Sabtu, 31 Januari 2009

Skizofrenia, Kegilaan, dan Modernitas:

Perihal Prosa Iwan Simatupang

Oleh Asarpin
Pembaca sastra



Novel pelacur mesti diuji keampuahannya
dari suatu keadaan tepi-tepi terakhir
tepi yang menari-nari di remang kejauhan
Tepi, daerah terakhir sebelum ketamatan
--IWAN SIMATUPANG



Seorang novelis terkemuka memutuskan untuk menarik diri dari situasi politik yang sedang riuh. Setiap saat ia merasa dipaksa oleh suatu tata pemerintahan di negerinya untuk patuh dan mengikuti segala aturan yang telah ditetapkan. Si pemuda yang calon seniman itu merasakan kesuntukan yang tak terlukiskan, dan nyaris tak ada pilihan bagi hidupnya. Satu-satunya jalan adalah berpura-pura patuh mengikuti garis yang dipancangkan pada semua orang, termasuk pada dirinya. Si pemuda bertingkah kekanak-kanakan, dan terkadang pula meledek situasi yang sedang terjadi pada realitas politik dan seolah-olah mengikuti begitu saja kenyataan sesuai dengan garis partai yang sedang berkuasa (namun, sekali lagi, ia cuma pura-pura).

Setiap hari pemuda itu berjalan ke gedung kesenian mengirimkan tulisan, dengan pakaian compang-camping dan tampak urakan. Orang bilang ia sangat taat pada aturan, namun tingkah-polahnya bikin orang yang bekerja di gedung kesenian tahu bahwa ia sedang menyaru atau menyembunyikan sifatnya yang sebenarnya. Si pemuda sedang membuat parodi yang bercorak karikatural; seolah-olah mau mencemooh negara dengan cara tak wajar. Ia rajin berkirim surat kepada sesama seniman, dan isi suratnya kadang kala mendoakan kekuasaan partai tunggal segera runtuh dan dirinya yang compang-camping itu akan menjadi manifes kalau diri palsu itu sudah runtuh dan semua protes akan menjadi nyata kalau topeng sudah diambil-alih.

Harapannya terbukti. Protes terhadap negara dan partai yang sedang berkuasa muncul di mana-mana. Beberapa orang bahkan ada yang sengaja memanfaatkan tentara negerinya agar kekuasaan partai tunggal segera hancur. Dan pemuda yang seniman itu juga pernah mengirim surat kepada kenalannya, Latok, dengan mengatakan: “Tentara nasionallah harapan kita yang paling makzul di masa akan datang, Latok!”


***
Kisah di atas sengaja saya kemukakan dalam konteks mengawali pembicaraan tentang skizofrenia, kegilaan, dan modernitas dalam konteks prosa-prosa Iwan Simatupang. Gejala ini memang sempat menjadi kajian mendasar pada pertengahan abad ke-20, seperti saya gambarkan di atas, yang saya cuplik dari berbagai sumber.

Pandangan hidup skizofrenik dalam ilustrasi di atas menegaskan beberapa hal: saya menjadi gila atau mengidap schizoid berhubungan dengan paksaan lingkungan yang menjajah kemerdekaan berpikir dan berserikat saya. Orang gila tetap manusia, juga dia tetap berupa hal mengada pada dunia. Beberapa neourolog dan filsuf telah mencoba menjelaskan soal ini: Sigmund Freud, Eugen Bleuker, Louis A Sass (Madness and Modernism), C.R. Badock (yang salah satu bukunya telah diterjemahkan ke Indonesia dengan judul Kegilaan dan Modernitas, 1987), Anthony Storr (The Dynamics of Creation dan Solitude: A Return to the Self), Ray Monk (Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius), Irving I Gottesman (Schizophrenia Genesis: The Origins of Madness) , Nietzsche, Fanon, Sartre, Marleau-Ponty, Sylvia Nasar (A Beautiful Mind), dll. Kondisi skzofrenia dan kegilaan terkait erat dengan situasi modernitas dengan segala derivasinya. Situasi kegilan bagaimana pun sering kali merupakan korban lingkungan. Namun orang yang dianggap gila justru menyimpan kejeniusan.

Hidup Iwan dalam kecemasan yang luar biasa. Seakan hidupnya tak lagi punya harapan. Saya kira Gabriel Marcel benar ketika mengatakan, sambil mengutip sebuah pepatah asing, bahwa yang dipakai untuk membuat hidup manusia ialah harapan: without hope no life. Kita hidup berdasarkan harapan, ketika harapan hidup punah, manusia resah dan cemas. Bahkan bisa jadi putus asa dan gila. Maut tak bisa dibayangkan. Ketika istri tercinta kita mati, maka maut seperti datang kepada kita tanpa basa-basi dan tak bisa dibayangkan. Gejala ini tentu bisa ditafsirkan macam-macam, bukan hanya dialektika dari retensi dan protensi seperti Hegel melukiskan putus asa absolut.

Novel Ziarah Iwan dibuka dengan kematian sang istri tercinta, di mana sang suami tampak linglung. Kemudian geala ke arah skizofrenia terkuak ketika si suami melontarkan kata-kata yang sering tak beraturan dan menerabas tanda baca melaui gaya fantasi yang kekanak-kanakan. Walau sejak kematian istrinya, ada alasan baginya tiap siang hari untuk terus hidup. Namun ketika malam tiba, ia mabuk dan nyaris berada pada ambang kegilaan. Letupan kata-kata muncul dengan merdeka tanpa beban dan di situlah makna harapan dan tiadaharapan tokoh yang mengalami skizofrenia terkuak.

Sepanjang hidup Iwan sering melontarkan perasaan kesepian dan merasa tertekan akibat situasi politik yang tak menentu. Banyak kritikus yang mencemooh gagasan eksistensialisnya, baik dari kalangan Lekra maupun di luar. Sutan Takdir dan Sudjatmoko, misalnya, tak terlampau menaruh harapan pada eksistensialis dan sering meledek eksistensialisme Iwan. Namun, jarang sekali kritikus sastra mengaitkan secara serius narasi skizofrenia dan kegilaan dalam prosa Iwan dengan situasi modernitas yang tengah melanda Indonesia pertengahan abad ke-20. Prosa-prosa gebalau nonsens Iwan didominasi oleh suatu pelarian dari realitas yang disebabkan oleh perkembangan modernitas yang mendadak ke suatu bidang seni dan sastra.

C.R.Badcock sendiri pernah menelusuri hampir semua karya seni, mulai dari lukisan, musik, teater, puisi, prosa (novel dan cerpen) kian mirip dengan karya psikotik dan anak-anak dengan bentuk ekspresi regresif di mana tokoh-tokoh mengalami disintegrasi, skematisasi, degradasi. Seni lukis Sezanne, novel Samuel Beckett (How It Is) yang tidak mengunakan tanda baca, teater Ionesco (The Bald Prima Donna), James Joyce, dll. Dalam bukunya, Madness and Modernity—terjemahan Bosco Carvallo—Badcock melukiskan panjang lebar konteks skizofrenia dan kegilaan dalam karya seni atau sastra, berikut ini:

Beberapa karya penulis seperti Beckett, Joyce, Ionesco, mungkin mewakili keekstriman, bahkan untuk kesusastraan modern sekali pun, namun para pengarang ini tidak dapat dilukiskan sebagai eksentrik, periferal, atau tanpa pengaruh. Kebanyakan pembaca akan sependapat bahwa ciri modernisme dalam kesenian yang telah saya kemukakan bukan tidak esensial dan ciri tersebut memang perlu diberi komentar. Sudah sejak lama ada kebiasaan di kalangan connoisseur avant-garde untuk menghukum orang-orang awam di jalanan karena kebanyakan menolak kesenian modern lantaran tidak memahaminya sebagai suatu macam kegilaan, namun pada kesempatan ini orang di jalanan tersebut—yang, tidak seperti para connoisseur, tida membela suatu kepentingan tetap atau tidak tetap—mungkin memang benar.
Jika kita menanyakan diri kita sendiri mengapa dalam bidang kesenian dan khususnya kesusastra-anlah simtom konflik skizoid, psikokotik dengan realitas paling menonjol, maka jawabnya mungkin harus ditemukan dalam dua pertimbangan utama. Pertama, ada pendapat yang mengatakan bahwa dampak kultur modern, ilmiah, dan teknologis ternyata paling sulit dialami oleh orang-orang yang mempunyai temperamen artistik dan intuitif yang mengungkapkan dirinya melalui teknik tradisional seperti pengrajin. Kedua, ada pendapat yang mengatakan bahwa kesenian dan kesusastraan, barangkali lebih daripada yang lain kecuali agama, menjamin eksternalisasi bawah sadar yang diakui secara kultural dan barangkali bahkan lebih daripada agama, untuk bawah sadar individual khususnya. Oleh karena itu, ketika dampak itu tiba, dampak itu tercatat amat kuat dalam bidang-bidang upaya yang terutama sangat rentan dan sangat cocok untuk ekspresi reaksi psikologis yang sangat mirip dengan ekspresi psikosis individual.

Pada prosa Ian bukan tidakada tanda-tanda yang dikemukan Badcock lewat teori psikoanalis Freudian itu. Kita tahu, situasi politik pada masa Orde Lama banyak orang terlampau menuntut tanggungjawab seniman. Seni untuk seni dipandang borjuis. Eksistensialis dianggap terlampau mewah untuk Indonesia pada masa Orde Lama, bahkan sampai Orde Baru. Dalam situasi inilah Iwan banyak menulis prosa yang dipengaruhi karya-karya eksistensialisme Prancis. Iwan memang pernah dekat dengan gagasan eksistensialisme dan Humanisme Jean Paul Sartre. Namun dalam perihal tentang s’enganger (melibatkan diri) dan tanggungjawab seorang seniman, tampak bahwa Iwan berbeda dengan Sartre.

Gagasan Iwan tentang komitmen sosial dan tanggungjawab malah agak dekat dengan Levi-Strauss yakni tanggungjawab pada dirinya sendiri dan apa karyanya berikutnya. Tidak semua orang bisa seperti Sartre yang melakukan banyak hal, selain menulis roman, filsafat, teater, dan politik. Namun bukan berarti bahwa ketika Iwan mengangkat kaum urakan, kaum gelandangan, orang gila, tak punya komitmen terhadap masyarakatnya. Iwan telah menunjukkan tanggungjawab pada dirinya dan karyanya.

Apa boleh buat, Iwan masih tak banyak pengikut kecuali segelintir sastrawan yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan. Tuntutan tanggungjawab pengarang dan komitmen sosial jauh lebih bergemuruh dan membuat jiwanya kuyup. Kemerdekaan untuk memilih sesuai dengan nurani belum banyak sekutu. Maka muncullah pergulatan batinnya yang keras dan nyaris melumat individunya.

Pikiran muncul dengan merdeka dalam sunyi, dan terkadang tanpa berpikir panjang. Ketika muncul peluang untuk membebaskan diri dari rasa tertekan, apa pun sering nol pertimbangan. Dan Iwan sendiri pernah menaruh harapan pada TNI sebagai pembebasan dari tekanan kaum komunis. Dalam suratnya kepada Larto bertanggal 19 Agustus 1965 (saya baca dari buku Prahara Budaya suntingan D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995: 410), Iwan pernah menulis begini:

...TNI-lah harapan kita yang paling utama di masa depan, Larto! Semangat kemerdekaan yang masih tetap bergelora dalam dada korps Siliwangi, Brawijaya, Diponegoro, Bukit Barisan, Sriwijaya, Hasanudin, Pattimura, dan lain-lain, kukira semangat kemerdekaan mereka ini masih cukup ampuh untuk menghadapi eksperimen Madiun kedua yang akan datang! Prajurit-prajurit seperti Abdul Haris Nasution, Ahmad Yani, Suharto, Basuki Rachmat,, Ibrahim Adjie, dan lain-lain adalah (masih) tetap jaminan bangsa kita, bahwa eksperimen seperi itu bakal pasti memperoleh perlawanan yang sangat dramatis, dan bahwa eksperimen itu, walau betapa besar pun nantinya jumlah korban yang bakal dimintanya, tapi kemenangan terakhir pastilah ada pada pihak KEMERDEKAAN YANG BERDAULAT PENUH DARI NUSA DAN BANGSA KITA!...

Bukan maksud saya untuk membuka polemik lama antara Lekra dan Manifes Kebudayaan dan memojokkan Iwan di sini, namun pernyataan itu saya kutip untuk menegaskan bahwa dalam situasi yang gawat dan mengancam, orang sering tak berpikir panjang untuk mengambil suatu alternatif. Gejala ini sedikit banyak terkait dengan skizofrenia dan kegilaan yang ingin saya ketengahkan. Beberapa pernyataan Iwan menjadi kenyataan, dan seorang yang tengah merasakan situasi yang menekankan kadang kala bertindak seperti kaum futurolog yang berdepan-depan dengan zaman.

Surat-menyurat Iwan yang telah diterbitkan adalah contoh bagaimana perasaannya dan sikapnya terhadap kekuasaan Orde Lama dan berbagai penopangnya. Iwan kerap kali melukiskan hidupnya seperti kapal pecah dihempas gelombang, naik-turun tanpa kepastian. Pikiran sering melantur, regresif, dan sering tanpa corak integrasi. Komunikasi dengan orang lain seakan tertutup dan jadilah ia makhluk kamar, menyepi di sebuah hotel di bilangan Bogor dan menulis novel, cerpen, esai, surat, dll., dengan mutu yang relatif terjaga (walau bahasa Indonesia yang digunakan tidak sepenuhnya mengikuti kaidah bahasa yang baik dan benar).

Tiap kali saya membaca prosa-prosanya, selalu muncul imago kegilaan dan makin lama makin tampak menunjukkan gaya ke arah ekstase yang bersifat mistis. Selama ini, pembacaan terhadap sudut pandang penokohan dalam novel dan cerita pendeknya, cenderung berhenti pada tokoh-tokoh gelandangan, seperti dalam pembacaan Dami N. Toda, Mangunwijaya (1982), Kurnia JR (1999). Tak banyak yang mencoba mengaitkannya dengan narasi kegilaan dan skizofrenia lebih jauh. Hanya sedikit yang mengaitkan tema skizofrenia dan kegilaan dan modernitas.

Pembacaan saya terhadap hampir semua prosa Iwan, tidaklah berlebihan jika saya mengatakan di sini bahwa Iwan telah menjelma sosok pengarang Indonesia yang begitu intim menghadikan narasi kegilaan dalam prosa pada zamannya. Bahasa eksistensialis yang dipinjamnya dari eksistensialisme Prancis cukup membantu mengekspresikan narasi skizofrenia dan kegilaan yang di Indonesia pada dekade 1950-an-1960-an belum terlalu banyak disuarakan.

Dalam prosanya muncul letupan kata-kata yang dari mulut Tokoh Kita dan tokoh-tokoh lelaki lainnya, yang terkesan main-main dengan kata-kata, seperti Merahnya Merah, Ziarah, Koong, Kering, dan kumpulan cerpen Tegak Lurus dengan Langit (cetak ulang oleh Pustaka Kompas, Jakarta, 2004), mirip dengan cerocosan orang gila. Ceracau tokoh-tokoh antagonis dan eksentriknya, mengingatkan kita pada orang-orang gila yang di autopsi di Rumah Sakit Jiwa.

Saya tak tahu persis ungkapan yang tertulis dalam sampul belakang buku Ziarah penerbit Djambatan (1969), ketika muncul kata-kata yang agaknya mengarahkan kita untuk melihat fenomena novel Iwan sebagai cermin keberhaslan melahirkan narasi kegilaan. Saya kutip langsung dalam ejaan lamanya: “Dalam penondjolan tokoh-tokoh dan watak-wataknya adalah orang-orang la biasa. Tetapi kesan ini disebabkan karena penulisnja menempatkan mereka didepan suatu katjagila”.

Kedekatan Iwan terhadap manusia-manusia yang tampak seperti pasien-pasien yang merasa terpenjara di RSJ itu, tentu berhubungan dengan kedekatan Iwan terhadap tema ini. Kita tahu, Iwan pernah melakukan studi tentang kejiwaan manusia dengan intim; ia pernah kuliah di fakultas kedokteran Universtas Airlangga Surabaya, walau tidak tamat. Lalu ia mendalami kembali tentang manusia lewat kajian antropologi di Universitas Leiden dan mendalami filsafat—khususnya eksistensialisme—di Univesitas Sorbonne, Paris.

Konflik penokohan dalam prosanya begitu kuat justru karena Iwan tak pernah henti-hentinya memahami manusia berikut pernik-pernik kejiwaan secara intim. Iwan menghadirkan prosanya bagaikan para sufi yang tengah akstase, dan ia memang pernah mengatakan tentang “manusia dalam ekstase sekaligus kemanusian dalam ekstase”. Tidak berlebihan jika Mangunwijaya dalam Sastra dan Religiositas (1982) menyebut novel-novel Iwan adalah “novel gaya sur-realis lebih berkecimpung dalam teritorium puisi daripada prosa, lebih dalam bahasa mistik daripada bahasa theologi, lebih melamun daripada bercerita”.

Hal-hal yang dianggap gila, yang dijauhkan masyarakat kebanyakan, justru diapresiasi Iwan dengan sangat intim dan penuh penghayatan individual yang keras melalui bahasa kesyuhadaan. Apa yang “gila” itulah yang lazim dan menantang sekaligus yang paling segera menjadi minatnya, menjadi titik-pemberangkatan dari dunia di luar lingkungannya. Untuk apakah semua itu? Lamat-lamat kita melihat sebuah “keakanan yang tak selesai”: untuk menyusun (sementara) dunianya sendiri. Bahasanya sendiri. Gayanya sendiri.

Ada kesan bahwa Iwan menulis prosa seperti pernah menjadi orang gila betulan, karena kata-katanya kerap kali melantur begitu saja dan dengan cekatan dinarasikan tanpa beban, hingga bahasanya pun seakan melompat-lompat menyalahi aturan ejaan yang diberlakukan secara sengaja. Tengok ucapan ini: “Begitu malah jatuh, pantatnya di tuangnya arak penuh-penuh, memanggil Tuhan keras-keras, kemudian meneriakkan nama istrinya keras-keras, menangis keras-keras, untuk pada akhirnya tertawa keras-keras” (Ziarah).

Lalu dalam lembar beikutnya Iwan kembali menulis sebagai hasrat melukis dengan kata-kata di benak pembaca: “malam waktu itu, dia mulai dikenal sebagai pemabuk, yang keras-keras memanggil nama istrinya, keras-keras menangis, keras-keras memanggil Tuhan, dan akhirnya keras-keras tertawa, terbahak-bahak kesetanan”.

Pemberontakan Iwan terhadap pandangan dunia “kegilaan” yang selama ini secara picik diterjemahkan, dan orang-orang gila senantiasa dianggap sampah oleh masyarakat, memang sangat dekat dengan tema pemberontakan atas konvensi-konvensi sastra resmi yang terlanjur dimamahbiak oleh masyarakat banyak. Dalam cerpen Lebih Hitam dari Hitam—cerpen ini dipublikasikan pertama kali oleh di majalah Siasat Baru Desember 1959—tokohnya menjelma sebagai pasien yang “tak waras” dan terpaksa harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Dalam rumah sakit tersebut sang tokoh bertemu dengan “orang-orang gila” yang berceloteh-ria dan terkadang monolog dengan dirinya sendiri.

Seorang lelaki berperawakan kekar memperlihatkan caranya menatap dan mengamati sesorang, memulai bicara dan menyudahi kalimat-kalimatnya, meninggalkan kesan bahwa orang ini begitu disegani dan ditakuti. Dalam cerpen ini sang narator terlihat begitu simpati dengan orang-orang yang dianggap miring dan gila yang sedang dirawat bersamanya. Jiwanya terasa kuyup oleh segala pelabelan dan harga diri orang-orang normal yang menderas kesadaran batinnya.

Sementara dalam cerpen Monolog Simpang Jalan, sang narator kembali mengisahkan seorang lelaki gelandangan yang dianggap gila dan melakukan sebuah monolog—sesuatu yang sering dijadikan indikasi bahwa setiap orang yang berbicara sendiri dianggap gila. Lewat cerpen ini, sang narator mengisahkan perjumpaannya dengan seorang gelandangan yang berpakaian dekil dan kumuh di sebuah persimpangan jalan yang dilaluinya. Lelaki itu, dengan sorot mata yang tajam, menatap ke arahnya dan melemparkan kata-kata yang menyentak kesadaran batinnya.

Sang gelandangan dalam cerita ini nyaris tak memberi ruang dialog bagi tokoh lainnya, tapi lebih suka bicara sendiri dai hti ke hati. Di tengah-tengah kegalaun dan teka-teki yang menyelimut perasaannya, ia menangkap kesunyian sempurna di balik raut wajah lelaki tersebut. Sang lelaki tersebut tampak sedang mempersaksikan seorang manusia, seorang yang menanggung seluruh beban dari sunyinya, di dunia yang kian hari kian ramai dan bising. Orang-orang memperlakukannya sebagai orang sinting dan harus segera dibawa ke RSJ. Orang-orang pun hilir mudik dan sibuk mencari ambulan, dan dari dalam mobil ambulan tersebut berlompatan beberapa juru rawat yang siap dengan tandu penggotongnya.

Iwan Simatupang menafsir dengan kritis tentang makna tersirat di balik narasi kegilaan. Pergulatan sang narator adalah pergulatan seorang yang protagonis, yang absurd, dan hampir tak pernah mau berkompromi. Meski pada akhirnya lelaki dalam cerita itu tinggal sendirian menanti “ayam pertama berkokok kembali, senyum lebar di wajahnya, senyum yang sangat membebaskan”, sang narator tampak seperti ikut terlibat dalam konfli penokohan dalam prosanya. Tokoh lelaki itu, tingkah lakunya yang aneh, sepeti wajahnya dihadapkan pada terik yang terbit, tegak lurus dengan langit, menunjukkan rasa hayatan yang kuat tentang pengetahuan kegilaan.

Tetapi, sang tokoh dalam Tegak Lurus Dengan Langit tak pernah tunduk dan menyerah dengan kesendirian atau kehampaan. Harga diri dengan segala tetek-bengeknya telah ia campakkan. Semua yang dijumpainya, lelaki tua, lelaki kekar, orang-orang gila perlahan-lahan hanya tinggal bayangan. Ia kembali dengan dirinya sendiri, dengan kesunyian dan kekosongan dan kehampaan, tempat keheningan yang harus ditebusnya dengan kepedihan dan kegilaan. Ia terus menyusuri pahitnya liku-liku kehidupan, menelanjangi segala bentuk kemunafikan dan kecongkakan, menohok realitas sosial, budaya hipokrisi, dan “memihak” mereka yang gila. Iwan memang pernah menyebut novel dan cerita pendeknya sebagai “novel tak bermoral” tapi inilah “novel masa depan”.

Agaknya, ini pula “suara eksistensialis” Iwan Simatupang yang paling khas dan sering disalahpahami para kritikus, dan tak jarang juga disanjung dengan pujian—seperti dalam esai-esai Dam N. Toda, Mangunwijaya, dan Kurnia JR. Bagi kalangan Marxis, filsafat eksistensialis dengan tokoh sering tak bernama, tak jelas, amoral, terlampau subjektif dan sama sekali tidak berurusan dengan realitas pedih dan komitmen sosial, akan dicap sebagai kegagalan. Kaum eksistensialis tak ubahnya makhluk kamar yang terisolir, soliter, tanpa peduli dengan nasib sesama. Dan, sekali lagi, dalam pandangan kaum sosialis, eksistensialisme tak lebih dari warisan ego cogito ergo sum-nya Descartes. Iwan Simatupang seakan menegaskan saya gelandangan maka saja ada, saya gila maka saya ada.

Syahdan, seorang lelaki yang menakutkan duduk di bawah jembatan, yang membuat orang-orang yang lewat menyimpulkannya sebagai orang gila. ”Mula-mula kukira ia orang yang sangat ramah. Setiap orang yang berpapasan dengan dia, disenyuminya”, kata Iwan dalam cerpen Senyum di Jembatan. Asosiasi kegilaan dihadirkan lewat tokoh lelaki yang senyum sendirian. Bukan sumringah, melainkan ketidakwajaran.

Lalu selanjutnya kita akan menemukan komentar sang narator kembali terhadap si lelaki sebagai bentuk “pembelaan”. “Tapi, ketika kulihat pada satu hari, bahwa ia juga tersenyum kepada seekor kuda penarik gerobak tukang sayur, pendirianku berubah. Aku menduga dia tak waras. Dan perempuan tempat aku bayar makan, mengiyakannya”.

Kejadian cerita di jembatan dalam cerpen ini berlangsung di sebuah kota besar yang bukan Jakarta, Surabaya, atau Medan, melainkan Amsterdam. Sang tokoh mulanya jadi “gila” karena sempat di penjara akibat ia menolak dikirim ke Indonesia sebagai serdadu untuk menumpas orang Aceh. “Alhasil”, kata sang narator, “ia dimasukkan dalam tahanan. Alhasil, ia jadi tak waras. Alhasil, ia tersenyum terus...” Gaya pengucapan infantil ini sudah khas Iwan. Dalam Ziarah bahkan berkali-kali ia menggunakan gaya repetitif yang kemudian kita temukan bayangannya dalam puisi-puisi Afrizal. Misalnya: “Lihatlah keseluruhan wajahnya, bahunya, dadanya, tubuhnya, riwayat hidupnya...”.

Ketika sang tokoh lelaki dalam Senyum di Jembatan mulai membuka dialog tentang kota-kota di Indonesia, Suabaya, Makasar, Manado, Ambon, terkuak kejeniusan sang tokoh yang terlanjur disimpulkan gila tadi. Jawaban-jawaban yang muncul dari mulutnya ternyata tidak ngawur, dan sang narator kembali berkilah: “Dia boleh orang sebut gila, tapi pengetahuan ilmu buminya, atau setidaknya kesadaran arahnya, masih tetap utuh. Aku ini kagum, sekaligus aku mulai menyangsikan ketakwarasannya. Suatu hasrat jalang timbul kini dalam diriku. Yakni, hasrat tahu bagaimana pula bunyi jawabnya atas pertanyaan-pertanyanku berikut”.

Ada perasan terlibat dan dekat pada tokoh-tokoh gila yang tak mampu disembunyikan oleh sang naratornya. Kontras antara waras dan tak waras dipermainkan sedemikian rupa hingga posisi yang tak waras menjadi waras, bahkan lebih waras karena sangat cerdas, sementara yang waras sendiri menjadi hipokrisi, menjadi manusia tak bermatabat. Orang gila yang sering dianggap sebagai mentalitas hidup yang kacau itu, ternyata menyimpan perasaan yang mengalami kehilangan, kekosongan, kelungkrahan, karena ke-aku-an mengalami semacam disintegrasi, tapi dengan begini justru hidup menjadi merdeka dan kreatif.

Dari sisi seorang fenomenolog, kegilaan bisa dilihat sebagai suatu disintegrasi dari situasi yang tak hendak mengejar reintegrasi di tingkat lebih rendah, melainkan di tingkat puncak. Justru ketika hal-hal yang “irasional” dan kegilaan hilang dalam benak dan jiwanya, bisa jadi ia justru menjadi tak kreatif. Roland Barthes benar ketika mengatakan dalam Mitologi: “semakin kejeniusan seseorang coba disembunyikan oleh otaknya, semakin kreatif penemuannya mendapatkan dimensi magis, dan memberikan suatu inkarnasi kepada gambaran esoteris primitif tentang pengetahun yang sepenuhnya terkandung ke dalam huruf”.

Rasionalisme dan berpikir logis justru menjadi hantu paling menakutkan bagi orang gila atau seorang yang mengalami skizofrenik. Orang yang ketakutannya terhadap menjadi normal hampir sama besar dengan ketakutannya dengan menjadi abnormal, mungkin akan menjadi kreatif yang tak cuma karena dorongan pengalaman kenikmatan estetik, atau gairah yang mengalami pikiran yang aktif, tetapi juga untuk mempertahankan diri terhadap kecemasan akibat konflik antara soliter dengan solider.

Gugusan kegilaan dari perasaan soliter dan luka eksistensial yang muncul bertubi-tubi, seperti ditunjukkan Iwan dalam tokoh-tokoh ceritanya, dengan segala ego dan emosinya yang yang aneh itu, akan dianggap tak sanggup menjangkau sesama manusia yang menderita, apalagi berpikir tentang solidaritas kaum tertindas. Tetapi ini adalah sebuah tuduhan yang mulai sekarang harus segera ditinggalkan, mengingat hidup soliter Iwan justru begitu deras menghadirkan komitmen sosial pada kaum gelandangan atau kaum yang tak berumah.

Empati Iwan—kalau boleh kata ini dipakai—terarah pada kaum gelandangan dan orang-orang gila dan yang dianggap “sampah masyarakat”, dalam satu tarikan nafas ia mengubahnya. Dalam menghadirkan gebalau-gebalau nonsens dan igauan-igauan yang abnormal, Iwan membela subjektivitas habis-habisan dari serangan kaum pemuja objektivisme. Iwan seakan menyerukan ke-orang-lainan dalam prosanya; keoranglainan yang menggelandang, mengemis, dan tidur di bawah kolong jembatan.

Tematik penciptaan orang-orang tak waras dalam prosanya berangkat dari sebuah lamunan akan pertanyaan filsafat eksistensialis yang melihat bagaimana dunia mesti dibaca dari kacamata orang yang dianggap gila. Narasi kegilaan Iwan dalam prosa orang-orang gelandangan itu, memang bukan sesuatu yang baru, karena tema semacam ini telah lama jadi perhatian pengarang-pengarang Eropa.

Narasi kegilaannya memiliki kesamaan dengan kisah kegilaan di One World--sebuah nama institusi sebuah rumah sakit jiwa dalam novel The Comfort of Madness karya Paul Sayer. Prosa Iwan memiliki kesamaan dengan tema “sejarah kegilaan” yang pernah diangkat Michel Foucault, kendati tokoh terakhir ini sangat skeptis terhadap pembicaraan tentang kepribadian, kesadaran, kebebasan. Kepiawaian Iwan terletak pada kemampuannya menangkap penderitaan pasien yang diperlakukan secara khusus tanpa melakukan autopsi yang mencincang kaum yang sering dicap “abnormal” itu. Gugatan sarkastis Iwan terhadap para juru rawat di rumah sakit yang menggunakan metode persis seperti yang dilakukan di York Retreat—sebuah lembaga pengobatan jiwa yang sering diungkapkan Foucault—tampak memberikan sebuah narasi kegilaan yang seakan membangkitkan sebuah peradaban baru.

Kita tahu Iwan salah ketika kita mulai membaca Foucault yang tidak lagi percaya pada kebaruan dan lebih tertarik pada karya yang anonim. Namun beberapa gagasan Foucault tentang skizofrenia dan kegilaan justru telah berpengaruh dalam “pikiran liar” Iwan, kendati tak sepenuhnya tepat untuk mengatakan Iwan adalah sosok postmodernisme.

Lewat bahasa prosa, Iwan mengungkapkan narasi kegilaan dengan limit dan pembangkangan atau transgresi terhadap pertentangan biner yang diciptakan oleh dunia medis modern seperti ‘same’ dan ‘other’, ‘waras’ dan ‘gila’, ‘normal’ dan ‘abnormal’, atau ‘civilized’ dan ‘uncivilized, “subjektive” dan “okjektive”. Dan ini memang postmodernisme. Namun segera pandangan itu mengalami kontradiksi tak berkesudahan dan tarik-menarik antara modernisme dan postmodernisme.

Dengan bekal pengalaman dan pengetahuan tentang dunia kedokteran dan medis Iwan sangat piawai dan berhasil mengisahkan tragedi kemanusiaan yang paling sadis yang berlangsung di ruang pengobatan dan kamar isolasi RSJ. Dengan wawasan psikologi fenomenologi dan filsafat eksistensialis Prancis, Iwan berhasil mengangkat kesadaran seorang protagonis, absurd dan nihilis yang percaya bahwa kegilaan adalah kehidupan. Kegilaan adalah kemanusiawian.

Sigmund Freud memang pernah mengatakan bahwa kegilaan bukanlah sebuah penyakit, melainkan potensi manusia yang terkubur. Sigmund Freud menyebut ide kegilaan sebagai situasi yang berada dalam alam bawah sadar (unconsciousnes). Semua manusia adalah neurosis dan memiliki kegilaannya sendiri, karena banyak sekali ketidaksadaran yang disimpan dalam gudang jiwa manusia. Bahwa kegilaan sebetulnya adalah pengobatan jiwa itu sendiri. Kegilaan adalah kedahsyatan manusia di mana manusia tidak lagi diberi batas-batas hukum. Ia lebih bebas dari imajinasi. Kegilaan adalah ketidaksadaran yang disadarkan dan kemudian menjadi sesuatu yang genius, yang mencerahkan, yang kreatif.

Pembauran antara sudut pandang eksistensialis dan psikoanalisis atau neurologis, menjadikan prosa Iwan berada dalam menara kekosongan, sebuah nol mutlak, dan menyandang obesesi yang tidak lagi sebagai narasi dan tema-tema besar, kendati rangsangan yang ditimbulkan alam novelnya muncul dari tokoh-tokoh besar. Kebesaran, atau terlalu kecil untuk ukuran tokoh-tokohnya yang berkali-kali mengalami depresi berat. Jiwanya melayang-layang menghayalkan sesuatu yang tak tergapai. Ia mengalami gangguan jiwa, seperti skizofrenia, melankolia involusi, parafrenia involusi, demensia dan sejenisnya. Tetapi, tokoh-tokohnya itu dengan sadar menikmati kegilaanya.

Menarik menghubungkan narasi kegilaan yang telah dibicarakan di atas dengan novel Kering lewat jalan hidup Tokoh Kita yang telah menemukan jalan pembebasan justru dengan jalan ketakwajaran dan kegilaan. Tokoh Kita merintis jalan baru kemanusian dan pembebasan para rudin, setapak demi setapak, berlarah-larah dan kering-kerontang bagai tanah tandus yang bertahun-tahun tak disiram hujan. Begitulah jiwa yang dirasakan Tokoh Kita dalam Kering, namun dengan jalan itu justru ia menemukan kebebasan yang paling penuh kesadaran. Sebuah pandangan yang menolak ketamatan sambil menghunjamkan subjek dalam proses yang tak selesai dalam sebuah pencarian sampai ke titik nadir, sebuah titik, sebuah nun, sebuah nol yang mutlak. “Dari x, ke 2z, ke 1 x, dan kini ke 0 x makan sekali”.

Tak ragu lagi, tokoh-tokoh imajiner Iwan mendendangkan sejarah kegilaan, yang menarik jika dikaitkan dengan Nietzsche yang merupakan salah satu tokoh yang dikagumi Iwan. Sejarah kegilaan yang pernah jadi perhatian Nietzsche kemudian dilanjutkan oleh Michel Foucault, dalam bukunya Kegilaan dan Perdaban yang terbit pertamakali pada tahun 1965. Sejauh ini, Foucault memang juru bicara Nietzsche yang paling fasih di abad ke dua puluh, dan tak tanggung-tanggung, ia pun menjelajahi tema kegilaan dengan penelitian yang mendalam di sebuah lembaga bernama York Retreat.

Belakangan, upaya penelitian semacam ini juga diikuti oleh Paul Sayer di sebuah lembaga bernama One World, yang bisa ditelusuri dalam novelnya berjudul The Comfort of Madness yang sudah diterjemahkan oleh penerbit Lafadz Yogyakarta. Baik Foucault maupun Sayer, keduanya paling getol melacak soal narasi kegilaan. Keduanya menampik model praktik Rumah Sakit jiwa yang mengklaim melakukan diagnosa terhadap pasien secara objektif—nilai yang sering dijadikan syarat untuk mencapai ilmu pengetahuan yang diagung-agungkan oleh disiplin modernitas. Bagi Foucault, para dokter jiwa modern selalu menggunakan taktik pengawasan (surveillance) dan pelabelan (judgement) sebagai terapi ampuh untuk menyembuhkan orang gila. Mereka menundukkan pasien-pasien di bawah observasi dan evaluasi dengan standar penilaian tingkah laku yang kaku. Subjektivitas dari jati diri, yang turut membingkai akan pemahaman dunia medis sama sekali tak pernah dipertimbangkan.

Foucault dan Sayer melakukan sebuah transgresi terhadap pertentangan biner dan menemukan metode kekuasaan yang digunakan untuk memapankan satu kategori yang menindas. Dengan bekal pengalaman sebagai mantan perawat di sebuah rumah sakit jiwa, Sayer mampu mengisahkan secara apik tragedi kemanusian di ruang isolasi perawatan pasien Rumah Sakit Jiwa dalam novel semi ilmiah itu. Dalam salah satu monolog tokoh Peter, misalnya, menarik dibandingkan dengan tokoh-tokoh ang digunakan Iwan Simatupan.

Peter ternyata seorang pasif, dan memilih untuk tidak merespon apapun yang menghampirinya meski sebenarnya ia bisa melakukannya. Dalam terang ilmu jiwa modern, pilihan cara hidup Peter sudah cukup untuk membawa dirinya ke ‘mental institusi’ yang mengklaim bisa memulihkannya menjadi orang ‘normal’ kembali. Bagaimana rasanya melihat dan mengalami dunia dari sudut kegilaan? Pertanyaan ini menjadi titik berangkat sebagian besar pengarang yang mengambil seting kegilaan. Bagi mereka, kegilaaan adalah ciptaan, kutukan sekaligus kehidupan. Menjadi gila adalah merasakan kembali kebebasan, “keliaran” sekaligus kesedihan.

Menarik mengikuti tafsir yang dikemukakan oleh A. Setyo Wibowo (2004) dan Sindhunata tentang kegilaan seorang Nietzsche. Filsuf ini bisa mendobrak segala kemapanan, kepuasan diri, katanya, bahkan mendobrak forma apa pun. Iwan sendiri dalam esai berjudul mahapendek, Dan, memang pernah mengatakan: pemberontakan terhadap realitas, berontak untuk berontak saja, taklah menarik bila mega segumpal pun tak ada yang mengarak. Atau: “kekuatan abstrak untk berkata tidak!”

Iwan tidak bisa dipojokkan pada sudut mana pun. Nietzsche memang telah membunuh Tuhan. Tapi kita harus hati-hati untuk menggelarinya sebagai “pembunuh Tuhan”. Seluruh keresahan jiwanya justru bisa membantu kita untuk memurnikan Tuhan dari kekerdilan anggapan kita tentang-Nya, dan dengan demikian, menakhtakan-Nya di atas kekerdilan manusia. Nietzsche memang melakukan suatu refleksi filsafat yang ateis, namun kita mesti berhati-hati untuk menyudutkannya sebagai seorang ateis.

Dengan filsafat “palu”-nya, Nietzche justru memperolok mereka yang merasa telah mencapai pencerahan dengan jalan ateisme. Ateisme Nietzsche malah bisa menuntun kita untuk melihat apa yang seharusnya paling mistik dalam relasi kita dengan Tuhan. Dalam hal ini, Nietzsche yang a-religius itu sesungguhnya adalah orang yang sangat religius.

Wajar saja jika kita menemukan keliaran ungkapan dalam prosa Iwan Simatupang, yang ia sendiri nyaris berada dalam ambang ketidaksadaran, karena imajinasi orang dalam situasi ini sungguh merdeka. Seorang yang merasa jiwanya melayang, tokoh-tokohnya dengan cepat menghayalkan sesuatu yang tak tergapai, sering dianggap mengalami gangguan jiwa. “Penyakit jiwa” seperti dilukiskan sebagai penciptaan makna, suatu pendapat yang berbeda dengan teori para psikiater yang sering melukiskan skizofrenia dan kegilaan sebagai alam anpa makna. Di sini makna hadir dengan latar belakang dari hal yang tak bemakna, yang jika menggunakan kata-kata Marleau Ponty, sebuah “sens dan nonsens”: sense ialah corak yang membutuhkan latar belakang dari nonsens.

Iwan memang bermain dalam wilayah manusia dan kemanusian sebagai latar depan dengan mempermainkan dengan ringan antara kebermaknaan dan tanpa kebermaknaan, sens dan nonsens. Manusia dalam hayatannya mirip seperti ahli sihir yang kadang-kadang berhasil menghadirkan suatu makna kegilaan yang menghidupkan kesadaran, tapi kadang-kadang ia pun gagal menembus kabut tebal awan penanda dan petanda yang telah lama dipancangkan oleh masyarakat. Makna tak terpisah dengan tanda, dan rasio paling tinggi duduk di sebelah kegilaan paling hebat. Makna senantiasa berada dalam tegangan dengan ketidakbermaknaan, tapi sekaligus berbaur-erat dalam ketakterhinggaan.

Sebagian besar novel Iwan Simatupang, Ziarah, Merahnya Merah, Kering, dan cerpen-cerpennya, bisa diberi arti secara psikologis, dan kita nyaris ikut mengami skizofrenia pula saat membacanya. Menarik mengaitkan gejala skizofrenia dalam prosa Iwan dengan modernitas dan kegilaan, di mana kondisi skizofrenia sebagai sebuah wacana diungkapkan pada tahun 1806 dan dipopulerkan Eugen Bleuler, yang mengenalkan istilah skizofrenia pada tahun 1908 dan menjabarkannya sebagai ”sejenis peningkatan pikiran, perasaan, dan hubungan dengan sesuatu yang bukan dari dunia ini”. Nietzsche, Freud, Franz Fanon dan Michel Foucalt, Sayer adalah tokoh-tokoh yang berjasa mempopulerkan tema skizofrenia, sehingga sering diidentikkan oleh para kritikus sebagi postmodernisme.

Membaca gejala skizofrenia dalam prosa Iwan, menuntut kita untuk menyikapi letupan kata-kata yang muncul dari mulut Tokoh Kita sebagai sebuah konflik terhadap modernisme. Tokoh Kita dalam Merahnya Merah dan Kering tak urung mengingatkan saya pada tokoh “gila” yang cerdas dalam sebuah film yang dibintangi Russel Crowe—yang memerankan John Forbes Nash yang ahli matematika yang mengalami delusi skizofrenia namun akhirnya menyabet hadiah Nobel itu. Berbagai kata yang bermakna kegagahan dan keangkuhan yang muncul dari Tokoh Kita tak ubahnya si penderita skizofrenia yang diguyur aura mistik dan hidup dalam kekeringan dan kekerontangan jiwa di tengah arus modernisme yang mulai melanda Dunia Ketiga.

“Targikku adalah tragik dari sebelum tragik. Tragik angkap dua”, kata Tokoh Kita dalam Meahnya Merah. Tapi hidup dalam tragik rangkap dua itu, asal saja kita berhasil melampaui pesoalan fisik yang akan mengantarkan manusia untuk meraih segala haknya dan akan merasa bahagia lebih dari yang lain. “Inilah kami dari kaum fakir, kaum pertapa, para mistikus, yang membuat mereka selalu suka mencari daerah-daerah pelik dari kehidupan dan mempertontonkan rasa kebahagian yang asing bagi manusia-manusia dari kondisi hidup yang biasa”.

Kontras antara manusia normal dan abnormal, antara kaum paria dengan bangsawan, mistikus dengan para ahli hukum, merupakan inti yang didedah Iwan dalam sebagian besar novelnya. Di sisi lain, muncul semacam harapan melalui kehadiran psikologi pembebasan yang akan mengantarkan manusia-manusia gelandangan ke dalam alam batinnya yang paling sunyi. Merekalah kaum soliter yang paling kesepian. Paling sunyi. Menderita. Tapi mereka bukan pengemis yang meminta belas-kasihan.

Membaca delusi-delusi dalam prosa Iwan menuntut kita untuk mengenal secara intim karakter tokoh-tokohnya yang sepintas tampak nonsens. Karena prosa, sebagai kekuatan naratif, ternyata cukup ampuh untuk menjadi saksi bagi apa yang pernah terjadi dalam suatu zaman. Iwan memang “seniman jalang” yang lahir dai “novel pelacur” yang “mesti diuji keampuahannya dari suatu keadaan tepi-tepi terakhir”—kata-kata Iwan Simatupang sendiri yang saya temukan dalam Ziarah.

Apa yang kita ketahui tentang “suatu keadaan tepi-tepi terakhir” itu muncul secara gamblang dalam esai dengan judul eksentrik: Dan. Esai ini, sejak kalimat pembuka, menegaskan ke mana kesusastraan Iwan mesti di bawa: ke “tepi yang menari-nari di remang kejauhan. Tepi, daerah terakhir sebelum ketamatan” yang merupakan penolakan atas romantika dan segala yang dianggap tamat, yang mesti dihalau dengan “menempatkan diri jauh dari tepi itu. Sedemikian jauh, hingga pudar dari ketamatan”. Dan: menyadarinya sebagai “kesadaan akan peranan sebagai hanya penyambung saja” lagi. Sebuah tepi yang berpijar yang tak sempat terungkap dalam kisah romantik dan heroik saja lagi. Dan inilah novel tanpa moral, novel tak fitri, novel tanpa pahlawan!

Saya membayang kekokohannya pintalan pikiran dan perasaan dilihatnya seperti benang-benang intuitif, “benang hitam dan merah, mengular memanjang di udara berputar-putar, menukik, laju mendatar, menanjak lagi, dan terusnya” (Ziarah). Rajutan berbagai persoalan “ketidakwajaran” bertemu dengan obsesi yang membubung bagai “kupu-kupu yang hanya bisa di cuaca”, namun mampu melengkapi peran narasi untuk menyediakan tempat di bumi bagi sebuah kesetaran secara eksplisit bagi pembaca. Dengan prosa “hitamnya”, saya seperti sedang dituntut untuk memahami apa yang tak terpahami.

Dan, Iwan telah menyuguhkan pengalaman batinnya yang buncah oleh itu konflik-konflik perwatakan tokoh-tokohnya yang mengalami persoalan kejiwaan yang berat, kecemasan yang sangat, tapi mampu menantang kita untuk segera memperbaharui tafsir tentang narasi kegilaan dalam sastra dalam seni. Tokoh-tokoh gelandangan adalah pijaran yang bergetar memasuki lorong-lorong penuh orang-orang gila-cerdas dengan berkelakuan liar dan suka memberontak.

Dengan tokoh-tokohnya yang makmur, dengan Tokoh Kita dengan kecerdasan dan kesadaran di atas rata-rata, prosa-prosa Iwan berhasil dengan baik menyelam kesadaran manusia dalam sebuah praktik yang selama ini berlangsung di ruang isolasi RSJ. Saya kira Gabriel Garcia Marquez benar ketika mengatakan: semakin dalam kita menyelami karya sastra, dengan intensitas dan kecintaan yang demikian besar, niscaya kita akan kehilangan cara untuk membedakan fiksi dengan kenyataan.

Apa yang dihadirkan Iwan dalam prosa-prosanya tak lagi bisa dibedakan antara fakta dan fiksi. Dan, Iwan Simatupang telah memberikan satu sumbangan pemikiran tentang soal besar kemanusian—betapa pun kini gagasannya sudah banyak menuai kritik dari gerakan postmodernis—namun diskusi mengenai kesadaran manusia tetap mempesona orang banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar