak relevansi kritik Pram terhadap demokrasi, yang akhir-akhir ini masih terus diperdebatkan. Refleksinya atas demokrasi menghasilkan pandangan yang getir dan tajam tentang sejarah masa depan sebuah negeri pascakolonial. Dalam buku ini, ia mengatakan secara tegas: “ di antara kuburan mereka yang dianggap pahlawan itu, ada yang terdapat bajingan yang karena salah penyelidikan termasuk juga dalam golongan pahlawan”.

Pram kecewa pada mereka yang secara terang-terangan mencoba melupakan sang ayah, yang dalam kesaksian-kesaksian orang ketiga dalam roman Bukan Pasar Malam, sangat pantas mendapatkan predikat pahlawan. Ayah yang sehari-harinya bekerja sebagai guru dan pejuang kemerdekaan, tidak pernah disinggung dan dimasukkan dalam buku pelajaran sejarah resmi. Buku sejarah tentang pahlawan-pahlawan nasional tak lebih sebagai buatan rezim resmi yang menipu. Kalimat-kalimat reflektif Pramoedya melukiskan bagaimana makna kemerdekaan telah jauh dari arti semula. “Dan kini, belum lagi setahun kemerdekaan tercapai ia sudah tak digunakan lagi oleh sejarah, oleh dunia, dan oleh manusia”. Dengan menggunakan orang ketiga sebagai penutur, Pram kembali mengingatkan kita:

“Ayah Tuan jatuh sakit oleh kekecewaan—kecewa oleh keadaan yang terjadi sesudah kemerdekaan tercapai. Rasa-rasanya tak sanggup lagi ia melihat dunia kelilingnya yang jadi bobrok itu—bobrok dengan segala akibatnya. Mereka yang dulu jadi Jenderal di daerah gerilya, mereka yang tadinya menduduki kedudukan-kedudukan penting sebelum Belanda menyerbu, jadi pemimpin pula di daerah gerilya dan jadi bapak rakyat sungguh-sungguh. Dan ayah Tuan membela kepentingan mereka itu. Tapi, kala kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama berebutan gedung dan kursi”.

Kisah-kisah di atas menunjukkan bahwa Pram dalah situs kesusastraan Indonesia yang akan selalu mengingatkan kita akan pentingnya memperjuangkan politik ingatan untuk melawan lupa. Jika kemudian Milan Kundera pernah memformulasikan bahwa: “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa”, jauh-jauh hari Pram sudah mengingatkan hal itu. Ia telah memberikan pelajaran berharga, bagaimana pentingnya melakukan perlawanan terhadap kekuasaan dengan menjaga dan menuliskan ingatan melalui karya sastra. Sebab, seperti yang selalu diingatkan dalam perjuangan Pram, sejarah kita ditulis bukan oleh mereka yang dikalahkan, tetapi oleh para jenderal yang menang--history is written by the winning general!

Sastra, Agama, Tuhan

Dalam esainya bertajuk Masalah Ketuhanan dalam Kesusastraan (1953), Pram mengatakan: masalah Tuhan tidak akan habis-habisnya dibicarakan dalam sastra. Namun, sampai tahun 1953 Pam masih melihat sebagian besar pengarang Indonesia dalam mendekati Tuhan terlebih dahulu harus menyiapkan seperangkat keyakinan sebagai konsesi. Sungguh aneh baginya, kaena hakikat dari kepercayaan itu sendiri begitu luas, yang tanpa kejujuran akal-pikiran maka ia bisa berubah kefanatikan. Dan sepanjang sejarah, kata Pram, orang-orang fanatik inilah yang seringkali dijadikan umpan di tiap medan pertempuran. Dan karena kefanatikan itu pula, membuat mereka jadi buta akal, yang cuma melihat satu sinar saja. Dan itu pula yang ditujunya, hendak direguknya habis-habis.

Kematian yang romantis selalu datang dan pergi sepanjang zaman, juga dalam buku-buku dalam tiap zaman. Bagi mereka yang membaca buku-buku sastra dan filsafat yang sering termaktub kalimat-kalimat yang seakan-akan meniadakan, mengejek atau mengingkari Tuhan, perkataan janggal adalah terlamapu lunak untuk itu. Sebaliknya, perkataan itu diganti dengan marah. Dan ini adalah soal yang gampang dimaklumi di negeri ini.

Dalam kesusastraan, konflik pemahaman tentang Tuhan tidaklah merupakan kejadian setempat, tetapi suatu pemberontakan seorang pengarang terhadap anggapan-anggapan biadab tentang Tuhan. Pujangga seperti Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar, kata Pram, adalah sosok dari pengarang yang memahami Tuhan bukan dalam keyakinan buta. Hamzah Fansuri dan Siti Jenar terpaksa memberikan jiwanya karena pemahaman Tuhan di luar kebiasaan.

Bagi Pram, bila ada satu golongan yang mencemooh Tuhan, kita harus hati-hati untuk menganggapnya sebagai durhaka, sebab bukanlah yang dimaksudkan dengan Tuhan itu sendiri, justru tiap orang yang berpikir ke arah itu tidaklah akan mendapat penyelesaian yang memungkinkan ia berpuas hati. Cemoohan semacam itu dilemparkan oleh sekelompok golongan kepada pengertian-pengertian yang diisikan pada nama itu oleh sang Kebiasaan. Seperti halnya kebiasaan para diktator yang turun-temurun, yang memang menghendaki agar semua dapat terangkum dalam kekuasaannya. Sebagaimana dalam segala ketertiban masyarakat, maka hal ini pun ada pemberontak-pemberontak yang menentang kediktatoran Kebiasaan (keyakinan resmi).

Pemikiran Pram telah melahirkan pandangan yang religius dan humanis. Pram nyaris tak pernah berhenti mencari makna di balik semua perkataan manusia tentang Tuhan. Apa yang pernah dipahamainya tentang Tuhan, direfleksikan, dibongkar dan direfleksikan kembali. Esai Masalah Ktuhanan dalam Kesusastraan ini pernah ditampik beberapa penulis yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan dan secara simplistis disimpulkan bahwa Pram atheis (Lihat buku Prahara Budaya, terutama bagian lampiran). Padahal, pemahaman tentang Tuhan bagi Pram adalah sebuah proses yang tidak sekali jadi lalu dianggap selesai, dan perdebatan pun berhenti sampai di situ. Apa yang diyakini dan dipahami manusia tentang Tuhan diungkapkannya kembali sampai ia menemukan sifat hakiki yang unik, yang cerdas dan—mungkin juga—subversif.

Pram memahami Tuhan sangat kritis, bahkan mengambil jarak dan wasapada: ia-sekaligus-tak (minjam ungkapan Sindhunata). Dalam tulisan-tulisan awalnya, Pram banyak bersentuhan dengan ide tentang Tuhan dalam kesusastraan. Menurutnya, pengertian manusia tentang Tuhan dengan sendirinya akan jauh berlainan sifatnya daripada pengertian usang atau yang telah diusangkan yang diberikan oleh kebiasaan (mainstream). Refleksi terhadap Tuhan menghasilkan sebuah pandangan yang nyaris menyimpan aura mistik dan magis sendiri, yang jika dibaca dalam terang etika keagamaan resmi, mungkin bisa disebut a-religius.

Pram melihat bahwa diskusi tentang masalah ketuhanan seakan-akan Tuhan mendapat tempat dua macam dalam jiwa manusia. Tuhan di satu tempat adalah Tuhan yang dikehendaki agar dipercaya, dianut, dipatuhi. Tuhan di tempat lain lagi adalah Tuhan sebagai obyek, sebagai sesuatu yang dikehendaki agar diurai, dipahami. Dengan demikian, ada Tuhan yang harus dipercai dan Tuhan yang harus dipahami. Yang pertama, adalah akibat—atau hendaknya sebagai akibat—dari yang kedua.

Bila yang ada pada seseorang hanya yang pertama belaka, ini tidaklah mengherankan. Ia adalah suatu soal tukang sulap yang mana seluruh jawaban sudah sedia. Yang kedua adalah, soal pencarian, pengertian, perjuangan jiwa—tak ubahnya dengan seseorang yang dengan tekunnya mencari unsur-unsur baru yang belum pernah dikenal orang, atau mendapat obat baru yang belum pernah didapatkan orang, untuk kelangsungan sejarah kemanusian. Kebimbangan dan kesaksian yang sehat adalah lebih baik daripada kepercayaan atau keyakinan yang buta, dan yang hanya baik bagi golongan yang kehilangan akalnya.

Mereka yang memandang Tuhan sebagai titik mati yang tak boleh disinggung-singgung, sesungguhnya tidak perlu benar mengutuk demokrasi yang mengakui hak asasi manusia, yang mana dengan hak-hak ini pula Socrates (dalam demokrasi antiknya) mengejek demokrasi yang memberinya hak untuk mengejeknya, tapi yang juga telah mempergunakan hak-haknya untuk meruntuhkan kekuasaan sophisme, dan jadi perintis baru dalam lapangan filsafat, sebagai konsekwensi dari keberandalannya itu, ia harus kehilangan nyawanya sendiri. Tanpa ada gebrarakan semacam ini dalam lingkungan masalah ketuhanan, maka pemikiran hanya terbatas pada selingkungan kata-kata belaka, dan kemudian pengertian akan tersepak kian kemari. Orang akan terjerat dalam kekuasaan dogma-dogma melulu. Dan sesungguhnya, kematian di selingkungan kata-kata belaka adalah kematian yang selamanya mengikuti di belakang tiap perkembangan atau kemajuan. Dan kemampusan ini selamanya menjadi bahaya yang mengancam kedewasaan pikir manusia dari abad ke abad.

Tiap istilah, tiap pengertian, dan tafsir tentang Tuhan menurutnya, akan senantiasa berubah. Maka, kesusastraan sebagai cermin kehidupan manusia tentu saja mau tak mau membawa-bawa masalah Tuhan di dalamnya. Namun sayangnya, kebanyakan para sastrawan Indonesia masih terjebak dalam melukiskan Tuhan sebatas sebagai Tuhan yang dipercaya suntuk memecahkan segala masalah. Sementara Tuhan yang dipahami sangat jarang ditemukan dalam novel-novel kesusastraan Indonesia. Karena itu, Tuhan dalam pengertian inilah yang menjadi garapan para sastrawan. Tuhan yang dipuja selamanya akan memberikan kesan bahwa ada sesuatu penindasan rohani yang sebenarnya tidak perlu diperkuat dalam suatu ketertiban umum.

Bagi Pram, keberanian mengkaji azas-azas pemikiran bisa jadi jalan untuk mengerti, memahami, dan memaknai. Tanpa keberanian, jalan ke arah penindasan hak asasi manusia akan semakin terbuka lebar. Keberanian untuk menafsirkan Tuhan dengan pikiran dan kalbu yang dinamis akan menghilangkan keragu-raguan tentang Tuhan itu sendiri. Pemberontakan terhadap pakem dan tafsir resmi atas Tuhan harus dilakukan, dan tugas seorang sastrawan untuk menciptakan makna baru tentang Tuhan yang tidak pemarah dan tukang memangsa, tapi Tuhan yang indah dan berani. Pengertian Tuhan semacam ini akan membawa karya sastra sebagai cermin masyarakat dan cermin kepribadian pengarangnya. Sastra dengan kadar religiositas semacam inilah yang akan melahirkan karya sastra yang subversif.

Emansipasi Kartini dalam Karya Pram

Harus saya catat di sini bahwa Pram begitu terpukau pada Kartini. Pandangan Pram tentang kebebasan dan kritiknya atas agama dan ketidakadilan gender begitu dekat dengan Kartini. Emansipasi agama dianggap sebagai sebuah keharusan jika agama akan tetap punya pesona bagi pemeluknya, juga banyak diwarnai oleh pertemuan Pram dengan Kartini. Dengan menohok pandangan orang terhadap agama yang rigid, Pram bahkan pernah dikampanyekan sebagai sastrawan atheis.

Dalam roman Gadis Pantai tampak nuansa pergulatan Kartini masih begitu kuat membayangi kritik yang dilakukan Pram terhadap sistem feodalisme Jawa yang menempatkan perempuan sebagai abdi laki-laki. Gagasan emansipasi yang dibawakan Pram dalam novel-novelnya memiliki banyak kesamaan pandangan dengan Kartini dalam Door Duisternis tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang.

Pram sangat mencintai Kartini dan telah mengambil tidak kurang dari separuh semangat emansipasi Kartini dalam karya-karyanya. Berkali-kali Pram mengakui bahwa ia beguru dengan surat-surat Kartini. Pram sendiri telah menghasilkan buku riset yang langka bertajuk Panggil Aku Kartini Saja—yang diterbitkan petama kali oleh N.V. Nusantara, Bukittinggi-Djakarta, 1962. Buku ini lahir oleh sebuah desakan kecintaan Pram pada Kartini.

Novel Bumi Manusia, dengan perwatakan tokoh Nyai Ontosoroh dan putrinya Annelis, Pram menampilkan kesan sebagai sosok emansipasi perempuan yang menyerupai Kartini. Menurut penjelasan Minke, Nyai Ontosoroh tak menyimpan rasa kompleks terhadap pria, bahasa Belandanya sangat fasih, ”seperti seorang guru dari aliran baru yang bijaksana”, ya seperti Kartini—soko guru pendidikan itu. Nyai Ontosoroh adalah sosok perempuan yang telah meninggalkan dapur rumah tangganya dengan mengenaka baju-kerja dan mencari kehidupan pada perusahaan orang, berbaur dengan pria tanpa rasa canggung.

Annelis sendiri dilukiskan Minke sebagai gadis dengan sifat ke kanak-kanakan yang tidak tamat SD tapi mahir dalam mengkoordinasi pekerjaan yang begitu banyak, sering menunggang kuda sendirian, memerah susu sapi jauh lebih banyak dari yang dihasilkan semua pemerah; ”gadis luar biasa, seperti seorang ibu melayani rakyatnya dengan ramah; jangankan pada sesama manusia, pada kuda pun ia berkasih sayang, lebih agung dari dara yang pernah kuimpikan”, kata Minke:

Tak berlebihan bila suatu waktu di dekat perkebunan, tiba-tiba Minke mencium Annelis nyaris tanpa disadarinya sendiri. Bagi Minke, apa yang dilakukannya bukanlah karena ia jatuh cinta, atau ini tentang kisah cinta: ”tak ada cinta dan kisah cinta muncul mendadak. Saya tak mengerti cinta”, kata Minke pada Jean dengan polos. Pram sendiri dalam beberapa wawancaranya pernah mengatakan bahwa dia nyaris tak pernah merasakan artinya jatuh cinta. Cinta adalah rasa kebudayaan, cinta mendadak bukanlah cinta. Tapi Jean Marais tak kehilangan akal untuk menasehati Minke ketika menceritakan tentang keluarga Nyai Ontosoroh lewat frase yang paling menggugah laki-laki: ”Kau terpelajar, Minke. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Dahsyat!

Pram begitu kagum pada sosok Kartini dengan semboyan ”aku mau” itu. Bahkan dalam salah satu kisah Bumi Manusia, Pram melukiskan kesannya terhadap Kartini sebagai guru yang telah mendorongnya jadi penulis: ”Memang ada banyak wanita hebat. Hanya saja baru Nyi Ontosoroh yang pernah kutemui”. Sebelum Ontosoroh, Pram menyebut seorang perempuan pribumi yang cerdas lewat tokoh Minke:

Dan semua teman sekolah tahu ada juga seorang wanita Pribumi yang hebat seorang dara, setahun lebih tua daripadaku. Ia putri Bupati J—wanita Pribumi pertama yang menulis dalam Belanda, diumumkan oleh majalah keilmuan di Betawi. Waktu tulisannya pertama diumumkan ia berumur 17 tahun. Menulis tidak dalam bahasa ibu sendiri! Setengah dari teman-temanku menyangkal kebenaran berita itu. Mana bisa ada Pribumi, dara pula, hanya lulusan E.L.S., bisa menulis, menyatakan pikiran secara Eropa, apalagi dimuat di majalah keilmuan? Tapi aku percaya dan harus percaya, sebagai tambahan keyakinan aku pun bisa lakukan apa yang ia bisa lakukan. Kan telah kubuktikan aku juga bisa melakukan? Biar pun mash tarap coba-coba dan kecil-kecilan? Bahkan dialah yang merangsang aku untuk menulis.

Orang tahu siapa sosok perempuan pribumi yang diceritakan Pram di atas, dan saya kira perempuan yang ingin dipanggil Kartini saja itulah yang telah ikut mebentuk pandangan ”feminisme” Pram—walau bukan satu-satunya. Berbagai persoalan besar yang digugat Kartini kita temukan juga dalam gugatan Pram; terhadap kolonialisme, pendidikan, feodalisme, penindasan terhadap perempuan, hingga agama.

Kartini seorang pribumi yang sudah mengenal bahan bacaan dari Eropa dan seorang penulis surat upaya yang mengagumkan dengan bahasa Belanda yang fasih. Pram seorang Jawa yang tak menulis dalam bahasa ibunya, tetapi pandangan dan semangat pembebasannya sangat Eropa. Revolusi Prancis telah membentuk watak emansipasi Kartini dan Pram. Dalam novel tetraloginya, Pram sendiri bahkan sempat dicekam kebimbangan dalam menempatkan bahasa Melayu dan bahasa Belanda, dan ia sendiri sangat fasih berbahasa Belanda, tapi menulis dengan bahasa Melayu—atau bahasa Indonesia. Nnovel-novel awalnya, seperti Keluarga Gerilya, Mereka yang Dilumpuhkan, Bukan Pasar Malam, dan Gadis Pantai, bahasanya terasa lebih Melayu ketimbang karya orang Melayu Sumatera sendiri pada waktu itu.

Kritik yang dilakukan Pram terhadap agama sangat diwarnai semangat emansipasi Kartini, yang keduanya khas pandangan pencerahan Eropa. Agama, sebagai harapan satu-satunya untuk membebaskan rakyat dan kaum perempuan bumiputera dari keterbelengguan, dalam penghayatan Pram dan Kartini justru berwajah menindas. Sistem perkawinan, sitem perceraian, sistem pembagian harta waris dan zakat yang rigid dan diskriminatif, lebih banyak merepresentasikan keinginan laki-laki dan kolonialisme ketimbang kaum perempuan bumiputera. Perselingkuhan kolonialisme-feodalisme telah membuat Nusantara berada dalam kegelapan, dihempas badai dan dirundung duka, sebagaimana kita lihat dalam frase awal telisik ini.

Bagi Pram, kebimbangan dan kesangsian yang sehat mengenai agama dan Tuhan, jauh lebih baik ketimbang keyakinan yang buta, dan yang hanya baik bagi golongan yang kehilangan akalnya. Kartini menggugat agama dengan sangat menohok khas kritikan kaum intelektual Eropa abad ke-19. Agama baginya telah kehilangan semangat emansipasinya. Kartini bahkan menunjukkan kepada kita betapa sistem patriarki yang bertamorfosis dengan sistem feodalisme dan kolonialisme itu ternyata tidak hanya telah merendahkan derajat kaum perempuan, namun juga telah menempatkan perempuan sebagai abdi kaum penjajah.

Dalam surat-menyuratnya tampak tergurat nada sastrawi dalam bentuk surat upaya dengan gaya puisi-prosa yang terkadang begitu getir mempersepsikan masa depan Nusantara. Kartini, sebagaimana juga Pram, tampak gamang dan gelisah dalam menempatkan buah pikirannya di tengah arus besar perubahan sejarah negeri pascakolonial, mulai dari persoalan pendidikan, filsafat, agama, sastra, budaya, sejarah, hingga ke persoalan (kuasa) bahasa Jawa, Melayu, dan Belanda.

Bagi Pram, apa yang dikatakan bebas oleh Kartini tak berarti bebas berbuat sekehendak hatinya tanpa perlu mengenal batas. Bila Kartini menyebut kata bebas dalam suratnya, yang dimaksudkannya ialah kebebasan jiwa. Orang Indonesia, kata Pram kemudian, masih belum bebas dalam menafsirkan kehendak Tuhan dengan terlebih dulu harus menyiapkan seperangkat keyakinan sebagai konsesi. Hakikat dari kepercayaan yang begitu luas menjadi kerdil, dan tanpa kejujuran nurani dan pikiran maka seorang yang beragama sekali pun bisa berubah menjadi fanatikus yang buta. Dan sepanjang sejarah, orang-orang fanatik inilah yang seringkali dijadikan umpan di tiap medan pertempuran.

Baik Pram maupun Kartini, keduanya melihat penyelewengan dan kemerosotan agama bukan dari sebuah pembacaan tanpa realitas, tapi keduanya menyaksikan dari dekat bagaimana agama telah dimanipulasi untuk kepentingan ideologis-politis yang menempatkan teks melulu sebagai legitimasi untuk membenarkan kesewenang-wenangan yang kelak akan kita temukan juga dalam pandangan Adonis—penyair dan pemikir Arab-Islam kontemporer. “Benarkah agama itu restu bagi manusia?” tanya Kartini dalam surat betanggal 6 Nopember 1899. Kartini ragu, gamang, bukan karena ia tak percaya bahwa di dalam Islam masih terkandung kebaikan dan rahmat bagi manusia dan semesta raya, tapi ia terlanjur menyaksikan “betapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu”, tulisnya.

Tak berhenti di situ, Kartini pun tak tanggung-tanggung mengarahkan penanya kepada Islam, dan ia juga mengatakan dirinya turunan kaum muslim, tapi baginya, “Tuhan Allah hanyalah kata seruan, sepatah kata, bunyi yang tiada arti dan rasanya”. Sementara Pram mengakui, pemberontakan terhadap Tuhan bukanlah sesuatu yang baru bagi pengarang-pengarang di Indonesia, dan Kartini telah memulainya. Bila ada satu golongan yang mencemooh Tuhan, kata Pram, maka kita harus hati-hati untuk menganggapnya sebagai jahanam, sebab bukanlah yang dimaksudkannya adalah Tuhan yang sebenarnya, justru tiap orang yang berpikir ke arah itu tidaklah akan mendapat penyelesaian yang memungkinkan ia berpuas hati.

Cemoohan terhadap Tuhan adalah cercaan yang dilemparkan oleh golongan tertentu kepada pengertian-pengertian yang diisikan pada nama tersebut oleh sang rezim kebiasaan. Seperti halnya kebiasaan para diktator yang turun-temurun, yang memang menghendaki agar semua dapat terangkum dalam kekuasaannya. Sebagaimana dalam segala ketertiban masyarakat, kata Pram, maka hal ini pun ada pemberontak-pemberontak yang menentang kediktatoran kebiasaan (keyakinan resmi dan mayoritas).

Kartini menolak agama yang dijadikan legitimasi oleh sebagian orang untuk berperang atas nama Islam dan Kristen di bumi Nusantara. Pram membaca dalam banyak surat kabar bagaimana Islam, Kristen, dan Hindu saling membenarkan perang dan menghancurkan kemanusiaan di India dan Bangladesh. Kedua penulis ini begitu terluka menyaksikan kalangan agamawan yang masih terus menjadikan agama yang terorganisir sebagai sandaran teologis dalam perang dan mengukuhkan sistem patriarki warisan feodalisme Jawa dan kasta di India itu.

Dalam suratnya tertanggal 13 Agustus 1900, yang ditujukan kepada Abendanon, Kartini mengkritik Islam yang melegitimasi poligami dan pembodohan terhadap perempuan. Demikian pula dalam suratnya bertanggal 23 Agustus 1900 yang ditujukan pada nyonya Zeehandelaar, gugatannya terhadap sistem perkawinan, serta gambaran betapa sulitnya seorang istri yang meminta cerai kepada suaminya kendati harus mengemis berkali-kali, merupakan contoh gugatan Kartini terhadap agama, yang belakangan ini begitu semarak diwacanakan oleh kaum feminis.

Kartini menampilkan empat perubahan yang diharapkannya yang dimulai dari ”habis malam terbitlah terang, habis badai datanglah damai, habis juang sampailah menang, habis duka tibalah suka”. Sudahkah kegelapan yang dilihatnya pada penduduk pribumi itu melahirkan cahaya terang? Jawabnya tentu sangat pesimis. Sistem perkawinan dan perceraian dalam Islam yang dikritik Kartini lebih dari satu abad lampau masih belum berubah.

Pram dan Kartini bukan hanya jadi juru bicara emansipasi dan kemerdekaan kaum perempuan pada zamannya, namun telah membuktikan bahwa keduanya bukan manusia yang mudah dijinakkan. Gugatan Kartini dan Pram terhadap Islam dan sistem feodalisme Jawa tidaklah harus dilihat dari antropologi dengan tendensi rasisme, karena sebagaian besar kaum intelektual Jawa masih mempersepsinya demikian. Kritik kedua pujangga ini terhadap Kuasa Jawa justru meberikan alternatif bagi penghayatan sasta dan religiusitas yang membebaskan. Sasta dan religiusitas yang mendorong tegaknya harkat dan martabat kaum perempuan dan rakyat kebanyakan tak bisa tunduk pada feodalistik.

Ungkapan-ungkapan yang bernada dekonstruksi terhadap agama telah menempatkan Kartini dan Pram dalam barisan tokoh kritis dalam memandang agama dan Tuhan. Sebuah laku yang, kendati oleh Kartini sering digugatnya, telah memberikan teladan dari hasil pencariannya: “Kami telah menemukan Dia; karena kini ini kami tahu—kami rasa, bahwa senantiasa ada Tuhan dekat kami, dan mendjagai kami. Tuhan itu akan mendjadi penolong, pembudjuk hati, tempat kami berlindung didalam kehidupan kami jang akan datang dan ini sudah terasa oleh kami”, tulisnya dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902. Surat terakhirnya bertanggal 7 September 1904 melukiskan “Tuhan tiada akan tuli mendengar sekian banjak jerit hati yang mendoa”.

Kendati Pram sering disebut sebagai pemikir yang nyinyir dalam memandang Islam, dalam roman Keluarga Gerilya dan Bukan Pasar Malam, kita akan menemukan sosok pergulatan yang intens dalam pencarian hakikat ketuhanan. Babak akhir Keluarga Gerilya melukiskan dengan suasana religius mirip doa: “Tuhanku, biarlah aku mengalami fajar merah sekali lagi. Ya, Tuhanku, aku paham akan alamat yang Kauberikan padaku. Dosaku banyak. Aku Tahu. Dan Engkau Mahamengetahui. Engkau sendiri yang mengizinkan dosa-dosa itu berlaku di dunia ini. Dan berpuluh-puluh jiwa telah kuputuskan untuk korban pada bangsa baru yang Kaulahirkan di tanah airku. Bangsa ini Kaulahirkan di atas dosaku—dosa kita semua. Ya, aku tahu—alamatMu itu sudah kupahami. Akan sampailah ajalku...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar