Sabtu, 31 Januari 2009

Ayu dan Fenomena Bilangan Fu

Oleh Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang



Syahdan, di sebuah kota tua bernama Merv, hidup seorang lelaki yang berdagang kain celup. Sebuah kerajinan yang terkenal di sekitarnya sebagai pemalsu. Suatu hari ia menghilang. Terdengar kabar ia muncul di Khurasan dan kelak memangku jabatan sebagai hakim di lingkungan orang-orang muslim. Entah kebetulan atau suratan nasib, namanya sendiri adalah Hakim. Orang menyebutnya Nabi Tabir. Pada masa kekhlaifahan Mohammad al-Mahdi (khalifah yang dikenal cukup longgar terhadap orang-orang yang menikmati hubungan mesra dengan Tuhan), ia memiliki para pengikut begitu banyak, yang terkadang ngawur dan gawat hingga sang khaifah tak lagi kuasa menyembunyikan kemarahan.

Hakim sendiri sama sekali tak punya niat ingin menyalahgunakan kelonggaran aturan sang khalifah, namun apa boleh buat, ulah para pengikutnya telah membuat khalifah murka. Sejak itu terjadilah tuding-menuding soal bid’ah, dan perselisihan tak terhindari. Hakim sendiri mulai cenderung aneh, sampai akhirnya ia meletakkan prinsip-prinsip syahadat pribadinya dan menjadi seorang gnostik kuna. Maka ia pun mulai kerasukan oleh aura mistik, dan banyak merenungkan masalah kosmologi dan kosmogoni yang tidak abadi. Pada sebuah akar kosmogoninya terdapat sesosok tuhan yang tak tembus pandang. Baginda tuhan ini dikenal sebagai maha tanpa muasal. Dia tuhan yang tiada berubah, namun cintanya merekahkan sembilan waktu dan bayangan.

Seraya menurun ke penciptaan, ia mengemban dan mengepalai surga pertama. Dari mahliga ilahi mula ini, muncul mahligai kedua, dan ini membentuk surga yang lebih rendah—yang merupakan pencerminan simetris dari surga pertama. Kemudian dari sini dicerminkan pada mahligai ketiga. Mahligai ini dicerminkan pada mahligai yang lebih rendah, dan seterusnya, dan seterusnya, hingga berjumlah 999. Inilah bayangan dari bayangan dari bayangan lain lagi—dan pecahan keilahiannya mencapai nol.

***

Sekelumit kisah di atas saya cuplik dari terjemahan karya Jorge Luis Borges tentang kisah Tukang Celup Kain Bertopeng: Hakim dari Merv, dalam Sejarah Aib. Kisah tesebut, serta kisah-kisah fantastik Borges lainnya, sengaja saya kemukakan untuk mengwali suatu pembicaraan mengenai sebuah novel dongeng masyhur tahun ini: Bilangan Fu. Pengarangnya adalah pengarang dua novel yang menghebohkan masyarakat sastra sebelumnya: Saman dan Larung. Bedanya dengan kedua novel sebelumnya, Bilangan Fu tak lagi mengejar bahasa imaji yang berima, kendati di beberapa tempat masih tersisa. Novel ini banyak mengungkai kisah-kisah mitologis yang, selain mengenai kosmologi dan kosmogoni, juga mengaduk-aduk matematika, geometri, fisika, agama, dan tafsir tentang Tuhan antara sebagai satu dan nol yang sangat rumit.

Sudah sejak halaman muka, kita dipertontonkan dengan rajutan berbagai narasi yang hampir mati atau sudah mati, namun agaknya berhasil dihidupkan kembali melalui jalinan kisah-kisah kejadian yang kadang mengandung alegori mistik, motif mitos, mimpi dan fantasi. Semua ditakik dari aneka khazanah melalui riset yang tiada bandingnya bagi sebagian besar novel Indonesia.

Kisah-kisah purba, baik yang bersumber dari Kitab Suci maupun mitologi Jawa, muncul susul-menyusul, yang bagaikan para dewa yang sedang menyusun dinastinya sendiri melalui kilas-balik kilas-balik yang tak selesai. Hamparan menu hidangan dan sakramen-sakramen aib seputar agama dan politik di masa lalu, masa kini dan masa depan, ditampilkan dengan intim. Imajinasi sang pengarangnya seperti meluncur bagai roket menjelajah bidang-bidang liputan yang masih dibalut oleh tegangan, sulawan, misteri dan teka-teki.

Beragam masalah yang dinarasikan itu, sampai juga kepada masalah tiga yang bukan menguak tabir namun ikut merundung sebagian besar para pengarang: modernisme-monotheisme-militerisme (yang oleh penulisnya dengan ringan disingkat 3M). Dari sini lalu kita diajak menjelalah dunia spiritualisme dan rasionalisme, estetika kesatu-paduan dan estetika hibrida, tentang masalah kalender Masehi dan Hijriyah dan Jawa purba. Lantas mengembara ke dalam ceruk-ceruk ilmu falaq, ilmu bumi, fisika dan biologi, filsafat dan psikologi.

Novel ini tak cuma melukiskan peristiwa nyata atau seolah-olah nyata, seperti dalam novel-novel realis, melainkan metafora dengan kekuatan pada isinya. Pola-pola geometris di tangan Ayu justru dipintal menjadi suatu pola perlambangan yang berisi namun bukan suatu pilihan estetik. Berbagai jalinan kisah seakan menggemakan suara lonceng abad tengah yang bangkit dari dalam tiap nurani para tokohnya. Barang kali inilah sebuah kekosongan yang mesti ditebus dengan kesendirian dan kehilangan. Sunya kata orang Hindu. Cifr kata Arab.

Sebuah kekosongan yang tak menuntut diisi tapi juga mesti diisi. Perasaan kosong itu hadir dalam sosok perempuan tanpa nama yang hidup di tengah bejibun nama. Atau sebuah nol di tengah angka dan orang banyak. Sebuah mimpi, angan-angan, dan harapan yang bersemi dari puing-puing ironi sejarah yang menyesakkan. Sebuah laku hidup yang mengalir dan merayap bagai tanaman rambat, memuntir dan meliuk untuk memperlihatkan tunas-tunas hijau. Meski di tengah segala dusta, kendati di tengah segala prasangka.

Novel ini tak ayal mengajak kita untuk merenungkan seorang narator bernama Yuda—penantang ulung dam penyuka panjat tebing. Salah satu tokoh novel ini bernama cantik: Parang Jati (tokoh yang lahir pada bulan Sadha atau Hapit Kayu). Atau bulan keduabelas dalam penanggalan Jawa kuna yang kini telah berubah nama menjadi Pranata Mangsa. Alkisah, Parang Jati bertemu dengan Farisi, dan kelak akan mengalami nasib yang dekat dengan kisah “penulis” cerpen ‘Langit Makin Mendung’. Parang Jati dan Suhubudi berusaha melepas penangalan Hijriyah, mungkin karena keduanya bukan orang yang berada dalam satu barisan dengan pasukan Muhammad yang hijrah dari Arab ke Madinah yang ditetapkan sebagai awal mula kalender Hijriyah dalam Islam.

Dari sini kita dipertontonkan kecerdasan Ayu dalam mengolah sebuah teorema yang indah, dengan ciri yang sulawan. Gayanya tak ubahnya seperti dongeng masa lampau, namun yang membedakannya, novel ini terasa lebih intelektual karena ini novel esaistis yang mengandalkan isi ketimbang bentuk karena bentuk mungkin dianggap terbatas, meniscayakan keterbatasan. Di dalamnya akan kita temukan ketegangan yang tak hendak meloncat dan membahana, kadang dengan kejutan yang tenang dan lirih. Berkali-kali juga bahasa penegasan muncul, baik tenang orang Jawa yang memiliki almanak sendiri, yang bebeda dengan kalender Hindu dan Islam.

Sang narator adalah sosok makhluk yang sadar-diri, sabar dan tawakal dalam melayani kelebatan pemikiran para tokohnya. Beberapa kali kita temukan sang narator menjelaskan soal pergeseran penanggalan Jawa menjadi Jawa-Islam, seperti pada karakter Sultan Agung Mataram. Tarikh Jawa kuna sendiri, yang jauh lebih tua dari ritual Bakakak Nngayogya, telah berubah ke arah yang tidak kreatif. Kini orang Jawa kebanyakan masih menjalankan ritual berdasarkan Pranata Mangsa. Masyarakat Jawa adalah para petani, bercocoktanam dengan mengenal musim. Orang Jawa tidak bisa menanggalkan penanggalan Hijriyah dan bulan Sapar sepenuhnya. Tapi justru karena orang Jawa lebih percaya pada Pranata Wangsa, maka berakhirlah bulan Sadha. Bulan pertama dalam tradisi kita telah kembali. Bulan ketigabelas, di mana sesuatu menjadi satu lagi. Air surut di beberapa lubuk. Pohon kapuk tua mulai meretaskan buahnya, melayangkan serabut kapas putih bersama angin...

Lalu kita diajak kembali memasuki rawa-rawa tersembunyi melalui mitos-mitos alam dan manusia. Dalam perjalanan memasuki hamparan luas intertektualitas, kita bersiap untuk dikejutkan berbagai kisah dalam Kitab Suci, semisal kisah-kisah dalam Kitab Kejadian. Kitab ini adalah kitab pertama dalam Alkitab, yang pada mulanya tak merumuskan Tuhan sebagai satu. Agama Hindu India sebelum Masehi memiliki konsep mengenai kekosongan, ketiadaan, nihilis. Konsep itu terkandung pada kata shunya, dengan lambang spasi kosong dan titik dan lingkaran nol. Lalu lama kelamaan konsep filsafat Hindu itu bermetamorfosa menjadi bilangan o (nol) yang ditemukan bersamaan dengan numerasi, sistem penomoran.

Dalam Islam, proses evolusi matematika yang semula metafora lalu menjadi ilmu pasti, muncul dalam gagasan ”titik primordial” dalam kitab Tawasin al-Hallaj. Lalu secara geometris, tampak pada pandangan Al Kwarizmi—matematikawan dan astronom yang menulis soal aljabar dan algoritme. Kwarizmi juga sempat menulis sebuah kamus megah yang berjudul Ensiklopedi Berbagai Disiplin. Buku yang berhasrat menjangkau kepelbagaian ilmu pengetahuan ini, namun isinya hampir tak terbaca lagi oleh generasi kini.

Karena Ayu mempersoalkan posisi Kwarizimi juga dalam novelnya yang agak distorsi, maka izinkan saya menyinggung tokoh ini agak panjang melalui berbagai kutipan dari pendapat orang lain, yang mungkin saya sebutkan atau tidak saya sebutkan sumbernya.

Alkisah, buku Ensiklopedi Berbagai Disiplin menyebut sebuah cabang ilmu bernama algoritme. Nama lengkap pengarangnya: Abu Ja’far Muhammad bin Al-Kwarizmi (ada juga yang menulis namanya Al Khawarizmi). Banyak yang cuma memanggilnya dengan singkat: Kwarizmi (Ayu menulis Al Khuwarizmi yang mungkin karena behubungan dengan hu). Konsep astronom ini, yang terkenal, adalah salah satu cabang matematika yang bernama aljabar.

Sepanjang hidupnya, ia sering dipanggil Sang Secans atau Sang Tangens, karena ia memag ahli terhadap dua ihwal yang pelik ini. Orang Arab ini pernah mempersoalkan sistem penomoran, dan memang sempat menjadi poros sains dan banyak pemikir yang menimba ilmunya. Puncak dari kesohoran bangsa Arab terhadap sains bisa didentifikasi dari beberapa kurun waktu, namun yang sempat jadi perhatian sejarah yang terkenal adalah pada periode khalifah Harun-al-Rasyid abad ke-9. Periode ini dikenal dengan periode belajar secara besar-besaran di Arab. Berbagai karya filsuf Yunani disyarah, ditakwilkan dengan baik ke bahasa Arab, termasuk dam hal ini karya Almagest—mahakarya Ptolemeus itu.

Pada masa itu astronomi dan geometri Yunani pun memasuki dunia Arab-muslim dan merangsang para astronom di jazirah untuk melanjutkan kesuksesan Yunani. Sejarah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan Yunani bergeser ke Islam. Kwarizmi tepat hidup dalam situasi yang haus ilmu pengetahuan periode ini. Sesudahnya muncul tokoh tersohor bernama al-Batani (± tahun 850) yang menghitung kembali presesi equinox dan menyusun tabel astronomi yang memukau. Lalu berlanjut sampai Omar Khayyam yang selain menulis puisi juga aljabar dan geometri.

Konon, Kwarizmi begitu getol melakukan eksperimen berbahaya di bidang sains dan menantang keseriusan seluruh anggota tubuhnya. Secara lebih fokus akhirnya ia mendalami bidang trigonometri dan astronomi dengan memakai rumus secans dan tangens, maupun di bidang matematik atau geometri. Dalam usia yang terhitung masih muda, ia pernah bekerja di Bayt al-Hikmah di bawah pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (786-833 M). Ayu Utami menyebut dalam novelnya dengan memplesetkan menjadi Sultan Al Mansur nan bijak yang membangun Baitul Hikmat di mana ilmu pengetahuan dikembangkan.

Pada baitul tersohor itulah nama Kwarizmi menjulang. Ia dipercaya sebagai observator oleh sang khalifah untuk melakukan berbagai riset matematika dan astronomi. Kesempatan yang tak boleh di sia-siakan. Bahkan dalam sebuah situs internet dikatakan, Kwarizmi sempat memimpin perpustakaan yang kaya dengan kitab kuning dari berbagai khazanah, khusunya Yunani, Romawi, dan Islam, milik sang khalifah tersohor itu.

Selama bekerja di perpustakaan yang menyimpan pelbagai kitab klasik berbahasa Ibrani, Arab dan Persia untuk bidang ilmu pengetahuan, sastra, Kwarizmi memanfaatkan waktunya sebaik-baiknya untuk melahap kitab-kitab yang banyak memuat rumus-rumus astronomi. Dari sini ia kelak menemukan rumusan tersendiri yang asli, yang lebih brilian dari para pendahulunya. Kwarizmi pernah memperkenalkan angka dan cara perhitungan India pada para penulis Arab-Islam. Ketika tidak lagi bertugas di perpustakaan milik “Sultan Al Mansur” (versi Ayu) itu, ia mulai memanfaatkan waktunya untuk menulis kitab yang kelak dikenal dengan nama Ensiklopedi Berbagai Disiplin. Sebuah kitab yang dari lema-nya saja sudah terkesan angker.

Karya ini mengenalkan aljabar dan ilmu hisab secara menawan, dan beberapa hal juga banyak menyoal algoritme. Dan sepanjang hidupnya, ia tak pernah merasa puas dengan satu ilmu pengetahuan. Anda mungkin pernah mendengar dongeng-dongeng fantastik Jorge Luis Borges dalam kisah tentang ensiklopedi yang menyinggung tiga nama yang entah makhluk ruang angkasa mana atau dari planet mana tiga sosok bernama Tlön, Uqbar, Orbis Tertius itu.

Tak berapa lama dari menerbitkan ensiklopedi wah itu, Kwarizmi mempelajari secara intim keeksakan yang terdapat dalam sains, dan di tangannya muncul sejumlah teori di bidang matematika yang masih populer hingga sekarang. Matematika Arab, yang dikenal paling rumit karena dihasilkan dari proses hibrid, berhasil disederhanakan tanpa kehilangan bobot ilmiahnya. Jenis-jenis matematika lainnya juga di rompaknya, seperti aritmetika, yang di mata para pemikir Arab-muslim dianggap merupakan turunan dari India dan didasarkan pada prinsip posisi.

Bila kini kita mengenal aljabar, meskipun berasal dari Yunani, Hindu dan sumber-sumber lain di Babylonia, akan tetapi di tangan para pakar muslim diubah dengan menekankan karakteristik baru dan lebih menggigit. Mungkin jika dibaca dalam konteks sastra, ”aljabar hanyalah omong kosong”, seperti kata Forbes Nash. Namun Kwarizmi-lah peletak dasar aljabar di dunia Islam. Pada zamannya ia menggeluti juga trigonometri, dengan ramuan utama dari Yunani, tetapi oleh bangsa Arab ditangani menurut cara Hindu, hingga mempunyai lebih banyak fungsi dan rumus. Lagi-lagi Kwarizmi punya andil besar di sini.

Berapa temuannya di bidang geometri masih digunakan para jenius hingga sekarang. Sebelum meninggal, ia sempat mewariskan sejumlah karya yang gemilang. Di antaranya: Al-Jabr wa’l Muqabalah, yang menguraikan pemakaian secans dan tangens dalam penyelidikan trigonometri dan astronomi. Lalu karya gemilang: Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah, yang banyak mengajukan contoh-contoh di seputar matematika dengan mengemukakan 800 buah soal yang di antaranya merupakan persoalan yang dikemukakan oleh Neo Babylian dalam bentuk dugaan yang telah dibuktikan kebenarannya oleh Kwarizmi.

Masih ada karya berjudul Sistem Nomor yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul De Numero Indorum. Karya ini mengenalkan konsep sifat dalam sistem nomor yang masih dikenal sampai sekarang. Banyak kaedah yang diperkenalkan, seperti apa yang disebut dengan kos, sin dan tan dalam trigonometri penyelesaian persamaan, teorema segitiga dan segitiga sama kaki yang mengira luas segitiga, segi empat selari dan bulatan dalam geometri—yang berasal dari Yunani tetapi di tangan bangsa Arab digeneralisasi di sana-sini sampai mengkristal seperti bentuknya sekarang ini. Kategori tersebut, setelah era Alhazen dari Mesir, dikembangkan ilmuwan Timur, tapi oleh orang Barat lebih dikenal sebagai penyair, yaitu Omar Khayyam. Banyak lagi konsep dalam matematik yang mencapai puncak gemilangnya di tangan Kwarizmi dan Khayyam yang digunakan oleh para penyair dalam puisi.

Khayyam memang pernah menganalogikan puisi dan geometri. Ia melengkapi gagasan Kwarizmi melalui persamaan kuadrat, baik untuk solusi aritmetika maupun solusi geometri. Untuk persamaan-persamaan umum pangkat tiga dipercayainya bahwa solusi untuk aritmetika adalah tidak mungkin (kelak pada abad lima belas dibuktikan bahwa pernyataan ini salah), sehingga dia hanya memberi solusi geometri. Gambar kerucut yang dipotong untuk menyelesaikan persamaan pangkat dua sudah pernah dipakai oleh Menaechmus, Archimedes dan Alhazen, namun Khayyam mengambil cara lebih elegan dengan melakukan generalisasi metode guna mencakup persamaan-persamaan pangkat tiga dengan hasil berupa akar bilangan positif.

Kwarizimi ingin mengatakan apa yang oleh Karlina Leksono dalam sebuah esai tentang kosmologi di Media Kerja Budaya, disebut nujuman lama tentang keterputusan semantik antara bahasa teoretis dan bahasa observasional, yang memungkinkan munculnya keadaan ke-tak-terpasti-kan teori oleh sebuah data. Tapi jadi aneh bila demikian, sebab seingatku ini soal lama dalam kajian kosmologi. Saya pernah membaca telisik Karlina Leksono yang fasih bicara soal kosmologi dan dekosmologisasi. Katanya, tatkala kosmologi berniat mendesakkan pola induktif empiris, yaitu mengacu ke data dan kemudian menarik generalisasi empiris, maka keterputusan semantik antara bahasa teoretis dan bahasa observasi selalu saja akan memunculkan keadaan yang disebut ke-tak-terpasti-kan teori oleh data.

Ketakterpastikan itu tak lain adalah suatu keadaan yang menyebabkan, untuk setiap teori T yang diajukan dalam menjelaskan gejala tak teramati langsung (seperti yang banyak muncul dalam dunia fisika dan terutama kosmologi), akan selalu dapat dibangun sejumlah takhingga teori-teori T1, T2, T3 ... yang semuanya setara secara empiris dengan teori itu. Jika T ternyata dapat dikukuhkan oleh sekumpulan bukti observasional, kesetaraan empiris semua T yang lain itu akan menyebabkan semua T itu juga terkukuhkan oleh bukti observasional yang sama. T manakah yang paling benar?

Karlina Leksono agaknya punya jawaban sendiri atas pertanyaan yang diajukannya sendiri yang saya kutip di atas melalui istilah Rudolf Otto: ketakterpaparkan adalah suatu mysterium, sesuatu yang tak terbahasakan karena keberbedaannya, sesuatu yang tak terjangkau karena tak terkenai konsep-konsep manusiawi, karena ketakberadaannya di dalam cakrawala; sesuatu yang ketika akan dimasuki kian memperlihatkan ketidakmampuan kita memasukinya. Ketakbercakrawalaan adalah ketakberhinggaan, suatu tremendum bagi yang berhingga; sesuatu yang menggetarkan. Kesadaran hening yang berhingga akan ketakberhinggaan, akan ketakbercakrawalaan, akan ketakterbahasakan, menghadirkan di dalamnya fascinans yang memukau. Mysterium tremendum et fascinans, kata Otto.

Agaknya kita perlu mengingat kembali apa yang sering disebut ”keyakinan kuna yang panjang umur”, minjam istilah Karlina lagi. Yakni tentang Tuhan, di mana Tuhan masih disebut-sebut, terkadang dengan pandangan yang kuna namun unik. Para penyair hampir tak ada yang luput mengekspresikan yang maha segala-galanya ini, yang tak bisa disebut ”Tuhan satu” menurut Ayu. Para filsuf, kosmolog, seniman atau penyair, bahkan kalangan sains seperti Einstein dan Pascal, mengutak-atik ide tentang Tuhan.

Apa yang menarik bagi Einstein adalah pertanyaan apakah Tuhan mempunyai pilihan dalam menciptakan alam semesta. Demikian pula Hawking, ia tak tangung-tanggung mengacu pada hukum-hukum alam sebagai the Mind of God. Sedangkan Fred Hoyle memperkenalkan Intelligent Mind. Tuhan dengan bebas dipesepsi. Dan puisi tentu punya kebebasan yang nyaris tak terbatas untuk mengekspresikan Tuhan tanpa beban. Dan se-liar apa pun pandangan penyair mengenai Tuhan dalam pusinya, tak banyak panggung hukuman pancung untuk penyair di sini, kecuali satu nama, karena itu mengapa takut dengan “imajinasi liar sekali pun” kata Sindhunata, karena untuk meliarkan imajinasi itu sendiri ternyata sebuah nama yang langka.

Khayam seorang penyair sekaligus matematikawan—sebuah kombinasi yang kini sudah langka. Puisi Khayyam telah dirangkum dalam al-Rubaiyat yang berisi 75 puisi pendek terdiri dari 4 baris dan biasa disebut quatrain. Khayyam menutup lubang yang menganga antara ekspresi bilangan dengan aljabar geometrikal, sebelum dikembangkan kemudian di Barat oleh Descartes, karena siapa yang berpikir bahwa aljabar bertujuan untuk mencari bilangan tidak diketahui adalah sebuah tindakan sia-sia.

Aljabar dan geometri dan puisi memang beda tampilan namun sama-sama mengandung lambang serta berdasarkan fakta yang telah terbukti. Kendati belum dapat membuat rumus utuh untuk mencari hasil dari suatu persamaan dua kuadrat, tiga dan pangkat lebih tinggi, tapi prestasi ini mampu menjadi spirit bagi perkembangan geometri dan puisi berikutnya, khususnya Lagrange. Dan Descartes berhasil menggagas alam sebagai yang mekanistik.

Tapi ada yang lebih gila kecuali ketika saya membaca sebuah esai dengan lema Ontologi Baru, Algoritme dan Api (2002). Esai ini menyebut seorang anggota Oulipo bernama Italo Calvino yang katanya ”ikut mengubah alam semesta menjadi sastra atau sastra menjadi alam semesta”. Apa ini tidak ngawur? Ternyata Nirwan Ahmad Arsuka bilang tak, jika tak dibaca secara harafiah. Sejak Kwarizimi dianggap para kritisi behasrat mengubah geometri jadi puisi dan Khayam ingin mengubah puisi jadi geometri, sejak mimpi Descartes sering diterjemahkan sebagai adanya analog antara kamus dan puisi, orang sempat geleng-geleng kepala. Apalagi mendengar Italo Calvino. Saya kira perbalahan Nirwan Ahmad Arsuka bisa dipercaya.

Dalam esai ini, Nirwan mulai meninggalkan pendiriannya dalam Perang Ilmu, dan agaknya tak sebagaimana kebanyakan rekannya di KUK yang terlampau postmodernisme sehingga nyaris meremehkan gagasan-gagasan matematika dan fisika dan membela secara belebihan genre puisi dan alegori mistik. ”Gagasan tentang makhluk Adikodrati datang dengan cara sama seperti ketika gagasan-gagasan matematika datang kepada saya”, tulis John Nash. Seorang matematikawan jenius yang lebih tertarik menggunakan kalkulus differensial, bukan pola geometris atau manipulasi aljabar.

***

Telisik panjang-lebar yang meminjam di sana sini tentang Kwarizmi di atas, sayup-sayup masih bisa kita rasakan dalam Bilangan Fu. Dengan keberanian Ayu menjelajah berbagai bidang liputan yang jauh di luar sastra, pantaslah jika novel ini disandingkan dengan novel dunia peraih Nobel. Selain memuat teori fisika yang segar, khususnya soal atom dan infinitesimalitas (nilai yang mahakecil yang mendekati nol tetapi tidak sama dengan nol), novel ini mengangkat permasalahan seputar jagad raya. Barangkali yang paling dominan, di luar persoalan psikologi, masalah matematika dan geometri. Ada bilangan mistik dengan membagi yang tak sama dengan membelah, sebaliknya, membagi di sini sekaligus memiliki sifat penggandaan: ”Jika aku membagi nyawaku kepada duabelas anggota, maka aku mengalikan nyawaku dengan duabelas, di mana, pada saat yang sama, nyawaku tetap satu”. Inilah rumusnya: 1:a = 1xa = 1, dan a bukan satu.

Bisa jadi bahwa dengan matematika bisa membuat orang terasing dan terpencil, namun ilusi matematis sebagai logis dan pasti ini hampir tak bisa dipakai untuk Tuhan. Barangkali dalam Quran sejak semula, Tuhan telah menyebut dirinya sebagai satu. Tuhan yang Maha Esa itu warisan matematika yang dilacurkan oleh ilmu antropologi dan perbandingan agama yang kelak melahirkan teori revalasi yang terkenal dengan nama monotheisme itu.

Kata ehad dan ahad dalam bahasa Ibrani dan Arab itu, kata Ayu, sama-sama berinduk Semit. Eka adalah satu dalam Sanskrit. Esa adalah satu dalam Islam. Ini pendapat saya. Sedang pendapat Ayu, terutama mengenai Kitab Kejadian awalnya belum merumuskan dirinya sebagai Tuhan . Kepada Abraham ia merumuskan dirinya sebagai ”Akulah Tuhan” atau ”Allah yang Mahatinggi” atau ”Allah yang Mahakuasa”.

Lalu Ayu seakan menyimpulkan: Satu yang dirumuskan tanpa konsep nol adalah satu yang dirumuskan bukan dalam mentalitas matematis, melainkan mentalitas metaforis. Satu yang dirumuskan tanpa konsep nol, adalah satu yang sekaligus memiliki properti nol. Inilah, saya rasa, yang dicari-cari Ayah melalui pendekatan dan lakunya yang sulit dimengerti dalam bilangan ”Satu yang juga nol” itu. Siapakah Ayah yang dimaksud Ayu di situ? Mungkin ayah Esau dan Yakub dalam kisah Kitab Kejadian.

”Satu yang sekaligus memiliki properti nol” atau ”satu yang juga nol” begitu rumit dijelaskan, bahkan dengan teori kembar siam sekali pun. Novel ini memang bicara dengan cakupan luas yang kadang terlalu jauh berfilsafat. Kadang terang-terangan merengkuh Kitab Suci, mitologi, kisah sufi, kadang-kadang ditafsirkan kembali dengan lambang-lambang. Kisah tentang Esau dan Yakub dalam Kitab Kejadian yang disinggungnya dalam sub-bab ”Kritik Hu Atas Monotheisme” menarik dibandingkan dengan pandangan John Forbes Nash yang disinggung panjang-lebar oleh Sylvia Nasr dalam A Beautiful Mind berikut ini.

Alkisah, Esau dan Yakub bersaudara, bahkan kembar (tapi bukan kembar siam). Berdua adalah anak Ishak dan Ribka yang pada mulanya saling menyayangi. Esau anak paling tua, dan ayahnya, Ishak, sayang kepadanya. Namun Ribka, ibu keduanya, lebih sayang kepada Yakub. Sebagaimana dikisahkan, Esau dua kali digusur oleh Yakub dari hak-haknya. Mula-mula Yakub mengakali Esau agar menjual hak sesulungannya kepada Yakub. Kemudian, Yakub juga mengambil berkat dari Ishak yang telah buta. Padahal berkat itu semula akan diberikan kepada Esau.

Yakub melakukannya dengan menyamar sebagai kakaknya. Ketika Esau menyingkap pengkhianatan Yakub, Ishak malahan menolak pengakuan itu dengan mengatakan: ”Sesungguhnya tempat kediamanmu akan jauh dari tanah-tanah gemuk di bumi/dan jauh dari embun dari la-ngit di atas./Engkau akan hidup dari pedangmu dan engkau akan menjadi hamba adikmu./Tetapi akan terjadi kelak,/apabila engkau berusaha sungguh-sungguh,/maka engkau akan melemparkan kuk itu dari tengkukmu”. Esau, yang penuh dendam kepada adiknya, berkata dalam hati: ”Hari-hari berkabung karena kematian ayahku itu tidak akan lama lagi; pada waktu itulah Yakub, adikku, akan kubunuh”.

Novel Bilangan Fu mengandung kesamaan dengan kisah di atas. Terutama saat narator berkata: ketika Ishak sang bapa telah rabun dan hampir mati, ia berniat memberi berkat kepada si sulung Esau (Ayu menulisnya ”berkat kesulungan Esau” yang kacau). Tapi istrinya mengelabuinya. Ia pun menghadirkan si bungsu Yakub, yang tengah mengenakan kulit domba. Ishak pun memberikan hak kesulungan itu pada si bungsu. Ketika Esau pulang dari berburu di padang, demikian disebutkan, tahulah ia bahwa adiknya telah merebut berkat itu. Maka ia mendendam pada Yakub.

Menanggapi kisah keluarga Ishak itu, Ayu menafsirkan begini: belum ada rumusan eksplisit tentang keesaan Tuhan seperti kelak dalam wahyu kepada Musa. Bahkan dalam kisah Esau dan Yakub yang panjang itu, kata Ayu, telah muncul persoalan nama. Yakni, manusia ingin mengetahui Tuhannya. Tapi Tuhan tak mau mengungkapkan namaNya. Kebilangan dan kenamaan ini pula yang sering disinggung Pram. Pandangan soal yang masyhur ini mengingatkan aku pada tafsiran Pram atas frasa dramawan terkemuka: ”apa arti sebuah nama”. Nukila Amal juga mengatakan serupa dalam Cala Ibi.

Demikianlah. Kearifan di atas memberi renungan yang tak mudah untuk ditafsirkan ini dan itu. Kisah dari Kitab Kejadian itu kian menegaskan bahwa Tuhan bukan seperti dalam konsep monotheisme, yang memaksakan konsep satu yang matematis kepada nol yang mistis. Zero yang spiritual adalah yang kosong sekaligus penuh, tidak berupa, tidak terbatas, tidak berbanding, dan maha. Penemuan angka O dan 1 konon merupakan revolusi dalam pikiran manusia.

Saya pernah baca juga tentang bilangan nol dari kitab sastra yang dikarang orang Jawa. Kitab Bumi Manusia. Nol itu keadaan suwung, katanya. Sebuah kosong. Seperti telur yang tinggal cangkang. Dari sebuah cangkang kosong, terjadi awal lagi. Dari awal terjadi mengembang sampai puncak, angka 9, kosong, berawal lagi dalam nilai yang lebih tinggi, belasan, ratusan, ribuan, kosong, dst. Kami tahu juga, betapa tak berartinya sistem desimal tanpa nol, bukan?

Karena Tuhan sebagai satu, bisa jadi bahwa kosmos berubah menjadi khaos, karena manusia sendiri terlampau lancung menerapkan yang puitis dan metaforis secara matematis dan geometris, dan yang spiritual menjadi yang rasional. Padahal ”pikiran rasional membentangkan sebuah garis pembatas terhadap konsep seseorang dalam hubungannya dengan kosmos”, tulis John Forbes Nash—matematikawan ”gila” peraih Nobel itu. Itulah ”selingan-selingan rasionalitas yang dipaksakan” kepada kita untuk memahami dunia.

Modernisme, selain syarat dengan keyakinan yang pasti, juga syarat dengan kekhawatiran mendalam akan kelangsungan umat manusia karena kemajuan ilmu pengetahuan telah jauh-jauh hari menyandarkan rasionalisme dalam ketinggian yang bikin cemas jutaan manusia. Orang terlalu sadar dengan satu, rasa gandrung pada ruang dan bentuk, padahal itu hanya ilusi. Tak banyak yang sadar isi, yang mau menyangga Kitab Suci dengan puisi-prosa dan menjadikan kesetaraan secara tak tampak antara dongeng tua dan Kitab Suci. Bisa jadi bahwa Esau dan Adam berhubungan dengan Saturnus dan Titan—bulan kedua Saturnus—adalah Yakub sekaligus musuh Budha dan Iblis, sebagaimana fantasi John Forbes Nash ketika sedang berada di ambang delusi.

Tuhan, yang dalam Kitab Suci agama monotheisme tertua menolak penomoran dan penamaan kata Ayu, kini sudah diringkus ke dalam angka 1 yang pasti. 1+ 1 = 2, ini logis dan pasti. Boleh jadi matematika merupakan ungkapan nalar yang bersahaja, dan ada lambang-lambang unik dan cantik, konvensi-konvensi yang teguh, ringkas. Tapi, agama, iman, Tuhan jika didekati secara matematis-logis atau melalui pola-pola geometris atau nalar matematis, barangkali akan kehilangan aura estetika hibrida.

Filsuf Baston Bachelard—filsuf Prancis tahun 1940-an yang mati tak banyak diketahui—dan Ali Syariati, pernah bilang: mana kala tingkat peluang dan suatu gagasan bisa diekspresikan dalam bentuk matematis, orang itu telah menemukan bahasanya yang tepat guna menjelaskan diri dan dunianya sendiri. Gagasan apa pun yang diekspresikan dalam bentuk pola geometris—seperti puisi, filsafat, agama—dengan sendirinya ia sahih dan logis.

Apakah Tuhan logis? Tuhan bukan satu. Bukan konsep matematis atau geometris. Bukan seperti puisi Ali Syariati berjudul ”Satu Yang Diikuti oleh Nol-Nol Yang Tiada Habis-Habisnya” yang menerapkan pola geometris yang berbunyi begini: ”hanya satu yang ada/Selain satu, tiada/Selain Tuhan/Tak sesuatu pun ada/Tak seorang pun ada”. Penyair-filsuf ini terjebak dalam pusaran air ruang dan waktu geometris. Dan Tuhan menjadi seperti bilangan 1 yang riil, primer, rasional, operasional. Padahal Tuhan yang satu itu palsu, aku mengutip sebuah buku tentang Tuhan dan hal-hal yang tak selesai. Tuhan yang satu tak lebih sebagai ilusi matematis. Terpesona pada bentuk riil dan lupa pada isi yang abstrak. Tuhan bukan bilangan. Tuhan bukan sebagai pembuat almanak.

Seperti halnya agama, Tuhan bukan ini dan itu yang riil. Dan, tak ada kata pasti untuk agama, iman, dan Tuhan. Karena kalau demikian adanya, sama saja dengan 3M yang mendesakkan yang rasional kepada yang spiritual itu, atau mendesakkan kemurnian kepada yang campuran, etika tunggal dan estetika hibrida. Dan makna taukhid bukan sebuah tamsil, sambil mengutip kitab klasik berjudul Ta-Sin al-Azal wa al-Iltibas. Pernyataan bahwa ”Tuhan itu esa” terkesan sebagai taukhid yang tak berhubungan dengan Tuhan, karena kalimat itu menyatakan jumlah bilangan yang meniscayakan adanya kondisi yang terbatas. Padahal Tuhan tak berbilang, itulah yang ditegaskan Tuhan dalam surat al-Ikhlas ayat pertama: Qulhuallahu ahad, katakan Allah tak berbilang.

Yuda, yang gandrung manjat tebing itu, mulai menyibak aura mistik dan fasih bernarasi tentang seribu satu tokoh yang masing-masing punya dunianya sendiri-sendiri. Yuda dalam kitab Bilangan Fu seperti metamorfosis Mansur yang meninggalkan guru darwis dan beralih berguru kepada iblis. Seandainya tak ada iblis di sorga, mungkin takkan ada perintah untuk membaca karena Kitab Suci sendiri mungkin tak ada. Seandainya tidak ada Yuda yang bergelar ”si iblis” itu, apa arti Parang Jati dan orang-orang Farisi dan tokoh-tokoh lain.

Dari sini kita diajak masuk ke dalam ceruk-ceruk tersembunyi perihal pemanjatan tebing yang bermetamorfosis menjadi pemanjatan suci. Sacred climbing! Di sini Parang Jati seperti mengulum senyum yang menyembunyikan sesuatu, tapi bukan bertanda sebagai sinis, melainkan kritis; senyum naif yang kanak-kanak dan bukan senyum orang tua yang munafik. Yuda terus menarasikan hal-hal yang tak selesai. Tentang Khotbah di Atas Bukit Prosa, tentang Surat Musa, tentang Kitab Kejadian dan Kitab Kejatuhan, feminisme, dll.

Sambil menirukan Goenawan, para penganut theisme selama ini ternyata salah sangka. “Tuhan yang Maha Esa” bukan Tuhan sebenarnya. Tuhan yang bukan esa juga bukan Tuhan sebenarnya. Tuhan sendiri sudah bilang: ”ke arah mana saja kau berpaling maka ada wajahKu”, ini artinya bisa ditafsirkan sebagai ”Tuhan yang berbeda, bukan sebagai sama, bukan sebagai satu, karena satu itu palsu, seperti sapu lidi, meskipun padat dan pejal, ia bukan satu, tapi berbeda”.

Mengapa disebut bilangan fu? Karena bilangan fu memiliki properti nol dan satu sekaligus. Bukan pasti-pastian. Tidak mutlak-mutlakan. Fu bisa jadi merupakan alat musik tiup orang Asmat. Bilangan fu juga tak berjenis kelamin pasti, karena Fu adalah ”makhluk serigala-manusia-jantan-betina sekaligus”. Bukan feminin bukan maskulin, bukan pula seperti konsep Yin dan Yang. Lalu?

Seperti pesan spiritual dalam buku Tao Ching yang pernah dikutip oleh pengarang buku Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai, terutama dalam tatal 61, Tuhan tak bernama, dan itulah Bunda semua hal-ikhwal. Dengan mengatakan ”Allah itu esa”, maka kita telah menambahkan sesuatu pada taukhid. Memandang Tuhan dengan cara ini justru menganggap Tuhan hanyalah ketergantungan belaka. Padahal bagaimana pun, ketergantungan bukanlah sifat Tuhan. EsensiNya singular, sementara kata adalah sifat esensi, bukan esensi itu sendiri.

Tersebutlah dalam kitab Anti-Krist, bahwa satu Tuhan yang bisa menyembuhkan sakit dan bisa menjadi pelindung umat, kalau pun ia benar-benar eksis, tetap pantas untuk diacuhkan. Satu Tuhan merupakan bentuk dari silogisme pendeta, kata si penulis buku Anti-Krist. Atau silogisme Rasul—ini istilah teolog Mesir pengarang kitab-kitab Kalam.

Mengganggap bahwa Tuhan Mahaesa, bisa terjerumus ke dalam syirik. Mengapa? Tuhan takdir—bilangan Tuhan atau Tuhan berbilang. Kata takdir bersinonim—sambil merujuk kitab Tesaurus Bahasa Indonesia—”bilangan, garis hidup, kadar, ketentuan, kodrat, predestinasi, suratan, tulisan nasib”. Nah, tidak mungkin kata-kata itu dilekatkan pada Tuhan, bukan? Kata-kata bersinonim itu mengacu pada manusia. Tuhan bukan sebagai satpam yang berjaga di pintu rumah apalagi Tuhan sebagai pelayan domestik apalagi Tuhan bilangan dan punya suratan nasib.

Konsep tentang Tuhan ”melingkupi kata kami sebagai pengganti subyek-subyek”, kata pengarang kitab Tawasin. Dengan kata lain, sebuah taukhid hibrid. Tauhid yang bukan kata ”saya” yang tunggal. Karena seperti anak busur, Tuhan melintasi subyek-subyek, menerjang dan menjungkirbalikkan. Ini pula pandangan yang dianut ilmuwan fisika yang menulis tentang busur waktu. Tuhan tak terbatas. Subyek nyata dari taukhid meluncur dalam pusparagam subyek-subyek karena Tuhan berada tidak dalam subyek, bukan pula dalam satu obyek, bukan pula dalam hal pengganti keduanya. Puncak dari keadaan pronominal (tak bernama atau tak berbilang) taukhid, tidaklah menyertakan sang subyek-subyek.

Wah, makin tambah rumit! Makin tambah intelektual. Memang, karena kita membicarakan bukan Tuhan sebenarnya, namun Tuhan yang dipikirkan dan dihayati (minjam kategori dalam esai Pram berjudul Masalah Tuhan dalam Kesusastraan). Monotheisme dahulu dicetuskan untuk memudahkan manusia membedakan apa yang bukan Tuhan dan apa adalah Ia. Sekarang bisa jadi tiga agama monotheisme yang paling banyak pemeluknya itu = tiga musuh dunia postmodern.

Dalam estetika percampuran, tak ada tempat bagi bilangan, apalagi bilangan penunggalan, kesatuan. Tuhan tak menuntut sosokNya hadir secara pasti. Tidak ada yang solid, juga iman, juga Tuhan. Pengarang Bilangan Fu mengingatkan kita agar bersikap rendah hati, sadar-diri, dan waspada. Waspada, karena Tuhan bukan pernyataan taukhid. Sadar-diri, karena ”Aku adalah Aku” atau Tuhan adalah Tuhan!

Apa maksudnya? Aku cuma ingin mengatakan Tuhan bukan sebagai satu, tapi bisa jadi sebagai nol? Ya, aku ingat sebuah puisi dengan judul O dalam buku O Amuk Kapak. Salah satu bunyinya begini: oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O. Imajinasiku mengatakan Tuhan sebagai nol. Sebuah nol bukanlah takdir, bukan bilangan yang terbilang, ia kosong dalam segala atribut dan pengertian, dan bisa jadi bukan siapa-siapa dan siapa-siapa bukan....

Seorang filsuf kenamaan Jerman abad ke-19 yang menulis tentang tokoh Zarahustra yang alim itu, pernah bertanya: di mana kamu mencari? Kamu ingin menelanjangkan dirimu dengan sepuluh, seratus kali? Kamu mencari pengikut? Maka cailah nullen, (nol)!..Nullen berarti kosong, atau bukan siapa-siapa—maka carilah bukan siapa-siapa. Dengan bilangan fu, Ayu mencari ”bukan siapa-siapa” dan melampaui argumen-argumen pencarian Goenawan, bahkan dengan gemilang Ayu menantang riset novel Bumi Manusia Pramoedya yang juga mengutak-atik soal nama dan bilangan nol dari Arab dan filsafat India itu.

Novel Bilangan Fu sungguh mempesona. Kadang diam dan kadang membahana. Mengguyahkan kemapanan dan menawarkan perubahan. Sebuah novel postmodernisme pertama di Indonesia yang hendak mengenyahkan matematika dan geometri ruang imajiner dalam prosa dan puisi. Sebuah resistensi terhadap kesatu-paduan dengan asas berlawanan dengan tritunggal dunia kejahatan, atau 3M yang terbukti ”menuang kita semua ke dalam sebuah pusaran air disintegrasi abadi dan pembaruan, perjuangan dan kontradiksi, kebingungan dan penderitaan”—untuk menggunakan penjelasan Marshall Berman tentang modernisme. Lalu apa bedanya dengan postmodernisme?

”3M: Tiga Musuh Dunia Postmodern”, kata Parang Jati sambil mengucapkan selamat datang perdamaian bukan-baru dan kesadaran yang tak menjadi sandera sejarah untuk menohok kemunafikan para Farisi. Selamat datang laku-hidup yang menggairah-meruah menganga terbuka tanpa batas dan selalu awas terhadap kuasa/pengetahuan yang ditorehkan 3M yang ingin merangkul dunia itu, dan senantiasa melintas tepi-tepi yang menari untuk menolak segala ketamatan dan keujungan yang selesai itu.

Selamat untuk sebuah keterpukauan, keterfanaan, dan bentuklah manusia-manusia postmodern agar laku-kritik dan agar laku-hidup tidak mampat, karena orang semacam Farisi masih berkeliaran di jalan-jalan dan masjid-masjid dan gereja-gereja di negeri ini, yang kerjanya mengurusi iman orang lain dan mengganggu eksperimentasi model sosok-sosok Parang Jati yang menjelma seniman dan sastrawan yang sungguh-sungguh berjerih-berkeringat-berdarah dalam kesadaran manusia pasca-kematian. Hanya sedikit orang macam Parang Jati di sini, kalau dulu ada IS, sekarang ada GM, AU, dan beberapa yang terpukau, termasuk saya?

***
Harus diakui, bacaan Ayu terhadap mitologi, kosmologi, fisika, biologi, ilmu bumi, matematika, geometri ruang imajinal, filsafat, psikologi hingga dunia mistik, nyaris tak tertandingi. Feminis yang agaknya telah memilih jalan selibat ini, kian dekat dengan petualangan Virginia Wolf yang pernah masuk ke dalam rawa tersembunyi bernama mitos ”Tawa Medusa”.

Ayu Utami adalah novelis yang menunjukkan paradoks yang juga menjangkit sebagian orang lain di Indonesia. Di satu sisi Ayu masih menganggap kanon sastra penting—kendati yang dimaksud kanon bukan seperti dalam pandangan modernisme—dan mengusulkan novel tetralogi Pramoedya untuk dijadikan kanon sastra dalam esai Kanon Sastra: Mengapa Takut? Di sisi lain, terutama dalam novel Bilangan Fu, Ayu tampak sangat postmodernis ketka secara eksplisit mengkampanyekan 3M (Tiga Musuh Dunia Postmodern): modernisme-monotheisme-militerisme. Ketiga proyek yang serupa ini bahu-membahu untuk menyingkirkan spiritualisme, sinkretisme dan hibriditas, yang muncul secara kasat dalam pemilahan antara estetika ketunggalan dengan estetika campuran, antara logika dan metafora.

Ayu bicara kepada kita dengan menekankan segalanya menjadi relatif. Menjadi longgar. Roman atau novel tak lagi bisa dibedakan dengan esai. Dan lelaki dan perempuan sama saja. Kalau pun dapat dikenal perbedaan esai dan novel, itu tak penting. Demikian kita lihat argumen Goenawan terhadap salah sebuah karya Asrul Sani. Sebelum Goenawan telah muncul Ignazio Silone yang menolak pemisahan roman dan novel. Kalau memang ada perbedaan antara roman dan esai, katanya, cuma pada teknis. Mangunwijaya dalam Sastra dan Religiositas mengutip Ignazio Silone dari Rosario Assuanto dan saya mengutipnya kembali di bawah ini dari Mangunwijaya karena semuanya menjadi kutipan dari kutipan dari kutipan ini:

Igazio Silone berkata: antara roman dan esai hanya ada perbedaan teknis (dilansir oleh Rosario Assuanto...). Roman esaistis adalah roman, yang tidak hanya membatasi diri menceritakan suatu riwayat yang sedikit banyak dikarang, tetapi juga mengartikan kejadian-kejadian nyata dan menilainya, kritis menyoroti kebudayaan dan kelembagaan-kelembagaan, lagi membandingkan dua atau lebih citra-citra dunia serta manusia-manusianya dalam bentuk penceritaan, tanpa lari ke simbol-simbol atau alegori-alegori, dan juga tanpa disengaja berniat untuk bersasaran anagogik, atau seperti yang disebt oleh Castellet: sasaran pemurnian.

Novel yang sepintas mencibir bentuk dan mengkampanyekan isi ini, memang unik. Sebab bentuk kini bukan sesuatu yang wah. Rasa senang pada bentuk sama dengan rasa gandrung pada kedalaman; sama-sama ilusi. Maka, saya anjurkan pembaca membaca novel yang terbagi dalam tiga bab dan lima puluh dua sub judul ini dengan konsentrasi karena beberapa gagasan di dalamnya menarik jadi bahan diskusi. Lalu jangan lupa bandingkan bukan dengan perbandingan nilai dengan percik-permenungan yang berjumlah 99 tatal dalam buku Hal-hal yang Tak Selesai, karena selain ini langka, ”wajib” bagi pembaca yang siap untuk diguyur aura mistik dan hanyut dalam badai pencarian laku-kritik yang lapang.

Pada bab soal politik kita akan disuguhkan tingkah-polah yang akrab dalam keseharian namun seakan jauh. Imaji sakramen aib seakan menjadi tesis dan antitesis terhadap aib masyarakat politik kita yang tak ubahnya dengan 3M yang mutlak-mutlakan. Tak banyak orang Indonesia yang seperti Umber Eco dan Derrida memahami soal iman, sebagimana tak banyak sosok seperti Ayu dan Goenawan yang memilih jalan diam atau bahasa bisu kesyuhadaan sambil bergelut dengan hakikat yang tak selesai. Iman yang berproses, yang terus mencari. Dan bisa jadi, iman seperti ini pada mulanya akan menghasilkan kegelisahan dan kegundahan, kecemasan, namun bisa jadi pula akan membawa sang subyek pencari asyik-masyuk ke dalam cinta Sang Kekasih yang menjadi dambaan kaum mistik.

Jika ada kritik yang mesti dialamatkan pada novel ini, barang kali absennya penyuntingan dan karena itu ada beberapa tema pengulangan yang nyaris tanpa maksud kecuali kekurang-telitian. Soal laku-kritik yang telah panjang lebar dibicarakan pada halaman sebelumnya, mengulang lagi pada halaman berikutnya sehingga agak membosankan.

Sebagaimana mawar dan anggur tak selamanya bisa mengubah taman tandus menjadi asri nan indah, demikian pula kelana dalam proses pencarian tak selalu menjamin petualangan mengasyikan. Melempar batu ke depan tak ada jaminan pasti bahwa batu itu tidak akan memantul balik ke wajah. Lagi pula, siapa jamin subjek dalam eksperimen dan proses yang mungkin tidak atau tak selesai itu, bisa betah selamanya. Sementara modernisme-monotheisme-militerisme punya batasnya, demikian juga postmodernisme-feminisme-pluralisme. Salah-salah jika adonannya tidak pas, bukan nikmat pencarian yang didapat.

Dan semakin terbukalah mata saya akan perlunya postmodernisme sebagai tidak hanya kritik-diri, tapi juga laku-kritik yang menjadi nafas kehidupan sekaligus ozon penyangga agar neraka matahari tak menimpa kita. Tapi saya teringat ”olok-olok” Alan Sokal dan Karlina Leksono tentang postmodernisme yang memang harus diakui, ada gunanya, sedikitnya dapat membongkar keterpukauan kita kepada sains, seperti sudah terbukti sejak abad lalu. Betapa pun ilmu pengetahuan dibongkar dan diganyang, orang selalu jatuh ke dalam ketakjuban padanya. Sebab kini kita memang sedang berada pada sebuah zaman ketika karya sastra yang ditulis dalam tempo dan gaya yang sudah jauh dari masa kita sendiri. Dan ini semacam kemenangan postmodernisme juga, sebuah keterpukauan yang sulit disanggah.

Konsep ultim yang dianggap kokoh mulai dibongkar. Tuhan dinyatakan bukan pria bukan wanita, bukan pula seperti dalam konsep yin dan yang, bukan matahari dan bukan bulan. Bukankah Romo Mangun pernah menulis, dengan tafsiran yang luar biasa, terutama ketika mengatakan: bahkan ”Yesus sendiri orang tidak kawin dan tidak dikawinkan” dan ”bila matematika pun tidak mengenal matematika lelaki atau matematika perempuan, apalagi Tuhan”.

1 komentar: